Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part. 8

Pria itu menggoyangkan isi gelasnya. Cairan bening dengan tambahan iris jeruk itu menjadi peneman setianya. Ruang kerjanya masih berantakan, terserak aneka kertas dengan banyak tulisan serta angka. Pun layar kerjanya masih setia menyala, mengisyaratkan kalau dirinya tak boleh kunjung menyerah.

Diisapnya penuh perasaan corong dari benda pipih dan seketika ruangan pekat dengan asap namun beraroma manis. Ia memilih memejam sejenak, meresapi. Mulai dari aroma manis yang memenuhi indera penciumannya pun rasa yang ditawarkan dari corong pipih tadi.

Diteguknya perlahan cairan yang tadi ia perhatikan dengan lamat. Getir yang menyapa ujung lidahnya ia abaikan. Sekali lagi, ia isap alat electric tadi dengan penghayatan berlebih. Salah satu dari hal yang ia sukai di sela sibuknya kini. Sendiri bercumbu dengan asap vape kegemarannya.

"Riga."

Pria itu berdecak kesal. Gangguannya datang kembali. Diliriknya Tag Heuer di kirinya, sudah pukul sebelas malam. Belum ingin menoleh karena derap langkapnya juga sudah mendekat padanya. Sebenarnya wanita cantik itu tidak salah. Hanya saja ...

"Kamu masih kerja?" Kali berjalan anggun, mendekat pada pria yang duduk di tepian meja. Bisa dikatakan ia tak duduk seutuhnya, hanya sekadar menyangka b0kong.

"Kamu ngapain di sini?"

Kali tersenyum semanis madu. Menawarkan pengentas dahaga yang tadi sempat tertunda. Betapa jika ia ingat akan hal tersebut, amarahnya kembali.

Langkahnya masuh terus mengarah pada pria yang berantakan tapi tampak seksi ini. Bagaimana pengucapan yang pas untuk menggambarkan berantakan seorang Riga? Rambutnya tak tertata sempurna seperti biasa, kancing kemejanya sudah tak utuh terpasang—menampilkan dadanya yang ditumbuhi bulu di sana, belum lagi sorot matanya yang masih tajam. Menyorot bara yang ingin sekali Kali padamkan.

"Nemenin kamu mungkin?" Wanita yang tadi menyempatkan diri bersolek agar pria ini mau memandangnya lebih lama, sudah benar-benar mengikis jarak. Aroma parfumnya bergumul dengan manis asap tadi. Jemarinya yang lentik ia pergunakan dengan lancang menyentuh Riga.

"Stop. Saya enggak mau dipergoki Xena lagi." Jemari lentik itu sempurna Riga tahan. Belum lagi sorot mata tak suka kentara sekali Riga beri. Sungguh, malam ini ia tak ingin mendapat gangguan.

Kali berdecak tanpa suara. Hatinya kembali bergemuruh mengingat hanya nama itu saja yang lancar Riga lafalkan. "Anak itu pasti sudah tidur."

Riga gegas melepaskan diri. "Xena belum akan tidur jika saya enggak ke kamarnya, Kal. Kamu tau itu."

"Dia bukan anak kamu, Riga. Dia enggak butuh dongeng dari kamu!"

Kali benar. Ia menyuarakan fakta yang memang terjadi di antara mereka di sini. Tak ada yang salah pun melenceng. Namun entah kenapa, Riga tersulut amarahnya. Hanya sepersekian detik ia menatap Kali demikian tajam, selebihnya, ia melenggang pergi. Membiarkan Kali berdiri dengan menggeram frustrasi akan sikapnya.

Walau yang wanita cantik itu katakan benar adanya, Riga tetap tak bisa memungkiri satu fakta. Betapa sosok gadis yang mungkin meringkuk dalam selimutnya itu pasti kesepian. Hanya memiliki dirinya sebagai penopang.

Ingatan Riga diseret pada peristiwa itu. kejadian yang masih terbungkus rapi dalam benaknya walau sering kali, mengusiknya tanpa ragu.

"Xena mau sendiri, Kak." Xena kembali menata pusara kedua orang tuanya. Sedikit berjongkok sekadar masih ingin melepas rindu.

"Saya temani kalau begitu."

Kembali ia menoleh dan benar, Riga pun sama. Menyejajarkan dirinya di samping Xena. "Kak Riga ulang saja. Xena mau sendiri."

"Saya enggak akan biarkan kamu sendiri."

Bola mata yang Riga sempat terpana sepersekian detik itu mengerjap. Menatap lurus padanya yang baru saja mengucapkan kata yang demikian membingungkan. Baginya. Entah bagi sang gadis.

"Xena sudah sendirian, Kak. Enggak apa." Satu senyum kecil Xena beri sebagai penutup. "Maaf, Kak Riga. Xena benar-benar ingin sendiri."

Riga menggeleng pelan walau ia yakin, Xena sudah tak lagi melihat geraknya. Netra gadis itu sudah kembali ia tumbuk pada pusara ibunya. Tangannya yang mungil, kembali ia gunakan untuk mengusap papan yang tertera nama ibunya di sana. kemudian matanya melirik pada pusara satunya, di mana sang kakak berdampingan dengan ibunya di sebelah kiri.

"Xena kangen," lirihnya. Air matanya lagi-lagi turun tanpa permisi.

"Ada saya, Xena. Kamu jangan sedih." Entah yang Riga katakan ini sebuah kejujuran atau janji yang tek terelakkan, tapi sungguh, ia sendiri butuh pegangan.

Kehilangan Vallerie di saat hatinya sudah ia jatuhkan penuh pada gadis yang tak akan kembali menyapanya, benar-benar membuat warasnya terguncang hebat. Bayang indahnya terengut paksa sejak kabar itu sampai di telinganya. Lalu sekarang? Mendapati seorang gadis kecil, sosok yang sering Vally bicarakan betapa tunangannya itu menyayangi sang adik sedemikian besar.

"Tapi ... tapi ... rasanya sesak, Kak Riga." Tangis yang memilukan itu kembali terdengar oleh Riga. "Kenapa aku enggak ikut mereka saja? Aku sama siapa sekarang?" Bahu Xena bergetar hebat.

Benar. Xena benar seratus persen. Dengan siapa ia hidup kini? Banyak hal yang Vally bicarakan mengenai keluarga besarnya. Sedikit banyak juga akhirnya Riga tau, kenapa Xena sangat dilindungi dalam rumahnya yang mewah itu.

"Ada saya, Xena. Kamu tenang saja."

Mata gadis itu cokelat terang, berbeda dengan Vally yang agak gelap. Binarnya pun berbeda. Kobar semangat Riga temukan dalam sorot Vally sementara pada diri gadis berkulit putih itu, keteduhan dan kelembutan yang beriris jadi satu.

"Benar, kah?"

Riga tanpa ragu mengangguk. Mengulurkan tangannya agar mereka saling menggenggam. Tidak. riga butuh pegangan agar tak ambruk sewaktu-waktu. Kehilangan wanita yang ia cintai dengan tragis pun orang yang ia jadikan panutan dalam hidup, Hanif Dinandirja, merupakan pukulan yang telak sekali untuknya.

"Ayo pulang," ajaknya ketika untuk pertama kali sepanjang dua tahun mengenal Xena, mereka bersentuhan. Ah, bukan. Saat pertama kali, mereka berjabat tangan saling mengenalkan diri. Tepat di saat makan malam penuh aura kekeluargaan. Penuh cinta dan damai. Dan kini, ia menggenggam Xena erat-erat.

Persis seperti janjinya belum lama ini pada Vally; menjaga Xena.

***

Xena terhenyak hampir jatuh menyapa lantai saat terbangun karena hasrat ingin ke toilet begitu besar namun, ia dapati Riga tidur di ranjangnya. Di tepi memang, hanya saja, kebiasaan Riga menemaninya tidur sudah lama berlalu terutama sejak Xena dinyatakan lulus sekolah menengah.

Pria kaku itu tidur begitu lelap. Xena bersumpah untuk mengingatkan dirinya dengan amat agar mengunci pintu kamar. Ia lupa, ah ... perkara lupa bukan hanya sebatas itu. Ia marah. Begitu tiba di apartement, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah; membanting pintu kamarnya dengan kasar. Tak peduli kalau nanti rusak atau mendengar suara Riga yang meledak memanggilnya.

Sepanjang pulang tadi, Xena sudah tak angkat bicara. Ia mengelem bibirnya rapat-rapat. Tak ingin mendebat atau menyanggah ucapan Riga. Selain karena sedih yang melandanya tiba-tiba, ia merasa Riga kali ini benar. Dirinya beban bagi seorang Riga Angkasa.

Siapa dirinya? Hanya anak kecil yang diwarisi banyak harta. Beruntung Riga tak membuangnya begitu saja. Ia dirawat dengan benar dan baik walau sering ditinggal pergi. Diawasi dengan ketat dari jauh. Akan tetapi, ucapan Riga sebelum dirinya benar-benar turun dari Jaguar-nya, menyulut amarah sang gadis.

"Jangan pernah berbuat seenak hati kamu, Xena. Turuti saya atau kamu saya tinggalkan dengan kekacauan yang sedang terjadi."

Gerak Xena menarik handle pintu terhenti. "Maksudnya?"

"Djena Grup dalam krisis. Saya seharusnya tak memusingkan hal ini tapi kamu," tuding Riga yang sungguh membuat bulu kuduk Xena berdiri saat itu juga. Seolah Riga sedang membuat penghakiman luar biasa atasnya. "Kamu seenaknya hidup tanpa berpikir, saya ini sudah tak ingin berurusan dengan Dirdja."

Xena mengerjap dua kali. "Saya enggak meminta Om melakukan hal ini." Rahang Xena mengetat penuh emosi. Kepalan tangannya kuat sekali hingga ia merasa perih di telapaknya. "Seharusnya Om kubur semua yang Papa tinggalkan termasuk saya."

Riga menatap Xena tak percaya.

"Saya ingat betul Om pernah berkata, saya hanya beban. Iya ... saya memang beban."

Tanpa menoleh, Xena segera menyusuri area parkir. Air matanya jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Andai saja saat itu ia tak dalam keadaan ujian, mungkin ia memiliih ikut dalam sedan yang ayahnya kendarai. Ikut tewas di tempat saat itu juga. Tak memikirkan apa-apa selain bahagia bersama keluarganya.

Utuh.

Ah, Xena tak ingin ambil pusing. Percuma juga ia memikirkan hal ini. Riga akan tetap membuatnya tersudut walau rasanya ucapan terima kasih saja tak cukup untuk ia beri. Atau justeru ... sudah setara dengan kata-kata menyakitkan yang Riga sering ucap akhir-akhir ini?

Saat dirinya selesai dengan urusan toilet, Xena membeku bukan lantaran tak berani mendekati ranjangnya. Ia mendapati Riga sudah bangun. Duduk di tepi ranjang dan menatap Xena tanpa ragu.

"Duduk."

"Kenapa? Mau marahin Xena lagi?" Gadis itu menutup gugupnya dengan merapikan rambut serta piyamanya. Walau hatinya masih diliputi kesal, tetap saja aura kelam Riga yang memenuhi kamarnya sudah terasa mencekik.

"Enggak."

Xena merasa ada lubang benar untuk bisa ia hirup udaranya sebebas yang ia bisa. Tangan Riga masih menepuk sisi sebelahnya yang artinya, perintah untuk Xena menuruti. Penuh perhitungan, Xena menuruti pinta dari pria yang entah harus ia anggap apa. Kalau sekadar wali, Xena merasa Riga sudah melebihi batasnya.

"Saya minta maaf," kata Riga setelah mereka hanya diam. Bahkan setelah Xena duduk tegang di sampingnya. Riga bisa merasakan hal itu.

"Yang Om bilang benar adanya, kok."

"Xena." Riga rasanya hampir putus asa saat mendengar ucapan Xena barusan. Niatnya tak seperti itu, tapi entah kenapa Riga selalu meluncurkan kata yang sebaliknya. Ia mengkhawatirkan gadis itu yang pergi meninggalkannya sendiri di restoran. Ditambah ponsel sang gadis sengaja dimatikan padahal bahaya selalu mengintainya.

Entah sudah berapa kali Riga menghalau ancaman yang dialamatkan untuk gadis ini. Riga hanya ingin memastikan Xena aman. Memiliki hidup selayak usianya. Bebas ke sana kemari tanpa khawatir terjadi apa-apa. Namun, itu tak mudah.

"Xena mau tidur lagi. Om bisa keluar." Xena bangkit dari sisi Riga. Belum juga langkahnya sempurna ke sisi ranjang satunya, Riga sudah menariknya. Hingga tubuh gadis itu berada dalam dekapnya. Riga bisa merasakan betapa kaku tubuh Xena dalam peluknya. Karena tindakannya tadi pun, Xena persis berada di atasnya.

Manik cokelat terang itu mendelik terkejut atas situasi yang ia hadapi. "Lepas, Om!" desisnya marah. Bukannya dilepaskan, Riga malah menjatuhkan Xena persis di sampingnya. Menariknya kembali dalam dekap agar makin lekat.

"Saya masih ingat, kalau kamu ketakutan, hanya pelukan saya yang bisa meredakan. Sampai kamu tertidur. Lupa?"

Xena menggeram kesal."Itu lima tahun lalu! Xena sudah besar sekarang! Enggak takut lagi!"

"Kalau gitu, saya yang takut." Riga tak peduli betapa rontaan Xena menguji dirinya. Namun ia teringat pesan terakhir seorang Hanif Dinandirja. Memintanya untuk menjaga Xena baik-baik dengan nyawanya.

"Xena, please! Kepala saya pusing banget."

"Pusing jangan peluk-peluk aku dong! Peluk Kaliandra sana!"

Riga memilih diam dan meletakkan ujung dagunya tepat pada puncak kepala Xena. "Tidur, Zona."

Xena membeku sesaat. Panggilan itu. Panggilan kecil dari Riga untuknya. Yang telah lama tak ia dengar. Membuat buncah dalam dadanya mulai timbul dan kembali menyesatkannya.

"Apa yang Kak Riga takutkan?" Xena ingin mendongak sekadar memastikan apa pria aneh ini sudah tertidur atau belum. Tapi yang ia dapat, hanya rahang yang dipenuhi bulu halus di sana. Ingin sekali Xena menyentuhnya tanpa ragu seperti kebiasaannya dulu. Tapi sekarang? Ia takut.

"Banyak."

"Salah satunya?" tanya Xena penuh tuntut.

"Kamu."

"Aku? Kak Riga takut sama aku?" Xena berdecih pelan. "Enggak salah? Harusnya itu kata-kata ak—"

"Tidur." Riga menundukkan pandangan dan mendapati Xena yang persis mengangkat wajahnya. ingatan Riga mengenai sosok cantik yang dulu begitu rapuh, sekarang sudah tampak berbeda. Wajah cantik itu semakin menyilaukan mata siapa pun yang memandang. Bedanya, Valerie dengan garis aristokrat nan tegas juga menunjukkan strata sosialnya sementara Xena dengan keanggunan dan kelembutannya.

Padahal usia mereka terpaut cukup jauh. Saat Riga mengenal Xena, gadis itu baru berusia tiga belas tahun. Menjalin hubungan dengan seorang Valerie benar-benar menyenangkan bagi Riga. Walau jarang sekali bertemu gadis yang kini ada dalam peluknya, tapi Riga percaya dewasa kelak, seorang Roxeanne Arizona menjadi bintang yang bisa menyihir siapa pun yang melihatnya.

Tanpa ragu, Riga mengusap pipi Xena yang seputih pualam. Hati-hati sekali saat permukaan tangannya menyentuh kulit Xena. Membiarkan remang yang menjalari sekujur tubuhnya tanpa ampun. Belum lagi tatapan sang gadis yang seolah menambah rasa yang seharusnya ia terapkan batas demikian tinggi.

"Zona."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro