Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Yang Terbiasa

Tau dengan pasti bahwa Ares tidak akan berhenti menggedor pintu kamarnya, pun dengan mengatakan banyak hal yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling, Elai pun memutuskan untuk tidak meladeninya.

"Pokoknya aku nggak bakalan pergi dari sini."

"Aku pergi dari sini berarti kamu siap nikah sama Marcel."

"Kalau kamu belum mau nikah sama Marcel, berarti kamu harus siap tinggal sama aku."

Sudah tidak terungkapkan dengan kata-kata lagi bagaimana ekspresi di wajah Elai. Kesal, suntuk, geregetan, ah .... Pokoknya warna warni semuanya lengkap.

Untung bukan warna warni semuanya indah.

Dasar cowok resek!

Menggeram seraya menutup telinganya dengan kedua tangannya, Elai beringsut sedikit dari pintu. Mata menatap pada daun pintu yang bergerak-gerak dari tadi, namun jelas tidak akan terbuka.

Selama pintu terkunci, aku aman dari cowok gila itu.

Elai mundur. Masih dengan sepasang mata yang menatap pada pintu, gadis itu berpikir di benaknya.

Biarin deh dia ngabisin tenaga teriak-teriak di depan kamar aku.

Sampe pita suara dia putus aja sana.

Elai mendengkus. Beranjak dari sana seraya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Ibu jarinya bergerak di atas layar sentuh itu, lalu bergumam.

"Sok ngatur aku buat ngeblokir nomor Marcel lagi. Dia nggak tau kalau Marcel pun bisa ngubungi aku pake nomor lainnya? Ih. Buat capek aja blokir-blokir dia."

Menaruh ponsel itu di atas nakas, Elai lantas menoleh lagi. Mendapati bagaimana Ares yang masih juga menggedor kamarnya sembari berteriak banyak hal padanya. Geram, pada akhirnya dengan kedua tangan yang terkepal di sisi badan, Elai balas berteriak.

"Kamu nggak pergi sampe malam ntar, awas aja! Beneran aku usir kamu!"

Selesai meneriakkan hal itu, dengan jalan hentak-hentak kaki, Elai beranjak menuju ke kamar mandi. Tak peduli Ares akan melakukan apa saja di depan pintu kamarnya, ia melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Menggantinya dengan satu jubah mandi yang tersedia di sana dan lantas menyiapkan air hangat beraroma wangi di bak mandi. Sejurus kemudian, Elai pun menyantaikan pikirannya dengan berendam.

Bermain-main dengan busa yang memenuhi tubuh polosnya di dalam air itu, Elai pun merebahkan kepalanya di bantalan bak. Mendengarkan alunan musik yang sengaja sekali ia putar sebelum kegiatan berendamnya dimulai, seolah saat itu tak terjadi apa-apa pada dirinya. Sementara hal yang sangat berbanding terbalik, jelas terjadi pada Ares yang masih berusaha membuka pintu kamar Elai.

Ares menarik napas dalam-dalam. Tangannya yang mengepal, yang akan menggedor lagi, turun. Dengan keringat yang bercucuran di wajahnya, cowok itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat untuk beberapa saat lamanya.

"Ah, jadi kamu beneran nantangin aku ya? Beneran nantangin ya sekarang ini? Ehm ... oke oke oke. Awas aja kamu ya."

Ares beranjak dari sana. Dengan langkah yang besar dan terburu-buru, cowok itu menuju ke kamarnya. Membuka pintunya dengan kasar, pun begitu pula ketika ia menutupnya. Uh! Untung sekali gedung itu tidak sampai roboh karenanya.

Ares langsung mengambil ponsel yang selalu ia sembunyikan di dalam laci meja kerjanya. Dengan cepat menekan kontak Elai. Walau ia ragu bahwa panggilannya akan diangkat, tapi Ares mencoba. Dan hanya untuk membuktikan kebenaran dari keraguannya tadi.

Maka dari itu, Ares pun lantas beralih mengetik pesan untuk cewek itu.

[ Elai ]

[ Aku dengar, katanya kamu udah siap buat nikah dengan aku. ]

[ Benar? ]

Ares menunggu, tapi dua centang abu-abu di sana belum berganti warna. Membuat ia berdecak kesal dan nyaris meradang.

"Kenapa dia belum baca chat aku? Biasanya juga cepat banget."

*

Satu hari di restoran bintang lima ....

Elai menyipitkan matanya ketika melihat seorang anak cowok tampak mendekatinya dengan ekspresi takut-takut. Kala itu, Elai yang duduk seorang diri lantaran pengasuhnya yang pergi demi mencarikan kue coklat kesukaannya, tampak mengernyitkan dahinya. Dengan terang-terangan menunjukkan raut tak suka dengan kehadiran itu.

"Ngapain kamu ke sini, Kura-Kura Gosong?"

Tentu saja, tidak ada anak cowok lainnya yang mendapatkan julukan seperti itu. Hanya ada seorang. Dan itu pastilah Marcel.

Marcel tampak berusaha tersenyum. Dengan dasi kupu-kupu yang melingkari lehernya, bocah itu seperti kesusahan untuk menahan senyumnya di saat ia ingin menarik napas dalam-dalam. Hal yang membuat Elai mencibir pada perut buncitnya yang terlihat sesak.

"I-i-itu ...."

Elai mengerutkan dahi. Menunggu dengan tak sabar hingga ia mendelik. "Apa sih? Ngomong itu yang jelas!"

Tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, tangan Marcel tampak merogoh saku celananya. Mengeluarkan satu ponsel Nokia tipe 6600. Salah satu ponsel yang tergolong masih baru dan merupakan benda mewah untuk kalangan masyarakat di tahun 2003. Jelas, tidak semua orang bisa memiliki benda itu. Apalagi anak yang masih berusia sepuluh tahun.

Tampak tak terlalu tertarik dengan ponsel itu, Elai hanya melirik sekilas. Toh dirinya juga memiliki benda yang serupa. Alih-alih, gadis kecil itu lantas kembali melihat pada Marcel.

"Kenapa?" tanya Elai dengan nada sinis. "Mau pamer hp? Aku juga ada loh ya."

"Bu-bu-bukan," jawab Marcel buru-buru dengan gagap. Ia tampak menggeleng berulang kali dengan ekspresi salah tingkah. Mengabaikan hiruk-pikuk teman-teman mereka di sana, Marcel menarik napas dalam-dalam. "B-b-boleh aku tau nomor hp kamu?"

Mata Elai sontak saja membesar. Melotot hingga lagi-lagi membuat Marcel meneguk ludah. Menahan napas dan merasakan bulir keringat melintasi sisi wajahnya yang tembem.

"Eh? Emangnya kamu siapa? Mau tau nomor hp aku? Hah! Nggak mau!"

"Ta-tapi, kita kan teman, Lai. Jadi ya ... aku boleh tau nomor hp kamu kan?"

Bibir bawah Elai memberikan cibiran selama lima detik lamanya. Ditutup dengan lidahnya yang menjulur. Memberikan cemoohan yang membuat Marcel jadi melirik ke kanan dan ke kiri bergantian. Menyadari bahwa beberapa pasang mata teman-teman mereka tampak tertarik pada mereka. Diam-diam melihat seraya berbisik-bisik.

Menyadari itu, mau tak mau, refleks saja Marcel mengeluh di dalam hati.

Ha-harusnya aku memang nggak nekat.

Elai nggak mungkin mau ngasih tau aku nomor hp dia.

Tapi ....

Tapi ....

Marcel menarik napasnya. "Tapi, kan kamu baik, Lai. Ya ... jadi aku mau tau nomor hp kamu. Biar aku bisa ngirim SMS ke kamu."

"Huh!" dengkus Elai. "Nggak mau. Aku nggak mau temenan sama anak jelek kayak kamu."

Mata Marcel yang terkesan sipit lantaran kedua pipinya yang teramat berisi, tampak mengerjap-ngerjap. Rasa-rasanya sih wajahnya seperti sedang terbakar oleh rasa malu. Tapi, entah mengapa kakinya belum ingin beranjak dari sana. Masih bersikeras untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Elai lantas mengangkat sebelah tangannya. Menggerakkannya berulang kali dengan wajah yang tampak semakin kesal, mengusir Marcel.

"Udah deh. Pergi sana. Aku males banget deket-deket dengan anak jelek."

Namun, Marcel bergeming. Tangannya masih mengulurkan ponsel miliknya itu. Belum ingin menyerah. Bahkan ketika Elai turun dari kursinya, beranjak dari sana demi menghindari Marcel, ternyata cowok itu justru mengikutinya.

"Kamu ini beneran mau buat aku marah?!" bentak Elai. "Aku bilangin nggak mau ya itu artinya nggak mau."

Marcel berusaha untuk mengimbangi langkah kaki Elai. Tapi, sungguh. Perutnya yang buncit dan tubuhnya yang memang sangat berisi membuat ia tak mampu berjalan secepat Elai yang memiliki sepasang kaki yang panjang dan tubuh yang lebih ringan.

"Tuan. Tuan Muda."

Pada akhirnya, Sinta yang dari tadi mencari keberadaan majikan kecilnya, menemukan Marcel. Menghampiri bocah itu dan menghentikannya yang masih berniat untuk mengejar Elai.

Marcel tampak kesal pada Sinta. "Mbak, bentar. Aku mau ngejar Elai."

Sinta menoleh ke arah mata Marcel melihat. Pada Elai yang berada di seberang ruangan. Gadis kecil yang sore itu tampak cantik dengan gaun bewarna biru muda itu tampak mencibir pada Marcel. Lalu lidahnya menjulur. Dengan teramat terang-terangan mengejek pada Marcel. Hal yang tentu saja membuat Sinta menjadi geram.

"Tuan ngapain sih masih mau main dengan Non Elai?" tanya Sinta tak habis pikir. "Dia itu anak nakal, Tuan. Pokoknya saya nggak mau ngeliat Tuan dekat-dekat dengan dia lagi."

Marcel memilih diam saja. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membantah perkataan pengasuhnya. Namun, tidak membantah bukan berarti menuruti. Nyatanya, pada pertemuan beberapa hari kemudian, Marcel kembali bersikeras mendapatkan nomor ponsel Elai.

Elai mendelik. Berkacak pinggang. "Kamu ini udah jelek, nggak tau diri lagi. Udah aku bilangin, aku nggak mau temenan dengan anak jelek kayak kamu."

"Kalau SMS, kamu nggak lihat wajah aku kok, Lai. Ya? Aku minta nomor hp kamu?"

Begitulah yang terjadi untuk beberapa hari selanjutnya. Marcel tetap berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, yaitu nomor ponsel Elai. Dan untuk pertama kalinya, saat itu Elai menyadari sesuatu.

Biasanya anak-anak yang pada lari kalau ada aku.

Kenapa sekarang malah kebalik?

Kenapa malah aku yang lari dari Marcel?

Tentu saja itu membuat Elai kecil menjadi berang. Hingga puncaknya adalah acara di pesta ulang tahun Alice. Teman mereka yang sempat Elai buat nangis di kolam renang tempo hari. Ketika orang sibuk menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, maka ada Marcel yang sibuk menyodorkan ponselnya pada gadis itu.

Geram, tak mampu menahan emosinya, pada akhirnya Elai menyambar ponsel itu dari tangan Marcel. Membuat cowok itu kaget, tapi matanya pun lantas berbinar-binar. Itu adalah ketika Elai berkata padanya. Walau dengan nada mengancam.

"Kamu sampai ngasih tau nomor aku ke orang lain, awas saja."

Marcel langsung tersenyum lebar. Mengangguk-anggukkan kepalanya dengan begitu semringah. Terutama ketika dilihatnya bagaimana Elai yang mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana.

Memiliki tipe yang sama, Elai melihat nomor ponselnya di dalam sana sebelum menyalinnya di ponsel Marcel. Setelahnya, dengan wajah ketus cewek itu mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.

"Mulai sekarang," kata Elai dengan penuh penekanan. "Jangan pernah ngekorin aku lagi!"

Dan hal yang sebenarnya terjadi selanjutnya adalah ... Marcel memang tidak lagi mengekori dirinya. Alih-alih beralih dengan mengirimi gadis kecil itu pesan setiap harinya.

[ 3Lai Edelai ]

[ ()"" ') ]

[ ( ,'0') ") ]

[ (,,) ) ]

[ Boneka bilang, chelamat pagi. ]

Itu pasti Marcel kirimkan ketika ia bangun di pagi hari. Sebelum kakinya turun dan menginjak lantai, pesan itu akan ia pastikan sudah terkirim pada Elai. Dan ia menunggu, tapi tidak ada balasan yang ia dapatkan. Hanya saja, bukan berarti Marcel menjadi kecil hati. Karena sisi positifnya akan berkata.

Ah, mungkin siang ntar bakal dibalas Elai.

Maka meluncurkan pesan di siang harinya. Tepat sebelum Marcel turun dan bergabung dengan keluarganya untuk makan siang, ia akan memastikan pesan itu sudah terkirim pula. Juga, setiap hari.

[ 3Lai Edelai ]

[ '***' ]

[ ' " ]

[ ( -_- ) ]

[ >')('< ]

[ Malaikat kecil temanin Elai mamam ciang. ]

Dan ketika pesan siangnya juga tidak dibalas, maka pesan malamlah yang membuat Marcel berharap. Walau jelas sekali, pesannya memang tidak dibalas.

[ 3Lai Edelai ]

[ __// __ ]

[ > ' '< ]

[ Bintang akan temenin Elai bobok. ]

Pun sebelum Marcel menutup mata, ia akan memastikan bahwa pesannya terkirimkan pada Elai. Setidaknya, ia membuat ia tidur dengan senyum yang lebar di wajahnya.

Dan semua itu menjadi rutinitas yang tanpa disadari melekat pada keduanya. Ada Marcel yang senantiasa mengirimi Elai pesan. Juga ada Elai yang selalu mendapatkan pesan dari Marcel. Hingga pada hari itu tiba, di saat Marcel harus mengikuti perkataan orang tuanya. Belajar di luar negeri dengan serangkaian peraturan yang harus ia turuti. Pada saat itu, maka menghilanglah semua rutinitas yang mewarnai kehidupan mereka. Terlalu mendadak. Hingga menimbulkan satu pertanyaan di benak gadis kecil nan jelita itu.

"Kenapa dia mendadak nggak ngirim SMS lagi?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro