Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Bukan Tanpa Alasan

"Kakak nggak habis pikir. Sebenarnya apa yang udah kamu lakuin sampe bisa meyakinkan Elai buat mau nikah sama kamu? Apalagi nikah dalam hitungan hari."

Kala itu, Olivia yang telah kembali ke Indonesia tidak mampu menahan rasa penasarannya. Hingga ia pun menyempatkan waktu untuk mengunjungi Marcel di rumah orang tuanya. Ah, sebagai pemberitahuan saja. Setelah tragedi perang sapu tempo hari, Marcel pun lantas mengantarkan Elai kembali ke rumah orang tuanya sementara dirinya juga melakukan hal yang serupa. Marcel menganggap bahwa Elai tentu harus bersiap menyongsong hari pernikahannya. Begitupun dengan dirinya. Dan sekarang, empat hari menjelang pernikahan mereka, Marcel mendapati kunjungan Olivia di sela-sela kesibukan yang sedang ia urus.

"Ehm ...," dehem Marcel untuk beberapa saat dengan sekelumit senyum yang tak mampu ia tahan. "Ya ... anggap aja Elai capek ngindarin aku."

Jawaban yang tentu saja tidak memuaskan rasa penasaran Olivia. Alih-alih percaya, cewek itu justru tampak menyipitkan matanya. Melayangkan sorot curiga yang berujung pada satu dugaan.

"Elai nggak lagi hamil kan?"

Mata Marcel membesar seketika. Langsung horor dengan tuduhan berkamuflase pertanyaan itu. Maka buru-buru ia menjawab.

"Nggak, Kak. Elai nggak hamil."

Mendengar jawaban itu, Olivia pun lantas mengembuskan napas panjang seraya mengusap dadanya. Sementara Marcel tampak mesem-mesem seraya tanpa sadar menggerutu dengan suara rendah.

"Boro-boro ngehamilin dia, lah aku belah duren aja belum. Bahkan aku aja belum tau itu Duren Bangkok, Duren Medan, atau mungkin Duren Tembaga."

Olivia menatap Marcel. "Kamu ngomong apa?"

"Eh? Nggak, Kak, nggak. Nggak ngomong apa-apa," kata Marcel cepat seraya cengar-cengir. "Diminum dulu, Kak, tehnya. Keburu dingin."

Dan selagi Olivia mengalihkan perhatiannya pada secangkir teh hangat yang sudah disajikan dari tadi, Marcel pun mengembuskan napas panjangnya. Lega.

Sementara Olivia, jelas sekali bahwa perbincangan singkat dengan calon adik iparnya itu membawa sedikit ketenangan baginya. Setidaknya ia yakin bahwa Marcel memang tidak main-main terhadap Elai. Dan ketika ia pulang, ia pun langsung menemui Elai yang kala itu tampak termenung seorang diri di balkon kamarnya. Pandangan matanya tampak kosong dan Olivia sih tidak heran sama sekali.

"Kamu pasti gugup ya?" tanya Olivia seraya duduk di satu kursi yang tersedia di sana. Berpaling pada adiknya yang tampak bersantai di kursi malas. "Sebentar lagi udah mau nikah sama Marcel."

Tak langsung bicara, Elai justru mengembuskan napas panjangnya sejenak terlebih dahulu. Dan ia merasa tak ada gunanya untuk mengelak dari hal yang satu itu. Kepalanya mengangguk sekali.

"Aku masih nggak percaya aja kalau aku dan dia bakal nikah dalam hitungan hari yang singkat ini."

Olivia tau pasti itu. "Tapi, tenang aja. Gugup pernikahan itu hal yang biasa. Semua orang juga ngalaminnya."

Tampak tak menganggap perkataan itu berarti, Elai justru melirik Olivia dengan tatapan malas. Lalu ia menukas.

"Kayak Kakak yang udah pernah nikah aja. Nyata-nyata malah aku duluan yang nikah."

Tawa pun langsung meledak dari bibir Olivia. "Orang-orang ngomong gitu. Lagipula katanya gugup menjelang pernikahan itu justru hal yang bagus. Menurut mereka itu artinya kedua mempelai emang saling cinta."

Demi mendengar satu kata itu, sontak saja mata Elai mengerjap-ngerjap. Tampak gamang hingga Olivia pun terusik untuk menanyakan sesuatu pada sang adik.

"Kamu ... cinta sama Marcel kan?"

Akhirnya ia mendapatkan pertanyaan itu. Dan Elai memejamkan matanya sekilas. Napasnya mengembus perlahan. Lalu seraya bangkit dari posisi malasnya, ia menekuk kedua lututnya. Memeluknya dan mendaratkan kepala di puncaknya.

"Cinta? Entahlah, Kak."

Olivia terkekeh sekilas. "Nggak tau gimana perasaan kamu sama Marcel, tapi Kakak tau pasti kalau Marcel beneran cinta sama kamu. Ya ... seenggaknya itu hal yang bagus sih. Cewek pasti bakal bahagia kalau hidup dengan cowok yang cinta dia, bukan sebaliknya."

Mata Elai melirik sekilas.

"Walau memang yang lebih bagus itu kalau saling cinta sih," lanjut Olivia lagi. Lantas, dahinya tampak berkerut. "Tapi, kayaknya mustahil banget kamu mau nikah sama Marcel kalau kamu nggak cinta sama dia. Kayak kamu yang bisa dipaksa aja."

Elai membuka mulutnya. Tampak ingin bicara, namun hanya gerakan abstrak tanpa suara yang Olivia dapatkan. Maka dari itu Olivia lanjut berkata.

"Orang dari dulu juga kamu selalu dekat dengan Marcel kok. Ehm ... apa ini semacam cinta masa kecil?"

"Kak, please," lirih Elai lesu. "Siapa yang cinta Marcel? Siapa juga yang dari dulu selalu dekat dengan dia?"

Kali ini Olivia yang menampilkan ekspresi bingungnya. Hingga ia menatap lekat-lekat pada Elai untuk beberapa saat lamanya. Dadanya tampak mengempis ketika mengembuskan napas panjang.

"Bukannya dari kecil kamu dan Marcel emang terus sama-sama ya? Dia selalu ngirimin kamu SMS tiap hari dan kamu nggak pernah tuh marah-marah kalau dia ngubungin kamu. Malah yang ada justru sebaliknya kan?" tanya Olivia dengan ekspresi polosnya. "Waktu dia mendadak nggak ngubungi kamu lagi gara-gara ngelanjutin sekolah di luar, kamu justru bingung nyariin dia. Bahkan selama semingguan kamu nggak mau makan, Lai."

Elai tertegun. Nyaris seperti ia yang tak bisa bernapas ketika mendengarkan tiap kata yang diucapkan oleh Olivia. Layaknya sang kakak yang sedang ingin membuka ingatan Elai akan masa lalu. Terutama dengan satu kalimat selanjutnya.

"Kamu nangis sampe mata kamu bengkak loh."

*

Satu pagi di kediaman Rawnie ....

Pagi hari yang cerah. Elai baru saja bangun dari tidurnya ketika mendapati seorang pelayan masuk ke kamarnya. Membuka tirai yang menutupi jendela kamarnya. Menyilakan sinat matahari yang lembut perlahan menerangi seisi kamar Elai. Dan kemudian, Ria tampak menghampiri majikan kecilnya itu.

"Pagi, Nona. Ayo saya bantu Nona mandi."

Tak merespon perkataan sopan Ria, Elai justru memilih untuk tetap duduk di tepi tempat tidurnya. Kedua kakinya tampak berayun sekilas seraya tangannya yang menunjuk pada ponsel yang terletak di meja riasnya.

"Ambilin hp aku."

Ria menganggukkan kepalanya, langsung beranjak dan mengambil benda tersebut. Pun segera menyerahkannya pada sang majikan.

Menerima ponsel itu, Elai lantas mengerutkan dahi ketika tidak mendapati pesan masuk di sana. Satu pun tidak ada. Hingga Elai mengerutkan dahi dan langsung membuka pesan terdahulu yang masih ia simpan.

"Kok tumben nggak ada SMS dari dia? Biasanya jam enam pagi SMS dia udah masuk."

Ria yang tak mengerti memilih diam saja. Tidak ingin melakukan sesuatu tanpa mendapat perintah dari Elai. Bukannya apa, tapi Ria tidak ingin mengawali pagi harinya dengan kemarahan Elai.

"Ria."

Suara ketus Elai membuat Ria tergugah. Ia pun langsung bertanya dengan sopan.

"Ya, Non?"

Elai mengulurkan ponselnya. "Coba kamu cek. Ini hp aku rusak atau emang nggak ada SMS yang masuk?"

"Baik, Non."

Ria mengambil alih ponsel Elai. Mengecek benda itu beberapa saat dan dengan takut-takut ia berkata.

"Hp Nona nggak rusak kok. Baik-baik saja. Kayaknya emang nggak ada SMS yang masuk."

Bibir Elai tampak mengerucut, cemberut. Pun tangannya naik bersedekap di depan dada. Mengerutkan dahi, ia terdengar bersuara. Seperti ia yang bertanya pada dirinya sendiri.

"Tapi, kok pagi ini dia nggak ada ngirim aku SMS?"

Kali ini, Ria refleks bertanya. "Siapa, Non?"

Dan terang saja, lirikan tajam mata Elai langsung menyadarkan Ria bahwa dirinya baru saja kelepasan. Membuat majikan kecilnya itu mendelik.

"Mau tau aja urusan aku," kata Elai ketus. "Udah. Bantuin aku siap-siap."

Ria meneguk ludah. Mengangguk sekali dengan takut-takut seraya menyerahkan kembai ponsel itu pada majikannya. "Ba-baik, Non."

Dan sementara Ria menyiapkan pakaian dan keperluan yang dibutuhkan oleh Elai, gadis itu mengembuskan napas panjang. Turun dari tempat tidur dan menaruh ponselnya di atas nakas. Tepat sebelum ia beranjak dari sana, Elai menatap lekat pada benda itu untuk beberapa saat. Satu suara terdengar di benaknya, menenangkan dirinya.

Mungkin dia lagi habis pulsa.

Mungkin nanti siang dia bakal ngirim SMS.

Begitulah hal yang Elai katakan pada dirinya sendiri sehingga ia pun memutuskan untuk memulai hari itu layaknya hari-hari biasanya. Namun, ketika siang datang, Elai menyadari sesuatu.

SMS dia nggak ada lagi.

Siang ini dia juga nggak ngirim aku SMS?

Maka Elai yang sudah terkenal dengan predikat bukan anak yang manis nan penurut, melampiaskan kemarahannya. Membanting piring makan siangnya yang tersaji di atas meja.

"Siapa sih yang masak nggak enak kayak gini?! Bisa masak nggak? Kalau nggak bisa masak ya nggak usah kerja lagi!"

Teriakan itu langsung menarik perhatian semua asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Elai. Bahkan Olivia yang baru pulang dari sekolah terpaksa mengurungkan niatannya yang ingin langsung ke kamar. Menghampiri Elai yang tampak memarahi semua asisten rumah tangga mereka.

"Elai, kamu kenapa?" tanya Olivia dengan tatapan horor melihat semua kekacauan yang diperbuat adiknya itu. Pecahan piring, gelas, dan juga berbagai macam makanan berhamburan di lantai. "Kenapa makanan dibuang-buang begini?"

Elai tampak mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dengan mata yang memerah, ia berkata dengan nada mengadu.

"Mereka masak nggak enak, Kak. Aku nggak mau makan makanan yang nggak enak."

Olivia tersenyum, berusaha menenangkan adiknya itu. "Gimana kalau tunggu Kakak ganti pakaian? Terus kita makan di luar?"

Tak mengatakan apa-apa, Olivia justru menganggap hal itu sebagai bentuk persetujuan Elai. Maka ia pun bergegas pergi ke kamarnya setelah terlebih dahulu meminta Ria untuk membantu adiknya bersiap. Ia berganti pakaian dan lantas mengajak Elai untuk makan di restoran. Tapi, baru saja sesuap makanan itu masuk ke mulutnya, Elai tampak meludahkan makanan tersebut.

"Ih, nggak enak."

Padahal jelas sekali, Olivia tau restoran yang mereka masuki bukanlah restoran sembarangan. Tidak ada makanan yang tidak enak bila tempat makan itu sudah berlabel bintang lima.

Namun, layaknya seorang kakak yang sayang pada adiknya, Olivia berusaha untuk membujuk Elai. Mengajaknya berpindah tempat. Walau jelas, respon sang adik ternyata tidak berubah.

Dan ketika malam itu, setelah berhari-hari Olivia melihat bagaimana Elai yang tidak nafsu makan, ia berniat untuk menghubungi kedua orang tuanya. Bermaksud untuk mengabarkan hal itu. Namun, ia justru mendapati Elai yang terisak padanya. Gadis kecil itu masuk ke kamarnya dengan pipi yang basah karena air mata.

"Loh? Kamu kenapa nangis? Kamu kangen Mama dan Papa?"

Olivia mengajak Elai untuk duduk bersamanya di tempat tidur. Berusaha untuk menenangkan adiknya. Namun, yang ia dapati justru tangisan Elai yang makin meledak. Berikut dengan gelengan kepalanya.

"Aku nggak kangen Mama dan Papa," jawab Elai sambil terisak. Bahunya tampak berguncang berulang kali. "Nggak, Kak."

Tangan Olivia mengusap pipi Elai yang terasa dingin. "Terus kenapa kamu nangis?"

Kembali berusaha menahan sesegukannya yang kian parah, Elai tampak merogoh saku roknya. Mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan benda itu pada Olivia. Sang kakak tampak mengerutkan dahi dengan ekspresi bingung. Menduga bahwa Elai menangis dan akhir-akhir ini murung gara-gara ponselnya rusak, ia justru dibuat terhenyak ketika mendengar Elai berkata dengan terisak lagi.

"Kenapa Kura-Kura Gosong itu nggak SMS aku lagi, Kak? Padahal tiap hari dia selalu kirimin aku SMS."

Olivia mengerutkan dahinya. "Kura-Kura Gosong?" tanyanya semakin bingung. "Siapa dia?"

Mengerutkan bibirnya, berusaha untuk menahan isakannya, Elai menjawab. "Marcel, Kak. Marcel."

"Ehm ... mungkin pulsa dia habis, Lai. Atau hp-nya lagi rusak."

"Masa dia nggak bisa beli pulsa? Udah mau seminggu dia nggak bisa beli pulsa? Nggak bisa ganti hp?"

"Ehm ... itu ...." Olivia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan. "Minggu besok kamu bukannya ada acara dengan teman-teman kamu? Gimana kalau kamu tanyain langsung sama dia aja?"

Untuk pertanyaan itu, ajaib sekali. Air mata yang meleleh dari mata Elai pun langsung berhenti. Bergantikan binar-binar kebahagiaan. Walau jelas, ketika ia datang di acara yang kali itu diselenggarakan di rumah Alice, ia tidak mendapati keberadaan Marcel di mana pun. Hingga pada akhirnya Alice berkata pada Elai.

"Marcel udah pergi. Dia ke luar negeri buat belajar. Dan itu pasti gara-gara kamu. Kamu yang ngebuat dia pergi. Kamu selalu ngejek dia. Selalu buat dia sedih. Kamu itu jahat. Kamu itu nggak seharusnya berteman dengan Marcel."

Pada saat itu, Elai hanyalah anak kecil yang baru berusia tujuh tahun. Jarang didampingi orang tua. Hanya ada seorang kakak yang berusaha untuk mengerti dirinya. Dan wajar sekali bila pada akhirnya Elai merasa tertampar untuk satu hal yang pernah ia katakan pada Marcel.

"Kamu mau aku pergi?"

"Emangnya kenapa kalau aku mau kamu pergi?"

"Kalau aku pergi ..., kamu nggak akan rindu aku?"

Karena ada kesimpulan yang langsung terpateri di benaknya.

Marcel pergi gara-gara aku.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro