Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 13 ini

"Oh, iya, Sya. Aku mau ngasih ini ke kamu."

"Ngasih apa?" tanya gue. Tumben-tumbenan si Shella mau ngasih gue sesuatu.

Shella mengambil tasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana.

"Gelang ini jatuh di sofa rumah aku kemarin. Ini punya kamu, 'kan?"

Mata gue melebar melihat, tuh, gelang yang mau gue kasih ke Kak Chika, tapi menghilang begitu saja. Ternyata jatuh di rumah Shella.

"Iya, ini punya gue," ucap gue langsung ambil gelangnya.

"Kamu beli gelang buat siapa?" tanya Shella. Duh, mati gue. Mau jawab apaan coba?

Gue hanya diam. Gue perhatiin si Shella kayaknya suka banget sama gelangnya, daritadi matanya merhatiin gelang ini mulu.

"Sya!"

"Eh, iya."

"Gelangnya bagus. Kamu mau ngasih ke siapa, sih? Ini, kan, gelang cewek, gak mungkin kamu yang make, 'kan?" Mulai dah cemburuannya.

Gue perhatiin lagi, tuh, gelang. Gue pengen banget ngasih gelang ini ke Kak Chika, tapi gue juga kasihan lihat Shella yang kayaknya ngarep banget gue kasih ke dia gelang ini.

"Sya, kok bengong lagi?"

"Eh, sorry-sorry."

Gue menarik tangan Shella yang buat dia kaget. Gue masangin gelang itu ke pergelangan tangan Shella. Dia langsung natap gue seolah gak percaya.

"Sya. Kok kamu pasangin ke aku?"

"Emang buat siapa lagi? Pacar gue, kan, cuma lo." Asli, pipi Shella merah banget. Gue pengen cubit sebenarnya, tapi ini masih di sekolah, Cuy.

"Makasih," ucapnya sambil ngangkat pergelangan tangannya. Gelang itu cocok banget di tangan Shella. Kak Chika maafin gue, ya. Kapan-kapan gue pasti beliin lo juga!

"Suka, nggak?" tanya gue. Shella langsung mengangguk-angguk lucu seperti anak kecil.

"Suka banget. Makasih ya, Sya. Aku masih gak percaya, kamu mau beliin aku gelang secantik ini."

"Sama-sama."

Shella tersenyum, gue juga balas senyumannya. Jomblo minggir, ya! Awas nanti kejang-kejang lihat keuwuuan gue sama Shella.

***

Sebelum pulang ke rumah, gue ke warteg dulu, nih, buat nemuin seseorang. Jarak warteg ini ke rumah gue gak jauh, jalan sedikit lagi udah sampai rumah gue.

Warteg ini terletak di depan komplek perumahan tempat gue tinggal. Pemilik warteg itu adalah ... Mbak Suri—gebetannya Bang Dodi.

Dasar Bang Dodi, ngapelin cewek aja gak berani ngajak duluan. Gue masih SMP dan dia nyuruh gue buat cari cara biar bisa dekatin dia sama Mbak Suri.

"Permisi, Mbak!" Mbak Suri langsung menyembulkan kepalanya.

"Iya, Dek. Mau pesan apa?" tanya Mbak Suri.

"Enggak ada, Mbak. Terima kasih." Mbak Suri tampak mengangguk singkat.

"Terus mau apa, Dek?"

"Bisa ngomong sebentar, Mbak?" tanya gue.

"Bisa. Sebentar, ya. Mbak mau ambil minum dulu. Kasihan adek  pulang sekolah pasti haus, kan?"

"Enggak usah, Mbak. Saya gak haus, kok."

"Oh, ya udah. Adek mau ngomong apa sama saya?"

Gue yang sejak tadi nunggu ditawarin duduk, tapi tidak ditawarin sampai sekarang, memilih inisiatif duduk sendiri. Bodo amat basa-basi.  Gue udah terlanjur pegal.

"Eh, iya. Saya sampai lupa nyuruh duduk. Silakan duduk, Dek."

Ini Mbak Suri kagak lihat apa kalau gue udah duduk di sini? Kenapa ditawarin lagi coba?

"Mau ngomongin apa, Dek?"

Gue mulai darimana dulu, ya? Apa langsung ke intinya aja?

"Jadi gini, Mbak. Ekhem ... berhubung Bang Dodi pengen kenalan lebih jauh sama Mbak. Nah, Bang Dodi mau ngajak Mbak jalan-jalan."

"Jalan-jalan? Ke mana, Mas?"

"Saya juga gatau, Mbak. Palingan jalan-jalan ke sekitaran kompleks."

Muka Mbak Suri langsung berubah bingung gitu.

"Gimana, Mbak mau, kan? Nanti ditraktir cilok sama Bang Dodi, kok."

"Saya pikir-pikir dulu ya, Dek." Ahelah ini Mbak Suri pake jual mahal segala.

"Gitu-gitu Bang Dodi punya sawah luas, ladang banyak, sama melihara sapi, kerbau, kambing, ayam jantan, induk ayam, anak ayam, nenek ayam, cucu ayam, sampai ayam tetangga, loh, Mbak."

"Ya udah, saya mau, Dek. Bilangin datang ke sini jam lima sore, telat sedetik tidak jadi jalan."

Buset. Berbahaya juga, nih, janda satu. Eh, kok, kalian pada kaget? Mbak Suri emang janda, kok. Suaminya meninggal, karena sudah berumur 90 tahun. Kagak usah melotot juga, biasa aja, dong. Mantan suami Mbak Suri emang orang masa purba. Eh, gak, ding, canda purba.

"Oke, Mbak. Saya pamit pulang dulu."

"Iya, Dek."

***

"Enggak boleh, Sayang. Pokoknya kalau pakai nginap segala Mama gak ngizinin." Gue yang baru sampai rumah langsung menguping pembicaraan Mama dan Kak Chika di dapur.

"Please, Ma. Lagian Aurora, Qia, sama Feli juga ikut, kok. Masa Chika doang yang gak ikut?"

"Kamu ganti ekskul aja. Ribet banget jadi anggota PMR. Mama gak setuju."

"Tapi, kan, Chika pengen banget ngambil ekskul itu." Gue lihat Kak Chika masih membujuk Mama.

"Mama khawatir kamu di sana, Sayang. Nanti kalau terjadi sesuatu sama kamu, siapa yang mau tanggung jawab? Lagian gak ada yang jagain kamu di sana."

Gue langsung narik kursi meja makan dan duduk di sana, semua mata tertuju pada gue.

"Biar Aca yang jagain Kak Chika, Ma."

"Eh, gak-gak. Emang gue anak kecil apa? Lagian lo lebih kecil dari gue, yang ada gue yang bakal jagain lo."

"Betul kata Kakak kamu, Ca. Kamu, kan, masih bocah."

"Mama dan Kak Chika ngeremehin cowok ganteng? Aca udah gede, Ma. Aca juga bisa, kok, jagain Kak Chika. Percaya aja sama Aca."

"ENGGAK." Buset, Mama dan Kak Chika kompak bener.

"Udah, deh, lo masuk kamar aja sana!"

"Begimana, sih, Kak. Gue, kan, mau bantuin lo. Ya udah kalau gak mau dibantuin," ucap gue.

"Eh, eh. Emang lo tahu gimana cara bujukin Mama?" tanya Kak Chika pula.

"Taulah. Ah, gampang itu mah."

"Coba aja kalau bisa. Kalau terbukti bisa, gue bakal bawa lo ke sana."

Azzeek. Ini, nih, yang gue pengen. Gue, kan, juga mau ikut ke acara-acara anak muda gitu.

***

"Kamu serius Ca, bakalan rajin belajar dan gak terlambat lagi, kalau Mama izinin kamu dan Kakak kamu pergi ke puncak?"

"Iya, Ma. Pokoknya Aca bakal banggain Mama sama nilai-nilai tinggi Aca nantinya." Mama tampak berpikir sebentar.

"Lagian Mama gak kasian sama Kak Chika? Ini, kan, acara anak muda, Ma."

"Mama gak setuju aja gitu, masa dia ambil ekskul PMR pake liburan segala ke puncak. Emangnya ekskul panjat gunung apa."

"Ya, mungkin mereka mengakrabkan sesama temannya dulu, Ma. Biar lebih mengenal satu sama lain gitu." Mama mengangguk singkat. Gue kalau ngomong suka benar, sih.

"Lagian cuma tiga hari dua malam doang, Ma. Aca janji bakal jagain Kak Chika."

"Benar, nih, kamu bisa dipercaya?"

"Bisa, Ma. Pokoknya Kak Chika tanggung jawab Aca." Mama kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oke, dengan syarat kamu harus berubah dan menaikkan nilai kamu, ya."

"Siap, Ibunda Ratu." Mama terkekeh, lalu mengacak-acak rambut gue.

***

Gue mengambil air minum, haus banget kayak gak minum dua tahun. Gue mulai meneguk air, tapi tiba-tiba ....

"ACAAA!"

Uhuuk ... uhukk.

Kak Chika muncul tiba-tiba langsung meluk gue. Eh, kebiasaan. Kalau mau meluk bilang-bilang, dong, biar gue kagak kaget.

"Aaa ... makasih! Gue senang banget. Ini semua berkat lo!" Kak Chika ajak gue loncat-loncat gak jelas.

"Eh, tapi, sini dulu, deh." Kak Chika narik tangan gue, lalu dia mendekatkan mulutnya ke telinga gue.

"Sebenarnya ini bukan acara PMR, tapi ini acara geng gue doang, kebetulan teman-teman gue yang ikutan anak PMR semua. Jadi, ini bukan acara dari sekolah. Lo diam-diam aja, ya."

Gue mengangguk-angguk saja. Sudah gue duga.

"Awas lo bilang ke Mama," ancam Kak Chika.

"Iya, enggak bakal. MAA--"

"Ssstt, diam!" Buset, gue dibekap sama Kak Chika, mana keras banget lagi bikin gue sesak napas.

Gue yang udah gak tahan menginjak kaki Kak Chika, dia mengaduh pelan.

"Woi! Sakit kaki gue!"

"Lah, lu pikir gue gak sesak napas dibekap begitu, untung gue kagak kehabisan oksigen."

"Ya makanya, gue bilangin jangan bilang-bilang Mama."

"Apa, tuh, yang jangan bilang-bilang Mama? Emang apa yang Mama gak boleh tahu?"

Mampus. Itu suara Mama.

***

BERSAMBUNG

Hai Guys. Sampai sini dulu, ya.
Maaf kemarin gak up. Semoga suka, ya.

Jangan lupa vote and comment.

Thank You

~Amalia Ulan










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro