Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Demi Ungkapan

Ketika pada akhirnya Elai mendapatkan kembali udara, maka itu di saat dirinya sudah merasa teramat payah. Napas terengah-engah. Dada naik turun dengan gelisah. Tapi, Elai tau dengan pasti bahwa semua itu belum cukup sampai di sana.

Melepaskan jari tangannya yang lentik dari helaian rambut itu, Elai memejamkan matanya untuk beberapa saat. Lalu tangannya bergerak. Meraba dinding yang saat ini menahan dirinya.

Mata Elai membuka. Tampak tidak fokus menatap ke sekeliling. Bolanya bergerak dengan liar. Tak tau melihat ke mana. Dan mungkin saja ... tidak peduli. Karena jelas sekali, di saat itu dirinya benar-benar merasa gamang dengan semua sensasi yang menyelimutinya. Dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, semuanya terasa ... asing.

"Mar ... cel ...."

Dan dibutuhkan banyak kekuatan bagi Elai untuk mampu melirihkan nama itu ketika ada bibir yang mencumbu lehernya dari tadi!

Hanya saja, lirihan yang teramat pelan dengan suara yang terbata itu, nyatanya memiliki kekuatan yang sangat ampuh untuk mampu menghentikan semua penjelajahan yang bibir itu lakukan di kulit Elai. Semua terjeda, begitupun dengan dua tangan yang tengah meremas bokong sang gadis. Berhenti bergerak. Tergantikan oleh perkataan yang terdengar tidak kalah seraknya dengan suara Elai tadi.

"Iya, Lai. Ini aku, Marcel."

Dan pada titik itu, sang cowok yang akhirnya merasa tidak mampu lagi meneruskan sandiwaranya pun menyerah. Menanggalkan semua topeng yang ia bangun selama dua bulan belakangan ini. Hingga dengan mantap ia kembali berkata.

"Aku Marcel."

Mata Elai mengerjap, tepat ketika Marcel mengangkat wajahnya. Sedikit menarik diri demi bisa melihat pada manik sang gadis. Bola yang bening itu tampak berkabut. Tapi, juga terlihat menyiratkan kebingungan yang tak terungkapkan oleh kata-kata.

Wajar.

Sangat wajar.

"Kamu---"

Namun, ketika pengakuan Marcel membuat Elai akan berbicara kembali, mendadak saja kedua tangan cowok itu naik. Menangkup wajah Elai dan membawanya untuk menatap lurus pada matanya. Marcel memaku dengan lekat pada retina Elai. Menahannya untuk beberapa saat demi bisa mengatakan sesuatu yang ia tahan sejak pertama kali mereka bertemu.

"Aku kangen kamu, Lai," ungkap Marcel dengan suara yang teramat lirih. Terdengar begitu penuh perasaan. "Astaga. Aku benar-benar kangen kamu."

Elai membeku. Nyaris bingung dengan semua yang sedang terjadi padanya kala itu. Bahkan Elai sendiri tidak yakin apa yang sedang berlangsung adalah kenyataan, atau justru mimpinya saja. Tapi ..., satu rasa sesak yang menghimpit dadanya, membuat ia sadar bahwa semua adalah kenyataan.

"Marcel?" Mata Elai mengerjap. Terasa panas. "Kamu---"

Hanya saja, lagi-lagi ucapan Elai harus terputus. Karena kembali, Marcel yang terpana melihat wajah merona gadis itu, tak mampu menahan desakan dirinya sendiri untuk kembali menciumnya.

Kedua tangan Marcel yang semula berhenti bergerak, kembali mengambil inisiatifnya. Langsung menarik pinggang itu. Untuk mendaratkan tubuh Elai yang sudah tidak berdaya untuk menempel erat pada tubuh sang cowok.

Bibir Marcel menemukan kelembutan bibir Elai yang ia cari-cari. Dan sementara ia memuaskan dorongan dirinya untuk mencium sang gadis dengan tanpa ampun, ada kedua tangan Elai yang kembali bergerak-gerak tak tentu arah. Memegang dinding di belakang tubuhnya. Mencoba untuk bertahan. Memalukan, tapi Elai berani bersumpah bahwa lututnya terasa goyah saat itu.

Memejamkan matanya, Elai nyaris putus asa ketika merasakan bagaimana Marcel mencium dirinya dengan teramat lincah. Ia yang tak pernah berciuman sebelumnya, benar-benar bisa dikatakan pasrah saja ketika mendapati Marcel memanggut bibirnya dengan teramat dalam. Ingin mengurai ciuman itu pun rasanya tak mungkin. Bukan hanya karena Elai yang merasakan tubuhnya seperti tak ada kekuatan lagi, tapi lebih dari itu. Buaian bibir dan tangan yang Marcel berikan padanya membuat ia merasa ... candu.

Ini layaknya seorang anak yang baru pertama kali menyentuh air pantai. Mulanya, mungkin akan takut. Tapi, setelah sentuhan pertama terjadi, maka bukan lagi ketakutan yang ada. Alih-alih adalah keinginan untuk merasakan yang lebih lagi. Alamiah sekali.

Maka mungkin karena itulah mengapa tak butuh waktu lama bagi Marcel untuk mendapati bibir Elai yang lantas merekah. Membuat ia semakin leluasa untuk melumat bibir atasnya. Lalu berpindah untuk memanggut bibir bawahnya. Dan menggoda sudut bibir itu dengan ujung lidahnya yang hangat. Hanya untuk mendengarkan suara erangan Elai yang refleks melantun dari tenggorokan sang gadis.

Lantas suara itu menyulut ego Marcel. Mendorong dirinya untuk melakukan hal yang lebih lagi. Seperti menikmati lekuk tubuh Elai yang ramping, misalnya.

Diawali oleh satu isapan kuat yang Marcel berikan pada lidah Elai yang hangat nan kenyal, Marcel lantas menuntaskan pemujaannya pada bibir gadis itu. Alih-alih meneruskan ciuman mereka, sekarang Marcel berinisiatif untuk melakukan hal lainnya. Sesuatu yang sempat terjeda beberapa saat yang lalu. Ketika Elai menyebut namanya.

Bibir Marcel membuka. Terasa basah dan hangat di kulit Elai yang telah meremang. Pelan-pelan berpindah. Dari bibrnya menuju ke pipinya. Lantas perlahan turun ke bawah. Menyusuri sisi rahangnya dan bermuara pada kejenjangan leher Elai yang menggoda.

Marcel terdiam untuk beberapa detik. Tidak melakukan apa-apa selain menjaga bibir dalam jarak yang tak seberapa dari kulit leher Elai. Lalu ... dada Marcel terasa membuncah ketika udara yang ia hirup membawa serta aroma khas milik gadis itu. Terasa feminin, lembut, dan juga ... menggoda. Membuat Marcel tak mampu menunggu lebih lama lagi. Hingga lantas bibirnya pun mengecup sisi leher gadis itu. Hingga tangan Elai yang semula memegang dinding, langsung berpindah ke pundak cowok itu. Meremas dengan dorongan yang tak mampu ia tahan lagi.

"Aaah ...."

Pun termasuk erangannya, juga tak mampu Elai tahan. Terutama ketika ia merasakan bagaimana sepasang tangan Marcel telah berpindah ke mana-mana. Menyusuri lekuk tubuhnya di berbagai tempat.

Ketika Elai menahan napas saat merasakan jari-jari Marcel yang meremas bokongnya, di detik selanjutnya ia justru mengerang tatkala mendapati jari-jari itu telah berpindah. Menyusup dari tepian baju santai yang ia kenakan. Lalu ... jari tangan yang terkesan besar dan kuat itu menyentuh kulit perutnya yang polos.

Udara terasa bagai berkumpul di perut Elai. Seperti membuat kekacauan yang menyebabkan dirinya merasa pusing. Elai ... benar-benar tidak mampu bertahan lagi.

Dan beruntung bagi gadis itu. Karena ketika Elai berpikir bahwa dirinya akan jatuh limbung dalam hitungan detik yang teramat singkat, Marcel mengambil inisiatifnya. Cowok itu, entah bagaimana bisa menahan dirinya untuk tidak menjelajah kulit Elai lebih ke bawah lagi dengan bibirnya, meraih tubuh Elai. Memegang pinggang sang gadis dengan mantap di kedua sisinya.

Sedikit, Marcel menarik wajahnya dari Elai. Hanya untuk memberikan embusan napasnya yang hangat demi membelai sang gadis. Lantas, tangannya bergerak. Menuntun Elai untuk melingkarkan kedua kakinya di seputaran pinggang cowok itu.

Mengikuti insting alamiahnya, Elai pun lantas mengalungkan kedua tangannya di leher Marcel. Dan ketika Elai berpikir bahwa dirinya bisa menarik udara sebanyak yang ia inginkan, maka di saat itulah gadis itu harus kecele. Karena jelas. Sedetik Elai melayang dalam gendongan Marcel, di detik selanjutnya cowok itu kembali menarik bibir Elai dalam ciumannya. Dan tangan kokoh yang menahan punggung serta tekuknya, membuat Elai tak bisa mengelak sedikit pun.

Menahan tubuh Elai di gendongannya, mencium bibir gadis itu, dan berusaha melangkah, setidaknya adalah tiga hal yang mampu dilakukan oleh seorang Marcel dalam waktu yang bersamaan. Bagaimanapun juga, ketika Marcel memutuskan untuk menggendong Elai, ia tidak berpikir sedikit pun untuk menjeda sentuhannya pada sang gadis. Dan kalaupun memang sempat sedikit saja terbersit keinginan untuk menjeda, maka semua pasti buyar saat ia mendapati bagaimana intimnya gadis itu melekat padanya hingga membuat dirinya merasa seperti terbakar.

Tidak pelan-pelan, namun tetap berjalan dalam langkah yang aman dan stabil, Marcel dengan teramat mudah mendorong pintu kamar Elai. Pintu yang sempat tertutup lantaran perdebatan mereka tadi, membuka. Menyilakan cowok itu untuk masuk bersama dengan sang pemiliknya yang masih hanyut dalam gendongan tersebut.

Membiarkan pintu untuk menutup dengan sendirinya, Marcel lantas membawa Elai menuju ke satu tempat yang tak perlu ditanyakan lagi. Itu adalah tempat tidur. Dan hanya butuh dua detik yang teramat singkat bagi kedua anak manusia untuk kemudian mendarat di kasur yang empuk itu.

Marcel menjatuhkan tubuh Elai di tempat tidur, berikut dengan dirinya pula. Dan pantulan halus kasur membuat ciuman mereka terputus. Menciptakan jeda yang langsung membuat keduanya saling menatap dalam kebisuan. Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Hanya ada deru napas yang terdengar. Sahut-menyahut. Silih berganti. Seperti berlomba sedang menghirup udara.

Elai meneguk ludah. Dengan wajah yang terasa panas, pipinya pun terlihat merah merona. Hal yang menarik Marcel untuk membawa tangannya naik. Memberikan belaian seringan bulu pada sisi wajah sang gadis. Merapikan sejenak rambutnya yang acak-acakan.

"Ma-Marcel ...?"

Mata Marcel mengerjap pelan sekali. Retinanya yang semula fokus pada helaian anak rambut Elai, pindah seketika saat mendengar suara lirih itu menyebut namanya. Membuat ia kembali menatap pada sang gadis. Yang tampak tak berdaya berada di bawah tubuhnya.

Marcel tersenyum. "Ya, Lai. Ini aku, Marcel."

Lalu, entah apa yang dipikirkan oleh Elai ketika pada detik selanjutnya tangan gadis itu naik. Jemarinya yang lentik, dengan kesan takut-takut, tampak ingin menyentuh wajah itu. Dahinya berkerut. Seperti masih bingung.

"Kamu ... bukan Ares?"

Senyum di wajah Marcel berubah menjadi geli sedikit. "Tentu aku juga Ares," katanya. "Marcello Alfarezi. Arez." Matanya berkedip lagi sekali. "Ares."

Ekspresi wajah Elai menjadi berubah. Tak terbaca. Bahkan lebih dari itu, untuk pengakuan yang baru saja ia dengar, Elai merasa dirinya seperti tidak percaya.

Hanya saja, mengabaikan rasa bingung yang mungkin masih tersisa di benak Elai, cowok itu lantas menarik napas dalam-dalam. Menciptakan suasana yang meremangkan bulu kuduk keduanya. Terutama karena selanjutnya, Marcel menundukkan kembali wajahnya. Kembali menikmati bibir Elai dalam satu ciuman yang dalam. Dan kali ini, dengan kenyataan bahwa mereka sudah berada di tempat tidur, maka menjadi hal yang teramat mudah bagi Marcel untuk menjelajahi tubuh Elai sepuas hatinya.

Elai memejamkan matanya. Berusaha untuk berpikir, namun tidak bisa. Ciuman dan rabaan yang ia terima benar-benar melemahkan otaknya. Nyaris, tubuhnya seperti tak berdaya menghadapi tiap sentuhan yang Marcel berikan.

Hingga kemudian, ketika jari tangan Marcel berhasil mengeluarkan satu kancing kemeja yang Elai kenakan, cowok itu menarik diri sejenak. Hanya untuk membuat Elai membeku dengan satu pertanyaan.

"Kamu mau kan nikah dengan aku?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro