Over Jealousy
***
"Oke, jadi semalam kau bertingkah aneh karena mimpi buruk tentang Ray?" Felicita tengah mengunyah French fries miliknya sebagai santapan siang.
Felicita dan Sarah saat ini berada di cafetaria untuk sekadar mendapatkan santapan siang pada jam istirahat.
"Ya, dan aku hanya tidak bisa mengerti mengapa mimpi itu terasa begitu nyata." Sarah mengaduk jus blackberry-nya dengan sedotan. "Kau tahu, saat ini pun aku masih terus memikirkannya." Sarah kemudian meneguk jus blackberry miliknya.
Felicita mengigit kembali French fries miliknya kemudian membiarkan makanan itu tertelan sebelum akhirnya angkat bicara. "Well, apa kau pernah mendengar istilah mimpi hanyalah bunga tidur? Atau pun jika bukan, mimpi itu sebenarnya adalah sebuah firasat?"
Sarah sebelumnya tampak seperti menelaah setiap perkataan yang diutarakan oleh sahabatnya. Namun wanita itu kini seperti menunjukkan sebuah tatapan kosong. "Entahlah."
"Baiklah. Jika kau merasa bahwa mimpimu itu hanyalah bunga tidur, kau bisa sepenuhnya melupakan mimpi itu dan kembali melanjutkan kehidupan percintaanmu dengan Ray." Tatapan Sarah kini beralih pada wajah cantik Felicita. Dirinya seperti berusaha untuk mendengarkan nasihat sang sahabat."Tapi jika kau merasakan mimpi itu seperti sebuah pertanda, tentunya kau harus berusaha untuk tetap waspada." Felicita menekankan kalimat terakhir, seperti tengah memperingatkan Sarah. "Karena kau tahu? Hari esok adalah sebuah misteri. Semua orang tidak akan pernah mengetahuinya sampai saatnya itu terjadi."
Sarah rupanya mendengarkan penuturan Felicita dengan sangat seksama. Dirinya seolah-olah merasakan suatu ketegangan yang mulai menurun. Dan apa yang dikatakan oleh Felicita memang benar."Kau benar. Aku memang tidak sepenuhnya mengetahui apa yang tengah dirasakan Ray. Entah itu cinta yang sesungguhnya atau pun tidak, tapi aku memang harus tetap berjaga-jaga." Sarah terlihat menebarkan senyum hangat pada Felicita.
"Nah, inilah sahabatku! Selalu mengerti dan mau mendengarkan semua nasihatku." Felicita memberikan sebuah kedipan mata pada Sarah, lantas itu pun mampu membuat Sarah tertawa. Felicita pun kemudian menyusul untuk tertawa bersama dengan sahabatnya.
Sarah dan Felicita saat ini mulai meredakan tawanya. Dan Sarah tampak memeriksa layar ponselnya yang ternyata tidak terdapat pemberitahuan apapun, seperti pesan singkat dari seseorang yang baginya sangat spesial. Sarah seperti mengharapkan sebuah kabar dari Ray.
"Well, apa kau tahu yang satu ini? Maksudku, aneh sekali. Sejak tadi malam hingga sekarang Ray tidak juga menghubungiku."
"Umm, entahlah. Aku tidak berani memprediksikan hal itu. Mungkin saja dia sibuk." Felicita mulai menyedot jus jeruknya.
"Atau mungkin saja dia marah padaku." Sarah menghembuskan nafas berat. "Tapi apa kau punya rencana, sobat?"
"Apa? Aku? Umm.." Felicita tampak seperti memikirkan sesuatu. "Baiklah. Aku punya selintas rencana, tapi aku tidak tahu jika ini akan berhasil atau tidak."
"Tidak apa-apa. Katakan saja! Dan jika itu tidak berhasil, selalu ada rencana B." Sarah tampak antusias mendengar rencana sang sahabat.
"Baiklah, jika itu yang kau mau. Aku akan katakan."
***
"Oh, Tuhan. Yang benar saja! Kenapa aku harus menghubunginya sementara Ray sendiri tidak menghubungiku terlebih dahulu!" Sarah tampak mengeluh ketika mengetahui ide Felicita. "Maksudku, aku hanya takut mengganggunya. Bagaimana kalau dia sibuk?"
Sekarang kedua wanita itu berada di dalam kelas, dan di sana mulai tampak sepi dikarenakan jam kuliah telah berakhir.
"Kau ingin tahu apa yang dia lakukan? Atau kau juga ingin tahu apa dia sibuk? Cobalah hubungi dia! Kau akan tahu jawabannya."
Sarah tampak menghela nafas berat. "Baiklah."
Senyuman kemenangan terpancar dari wajah Felicita, sementara Sarah tampak fokus pada ponselnya. Sarah mencari nomer ponsel Ray dan ketika berhasil ditemukan, dirinya pun segera menghubungi.
Sarah meletakkan ponselnya di telinga, berusaha mendengar apakah sambungan teleponnya terkoneksi pada milik Ray. Tak butuh waktu lama, terdengar suara sentuhan yang mengindikasikan bahwa telepon itu tengah dijawab dari kejauhan. Dan setelahnya terdengar suara khas seorang pria, yang ternyata itu adalah milik Ray.
"Halo?"
Suara sahutan Ray yang jauh di sana sepertinya mampu menciptakan sensasi gugup pada diri Sarah. Lantas gadis itu tidak segera menjawab telepon dari Ray, melainkan dirinya menutup telepon itu dengan tangannya seperti berusaha agar pembicaraan yang akan ditujukan pada Felicita tidak begitu mudahnya terdengar oleh Ray.
"Ray menjawabnya, apa yang harus ku katakan?" Sarah bertanya dengan nada hampir berbisik terarah pada Felicita.
Felicita pun entah mengapa ingin sekali merasakan tamparannya sendiri pada bagian dahi miliknya pula. "Oh, Tuhan. Angkat saja! Biarkan kata-kata itu mengalir dengan sendirinya!"
"Oke." Sarah pun mengangguk lalu menghela nafasnya lagi. Kemudian gadis itu menyingkirkan tangannya dari ponsel itu, dan mulai menempelkan kembali ponselnya itu pada telinganya."Umm, hey. Sayang, apa kau sibuk? Maksudku, kau tidak mengabariku seharian ini." Sarah tersenyum lega kemudian mengarahkan pandangannya pada Felicita yang tampak mengacungkan kedua jempol padanya.
"Oh well, maafkan aku. Hari ini memang terbilang sibuk. Tapi jika kau butuh sesuatu, kau bisa memberitahuku."
"Umm, sebenarnya aku hanya ingin kau menjemputku sekarang.. apa kau bisa?"
"Tentu. Kau masih di sana?"
"Ya, aku masih di Art Center College of Design."
"Baiklah, aku akan tiba di sana dalam 5 menit."
"Oke, jaga dirimu.." Sarah tidak melanjutkan pembicaraannya melalui telepon dikarenakan sambungannya seperti diputus secara sepihak. Dan yang memutuskan panggilannya tentu saja adalah Ray. "Well, dia akan ke sini sekitar 5 menit. Itulah yang dia katakan." Sarah menyampaikan pesan itu pada Felicita. "Lalu apa rencananya sekarang?"
"Well, rencananya adalah kita akan melakukan ini." Felicita mengeluarkan sebuah kunci mobil dan memutarkannya sembari melemparkan senyum percaya diri pada Sarah.
"Apa itu? Maksudku, apa maksudnya?" Sarah tampak heran.
"Ikuti aku." Felicita menyuruh Sarah untuk berada di belakang langkahnya.Sarah pun segera mengikuti perintah sang pemilik rencana, dirinya berjalan membelakangi Felicita, hingga pada akhirnya kedua sahabat itu telah tiba di area parkir.
"Apa? Audi R8? Apa kau bercanda?" Sarah sungguh terdengar shock ketika mendapati mobil mewah jenis Audi R8 yang sesaat lagi akan ditumpanginya bersama dengan Felicita.
"Ya, ini sungguh Audi R8 dan.. tidak! Aku tidak bercanda!" Felicita tampak memutar kedua bola matanya. "Ayo masuk." Gadis meksiko itu membuka pintu mobil dan menyuruh Sarah untuk segera masuk.
Sarah hanya bisa menuruti perintah Felicita, namun sepertinya rasa penasaran itu tidak bisa sepenuhnya tertahan. Lantas Sarah pun meledakkan beberapa pertanyaan lagi pada Felicita."Sobat, katakan padaku! Audi R8 ini.. apa ini mobil barumu? Atau pun jika bukan, lalu ini milik siapa? Bagaimana kau bisa mendapatkannya? Apa kau mencurinya?? Oh, Tuhan.."
"Sarah, kumohon berhenti!" Felicita memotong pertanyaan Sarah yang terdengar menyerang seperti tidak memiliki rem bahkan mungkin rem itu sepertinya sudah blong. Namun tetap saja Felicita bisa mengatasi pertanyaan Sarah yang tanpa rem itu dengan caranya sendiri. "Aku bisa menjawab semua pertanyaanmu secara perlahan.. Oke? Tenangkan dirimu!"
Sarah pun akhirnya diam dan hanya memberikan anggukan kepala. Lantas Felicita segera memulai penjelasannya pada Sarah. "Pertama, Audi R8 ini bukan miikku. Kedua, mobil ini milik George si menyebalkan. Ketiga, aku mendapatkan mobilnya dengan cara merayu dan.. oh Tuhan aku telah melakukan dosa hanya karenamu! Dan terakhir, aku akan menegaskan bahwa aku tidak mencuri!"Felicita menekankan kalimat terakhirnya, seperti kata penegasan bahwa dirinya tidak mencuri mobil itu. Mendengar semua penuturan Felicita, entah mengapa mampu membuat Sarah tertawa lepas."Apa? Apanya yang lucu?" Felicita menatap Sarah dengan heran. Mungkin dirinya bingung mengapa Sarah bisa tertawa karena menurut sepengetahuannya, dirinya tidak sedang melontarkan candaan.
Sarah perlahan mulai menghentikan tawanya kemudian dirinya berdeham. "Tidak ada. Hanya saja aku tidak menyangka bahwa kau seseorang yang bisa merayu?" Sarah menampakkan tawa geli kali ini, dan Felicita hanya bisa memutarkan kedua bola matanya, menyadari bahwa sang sahabat tengah meremehkan kemampuannya dalam hal merayu.
"Oke, oke, oke. Aku hanya bercanda, maksudku tentu saja aku membayar George! Seharga 50 $ dan aku bukanlah tipe wanita serendah itu yang bisa memanfaatkan keadaan dalam hal MERAYU!"
Sarah pun menghentikan tawanya ketika melihat Felicita yang tengah jengkel. "Baiklah, sobat. Aku juga hanya bercanda! Maksudku kau pastinya bisa merayu! Lihatlah, wajahmu yang cantik ini!" Sarah meletakkan kedua tangannya pada bagian pipi Felicita, membuat kedua sahabat itu saling bertatap muka. "Semua mata pasti akan tertuju padamu!" Gadis Inggris itu kemudian mengedipkan salah satu matanya.
Felicita menanggapi pujian Sarah dengan kedua bola mata yang diputar lagi. "Oh, Tuhan, yang benar saja! Bahkan perkataanku tadi tidaklah bercanda! Aku serius, sobat. Aku membayar George dengan 50 $." Felicita membuka isi tasnya kemudian tampak mengambil sebuah dompet dan menunjukkan isi dompet itu yang telah kosong pada Sarah. "Lihat, kan?"
Sarah menatap isi dompet kosong milik Felicita, dan dirinya perlahan mulai merasa yakin. "Oke, aku percaya. Tapi bagaimana bisa kau mendapatkan uang sebanyak itu?"
"Oh, Tuhan. Apakah itu sungguh sebuah pertanyaan? Maksudku jika kau terus bertanya, aku bisa menjamin bahwa perbincangan ini tidak akan pernah selesai dan.."
"Hey, lihat, itu Ray!" Sarah secara refleks memotong pembicaraan Felicita ketika dirinya melihat sosok Ray yang telah tiba di area parkir melalui kaca depan mobil Audi R8 itu.
"Oke, sekarang nonaktifkan ponselmu, sobat!" Felicita memerintah Sarah untuk melaksanakan rencana selanjutnya.
Sarah pun menganggukkan kepalanya, menaati perintah yang diberikan oleh Felicita. Lantas Sarah pun segera menonaktifkan ponselnya."Sudah." Sarah seperti memberikan sebuah pertanda bahwa dirinya telah selesai melaksanakan perintah sang pemilik rencana.
"Bagus! Dan sekarang kita amati dia!" Felicita melontarkan senyuman pada Sarah, kemudian menyuruhnya untuk menatap setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh Ray.
Sarah dan Felicita tengah mengamati setiap pergerakan yang diperbuat oleh Ray melalui kaca mobil mewah itu. Dan Ray tampak mengeluarkan ponselnya, mungkin hendak menghubungi seseorang, dan seseorang itu sepertinya adalah Sarah.Entah mengapa Sarah sepertinya penasaran tentang siapa orang yang akan dihubungi oleh Ray, lantas dirinya hendak mengaktifkan ponselnya.
"Sarah, jangan!" Felicita pun seperti mencegah Sarah untuk melakukan hal yang tidak sesuai rencana.Sarah tampak menghembuskan nafas berat ketika mendapati sang pemilik rencana yang menghentikan aksinya untuk mengaktifkan ponselnya.
"Baiklah." Lalu Sarah mengurungkan niatnya, dan segera memasukkan handphone-nya ke dalam tas.
"Well, sepertinya dia memang menghubungimu." Tatapan Felicita mengarah kembali pada Ray yang saat ini seperti tampak kesal.
"Oh, Tuhan. Sepertinya usaha kita untuk membuatnya semakin jengkel benar-benar berhasil!" Sarah terlihat menampakkan senyum sarkastik.
"Tidak apa-apa. Itu artinya rencana kita berhasil." Felicita juga tampaknya seperti tidak mau kalah dengan senyuman sarkastik itu. "Oke, kita lanjutkan rencana selanjutnya."
"Baiklah. Apa itu rencananya, bos?" Sarah terdengar seperti melontarkan candaan ketika memanggil Felicita dengan sebutan bos.
"Jadi, apa kau tahu maksud dari dua kotak pizza di kursi bagian belakang?"
"Oh, Tuhan. Sejak kapan kau memesan pizza-pizza itu?" Sarah tampak menoleh sebentar pada bagian belakang kursi.
"Well, tadi siang via pesan antar." Felicita pun tampak nyengir dengan kedua jari yang ditegakkan seperti membentuk kata peace ketika melihat kedua bola mata Sarah yang tampak membulat beriringan dengan mulutnya yang dibiarkan menganga, seperti menampilkan ekspresi shock.
"Kau gila! Pizza-pizza itu pasti rasanya tidak enak lagi!"
"Dan kau berlebihan! Pizza-pizza itu pasti hanya terasa dingin! Kau bahkan bisa saja memanaskannya terlebih dahulu di rumah Ray!"
"Oke, aku kalah lagi!" Sarah berujar sarkastik.
"Oke, bagaimana kalau sekarang kita fokus saja pada Ray dan rencananya lagi?" Felicita sepertinya tidak ingin beradu mulut lagi hanya karena masalah sepele dengan sahabatnya itu. Lantas dirinya pun segera mengalihkan keadaan pada rencana semula.
"Setuju!"
"Baiklah, sobat. Pasang sabuk pengaman karena sepertinya kita akan segera berangkat." Felicita melemparkan pandangannya kembali pada sang objek sebuah perencanaan.
Sarah pun mengikuti arah pandang Felicita terhadap Ray. Dan Ray kini telah berada di dalam mobilnya, dan sedetik kemudian Porsche biru milik Ray pun bergerak, meninggalkan area parkir tersebut.
Jalanan di petang itu untungnya terlihat lengang, tidak macet seperti biasanya. Dan itu tentunya terbilang menguntungkan untuk seorang wanita Inggris serta Meksiko dalam mengerjakan sebuah rencananya.Kedua wanita itu pun memiliki nama yang kerap dipanggil Sarah dan Felicita.
Felicita berencana untuk mengikuti sosok Ray dari belakang hanya untuk membantu Sarah dalam meluruskan masalah di antara sepasang kekasih itu. Dan mau tak mau, Sarah pun mencoba untuk menuruti rencana yang tengah berjalan itu bersama dengan sahabatnya.
Sarah dan Felicita berada di dalam sebuah Audi R8 yang tengah membuntuti sebuah Porsche biru yang dikendarai sosok Ray. Sarah kini tampak mengamati setiap pergerakan mobil Ray kemudian menginstruksikan Felicita untuk mengambil arah yang dituju oleh Ray, sementara Felicita lah yang mengemudi.
Tujuan Sarah dan Felicita kemudian terhenti pada jarak cukup jauh dari arah mobil Ray yang terlihat dihentikan pula pada sebuah rumah yang bisa dibilang tidak cukup besar. Semua itu dilakukan tentu saja agar misi yang tengah mereka kerjakan tidak segera tertangkap oleh mata Ray. Mungkin dengan kata lain agar Ray tidak mengetahui aksi mereka yang tengah membuntuti hingga tiba di rumah. Maka dari itu, Sarah dan Felicita mengambil langkah aman dengan jarak yang cukup jauh untuk memarkirkan mobil Audi R8.
"Apa itu benar-benar rumah Ray?" Felicita menaikkan salah satu alisnya ketika melihat Ray yang memasuki rumah cukup kecil tersebut, kemudian pandangannya pun diedarkan pada mobil Porsche yang dibiarkan terparkir di depan rumah, bukannya sebuah garasi.
"Mungkin saja. Mari kita coba.. Uh, maksudku biarkan aku membawa pizza-pizza ini keluar kemudian aku akan memberikannya pada Ray." Sarah tampak antusias, lantas dirinya pun segera mengambil pizza-pizza itu kemudian membuka pintu mobil itu dan mulai berjalan keluar.
"Oke, semoga berhasil, sobat!" Felicita meneriaki Sarah dari dalam mobil, berusaha menyemangatinya meskipun sepertinya Sarah tidak mendengar itu.Sarah kini tiba di luar rumah yang sepertinya adalah milik Ray sembari menghembuskan nafas untuk menghilangkan rasa gugup.
"Oke, Sarah. Kau pasti bisa! Dan semoga saja Ray mau memaafkanmu." Sarah menyemangati dirinya sendiri, kemudian ke salah satu tangannya hendak menekan bel rumah. Namun bel itu rasanya seperti tidak berfungsi, karena Sarah seperti tidak mendengar suara bel yang menggema dari dalam. Lantas Sarah menggerakkan salah satu tangannya pada pintu di hadapannya, seperti hendak mengetuk.
Ketukan itu sudah berlangsung tiga kali namun tetap saja tidak ada yang datang. Dan Sarah sepertinya belum ingin putus asa untuk melancarkan kata maafnya, lantas dirinya pun memberanikan diri untuk masuk tanpa izin ke dalam rumah itu. Sungguh berharap bahwa Ray tidak akan marah melihat kelakuan sang pacar yang terbilang sangat tidak sopan. Ya, Sarah berharap bahwa Ray akan memaklumi alasannya nanti kemudian mau memaafkannya.
Sarah terus berjalan dengan membawa dua kotak pizza di tangannya, mengitari rumah itu hingga sampailah pada sebuah ruangan yang menampilkan kedua sosok pria yang tengah duduk. Dan ruangan itu sepertinya adalah ruang keluarga. Sarah melihat sosok Ray di ruang keluarga itu, sementara sosok yang satunya lagi sepertinya Sarah tidak mengenalnya, tapi mungkin saja itu adalah teman Ray.
"Ray?" Sarah memberanikan dirinya lagi dengan menyahut nama Ray di ambang pintu ruangan itu.Seseorang yang namanya disebut pun menoleh ke arah Sarah, dan tampaknya sosok pria lainnya juga ikut menoleh.
"Sarah?" Ray tampak shock melihat kedatangan Sarah secara tiba-tiba. Namun dengan tingkah laku seorang gentleman, Ray pun berjalan menghampiri Sarah yang masih terdiam di ambang pintu itu. "Apa yang kau lakukan disini? Dan bagaimana kau tahu rumahku? Oke, maksudku tempat yang kudiami." Ray berbicara dengan nada berbisik, mungkin pria itu hanya ingin jika Sarah dan dirinya sendiri yang mengetahui pembicaraan tersebut. Dan kebetulan di ruangan itu tidak hanya ada mereka berdua, melainkan sosok pria berambut merah yang terduduk di sofa.
"Well, maafkan aku jika aku masuk tanpa izin karena kau tahu, sepertinya bel rumahmu rusak dan ketika aku mengetuk pintu, tidak ada seorang pun yang menyambut kemudian mempersilahkan masuk. Dan maafkan aku juga, tadi tidak mengangkat teleponmu karena aku menonaktifkannya. Semua ini kulakukan karena aku ingin memberimu kejutan dan.. ini dia!" Sarah menjelaskan secara panjang lebar dengan nada suara yang berbisik pula kemudian menyodorkan dua kotak pizza itu pada Ray. "Aku harap kau juga mau memaafkanku soal kemarin." Sarah kini menampakkan wajah memelas, ingin sekali dirinya mendapatkan maaf dari Ray.
Ray menanggapi penjelasan Sarah dengan tersenyum tawa pada awalnya. "Oke, oke, oke. Aku akan memaafkanmu karena aku sangat terkesan, baby." lalu Ray mencolek ujung hidung Sarah dengan ekspresi nakal sembari mengambil dua kotak pizza itu dari tangan Sarah.
Sarah pun menampakkan senyum layaknya seorang anak kecil yang bahagia ketika mendapatkan maaf dari sang ayah. "Terima kasih, sayang."
"Baiklah, kurasa kau bisa duduk di sana, sementara aku akan mengambilkanmu minum." Ray tersenyum pada Sarah, kemudian Sarah mengangguk dengan senyum balasan pada Ray. "Tapi, ingat! Kau tidak boleh duduk berdekatan dengan Isaac!"
Isaac. Jadi, lelaki itu bernama Issac! Seorang lelaki atau bahkan teman yang pernah dibicarakan oleh Ray.Sarah memang sempat menoleh ke arah Isaac setelah Ray memperingatkannya agar tidak duduk di samping lelaki berambut merah itu.
Gadis itu tak butuh beberapa detik, telah sampai di sofa yang posisinya tidak berdampingan dengan Isaac.Isaac sebelumnya tampak sibuk memasukkan beberapa foto ke dalam sebuah album berukuran cukup besar. Namun tatapannya sempat beralih pada Sarah yang hendak duduk di sofa yang tidak berdekatan dengannya.
"Hey, kau pasti Sarah." Isaac tersenyum ramah pada Sarah.
"Ya, dan kau.."
"Isaac." Pria berambut merah itu tiba-tiba memotong perkataan Sarah.
"Ya, kau pasti teman Ray." Sarah tersenyum canggung. Mungkin itu dikarenakan dirinya yang takut akan kedatangan Ray secara tiba-tiba. Dan menurut ingatannya, Ray tidak mengizinkan Sarah untuk duduk berdekatan dengan Isaac, bahkan sepertinya Ray juga tidak ingin melihat Sarah berbicara dengannya. Bagi Sarah jika hal itu terjadi, Ray sungguh sangat berlebihan. Mungkin lebih tepatnya kecemburuan sosok Ray itu benar-benar berlebihan.
"Dan kau adalah kekasih Ray." Isaac berkata dengan nada candaan di dalamnya, lantas itu pun mampu membuat Sarah tertawa kecil.
"Tepat sekali."
"Well, mungkin tidak ada salahnya juga jika kita memulai pertemanan." Isaac mengangkat bahunya dengan usulan sebuah pertemanan baru.
"Tentu. Itu terdengar bagus." Secara tidak sadar, Sarah terlihat menganggukkan kepalanya dengan sebuah senyuman terpancar.
"Jadi, apa kau punya facebook? Kurasa aku hanya akan menambahkan pertemanan di sana. Karena jika Ray tahu, aku meminta kontak ponselmu pasti dia akan membunuhku." Isaac terdengar bercanda kembali, dan itu mampu membuat Sarah tertawa lagi.
"Ya, ide bagus. Nama facebook-ku serupa dengan nama lengkapku."
"Meredith Sarah Isabelle?" Isaac terlihat mengambil handphone-nya di meja. Mungkin dirinya hendak mengirimkan permintaan pertemanan Sarah di Facebook.
"Oh, Tuhan. Bagaimana kau tahu itu?"
"Ray sering menceritakanmu. Menurutnya kau adalah wanita tercantik yang pernah ditemui." Tentu saja kalimat itu hanyalah sebuah dalih yang dibuat oleh Isaac agar Sarah tidak menyadari bahwa Isaac telah mengiriminya sebuah permintaan pertemanan beberapa minggu lalu, yang tak juga mendapat respon apapun. Dan Isaac kali ini hanya berusaha untuk berbasa-basi dengan Sarah, seolah-olah dirinya hendak menambahkannya dalam daftar pertemanan di Facebook pada hari ini. Isaac mungkin hanya berusaha untuk memberikan kode pada Sarah agar gadis itu mau dengan segera menerima permintaan pertemanannya di Facebook.
"Oh, Tuhan. Yang benar saja! Itu terdengar sangat menggelikan!" Sarah tampak tertawa geli, mendengar kata-kata rayuan itu dari mulut Isaac.
"Aku tahu itu." Sementara Isaac hanya terkekeh menanggapi tawa Sarah.
Sarah kemudian menghentikan tawanya. "Oke. Jadi, apa yang kau lakukan?"
"Memasukkan foto-foto hasil karyaku dan Ray ke dalam sebuah album seperti yang kau lihat." Isaac mulai memasukkan salah satu foto ke dalam album besar itu.
"Well, terdengar menyenangkan. Boleh aku lihat salah satu karya kalian?"
"Tentu." Isaac tersenyum dan Sarah membalas senyumannya. Kemudian pria itu menpersilahkan Sarah untuk melihat beberapa karya foto tersebut.
Sarah mulai melihat satu persatu foto-foto yang terpampang di album besar tersebut. Di awal halaman, Sarah tampak takjub dengan hasil karya foto berupa landscape yang tertera sebuah nama di bawah foto, dan nama itu adalah Isaac Hunt Sanders. Karya foto landscape itu sudah bisa dipastikan adalah hasil karya seorang Isaac.
Di halaman seterusnya, Sarah menemukan beberapa foto wanita cantik dan dirinya sempat terkejut ketika melihat salah satu gambar dirinya di sana. Di dalam foto itu, Sarah mengenakan sehelai dress biru tua serta jas putih. Dan di bagian bawah foto itu tertera nama sang kekasih, dan sudah jelas bahwa yang mengambil gambar itu adalah Ray. Perlahan Sarah mulai mengetahui bahwa di hari itu sosok mencurigakan yang seperti terasa mengambil gambar dirinya di luar apartemen adalah Ray. Si penguntit yang kini berubah menjadi seorang kekasih Sarah.
Di baris terbawah dimana terdapat foto Sarah, kemudian terlihat sesosok gadis pirang yang tertera seorang nama fotografernya. Dan ternyata seseorang yang mengambil foto gadis itu adalah kekasih Sarah. Sosok fotografer sang wanita pirang yang cantik itu adalah Ray.
Entah mengapa Sarah merasakan api cemburu di dalam dirinya ketika menemukan sosok gadis pirang itu yang fotonya diambil oleh seorang Ray. Lantas dirinya segera menutup album foto itu dan seperti tidak berminat lagi untuk melihat.
"Ada apa?" Isaac merasa penasaran melihat tingkah laku Sarah yang tiba-tiba berhenti menyaksikan foto-foto itu.
"Apa kau akan memberitahuku sesuatu jika aku memberitahukanmu apa yang terjadi?" Dan Sarah sepertinya merasakan keingintahuan yang sama.
"Tentu."
"Apa kau tahu siapa wanita ini?" Sarah membuka kembali album foto itu kemudian menunjukkan foto seorang gadis pirang pada Isaac. "Maksudku, kenapa Ray bisa mengambil gambarnya? Ada hubungan apa di antara mereka?"
Isaac menatap foto itu dan setelahnya terlihat seperti memikirkan sesuatu. "Jadi, apa kau cemburu?"
"Isaac, jangan mengalihkan pembicaraan!" Sarah rupanya menuntut Isaac untuk bicara jujur.
"Well, itu.."
"Itu adikku." Suara berat khas seorang pria tiba-tiba terdengar menghampiri dari arah dapur menuju ruang keluarga, memotong pembicaraan Isaac. Dan sumber suara itu ternyata adalah Ray, yang datang ke ruang keluarga sembari membawakan minuman serta pizza-pizza itu di dalam sebuah nampan besar."Maaf menunggu lama. Aku hanya tidak tahu harus menyediakan minuman apa. Maka dari itu, aku hanya membuatkan teh karena kebetulan itulah yang kudapat." Ray meletakkan dua cangkir teh dan pizza-pizza itu di meja.
"Tidak apa-apa. Aku suka teh." Sarah tersenyum pada Ray yang kemudian tampak duduk di sampingnya. Kemudian wanita itu segera meneguk teh miliknya tanpa harus mendapat perintah terlebih dahulu dari Ray. "Dan adikmu tampak cantik." Sarah membahas lagi wanita pirang di dalam foto itu sembari meletakkan kembali cangkir teh itu.
"Memang." Ray tersenyum pada Sarah seperti mengiyakan bahwa wanita pirang itu memanglah cantik. "Isaac, bukankah tadi kau bilang akan pergi?" Pandangan Ray teralih pada Isaac kemudian.
"Kau benar, aku hampir lupa." Isaac tersenyum sarkastik pada Ray. "Well, aku pergi sekarang kalau begitu."
Ray menatap kepergian Isaac, sementara Sarah meneguk kembali teh miliknya seperti sebuah pengalihan untuk tidak menatap kepergian Isaac maupun wajah Ray.
"Well, kau tidak seharusnya berbicara dengan si playboy itu." Ray mengalihkan pandangannya pada Sarah.
"Dia yang mengajakku bicara. Maka dari itu, aku hanya berusaha menjawabnya." Sarah meletakkan tehnya kembali kemudian menatap ke arah Ray.
"Lalu, apakah selanjutnya kalian akan berteman?" Ray terdengar mengatakan kalimat sarkastik.
"Dia yang mengajakku berteman dan kurasa aku menyetujuinya."Mendengar pernyataan Sarah tampaknya mampu membuat Ray mengepalkan salah satu tangannya, seperti hendak menahan amarah. Dan amarah itu terasa seperti sebuah amarah kecemburuan.
"Lalu ketika kalian berdua merasakan kenyamanan satu sama lain, apakah hubungan pertemanan itu akan berjalan ke tahap selanjutnya?"
"Apa maksudmu?" Sarah tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Ray. Hanya saja wanita itu tampaknya menangkap secercah kecemburuan yang terpancar dari sang kekasih.
"Kau akan berpacaran dengannya kemudian meninggalkanku." Ray memperjelas maksud perkataannya.
"Tidak! Tidak semudah itu jika aku terlanjur mencintai seseorang!" Sarah berusaha menyangkal meskipun sebenarnya pernyataannya itu adalah fakta. "Kau adalah cinta pertamaku, Ray. Aku mencintaimu."
"Well, aku terkesan dengan apa yang baru saja kau coba jelaskan. Tapi percayalah, kata-kata rayuan tidak akan semudah itu bisa mempengaruhiku. Tidak ingatkah jika dulu juga kita berteman?"
"Berteman? Kita bahkan sebelumnya hanya saling bertemu dan belum sepenuhnya mengenal. Dan entah mengapa kita bisa meneruskan hubungan ke tahap yang selanjutnya"
Di dalam ruang keluarga itu sepertinya atmosfir mulai terasa memanas, tatkala Ray dan Sarah berdebat tentang hal yang semula terkesan sepele. Namun kini tampaknya bukanlah masalah kecil lagi.
"Jadi, kau menyesali segala sesuatu yang terjadi di antara kita? Kau menyesal menjalin hubungan denganku?"
"Tidak! Aku bahkan senang memilikimu. Aku mencintaimu Ray! Tapi jika kau tidak mempercayai itu, aku bisa mengerti. Dan kau tahu? Aku hanya tidak bisa mengerti kenapa kau terlalu berlebihan seperti ini hanya karena aku dan Isaac saling bicara?"
"Aku hanya tidak ingin membiarkan kau berada di pelukan si playboy itu. Apa itu salah?"
"Itu tidak salah, hanya saja menurutku kecemburuanmu itu tampak berlebihan. Dan kau tahu? Sebelumnya aku berniat untuk memperbaiki semuanya, tapi ternyata aku salah. Semua ini bahkan terlihat semakin runyam dan aku sepertinya hanya akan membiarkan semua masalah ini mereda dengan sendirinya" Sarah memberikan jeda pada penjelasannya yang terkesan panjang dan lebar. "Aku akan pergi."
Sarah segera beranjak dari tempatnya singgah, hendak meninggalkan Ray seorang diri. Namun dengan langkah cepat, Ray menangkap salah satu lengan gadis itu. "Sarah.."
"Lepaskan! Kau tidak perlu mencegahku!" Sarah menoleh ke arah Ray, kemudian Ray menangkap setetes air mata yang entah mengapa jatuh begitu saja dari pelupuk mata gadis itu.
Ray dengan pasrah melepaskan genggaman itu pada lengan Sarah. Entah mengapa Ray merasa terhipnotis dengan ekspresi kesedihan yang terpancar pada Sarah. Dirinya mungkin merasa tidak tega. Alhasil Ray pun hanya bisa menatap punggung Sarah yang perlahan memudar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro