10. Pelampiasan
Asha menjumpai Jody yang datang menjemput. Wajah rupawan itu sejenak membuatnya lupa pada kekesalan. Perawakan Jody lebih kecil dan lebih pendek dari Khandra, namun tidak ada wanita yang akan melewatkan lelaki ini karena perilaku yang lembut dan otak yang brilian.
"Hai, Sayang." Sebuah kecupan diberikan Jody saat Asha telah duduk di dalam mobil. Ia mengerling pada tas besar yang diletakkan di jok belakang. "Bawa apa itu?"
"Baju kotornya Khandra."
"Hmm, gimana kondisinya?" Sejenak, Jody ragu untuk bercakap karena air muka Asha berubah kelam.
"Ah, jangan bahas dia. Aku mau makan enak lalu tidur. Capek banget."
"Ide bagus! Makan ke tempat biasa?"
Asha mengangguk. Mobil pun meluncur ke rumah makan langganan mereka. Steak yang lembut dan gurih membuat otot-otot Asha mengendur. Tiga hari menjaga Khandra, jadwal makannya tidak karuan. Alunan live music menambah suasana relaks.
"Tiga hari nggak ketemu aku, kamu kelihatan kurus," goda Jody.
Asha tergelak. Hampir tersedak puding. Ini tawa pertama sejak tiga hari yang lalu. Selalu begini bila bersamanya. Segala hal menjadi mudah dan menyenangkan.
"Hey! Hati-hati. Aku nggak mau kehilangan kamu," lanjut pemilik perusahaan konsultan yang diwarisi dari sang ayah itu.
"Enggak. Aku masih mau menikmati hidup," balas Asha. Ia harus berterima kasih pada lelaki ini. Boleh dibilang, dialah penyelamat hidup setelah Khandra tidak dapat diharapkan untuk memberikan nafkah secara cukup.
Setelah ibunya bersedia tinggal di Surabaya untuk membantu menjaga bayi, Asha mati-matian menyelesaikan kuliah. Berkat ketekunan dan kerja keras, saat Tama berusia tiga bulan, ia lulus. Mungkin semesta berbaik hati memberikan jalan. Ia berjumpa dengan Jody saat mengurus ijazah. Kakak kelas tiga tingkat di atasnya itu tengah mendaftar untuk melanjutkan S2. Tahu mahasiswi berbakat itu telah lulus, Jody segera menawarkan pekerjaan. Tentu saja, Asha tidak menyiakan kesempatan itu.
Pulang ke rumah, Asha membicarakan kabar baik itu pada suaminya. Jawaban Khandra dingin.
"Ya udah. Kalau gitu kamu nggak butuh uangku lagi."
"Apa? Kamu kepala rumah tangga. Masa nggak menafkahi?"
Khandra pergi dengan harga diri terluka. Bagaimana bisa, Asha lebih dulu wisuda dan bekerja, sedangkan dirinya bahkan masih terseok revisi tugas akhir? Entah apa yang terjadi. Mungkin karena tidak mau kalah, empat bulan kemudian, Khandra wisuda dan kemudian bekerja pula di sebuah kantor kontraktor hingga saat ini.
Keuangan mereka membaik. Mereka bisa keluar dari kontrakan dan membeli rumah yang lebih layak. Akan tetapi, di kantor itu pula Khandra berjumpa Krisan dan mulai bertingkah aneh. Ah, kalau sudah teringat perempuan itu, Asha ingin segera berpisah.
"Kerjaan gimana?" tanya Asha.
Jody mengangkat bahu. "Sepi nggak ada kamu. Untung ada anak magang. Lumayan, bisa bantu-bantu."
"Aku mau tidur malam ini. Habis itu aku selesaiin, deh."
"Santai aja. Tenggatnya masih jauh, kok."
Senyum Jody selalu sanggup meluluhkan kekesalan. Lelaki sebaik ini, mengapa terlambat dijumpai? Padahal Jody kakak tingkatnya. Bahkan anggota panitia orientasi mahasiswa baru, bersama Khandra.
Diam-diam, Asha menyesal mengapa dulu tidak ikut bergaul, atau paling tidak aktif dalam organisasi kampus. Banyak teman seangkatan yang mendapat jodoh selama memgikuti kegiatan kemahasiswaan. Kesibukan-kesibukan itu dulu ia hindari demi menyelesaikan kuliah lebih cepat.
"Habis makan kamu mau langsung pulang atau jalan-jalan?" tanya Jody.
"Langsung pulang aja, ya?"
"Oh, iya. Kamu kecapekan. Tidur di tempatku, 'kan?"
Asha berpikir sejenak. Ia harus mengambil baju ganti Khandra. "Aku diantar ke rumah aja. Kamu nggak pa-pa?"
"Nanti malam aja ke rumahmu. Sekarang ke tempatku dulu."
Asha mencibir. "Hmmm, ada yang kangen. Tapi aku mau taruh baju kotor Khandra di laundry."
"Asyiap!"
❈❈❈
Jody tinggal sendiri di sebuah rumah yang terbilang mewah dan berada di kawasan elit di bagian barat Surabaya. Asisten hanya datang setengah hari untuk bersih-bersih dan mencuci baju. Semenjak menjalin hubungan dengan sang atasan, Asha kerap menginap di sini. Boleh dikatakan rumah ini adalah tempat tinggal kedua.
Semuanya terjadi sejak Tama tiada, yaitu saat ia menyerah untuk berusaha memahami Khandra. Andai Tama masih hidup, mungkin ia akan bertahan sebagai istri yang setia demi anak itu. Biarpun Khandra seenak perut memberi nafkah dan lebih senang jalan dengan teman-temannya, ia akan tutup mata. Anggap saja hidup sendiri. Ada suami baik, tidak ada pun tak masalah. Toh ia bisa mencari nafkah sendiri.
Tama. Nasib anak tersayang itu begitu tragis. Ia bisa menahan sakit hati saat melihat Khandra jalan dengan perempuan lain. Ia masih berusaha tidak peduli saat sang suami senyum-senyum sendiri memainkan gawai yang ternyata tengah chatting dengan gadis-gadis cantik. Ia bisa menahan semua itu. Akan tetapi, bila Tama menjadi korban, ia tidak akan tunduk. Tidak sedetik pun!
"Loh, ini air mata buat apa, Sha?" Jody yang merengkuh dan menjadi alas rebahan Asha di sofa merasakan butiran-butiran bening jatuh di lengan. Ibu jarinya segera beralih ke mata sang kekasih. Menghapus dengan lembut lelehan yang ada di sana.
"Makasih," bisik Asha. "Kalau nggak ada kamu mungkin aku udah gila."
"Hmmm. Kapan kamu bisa lupain dia?"
"Aku udah lupain, kok."
Dada Jody berguncang karena terkekeh. Hanya mulut saja yang tertawa. Hati seperti ditusuk ribuan jarum pentul. "Udah lupa? Lantas air mata ini buat siapa?"
Asha mencibir dan segera menyadari bahwa air mata itu menyakiti Jody. Segera dihapusnya dengan kedua tangan. "Aku ingat Tama."
"Hmmm. Tama." Bukan bapaknya Tama, Sha? "Kapan kamu pindah ke sini?"
Asha membalikkan sehingga wajah mereka berhadapan. Hidungnya menyapa kecil-kecil hidung mancung Jody. "Ntar kalau urusan cerai udah beres."
"Kapan itu?"
"Nggak tahu. Saran Pak Daniel sebaiknya nunggu Khandra stabil. Katanya tiga bulan cukup."
"Masih lama. Khandra nggak dibawa ke psikiater lain yang bisa nyembuhin cepat?"
Bayangan Khandra yang tergolek tak berdaya dengan perban di selangkangan melintas di benak Asha. Wajah tampan Jody menjadi bias. Ah, geram rasa hatinya.
"Sssshhh! Udah, ah! Jangan ngomongin yang nggak penting. Aku butuh kamu sekarang, Codot Ganteng!"
Asha merangsek dengan ganas. Jody tidak menyiakan kesempatan. Beberapa hari tidak berjumpa membuat kangennya menggunung. Mungkin lebih tinggi dari Gunung Penanggungan[1] yang keramat itu.
Asha memejamkan mata. Setiap gerakannya seolah mengibaskan luka. Melalui embusan napas yang keras ia ingin mengeluarkan duri yang selama ini memberikan rasa nyeri. Erangannya meneriakkan bara yang tak kunjung padam.
Jody merasakan itu. Ia paham benar bila Asha hanya ingin menumpahkan sampah. Kendati tahu hanya sebagai pelampiasan, namun rasa nikmatnya membuat ketagihan. Sungguh bodoh Khandra menyiakan perempuan yang tidak hanya cerdas namun lincah di ranjang.
______________________
[1] Gunung Penanggungan terletak di Jawa Timur, di sebelah selatan Surabaya. Gunung ini dianggap sebagai tempat suci pada zaman Kerajaan Medang hingga Majapahit. Ada 116 situs bersejarah di lerengnya, salah satunya adalah Petirtaan Jalatunda, pemandian dan mata air suci yang dibangun tahun 997 M untuk menyambut kelahiran Airlangga.
☆---Bersambung---☆
Yuk follow akun WP ini dan juga IG: nataliafuradantin untuk mendapatkan info-info terbaru.😊😊😊
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro