Lucas's Problem
"Apa rasanya menikah?"
Vernon Chwae, lelaki berdarah Amerika-Korea itu menoleh ke arah Lucas Walker yang tengah meraih satu kaleng bir di atas meja lalu menenggaknya. Vernon tak langsung menjawab. Tanya itu sesungguhnya biasa saja, tetapi ditujukan pada orang yang masih di bawah pengaruh alkohol rasanya jadi tidak biasa. Ia mengutuk Clay Harrison, si penggagas ide pesta lajang. Si pendek itu mengompori ketiga pria lajang lainnya untuk berpesta semalaman di apartemennya.
"Entahlah. Aku baru akan melakukannya besok. Kalau mau, kau bisa tanyakan lagi besok padaku," sahut Vernon akhirnya. Besok ia akan resmi menikah.
Dalam keadaan biasa, Lucas tahu kalau ucapan seperti barusan dilontarkan sebagai canda. Masalahnya, Lucas sedang dalam suasana hati yang buruk bahkan menjadi bertambah setelah kata 'besok' diucapkan Vernon dengan santainya. Ia berharap tak ada hari esok atau Tuhan tidak menuliskan nama orang lain di dalam buku takdir Vernon, mana sajalah.
"Apa kau harus melakukannya?"
"Apa?"
"Menikah." Lucas mengamati kernyitan pada dahi Vernon. "Memangnya, apa yang kau inginkan setelah menikah? Tidur di satu ranjang yang sama? Hidup bersama? Punya anak? Bukankah kalian bisa melakukannya tanpa harus menikah?" kejar Lucas.
"Menikah itu pilihan, Luke. Bukan untuk memuaskan kebutuhan biologis saja."
Vernon yang sedikit terhuyung berjalan pelan ke arah kamarnya. Sambil meniti dinding memasuki kamar yang diikuti Lucas. Pria yang berasal dari kota Big Apple yang baru dua tahun menetap di Portland itu langsung merebahkan diri di atas kasur milik Vernon.
"Setidaknya pilihan tidak hanya ada satu jawaban, Vern. Pilihan selalu mengacu pada dua atau lebih jawaban."
Vernon menoleh sekilas ke arah Lucas sebelum membuka lemari untuk mencari handuk dan celananya. Ia menanggalkan kausnya dan melempar asal ke sembarang arah. Lucas menggulirkan pandangan ke arah Vernon, terlihat jelas punggung kekar itu yang biasa ia gunakan untuk bersandar. Ada sebuah tato bertuliskan 'spirit' di bagian kanan punggung atasnya. Otot-otot lengan Vernon yang menonjol, melambangkan keperkasaannya. Ada gelenyar aneh tiba-tiba menjalar di dalam benak Lucas tiap kali memandang Vernon bertelanjang dada. Ini tak wajar dan Lucas menyadari itu.
"Ya. Dan aku memilih jawabanku menikahi Anna. Semua orang pada akhirnya akan menikah, Luke." Vernon menyampirkan handuk di atas bahu lalu menghilang di balik pintu kamar mandinya.
Tak lama suara air pun mengisi pendengaran Lucas. Kedua matanya terpejam mencoba menenangkan dadanya yang mendadak bergemuruh. Rasa itu tak biasa, tetapi juga tak mengganggu.
Vernon yang sudah selesai dengan ritual mandinya tengah berjalan ke arah kaca rias di dekat Lucas. Ia memerhatikan dagunya guna memastikan tak ada bulu-bulu halus yang belum tercukur. Vernon harus terlihat sempurna di hari spesialnya.
"Kau sedang ada masalah, Luke?"
"Sedikit," ucap Lucas memiringkan tubuhnya menghadap Vernon.
Vernon melirik sosok Lucas dari cermin. "Apa itu tentang seorang gadis? Wah, aku ketinggalan berita besar." Vernon berbalik. "Siapa gadis itu? Apa aku mengenalnya?"
Vernon tahu-tahu merebahkan diri di sisi Lucas dan memblokir pandangannya. Dalam jarak sedekat ini, Lucas hanya bisa memuji rahang-rahang tegas milik Vernon yang seolah dipahat sendiri oleh tangan Tuhan. Vernon punya wajah memesona, jenis wajah yang hanya dengan sekali melihatnya bisa membuat banyak gadis terpikat.
"Kau tidak mau berbagi cerita?"
Tampaknya usaha Lucas menyudahi topik obrolan terakhir gagal. Maka ia pun memilih untuk mengambil jalan aman dengan balik berucap, "Apa yang mau kubagi dengan seseorang yang pagi nanti akan menikah?"
Nada bicara Lucas menarik perhatian Vernon. Sesaat setelah kalimat barusan terlontar, ia segera menoleh dan pandangan merekan pun bertemu.
"Aku bahagia, Luke."
"Apakah menjadi lajang tak cukup membuatmu bahagia?"
Kedekatan mereka banyak memberi bekas. Lucas kehilangan anggota keluarganya pasca kecelakaan tragis di New York dua tahun lalu. Sebuah limosin melewati persimpangan jalan raya kemudian menghantam Toyota Highlander yang ditumpangi kedua orang tua dan adik perempuannya. Mereka tewas di tempat.
Sejak saat itu ia pindah ke Portland karena kota itu memiliki banyak taman dan kebun untuk bersantai juga menenangkan pikiran. Hingga akhirnya bertemu Vernon Chwae, si penyewa baru di gedung apartemen yang sama dengan Lucas. Berawal saling menyapa, melakukan obrolan, sampai berlanjut melakukan beberapa aktivitas kesukaan mereka. Semua menjelma menjadi rutinitas dan kedekatan mereka semakin erat. Bagi Lucas, Vernon adalah orang yang paling berarti di hidupnya. Ia adalah ayah, sekaligus ibu, adik, dan kakak untuknya.
Sekelebat memori manis itu tergulung selesai, bersamaan dengan satu tangan Vernon yang mengusap lembut puncak kepala Lucas. "Luke, kebahagiaan itu bukan diukur dengan status. Kau juga akan bahagia tanpa perlu selalu berada di sisiku. Kau han─"
Seketika ucapan Vernon terhenti. Lucas mendaratkan bibirnya di atas bibir Vernon, menekannya dengan rapat. Mengunci kepala Vernon dengan tangannya. Sontak saja Vernon berontak berusaha melepaskan diri, mendorong dada Lucas sekuat tenaga. Tautan mereka pun terlepas.
"Kau gila, hah!" Vernon penuh emosi membentak Lucas. Ia berniat bangkit, tetapi Lucas berhasil menarik lengannya.
"Kau tahu apa yang kau lakukan, Luke? Kau gila!"
"Lalu, harus kuapakan? Harus kuapakan degup jantung yang kian bergemuruh tiap kali kita berdekatan, Vern? Beri tahu aku." Suaranya terdengar lebih dalam dan sendu. "Aku pun merasa ada yang salah dengan otakku. Tapi perasaan konyol ini semakin menjadi saat kau mengatakan akan menikahi wanita yang bahkan hanya kau kenal dalam waktu empat bulan saja. Bagaimana denganku yang sudah dua tahun kau kenal?"
"Karena aku mencintainya, Luke," timpal Vernon, "sepenuh hatiku."
***
"Samantha, bisakah kau jemput Lucas di North Bar? Aku mendapat telepon dari Paul, kalau Lucas mabuk parah."
Sesungguhnya, Samantha tidak ingin ambil pusing ketika Vernon meneleponnya satu jam lalu. Apalagi saat satu nama itu disebut, gadis itu langsung menggerutu tentang betapa menyebalkannya Tuhan yang belum juga mau menghapus Lucas Walker dalam kepalanya berikut buku takdirnya.
Samantha membuka pintu kamar Lucas, memaksa lelaki itu mengikuti langkah kakinya masuk ke dalam kamar. Rasanya cukup sulit mencapai tempat tidur lantaran pengaruh alkohol juga merenggut kestabilan si pemuda.
"Persetan dengan apa yang kau alami. Tahu begitu, kubiarkan saja kau membusuk di bar."
Samantha menjatuhkan tubuh Lucas di atas tempat tidur. Ia memerhatikan Lucas lamat-lamat.
"Sudah satu minggu kami tidak saling bicara. Lucas sedang dalam kondisi tidak baik, Sam. Kurasa, dia membutuhkanmu karena aku sudah memiliki Anna dan tidak bisa berada di sisinya."
Kalimat penutup milik Vernon terus terngiang di dalam kepalanya. Bola matanya menelusuri gurat wajah lelaki itu yang kelewat menyerupai orang hendak bunuh diri: bibir pucat, mata sayu, wajah depresi, dan rambut tak karuan. Samantha mendengus. Separuh karena puas melihat kondisi menyedihkan Lucas yang ia rasa pantas untuk diterima pemuda itu, sebagian untuk menyalahkan dirinya sudah berkata kasar barusan, dan sebagian lagi turut bersimpati.
Tiba-tiba Lucas menarik pergelangan tangannya dan membuat tubuhnya menindih pemuda itu. Samantha berusaha melepaskan diri dengan mencoba mendorong dada Lucas, tetapi satu tangan yang lain milik si pemuda malah mengunci tubuhnya. Ia bisa menghirup bau alkohol dari napas Lucas juga aroma maskulinnya, masih sama seperti dulu. Kerinduan itu jadi muncul lagi ke permukaan.
Bibir pucat Lucas bergerak pelan. "Samantha."
"Aku mau pulang, Luke. Kau tidak perlu berterima kasih."
Raut wajah Lucas berubah kecewa mendengar Samantha tak mengacuhkannya.
"Sam, maafkan aku."
"Untuk?"
"Memilih melepasmu."
Samantha memalingkan wajah, bersemuka dengan Lucas itu mutlak menyakitkan. "Lupakanlah. Itu sudah lama berlalu."
Lucas menarik dagu Samantha membuat jarak di antara wajah mereka makin menipis. "Sam, kurasa aku ... sakit."
"Sakit?" ulang Samantha ragu-ragu.
"Kedekatanku dengan Vernon membuat otakku sakit. Lama kelamaan, aku tak bisa lagi menggunakan logikaku saat bersamanya. Ada perasaan senang yang tak bisa kudefinisikan. Sampai-sampai mendengar Vernon akan menikah membuatku ingin membunuh Anna. Aku mulai gila dengan perasaan itu, Sam."
Mendengar itu mendadak Samantha paham ke mana arah pembicaraan ini.
"Kau tidak sakit, Luke. Selama ini Vernon-lah yang selalu berada di sisimu. Sekarang dia sudah menemukan pasangan hidupnya, wajar saja kau merasa kehilangan. Kau hanya terbawa suasana dan salah mengartikan perasaanmu."
Lucas tertegun tanpa melepas tatapan dari gadis di hadapannya itu. Sibuk menyerap makna di balik ucapan Samantha barusan. Sementara itu ia baru menyadari betapa rindunya pada sosok Samantha Gil. Sebelumnya ia juga rindu hanya saja kebimbangan yang terjadi pada dirinya membuat perasaannya tumpul sementara.
"Sam." Lucas menjeda membiarkan pandangan mereka bertemu beberapa jenak membuat kedua bola mata Samantha bergerak gelisah. Namun, tak menolak ketika Lucas mencium bibirnya. Samantha memejamkan matanya saat lelaki itu semakin dalam menciumnya.
Lucas seketika merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, ada rasa nyaman menjalar ke seluruh permukaan tubuhnya, dan jiwa lelakinya seolah terpanggil. Samantha benar, Lucas merasakan ada yang berbeda dengan ciuman yang ia lakukan dengan Vernon malam itu.
Tautan mereka pun terlepas. Lucas masih betah memandangi Samantha sedangkan gadis itu menunduk sedetik setelah pandangan mereka kembali bertemu.
"Sam, ayo kita mulai lagi dari awal."
Sesungguhnya kalimat itu yang Samantha ingin dengar sejak dulu─
"Aku akan memperbaiki semuanya, Sam. Aku janji."
Samantha mendongak. "Kau tidak bisa datang dan pergi seenak jidatmu, Luke." Kalimat ini membuat Lucas tercekat.
"Maaf," ucap Lucas lirih.
Samantha menahan kikik tawa melihat ekspresi Lucas. Samantha memang sakit hati, tetapi ia bukan tipikal orang yang akan membuang kesempatan kedua begitu saja. Gadis itu mengecup singkat bibir Lucas, reaksi yang membuat si pemuda seketika bungkam.
"Ayo, kita buka lembaran baru mulai sekarang, Luke."
─hingga sekarang. Lucas tak merespons dengan kata-kata karena ia baru saja mendaratkan kembali bibirnya di atas bibir Samantha sebagai bentuk lain rasa bahagianya.
Thanks, Sam.
***
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro