
5b. Tanggung Jawab (2)
Tentu saja Asha naik darah mendengarnya. "Terserah! Kalau kamu nggak mau ketemu orang tuaku, biar aku yang datangi papamu!"
Khandra sangat terganggu dengan ancaman itu. Bila Asha sampai menemui ayahnya sendirian, hukumannya pasti akan lebih berat. "Heh! Orang tua itu!" gerutunya.
"Jangan kamu pikir aku nggak berani datangi papamu, Ndra!" ancam Asha dengan nada tinggi.
Khandra mendengkus dengan keras. Sudah lama ia menyimpan dendam pada ayahnya. Ia belum lupa bagaimana lelaki itu menggandeng gadis cantik, bahkan berganti-ganti. Khandra sempat menguntit dan mendapati sang ayah menyambangi perempuan dan tidur di rumahnya beberapa malam. Padahal lelaki itu pamit dinas luar kepada ibunya. Kalau bukan selingkuh, apa lagi? Mereka bahkan telah mempunyai bayi.
"Khandra!" tegur Asha. "Kita harus cepat menikah. Aku nggak mau anak ini lahir tanpa ayah."
Khandra menatap nanar. Ia belum lulus. Bagaimana membiayai istri dan anak? Meminta dari ayahnya? Ah, ia tak sudi. Kalaupun punya simpanan, banyak yang ingin dilakukan dengan uang itu. Menikah dan membiayai keluarga bukan termasuk rencana pengeluarannya.
Sebuah ide melentik dalam benak. Ia kembali ke meja Asha, lalu mencondongkan tubuh mendekati gadis itu.
"Dengar-dengar ada klinik yang bisa—"
"Bisa apa?!" Asha memekik. Ia sangat terluka. Ternyata Khandra sedangkal itu.
Melihat reaksi Asha yang keras, nyali Khandra menciut sebesar biji bayam. "Ah, kupikir masalah ini bisa selesai dengan lebih mudah kalau—"
Air mata Asha runtuh. "Kamu pengecut! Jangan ngaku laki-laki kalau nggak berani ngakui anak sendiri!"
Asha tidak menunggu lebih lama untuk mendengarkan penjelasan Khandra. Ia segera memanggil angkot dan pergi dari situ. Tujuannya jelas, rumah Khandra.
❈❈❈
Sebulan kemudian, setelah Khandra babak belur dipukuli ayahnya, mereka menikah secara sederhana disaksikan kerabat terdekat di kediaman orang tua Asha di Malang. Sehari setelah pernikahan, mereka kembali ke Surabaya, namun tidak diperkenankan tinggal di rumah orangtua Khandra. Ayah mertua Asha begitu murka sehingga tidak mau melihat wajah sang putra. Akan tetapi, ia masih cukup berbaik hati. Khandra dan istrinya disewakan rumah petak selama enam bulan dan dibantu uang saku. Setelah itu, Khandra dan Asha harus bekerja sendiri untuk hidup.
"Dasar tua bangka. Selingkuhan dimanja, anak sendiri malah disuruh tinggal di gubuk."
Keluhan dan rutukan berkali-kali keluar dari mulut Khandra. Asha sampai malas mendengarkan. Padahal rumah petak yang mereka tempati itu bagus dan elit. Bandingkan saja dengan kosannya dulu. Sangat jauh.
"Udah, jangan ngeluh. Emang nggak seluas rumahmu, tapi ini udah cukup buat kita bertiga," ujar Asha. "Tolong pindahin kardus-kardus ini."
Khandra mendengkus. "Aku haus! Aku mau cari minum!" Sesudah menukas demikian, lelaki itu pergi begitu saja. Alih-alih membantu pindahan, ponselnya dimatikan sehingga Asha tidak tahu di mana suaminya berada. Baru tengah malam ia pulang saat Asha telah terlelap kelelahan. Kejadian serupa terus terulang. Asha akhirnya harus menerima kenyataan bahwa perilaku Khandra memang seperti itu.
❈---Bersambung---❈
Cerita ini akan apdet pelan-pelan di Wattpad sampai tamat.
Buat yang sabaran, cuuus aja ke Karyakarsa atau KBM, di sana udah tamat.
Oh, ya ada paket murah meriah di Karya Karsa. Cobain, deh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro