---50. Cincin (2)---
Irham pergi menemui ibu kos setelah membantu mengangkat barang-barang. Ina mengekor di belakang sambil terus menunduk. Matanya bengkak karena tangis.
"Bu, titip istri saya," ucap Irham.
Rosanti, ibu kos Ina, sedikit bingung. "Oh, kalian ini suami istri?"
"Iya, Bu. Nanti saya bawakan buku nikahnya supaya Ibu percaya," sahut Irham.
"Oh, begitu?" sahut Rosanti sambil masih melempar tatapan keheranan bergantian ke arah Irham dan Ina.
Daripada menjadi pertanyaan, Irham terpaksa berterus terang. "Kami sedang bermasalah, Bu. Kami sengaja mengambil jeda biar sama-sama tenang," ucap Irham.
Rosanti sebenarnya ingin tahu, tapi merasa tidak pantas untuk bertanya lebih lanjut. Ia hanya tersenyum dan mengangguk dengan penuh pengertian.
"Iya, kalau ada apa-apa, jangan sungkan menghubungi Ibu," ujarnya. "Semoga cepat selesai masalahnya."
Air mata Ina berguguran. Cepat selesai, berarti cepat bercerai, bukan? Bagaimana hatinya tidak remuk? Ia nyaris tak sanggup melihat Irham berjalan menjauh menuju mobilnya, lalu menghilang di ujung jalan. Tanpa menghiraukan ibu kos, ia menghambur masuk ke kamar, mengunci pintu, lalu menangis sejadi-jadinya.
Baru sekarang kehilangan itu terasa mengimpit. Kesadaran acapkali datang terlambat. Rasa sayangnya justru menjadi nyata saat Irham pergi. Sesal belakangan memang menyakitkan.
Ina memukul-mukul dada. Betapa konyol dan naif dirinya. Hanya demi memuaskan rasa penasaran, ia melanggar batas. Ternyata setelah tabir misteri itu terkuak, ia tidak mendapatkan hal yang teramat sangat "wow". Nikmatnya hanya sesaat. Setelah usai, semua kembali seperti semula. Seperti kata Anin dan Dika, seks hanya proses biologis semata tak ubahnya makan, minum, buang air kecil, dan buang air besar. Mengapa ia sampai rela tersesat dan harus menanggung konsekuensi seumur hidup?
Cincin Irham masih melingkar di jari manis. Ina mengelusnya dengan hati remuk. Ia tidak rela simbol pernikahan itu terpisah dari jarinya. Tapi, Irham telah terlebih dulu menanggalkan cincinnya. Berarti tak lama lagi, dirinya juga harus ikhlas melepas benda ini.
☆☆☆
Irham rupanya masih berbaik hati. Sore hari, ia datang membawakan sepeda motor Ina. Mata Ina melebar saat membukakan pintu. Beberapa jam terpisah, rindunya membuncah. Irham tidak tersenyum dan tidak membalas tatapan. Kata-katanya juga datar. Bagi Ina, kebaikan kecil itu sudah cukup.
"Aku cuma mau mengantar ini," ujar Irham sembari menyerahkan kunci sepeda motor tanpa sudi memandang wajah istrinya. Ia masih jijik. Setiap melihat wajah itu, yang terbayang adalah dua sosok telanjang yang mengerang keenakan saat berbuat maksiat.
Seseorang menyapa dari arah belakang. Ina dan Irham bersamaan menoleh. Ternyata orang itu adalah jasa kurir yang diminta Irham mengirimkan rice cooker dan perkakas dapur, termasuk kompor kecil lengkap dengan tabung gasnya. Irham membantu orang itu mengangkut barang ke dalam.
Seharusnya, ia langsung pergi saat semua urusan selesai. Alih-alih angkat kaki dari situ, ia malah duduk untuk beristirahat di ruang tamu. Keinginan untuk pulang menguap begitu saja.
"Mas Ir mau minum?" tanya Ina.
Irham menggeleng kecil. Setelah itu, ia memandang keluar dengan tatapan kosong. Diajak duduk dalam kebisuan, Ina semakin terpuruk. Berkali-kali ia mencuri pandang pada Irham. Jurang yang tak kasat mata menganga memisahkan dirinya dengan lelaki itu. Hubungan mereka sekarang menjadi sepahit ini. Tidak akan ada kakak baik hati dan suami bertanggung jawab lagi.
Bingung karena otaknya blank, Irham juga mencuri-curi pandang pada istrinya. Ia melirik tangan Ina yang tertaut di pangkuan dan menemukan cincinnya masih melingkar di jari mungil perempuan kecil itu. Ia antara ingin mencibir dan bertanya-tanya. Ina tulus atau cuma akting saja? Rasa kesalnya meluap kembali. Ia segera bangkit.
"Aku pulang," ucap Irham.
Ina mengangguk pasrah, lalu mengantar lelaki itu ke pintu gerbang dan menunggui sampai Irham mendapat taksi.
Sampai di ruko, Irham segera membuka mobilnya. Seisi kabin digeledah. Karpet-karpet dibuka. Berkat bantuan Tono, akhirnya barang berharga yang dicari pun ditemukan terselip di antara kaki tempat duduk. Ia membawa benda itu ke kamar, lalu termangu. Mau diapakan simbol pernikahan ini? Kemarin cincin Ina itu ia buang dengan emosi. Sekarang diambil lagi. Setelah cincin itu berada di tangan, ia malah gelisah sendiri.
//////////////////////
Irham ini bawaanya mau ngamuk aja. Inanya nangis melulu.
Barangkali emang nggak jodoh.
Komen, please ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro