9. Sang Penggoda
"Maaf, Pak. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa laporan kemajuan tahunan kantor sudah dikirim melalui surat elektronik."
"Oke. Akan segera saya cek. Terima kasih."
"Sama-sama, Pak."
Begitu balasan ucapan terima kasih ia dapatkan, sambungan telepon pun berakhir. Diikuti oleh langkah kaki Ares yang kemudian beranjak pada satu meja yang tersedia di kamar itu.
Duduk, Ares membuka laptopnya. Sementara menunggu tampilan windows muncul, tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar laptop, tangannya terulur. Meraih kotak kacamata dan mengeluarkan isinya. Mengenakannya.
Ares segera membuka surat elektroniknya. Mendapati ada satu surat baru yang masuk dan langsung membukanya.
Dokumen terpampang. Dan dengan tekun Ares membaca isinya dari halaman pertama. Teliti dan juga saksama. Hingga kemudian, satu ketukan terdengar di pintunya.
"Tok! Tok! Tok!"
Fokus mata Ares seketika berpindah. Dari laptopnya yang menyala menuju ke pintu yang diketuk. Sontak membuat dahi pria itu berkerut.
Elai?
Ngapain dia?
Menyisihkan sejenak rasa penasarannya –bagaimanapun juga, Ares tidak mengira bahwa Elai akan datang ke kamarnya-, Ares pun berkata.
"Masuk."
Sedetik dari izinnya terserukan, daun pintu itu bergerak. Dan lalu, sosok itu masuk. Dengan membawa satu nampan, Elai tersenyum sejenak di ambang pintu. Teramat sengaja berhenti sejenak di sana.
"Hai, Res ...."
Sedetik, Ares melongo. Lalu ia mengerjap. Gagap ketika membalas.
"H-h-hai ...."
Senyum di wajah Elai tampak semakin melebar. Menahan nampan itu dengan satu tangannya, Elai tampak mengibaskan sejenak rambutnya yang terurai.
"Apa kamu ngerasa kalau siang ini begitu panas?"
Heh?
Dia ke kamar aku cuma mau ngebahas cuaca?
Ares mengerjapkan kembali matanya. Melihat lurus kepada wanita muda itu hanya untuk menyadari sesuatu.
Dengan gaun gitu dia masih ngerasa panas?
Glek.
Berbicara soal gaun ..., mau tak mau lantas Ares membawa retina matanya untuk bergerak liar. Menyusuri dari kaki Elai yang tampak terekspos tanpa penghalang. Pelan-pelan ke atas hingga melewati dasar gaun yang dimulai dari lututnya. Menutupi pahanya, perutnya, dan juga ... dadanya.
Tapi, garis leher itu begitu rendah. Membuat mata Ares bisa melihat sedikit gundukan yang tersembul di sana.
Di-di-dia kepanasan?
Ares mendadak meneguk ludahnya lagi. Kali ini tanpa sadar mengibas-ngibasi kerah kaos yang ia kenakan.
Kayaknya emang panas sih.
Di seberang sana, Elai tersenyum dengan anggun. Tampak menarik napas dalam-dalam hingga dadanya terangkat.
"Tuh kan ... emang panas ...."
Gagap, Ares mengangguk. "Ka-kayaknya emang panas sih ...."
"Maka dari itu ...."
Elai lanjut berkata. Kali ini seraya melangkah meninggalkan ambang pintu. Berjalan dengan perlahan menuju Ares. Terpisahkan oleh satu meja, Elai memamerkan isi nampan di tangannya.
"Aku bawain kamu jus biar kamu adem dikit."
"J-j-jus?"
Ares tergugu. Lalu melihat pada satu gelas tinggi yang berada di atas nampan itu. Tampak isinya bewarna kuning oranye. Terlihat menyegarkan.
"Oh ...." Ares mengangguk. "Jus ...."
Senyum di wajah Elai masih bertahan ketika jari-jari tangannya yang lentik itu meletakkan gelas berisi jus jeruk di atas meja. Tubuhnya sedikit menunduk. Dengan teramat sengaja memberikan pemandangan yang 'tampak, tapi tak tampak' untuk Ares. Sontak saja membuat jakun cowok itu naik turun.
"Kamu suka jeruk peras kan?"
Mata Ares mengerjap. "Iya. Saya suka meras jeruk."
"Eh?"
Ups!
"Ehm!"
Ares mendehem. Mengalihkan pandangan matanya dari dada Elai menuju ke gelas jeruk. Ia menunjuk.
"Iya. Saya suka jeruk peras."
Elai tersenyum. Meraih telunjuk Ares, lalu menuntunnya untuk menunjuk ke titik yang seharusnya.
"Jeruk perasnya ini," kata Elai. "Yang kamu tunjuk barusan bukan jeruk peras."
Ups!
Ares kembali mendehem. Mengumpat di dalam hati.
Lagian dia sih.
Masuk-masuk langsung bahas cuaca panas dan peras memeras.
Sebisa mungkin Ares lantas fokus pada gelas jeruk peras itu. Ketimbang ia memikirkan jeruk peras lainnya kan?
"Ehm ... terima kasih."
Masih belum beranjak, Elai mendekap nampan berbentuk lingkaran itu di dadanya. Tampak menunggu Ares mencicipi minuman segar itu.
"Gimana rasanya?" tanya Elai ketika Ares meletakkan kembali gelas itu di atas meja. "Enak?"
Ares mengangguk. "Iya .... Pas banget dengan cuaca siang ini."
"Tuh kan. Apa coba aku bilang," kata Elai dengan nada bangga di suaranya.
Mendengar perkataan Elai, Ares hanya meresponnya dengan kembali angguk-angguk kepala. Bagaimanapun juga, Ares berusaha untuk fokus melihat pada air jeruk peras di gelasnya itu.
Timbang aku pengen ngeliat air jeruk perasnya Elai kan?
"Ares ...."
Dahi Ares seketika berkerut. Rasa-rasanya telinganya sedikit gatal ketika mendengar ada kesan mendayu-dayu di suara Elai ketika memanggil namanya. Mendorong dirinya untuk sontak mengangkat wajah. Melihat pada gadis itu dengan sorot bingung. Karena kalau Ares perhatikan, sepertinya sikap Elai siang itu terasa sekali berbeda.
Ehm ....
Kalau mau dipikir-pikir lagi, kenapa sikap dia siang ini beda ya?
Ngantar jeruk peras?
Ares berusaha sekuat tenaga untuk tetap melihat pada gelasnya, alih-alih melihat yang lain.
Itu jelas sekali bukan tipe Elai.
Apalagi tadi pagi kami udah cek-cok gitu.
Ehm ....
Kamu harus hati-hati, Cel.
Jangan terkecoh sama jeruk peras Elai!
Eh?
Ma-ma-maksudnya air jeruk peras!
Menarik napas dalam-dalam, Ares berusaha untuk menenangkan dirinya dan mengenyahkan jeruk peras dari pikirannya. Tapi, yang terjadi justru lebih fatal lagi ketika aroma wangi nan manis itu merasuk ke lubang hidungnya. Menyentuh titik-titik saraf penciumannya dan membuat ia berdebar.
Gila!
Selain pake baju anti panas, dia juga pake parfum?
Mata Ares mengerjap-ngerjap.
Padahal cuma mau ngantar air jeruk peras ke kamar aku?
Ini pasti ada yang nggak beres ini.
Ingat, Cel, ingat.
Tawanan yang mau dieksekusi mati selalu dikasih makan yang enak-enak dulu.
Baru deh dibunuh.
Tapi, kalau algojonya secantik Elai, siapa yang mau menolak?
Ya salam!
"Kamu ... lagi sibuk ya, Res?"
Suara Elai membuyarkan pertarungan logika di benak Ares. Membuat mata cowok itu untuk kembali mengerjap-ngerjap. Menggeleng.
"Nggak kok."
"Oh ...."
Elai melirih. Dengan menahan nampan di dadanya, gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya di atas meja. Terarah pada Ares. Tangannya terulur dan jari telunjuknya menyentuh kacamata Ares sedikit.
"Kamu pake kacamata."
Ares ikut-ikutan menyentuh sekilas kacamatanya. "Aaah ...," lirihnya pula. "Ini cuma biar jelas ngeliat jeruk pe---"
Mata Elai mengerjap-ngerjap.
"Biar mata nggak pedih ngeliat laptop lama-lama maksudnya," ralat Ares cepat.
Astaga ini mulut!
"Oh ...."
Lagi-lagi Elai melirih dengan penuh irama.
"Tapi, aku nggak ngangguin kamu kan ya?"
Ya Tuhan.
Fix!
Ini pasti ada yang nggak beres!
Kali ini, ketimbang memikirkan jeruk peras, Ares justru memikirkan sikap Elai yang benar-benar berbeda siang itu. Hingga bukan hal yang sulit bila pada akhirnya cowok itu fokus.
"Nggak kok."
Tapi, Ares belum bisa meraba apa yang sedang disembunyikan oleh Elai. Dan untuk itu, Ares pun mengultimatum dirinya untuk lebih waspada.
Jangan lengah cuma gara-gara jeruk peras!
"Ehm ...."
Mendehem, Elai lantas menggerakkan kakinya setelah terlebih dahulu meletakkan nampan tak jauh dari gelas. Melangkah pelan mengitari meja. Dan seketika hal itu membuat Ares tersadar akan sesuatu. Terburu-buru ia menutup laptopnya sebelum Elai bisa melihat lebih jelas lagi.
"Kamu lagi ngerjain sesuatu ya?" tanya Elai seraya menghentikan langkah kakinya di dekat Ares. "Tadi aku ngeliat kayak ada grafik gitu."
"Oh ah ...." Ares berpikir dengan cepat. "Sa-sa-saya sambilan jadi joki ujian, Non."
Astaga!
Ingin sekali rasanya Ares memukul dahinya.
Alasan yang bagus banget.
Joki ujian coba!
"Aaah ...." Elai angguk-angguk kepala. "Ckckck. Anak-anak zaman sekarang emang gitu ya. Disuruh kuliah tinggi-tinggi eh yang ujian malah orang lain."
Kaku, Ares tertawa.
Sumpah!
Ini Elai kenapa sih?
Sambil merutuk, Ares melirik. Pada Elai yang sekarang di dekatnya.
Gila!
Parfumnya wangi banget.
Satu sentuhan di pundaknya, membuat rutukan demi rutukan yang Ares umpatkan di dalam hati, berhenti. Ekor matanya bergerak. Mendapati jari-jari lentik Elai telah mendarat di sana.
"Oh, Tuhan!"
Tapi, tak lama mendarat, Elai justru terkesiap seraya menarik kembali tangannya. Sontak saja membuat Ares bangkit karena kaget.
"Nona kenapa?"
Elai mengangkat wajahnya seraya meremas kedua tangannya di depan dada. Menampilkan raut wajah yang tampak meringis-meringis manja.
"Otot kamu keras banget, Res."
Dooong!
Ares melongo.
Nyaris mulutnya menganga.
Eh?
Sungguh!
Rasa-rasanya Ares mau garuk-garuk dinding saking syoknya.
"Kamu pasti rajin olahraga ...."
Mata Ares menunduk. Melihat bagaimana jari telunjuk Elai kini justru menyentuh dadanya. Seketika saja membuat cowok itu menahan napas.
"Kamu sering olahraga apa?" tanya Elai seraya membawa jari telunjuknya bergerak abstrak di atas dada Ares yang bidang. "Kamu keliatan kuat ...."
Glek.
Kuat banget malah!
Apalagi kalau untuk berurusan dengan jeruk peras!
Ares mendehem. "Ehm ... saya cuma sering kardio saja, Non."
"Dengan otot seperti ini?" tanya Elai tak percaya. "Mustahil."
Jakun Ares naik turun. Mudah-mudahan saja ia tidak tersedak jakunnya sendiri. Ckckckck.
"Du-du-dulu saya sering latihan pencak silat."
"Waaah ...."
Elai menutup mulutnya yang menganga lantaran takjub. Manik di matanya tampak berbinar-binar.
"Kamu pasti beneran kuat ...."
Ya malah dibahas lagi.
Ini Elai kalau butuh bukti, ya ngomong aja kali.
"Oh ...." Ares mengerjap-ngerjap salah tingkah. "Ya ... bisa dibilang gitu, Non."
Argh!
Bener-bener deh ini.
Elai kenapa sih?
Apa salah makan?
Eh, tapi kan yang beli makan tadi aku.
Harusnya aku juga udah nggak beres kayak dia juga dong.
Lalu tangan Elai pelan-pelan turun. Perlahan gadis itu menampilkan seuntai senyum yang dipercantik dengan sepasang lesung pipi yang mengapitnya.
"Seumur hidup ...," katanya kemudian. "Kayaknya aku nggak pernah ketemu cowok kayak kamu, Res."
Ares melongo. "Ya?"
"Kamu ... benar-benar cowok yang sempurna."
"Uhuuuk!"
Refleks saja Ares batuk. Memalukan, tapi jujur saja. Ares kaget. Tidak pernah mengira bahwa Elai akan memuji dirinya seperti itu secara teramat gamblang.
Mendapati respon Ares yang terkejut, Elai justru tersenyum. Mengusap-usap dada Ares demi mendamaikan batuk itu.
"Aku nggak salah ngomong kok. Mau dilihat dari mana pun juga ...," lanjut gadis itu dengan suara yang masih terdengar mendayu-dayu. "... kamu itu benar-benar tipe cowok idaman aku banget."
Hah?
Nyaris saja bola mata Ares copot dari tempatnya ketika mendengar perkataan itu.
Sejak kapan aku jadi tipe cowok idaman Elai heh?
Sejak Naruto nikah dengan Kak Ros?
Tapi, Ares tidak benar-benar menyuarakan pertanyaan itu. Alih-alih, ia justru menegang ketika mendapati Elai melangkah. Memang hanya satu kali sih, tapi sudah cukup mengikis jarak di antara mereka.
Glek.
Elai tersenyum. Kali ini jari telunjuknya berpindah tempat. Menyentuh jakun Ares yang tampak naik turun dengan gelisah. Dan layaknya keadaan Ares belum mengenaskan, maka gadis itu kembali berkata.
"Ehm .... Tinggi, ganteng, atletis, berwawasan, dan pintar bela diri. Kamu puas cuma jadi bodyguard aku?"
Mata Elai berkedip-kedip menggoda.
"Jadi penjaga cinta aku aja ... gimana?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro