OSN Terbaik
Dhiya berjalan ke kantor guru guna mengumpulkan tugas biologi. Dia telat mengumpulkan karena kemarin tidak masuk. Jadi, ketika teman-temannya menginformasikan ada tugas, Dhiya langsung mengerjakan tugas yang dimaksud. Berhubung pelajaran yang dia sukai adalah biologi, jadi Dhiya semangat menuntaskannya dan menjadi penumpuk tugas pertama.
Gadis berkacamata bulat dengan frame hitam itu lantas keluar ruang guru setelah menumpuk tugas. Ketika dia menuruni anak tangga pendek yang terakhir—tapi dia tidak memperhatikan sekitar dengan benar, tiba-tiba ada yang menabraknya sehingga badannya sedikit oleng dan hampir jatuh. Namun, untung saja orang yang menabraknya sigap menangkap tangannya.
Dhiya awalnya meram sebab kaget. Saat matanya terbuka, kekagetannya bertambah berkali-kali lipat. Pasalnya, yang menabrak sekaligus menahan tubuhnya agar tidak jatuh adalah Daffa, orang yang dia sukai.
"Dhiya? Kamu nggak pa-pa?" tanya Daffa memastikan sambil membantu Dhiya berdiri tegak kembali.
"Eh, nggak pa-pa kok, Mas. Maaf ya, tadi aku nggak merhatiin jalan," sahut Dhiya grogi.
"Yang harusnya minta maaf tuh aku, Dhi. Aku yang nabrak dan bikin kamu hampir jatuh," bantah Daffa. "Tapi kamu beneran nggak pa-pa, kan?"
Dhiya mengangguk sebagai jawaban.
"Oke." Seulas senyum terpampang manis di wajah Daffa. Matanya yang sedikit sipit jadi bertambah sipit. "Oh iya, Dhi. Sebentar lagi OSN, kan? Udah sampai mana persiapanmu?" tanya Daffa.
"Belum siap, Mas." Dhiya tiba-tiba lesu ditanya seperti itu. "Aku jadi takut, Mas—walaupun aku senengnya bukan main karena udah berhasil maju sampai ke tingkat nasional," lanjutnya sambil menunduk.
Dhiya tidak sadar kalau Daffa mengembuskan napas tipis dengan senyum yang belum pudar—memaklumi ketakutan Dhiya. Daffa mengelus puncak kepala Dhiya, membuat gadis berkacamata itu membulatkan mata dan langsung menatap Daffa.
"Aku ngerti apa yang kamu rasakan kok, Dhi," ujar Daffa. "Waktu aku seumuran kamu, aku juga takut nggak bisa bawa medali emas. Tapi kamu harus yakin, Dhi, kalau kamu sebenernya bisa." Daffa mengepalkan mengangkat rendah kepalan tangannya.
Disemangati dan kepalanya diusap lembut oleh Daffa membuat Dhiya melambung tinggi. Namun, karena perasaannya campur aduk dengan kemungkinan-kemungkinan buruk saat OSN nanti membuat rasa bahagianya bertambah sedikit.
"Kamu bisa, Dhi. Kamu anak kedua setelah aku di bidang biologi dari sekolah kita yang berhasil sampai OSN lho! Sebaiknya semangat dan jangan minder dong!" Daffa sekali lagi menyemangati Dhiya. Untuk membuat Dhiya tersenyum, masing-masing jari telunjuk dari kedua tangan Daffa menempel pada kedua ujung mulut Dhiya, kemudian ditariknya sehingga membentuk seulas senyum. "Senyum dong, Dhi. Masa imut-imut begini cemberut terus?" ledek Daffa, kemudian terkekeh kecil.
"Ih, apaan sih, Mas?" Dhiya menepis tangan Daffa, pura-pura sebal. Padahal dalam hati, dia sudah sampai di langit ketujuh. Karena saking tak bisa menahan bahagianya, akhirnya Dhiya tersenyum juga.
"Nah! Gini kek, dari tadi," kata Daffa semringah karena melihat senyuman Dhiya. "Ya udah, aku balik kelas dulu ya. Kalo kamu merasa kesulitan sama materinya, bilang aja sama aku. Nanti aku tutorin, khusus buat adikku yang berhasil lolos sampai nasional," tawar Daffa.
Dhiya mengangguk dengan senyuman yang masih tercetak jelas di wajahnya. "Iya, Mas. Makasih banyak ya," balasnya.
"Oke." Daffa melambai, pamit kembali ke kelas.
Dhiya juga kembali ke kelas dengan membawa bingkisan kecil oleh-oleh dari ruang guru; semangat dam senyuman dari orang yang dia sukai.
***
Hari demi hari Dhiya lewati untuk persiapan dirinya dalam kompetisi olimpiade tingkat nasional. Dibantu Daffa, Dhiya mempelajari dan memahami apa-apa yang diajarkan Daffa mengenai materi baru dan materi yang belum dia pahami. Terkadang Daffa mengajak Dhiya belajar bersama di perpustakaan daerah yang ada di kota mereka tinggal. Terkadang juga Daffa mengajak Dhiya belajar di rumahnya hanya agar Dhiya fokus dan menangkap semua yang diajarkannya.
Hari yang dinantikan mereka pun tiba dua hari lagi. Daffa dan Dhiya sama-sama maju ke tingkat nasional. Jadi mereka berangkat ke Jakarta bersama dua hari sebelum lomba, didampingi seorang guru mereka. Bukan hanya dari bidang biologi, ada juga beberapa bidang olimpiade dari sekolah mereka yang juga lolos sampai ke babak nasional; astronomi, kebumian, matematika, dan kimia. Dengan menggunakan kereta api, kemungkinan mereka sampai di Jakarta saat sore menjelang malam.
Di perjalanan, Dhiya menyempatkan diri untuk belajar. Selang beberapa menit, Daffa memaksa menutup buku yang dibaca Dhiya.
"Lho, kok ditutup, Mas?" protes Dhiya.
"Nggak perlulah kamu mati-matian belajar. Mending nikmati perjalanan dulu, Dhi. Tuh, lihat ke luar jendela. Pemandangan lagi hijau-hijau begitu bikin otakmu fresh," jelas Daffa sambil pelan-pelan mengambil buku yang dipegang Dhiya supaya gadis di sampingnya itu tidak terpaku pada olimpiade.
Dhiya menikmati setiap momen yang berjalan selama perjalanan. Daffa duduk di sampingnya, membuat Dhiya merasa senang dan perjalanan terasa sangat menyenangkan. Mereka bercengkerama banyak hal—terkadang saling terbuka mengenai suatu hal satu sama lain, bercanda hingga keduanya tertawa bersama. Perjalanan kurang lebih enam jam itu sesekali membuat Dhiya mengantuk. Namun, Daffa bersedia menjadikan pundaknya sebagai sandaran Dhiya untuk tidur. Ketika Dhiya tidur di pundaknya, Daffa mengelus lembut kepala Dhiya, tak lama ikut tertidur juga dengan kepalanya bertumpu di atas kepala Dhiya.
Pemandangan manis sebagai hiasan di gerbong oleh setiap pasang mata yang memandang mereka.
***
Hari perlombaan pun tiba.
Dengan segala persiapan, Dhiya optimis mampu menyabet medali emas bersama Daffa. Dia berkomitmen tidak akan mengecewakan Daffa, guru yang telah mengajarinya, orang tuanya, serta teman-temannya yang mendoakannya kembali dengan hadiah termanis. Sebelum olimpiade benar-benar dimulai, Dhiya selalu memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kemudahan dan kelancaran. Daffa juga melakukan hal yang sama.
Dhiya dan Daffa berada di ruangan yang berbeda. Bagi mereka itu bukan masalah ketika mengetahui hal itu. Setelah saling menyemangati, mereka bergelut dengan soal-soal dan otak masing-masing.
Waktu habis. Saatnya mereka yakin dengan jawaban masing-masing.
"Tadi ada soal yang kamu nggak paham?" tanya Daffa setelah mereka bertemu kembali. Saat ini mereka tengah istirahat sambil menunggu pengumuman yang entan kapan akan muncul.
"Ada, tapi aku lupa soal yang mana," jawab Dhiya sambil cengengesan.
"Ya udah, jangan dipikirin lagi. Kita bawa enjoy aja sekarang, ya?" kata Daffa.
Dhiya menempelkan tangan di pelipis; bersikap seperti hormat. "Siap, Mas! Hehehe."
Sembari menunggu pengumuman, mereka bersama teman-teman yang lain berbincang asyik mengenai banyak hal. Dari olimpiade ini mereka juga mendapatkan teman-teman baru dari berbagai daerah.
Akhirnya, hal yang dinanti semua peserta pun tiba.
Pengumuman dari hasil olimpiade ditayangkan di layar televisi yang tergantung di langit-langit ruangan utama. Per bidang lomba di layar yang berbeda. Dhiya dan Daffa mencari bidang lomba mereka. Ternyata di layar nomor tiga dari kiri.
Ketika mereka melihat daftar nama yang muncul, jantung keduanya seakan berhenti berdetak. Tak disangka, Daffa berhasil menyabet medali perak!
"Wah! Selamat, Mas Daffa!" teriak Dhiya senang sambil menyalami tangan Daffa erat.
"Yah, perak lagi," keluh Daffa lirih.
"Perak lagi dikata?" Dhiya protes sebab Daffa mengeluh. "Dapet perak juga udah lumayan, Mas! Aku aja yang masuk sepuluh besar juga bersyukur banget!" lanjutnya tak terima.
Daffa menatap wajah Dhiya yang menggebu karena protes. Terlihat lucu karena pipinya menggembung. Seulas senyum terukir dari bibirnya, kemudian dia memeluk Dhiya tanpa aba-aba.
Dhiya jelas kaget bukan main. "Mas Daffa?"
"Sebentar ya, Dhi. Aku lagi seneng banget," ucap Daffa sambil melingkarkan tangan di pinggang Dhiya.
Dhiya diam. Dia tak mampu berbicara.
Dia yang tadinya terpaku, semakun kaku tak bisa berkutik karena kalimat yang keluar dari mulut Daffa.
"Dua tahun bertemu denganmu, Dhi, aku seneeeng ... banget. Kita sama-sama suka biologi, dan aku harap kita juga sama-sama punya perasaan yang seirama. Aku suka kamu, Dhi."
Sebagai jawaban, Dhiya memeluk Daffa lebih erat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro