Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Efek Samping

Alih-alih bertindak, Elai saja merasa bahwa dirinya sudah tiba di titik di mana otaknya tidak bisa berfungsi dengan baik seperti biasanya. Gadis itu seperti yang mendadak kehilangan otak di dalam kepalanya. Berakibat fatal sehingga ia tidak bisa berpikir seperti biasanya. Mungkin ... kalau akal sehat masih ia miliki, sepertinya sih Elai pasti akan kabur dari tadi. Ehm ... mungkin. Karena mau bagaimanapun juga, tatapan mata Ares seolah memiliki kekuatannya sendiri untuk memaku gadis itu. Hingga persis seperti patung, yang jangankan bisa berlari, bahkan sekadar untuk bergerak sedikit saja ia tak bisa.

Ck. Menyedihkan.

Mata Ares tak berkedip. Menatap lurus, membidik pada manik Elai yang bening, pelan-pelan semakin mengikis jarak di antara mereka berdua. Seiring dengan tangannya yang perlahan membawa jari lentik Elai di tangannya untuk ... turun.

Ekspresi tegang seketika tercetak di wajah Elai seiring dengan semakin turunnya tangan gadis itu dibawa oleh Ares. Ujung kukunya menyentuh lekukan otot perut Ares, sekilas. Dan itu saja sudah membuat ia meneguk ludah. Hingga satu pertanyaan itu pun melintas di benaknya.

Gi-gi-gimana kalau jadinya aku sampe beneran ...?

Namun, pertanyaan itu secepat kilat buyar. Lenyap. Tepat ketika ujung kuku Elai menyentuh benda lainnya. Kali ini berakibat pada membolanya mata Elai. Yaitu satu benda yang terkesan elastis.

Ups!

Karet pinggang celana dalam Ares.

"Aaah!"

Satu pekikan langsung pecah! Mengikuti keterkejutan Elai untuk satu sentuhan yang membuat ia berjingkat panik. Pun saking begitu paniknya, sampai membuat Ares terkesiap kaget. Bingung. Dan tau-tau, Elai sudah tidak ada di hadapannya lagi.

Elai lari. Meninggalkan Ares yang melongo di tempatnya berdiri. Lalu, cowok itu terkekeh geli.

*

"Aku pasti udah gila!"

Tak hanya merutuki dirinya sendiri, tapi Elai juga meremas rambutnya dengan frustrasi. Bahkan saking geramnya ia dengan dirinya sendiri, ia pikir rambutnya akan terbetot lepas dari kulit kepalanya. Sedikit berlebihan mungkin, tapi memang segila itu kegeraman yang Elai rasakan saat ini. Nyaris membuat ia berpikir untuk segera menghubungi poli jiwa dalam waktu dekat. Karena jelas ... Elai merasa tak berdaya dengan bayangan yang masih kerap menghantui dirinya itu walau jelas hari telah berganti!

Sial!

Nyaris telah tiga malam berlalu dari kejadian di sore itu, tepat ketika secara tidak sengaja –atau mungkin sedikit sengaja sih-, ujung kuku Elai menyentuh satu gundukan yang ....

"Iiih!"

Elai sontak merinding. Meraba tekuknya dan merasakan bagaimana rambut-rambut halus di sana berdiri semua.

Rambut ....

Elai tertegun. Eh, seketika saja ia teringat sesuatu.

"Sembarangan kamu ngomong punya aku rambutan. Ini bukan rambutan yang rambutnya panjang ke mana-mana. Ini namanya kiwi! Dengan ukuran yang lebih besar dan rambut yang lebih rapi."

Mata Elai sontak memejam. Meringis dan melirih singkat.

"Astaga ...."

Dengan kedua tangan yang sontak naik ke atas kepalanya, gadis itu berusaha mengenyahkan apa pun bayangan yang terekam di benaknya akan hari itu. Tapi, sialnya! Otaknya justru melakukan hal lainnya. Alih-alih membuyarkan ingatan tersebut, yang ada justru sebaliknya. Otaknya malah mempermainkan si empunya dengan menampilkan sosok Ares yang ....

"Aku emang sudah gila!"

Hanya saja ... bagaimana coba? Tampilan Ares tanpa baju dengan celana yang setengah membuka, jelasss ... sekali tertancap kuat di ingatannya. Dan jujur saja, seumur hidup, baru kemaren Elai melihat secara langsung tubuh pria seperti itu. Selama ini kan pengalaman Elai hanya sebatas drama di Viu saja. Atau ya ... paling parah sih saat ia menonton Michele Morrone di Netflix.

"Tapi, mari kita berikan tepuk tangan yang meriah pada Ares. Karena berkat dia, bahkan Michele Morrone di 365 Days atau Rege-Jean Page di Bridgerton pun hilang dari ingatan aku," desis Elai seraya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. "Oh, tidak. Siapa itu Morrone? Siapa itu Page? Astaga. Kenapa yang aku ingat cuma Ares dan celana dalam merahnya?"

Rasanya sih menjengkelkan untuk gadis itu, terutama kalau ia ingat akan sesuatu lainnya. Yaitu hal yang selalu terbayang tatkala ia melihat ujung jari telunjuknya. Jari yang sempat menyentuh---

"Astaga! Kenapa rasanya agak kayak pisang mengkal gitu? Omo, Tuhan. Kenapa aku jadi mesum gini?"

Detik selanjutnya, bukan hal yang aneh bila mendapati Elai mencak-mencak di atas tempat tidur. Memukul bantal, menggigit bed cover, atau bahkan menggeliat-geliat hingga seprainya berantakan.

"Tok! Tok! Tok!"

Tiga ketukan halus di pintu kamarnya membuat kegilaan Elai berhenti. Buru-buru ia bangkit duduk, melihat ke arah pintu dan berseru demi bertanya.

"Apa?"

Tak menunggu waktu lama, terdengar suara Ares yang balik bertanya pada dirinya.

"Kamu mau makan apa malam ini, Lai?"

Elai meringis. Meraih bantal dan memeluknya. "Godok-godok pisang, balado terong, dan acar timun."

"Ya? Apa? Aku nggak dengar."

Namun, Elai tidak menggubris perkataan Ares. Alih-alih ia justru merasa jengkel sendiri.

"Bisa-bisanya itu cowok datang ke kamar aku pas aku lagi ngebayangin dia?"

Menunggu dan tidak mendapati suara Elai yang membalas perkataannya, membuat Ares kembali mengetuk pintu kamar itu. Kembali memanggil.

"Lai? Kamu kok nggak jawab? Kamu kenapa? Baik-baik aja kan di dalam?"

Malas, tapi Elai tetap menjawab. "Iya, aku nggak apa-apa."

"Tapi, kok suara kamu kedengaran lesu kayak gitu?"

"Nggak apa-apa, Res."

"Nggak. Kamu pasti kenapa-napa. Aku masuk."

"What?!"

Mata Elai melotot. Ingin melarang, tapi cepat sekali pintu kamarnya terbuka. Hal yang akan diingat oleh cewek itu nanti. Ia akan mengunci pintu kamarnya atas bawah.

Segera masuk, Ares membiarkan pintu untuk tetap terbuka. Alih-alih menutupnya. Cowok itu tampak bergegas menghampiri Elai yang terlihat acak-acakan di atas tempat tidur.

"Kamu ini emang selalu nyari alasan buat bisa masuk ke kamar aku kan?" todong Elai tepat ketika Ares mendudukkan bokongnya di tepi tempat tidurnya. "Iya kan?"

Menggeleng, Ares justru melarikan retina matanya untuk mengamati keadaan Elai. Pada rambutnya yang kusut masai, ia mengusapnya perlahan. Merapikannya.

"Kamu sakit kepala?" tanya Ares. "Rambut kamu keliatan berantakan banget. Kayak abis diremas-remas."

Manyun dengan ekspresi masam di wajahnya, Elai tidak menampik ataupun membenarkan perkataan itu. Bukannya apa sih. Untuk bagian sakit kepala, Ares jelas salah. Tapi, untuk bagian seperti selesai diremas-remas, Ares tentu saja benar.

Dan mendapati Elai yang diam, mata Ares semakin menjelajah. Tapi, tenang. Kali ini bukan dalam tujuan untuk menggoda atau mempermainkan gadis itu. Alih-alih, sebaliknya. Mengira bahwa Elai tengah sakit kepala, cowok itu justru mendapati bantal yang hampir keluar dari sarungnya. Bed cover yang tampak berantakan. Juga pada seprai yang nyaris terbetot lepas dari tempatnya.

"Kamu beneran sakit?" tanya Ares kemudian dengan nada khawatir di suara. "Sekarang gimana? Masih sakit kepalanya?"

Menepis tangan Ares di kepalanya, kesan manyun di wajah cantik Elai belum pergi. Alih-alih, tampak semakin manyun.

"Emang ada yang bermasalah dengan otak aku," kata Elai pada akhirnya dengan lesu. "Tapi, bukan karena sakit kepala."

Ares menunggu. Sengaja tidak mengatakan apa-apa seraya menatap lurus pada Elai. Dan merasa diperhatikan, Elai pun mengangkat wajahnya. Lalu, astaga! Elai tertegun dengan sorot asing di mata cowok itu.

Sorot asing yang membuat Elai buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah lain. Matanya mengerjap-ngerjap dengan salah tingkah. Tapi, Elai berani bersumpah. Cowok itu tampak benar-benar seperti sedang ... khawatir.

"Kalau bukan sakit kepala ..."

Suara Ares pun lantas terdengar.

"... jadi ada apa dengan kepala kamu?"

"Kepala aku sih baik-baik aja." Elai memejamkan matanya. "Tapi, otak di kepala aku yang bermasalah."

"Eh?"

Ares bengong. Bingung, tapi Elai justru tampak beringsut. Turun dari tempat tidur dan mengembuskan napas panjang. Sekilas matanya melihat pada jam dinding.

"Aku mau ke mall, Res."

Perubahan topik yang sangat mendadak. Tapi, Ares tak menolak. Alih-alih justru bertanya.

"Mau makan malam di luar?"

Elai mengangguk. "Sekalian aku mau beli hp baru."

"Aaah ..." Ares manggut-manggut. "Karena kamu ngomong soal hp, aku kayaknya baru sadar deh. Selama ini kamu nggak ada megang hp kayaknya."

Elai hanya mengembuskan napas panjangnya sekali. "Ya gitu deh. Makanya aku jadi semacam orang purba yang nggak tau tentang perkembangan dunia."

"Hp kamu ke mana emangnya?"

Santai, Elai melangkah menuju ke meja riasnya. Meraih sisir dan menjawab dengan begitu entengnya. Seperti tanpa dosa.

"Aku kasih ke sopir taksi. Waktu aku kabur dari pesta Marcel," jawabnya. "Karena aku nggak ada duit buat bayar ongkos ya ... jadinya aku bayar pake hp aja."

Kali ini Ares yang memejamkan matanya dengan dramatis. "Segitunya kamu mau melarikan diri dari Marcel."

"Iya," setuju Elai. "Segitunya."

Elai tampak menyisir rambutnya. Lantas, melalui pantulan di cermin ia melihat Ares yang masih duduk di tempat tidurnya. Mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu ia mengembuskan napas panjang. Membuat Elai mengerutkan dahinya.

Kenapa wajah dia mendadak keliatan kusut gitu?

Namun, tak benar-benar menyuarakan pertanyaan itu, Elai justru menanyakan hal lainnya pada Ares.

"Kamu mau sampe kapan duduk di situ? Buruan kamu siap-siap. Anter aku ke mall."

Suara Elai membuat Ares mengangkat wajahnya. Walau sekarang wajah tampan itu tampak lesu, tapi ia tetap mengangguk seraya bangkit. Lalu, ia pun beranjak tanpa mengatakan apa pun lagi pada Elai.

Dan melihat Ares yang akan keluar dari kamarnya, membuat Elai langsung menuju ke lemari pakaian. Berniat untuk mencari baju ganti, tapi eh ... telinganya samar mendengar suara cowok itu lirih berkata.

"Emang semua cewek kayak gini ya? Apa pun sakitnya, shopping adalah obatnya."

*

Tak butuh waktu lama, Elai dan Ares sudah berada di dalam lift. Keduanya tampil santai malam itu. Dan walau saling tak mengatakan apa pun selama lift itu perlahan turun melewati lantai demi lantai, nyatanya kedua anak manusia itu seringkali tertangkap basah saling melirik melalui pantulan samar dinding lift. Ckckckck.

Mengembuskan napas panjang, Ares lantas sedikit berpaling. "Kamu ada yang mau diomongin sama aku?" tanyanya. "Entah kenapa, tapi perasaan aku ngomong kalau kamu ada sesuatu yang mau dibilangin ke aku."

Elai buru-buru geleng kepala. Karena pada kenyataannya, ia memang tidak punya sesuatu untuk dikatakan pada cowok itu. Alih-alih, ia hanya ingin memendamnya sendiri.

Wah!

Kebiasaan ngeliat dia pake kaus, aku justru nggak ngira kalau dia cakep juga pake kemeja lengan pendek kayak gini.

Maka jangan heran kalau Elai kembali melirik. Dan ups! Tertangkap basah lagi deh oleh Ares. Elai pun buru-buru bersandiwara kalau tengah melihat running text yang berjalan di atas pintu lift. Membuat Ares geleng-geleng kepala karenanya.

Dan ketika pintu lift terbuka, seraya melangkah keluar, Elai menyempatkan waktu untuk melirik sekali lagi sebelum fokus dengan lantai parkir di depannya. Dalam hati ia bergumam.

Ehm ....

Pake kemeja lengan pendek aja dia cakep gini.

Apalagi kalau pake kemeja batik kali ya?

Atau justru keliatan kayak bapak-bapak ya?

Ehm ....

Tapi, kayaknya emang lebih cakep kalau nggak---

Lalu, kaki Elai sontak berhenti melangkah. Membuat Ares kaget dan bingung. Tapi, itu tidak melebihi rasa kaget dan bingung yang mendera Elai. Di saat itu, ia baru menyadari sesuatu.

Ya ampun.

Ini kenapa aku jadi mikirin dia terus sih?

Mendadak berhenti, Elai nyaris melupakan bahwa ada Ares di dekatnya. Cowok itu langsung meraih tangan Elai. Sekarang, dahi cowok itu tampak berkerut.

"Kamu sakit kepala lagi?"

Tergugu sejenak, Elai lalu geleng-geleng kepala. "Nggak kok, Res, nggak."

Mengembuskan napasnya, Ares sedikit membungkukkan tubuhnya demi bisa menjaga garis lurusan tatapan mata mereka berdua. Sepasang retina cowok itu menatap lurus pada manik Elai yang bening, tapi ia tak mengatakan apa pun. Seolah sedang berusaha untuk menangkap kalau ada sedikit saja kebohongan cewek itu.

"Bener?"

Elai mengangguk kaku. Tanpa sadar kakinya beringsut mundur sedikit. Berusaha menciptakan jarak.

"Be-bener," kata Elai gagap. "Yang sakit itu otak aku."

Belum beranjak dari posisinya, Ares semakin bingung mendengar jawaban Elai. Bukannya apa, tapi saat itu Ares sudah berpikir untuk segera membawa Elai ke dokter.

"Otak ... kamu sakit?" tanya Ares hati-hati. "Itu bukan kayak kamu yang mendadak gila kan?"

Mungkin, di lain waktu Elai akan menghajar Ares karena mendiagnosanya seperti itu. Tapi, untuk kali ini, cewek itu hanya menggeleng. Dengan mata yang tak berkedip. Menatap lurus ke depan. Pada ... celah gelap yang ditimbulkan oleh kerah kemeja Ares.

Itu dada ....

Glek.

"Kalau kamu nggak mendadak gila, terus kenapa otak kamu sakit?" tanya Ares lagi. "Emangnya kamu kebanyakan mikir?"

Aneh, dengan pencahayaan yang kurang, rasa-rasanya mata Elai masih bisa sedikit menyusup ke balik lekukan kerah kemeja Ares. O oh! Samar terlihat ... ada sesuatu yang sempat ia cubit tempo hari.

"Kayaknya ... aku emang kebanyakan mikir deh."

Kerutan di dahi Ares kali ini benar-benar tidak tertolong lagi. "Mikir apa?"

"Kamu."

Lalu, hening.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro