Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part. 49 [Another kiss]

Xena pikir, genggaman tangannya agak mengendur ketika mereka tiba di basement gedung yang tak mungkin Xena lupa ini. Apartement Riga. Nyatanya tidak. Bahkan Xena merasa Riga makin menariknya sampai laju napas ia rasa terengah-engah. Sekadar mengimbangi langkah Riga saja, Xena kewalahan.

"Om," keluh Xena akhirnya. Mereka berada di lift yang khusus membawa mereka tepat di depan pintu apartement Riga. "Sakit."

"Sakit? Saya nyakitin kamu?" tanya Riga penuh khawatir dan mendadak, ia seperti seorang penculik. Cekal tangan tadi ia kendurkan. Segera ia bawa tangan Xena yang tadi digenggam mendekat. Menatapnya intens yang justeru membuat Xena menahan napasnya. Sedikit Xena tarik tapi Riga menahannya.

Mengecup pelan bagian yang tampak memerah karena ulahnya. Ada rasa bersalah setelahnya karena Riga agak keterlaluan. Padahal seharusnya ia tak membuat Xena takut apalagi sampai kesakitan begini. "Maaf," lirihnya.

Xena tak sanggup mengalihkan mata dari apa yang ia saksikan kini. Di mana Riga-nya kembali. Seperti saat tahun-tahun awal kehilangan kedua orang tuanya. Saat di mana hatinya banyak dipenuhi kenangan manis bersama Riga. Pria yang berjarak cukup jauh dengannya ini masih belum mau menyingkirkan barang sejenak tangan Xena darinya. Hingga bunyi denting lift membuat mereka teralih.

Saat Xena meninggalkan hunian Riga, ia ingat, masih memendam amarah. Betapa kesal dirinya yang bodōh memberitahu dengan lancar acara di kampusnya itu. Membuatnya berjalan lunglai mengikuti langkah Riga yang mantap memimpin. Memorinya memaksa Xena untuk mengingat, janjinya pada Kaliandra. Juga ...

"Kamu kenapa?" tanya Riga yang menyadari kalau Xena lebih lama mengikutinya. "Ada apa?"

Mengabaikan pertanyaan Riga, Xena memilih bertanya mengenai sosok perempuan yang masih lekat ia beri julukan Rubah. "Tante Kali ada?"

Dengkus geli tak pelak Riga tampakkan. "Menurut kamu?"

Bibir Xena makin cemberut. "Aku pulang aja, deh. Nanti Jess cari aku, Om."

"Setelah yang kamu lakukan ke saya?" Pertanyaan itu, tepat Riga utarakan saat pintu apartemennya terbuka. "Ayo, masuk. Tunggu apa lagi memangnya?"

"Memang Xena salah apa sama Om? Xena enggak buat salah, kok." Xena tetap belum ingin beranjak dari posisinya. Membiarkan Riga masuk ke dalam dan membuka pintu lebar-lebar. Di mana interior dalam ruang tamu apartementnya, tersaji jelas di depan Xena. Semuanya masih sama seperti saat terakhir ia ingat.

Mendengar balasan ucapan Xena, Riga terdiam sesaat. Ada seringai kecil yang ia ciptakan di sudut bibirnya tanpa sadar. Kembali, ia berbalik. Melangkah tanpa ragu pada gadis yang kini mengerjap berulang kali ke arahnya. Juga langkahnya kian mundur karena Riga terus mendesaknya dengan pasti. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana. Sengaja Riga membidik tepat sasaran pada bola mata Xena yang kian gugup saat jarak itu dibuat makin tipis. Apalagi di belakang gadis itu, punggungnya sudah menyapa dinding dekat lift yang tadi terbuka.

"O-Om mau apa?" cicit Xena sedikit takut.

"Menghukum kamu."

Riga sudah berdiri menjulang di depan Xena. Membuat Xena yang tadinya masih bisa melarikan matanya dari tatapan sang pria, sudah tak ada yang bisa dilakukan kecuali sedikit mendongak. Terpaksa.

"Menghukum?" beo Xena sama lirihnya dengan perkataannya tadi.

Pria itu tanpa ragu menganggguk.

"Xena enggak punya salah." Xena tetap kebingungan menemukan kaitan antara kesalahan yang tak pernah ia perbuat pada Riga. Dengan hukuman? Memangnya hukuman apa yang akan ia terima? Oh ... apa ini berkaitan dengan dirinya yang muncul tapi tak segera memberitahu Riga? Begitu? Tapi ia memiliki rencana lain. Akan segera memberitahu keberadaan dirinya kalau ia sudah menemukan apa yang ...

"Ya Tuhan! Xena harus kembali ke kantor, Om!" pekiknya seolah tersadar akan sesuatu. Benar. Ia harus ada di kantor untuk ke gudang arsip.

"Untuk?"

"Pokoknya Xena harus segera kembali ke kantor. Ada yang penting. Jangan sampai enggak ketemu. Itu berkas penting."

"Penting?"

Xena tanpa ragu mengangguk. Masih dalam jarak yang demikian tipis, dengan wajah yang mendongak tapi menatap Riga penuh permohonan. "Antar aku lagi, Om. Ya. ya. ya," rayu Xena. Sengaja pula matanya ia buat dengan tatapan memelas.

"Enggak."

"Ya?"

"Enggak. Saya enggak mau antar kamu ke kantor sebelum kamu jelaskan semuanya."

Xena mengerang penuh frustrasi. "Nanti Xena susah lagi dapat kesempatan."

"Apa yang kamu cari memangnya?"

"Berkas lama," jawab Xena cepat. "Ayo, lah. Setelah Om antar Xena, Xena cari apa perlunya Xena, baru Xena cerita semuanya sama Om. Boleh, ya, Om," rengek Xena kali ini. Dengan keberanian yang tersisa kini, Xena menarik salah satu tangan Riga. Menggoyangkannya pelan seperti saat dulu ketika dirinya merengek meminta sesuatu pada Riga.

Yang tak pernah mendapat penolakan walau wajahnya selalu kaku saat mengabulkan inginnya itu. Tak masalah. Asal tujuannya kali ini tercapai.

"Kamu lupa siapa di depan kamu ini?"

"Ya?" Xena masih belum memahami perkataan Riga.

"Kamu mau berkas lama model apa? Saya bisa suruh Vino antarkan."

Xena tepuk jidat. Bisa-bisanya ia melupakan satu fakta; Riga ini bekerja dan yang paling parah, memimpin Djena.

***

"Jadi selama ini kamu belajar buat kopi?"

Tanpa ragu Xena mengangguk. Secangkir kopi yang baru saja ia seduh untuk Riga, perlahan ia bawa untuk disajikan pada pria yang kini duduk santai di ruang tamu. Blazer mahalnya telah ia lepas, menyisakan kemeja hijau pupus yang telah digulung sesiku pada bagian lengannya. Dasi yang tadi membelitnya sudah bergabung dengan blazer tadi.

Pun Xena. Seragamnya telah berganti dengan pakaian yang lebih santai. Dress tanpa lengan yang membalut tubuhnya demikian lekat, yang ia ambil langsung dari kamarnya sendiri. Sungguh, memasuki kamarnya kembali tak pernah ia sangka akan secepat ini terjadi.

Larangan Riga tak main-main. Sama sekali tak memperbolehkan Xena keluar dari pengawasannya. Meminta dengan hati-hati pada Vino mengenai berkas yang diminta Xena. Juga menitipkan pesan pada Jess, kalau dirinya aman bersama Riga. Xena yakin, sahabatnya itu pasti akan mencarinya dengan penuh khawatir.

Ponsel serta tas Xena ketinggalan di loker. Mana sempat ia ambil karena Riga seenaknya menariknya pergi. Kalau ingat, Xena jelas mencibir kesal jadinya.

"Kenapa kamu begitu?" tanya Riga bingung. Saat ia memperhatikan bagaimana cara kerja Xena membuatkan secangkir kopi, senyum pada wajah Xena tak pernah luntur. Membuat angan Riga bekerja. Apa selama gadis itu menyajikan kopi untuknya, senyum di bibirnya itu ada? Ia cukup penasaran akan hal itu lantaran Xena menutup sebagian wajahnya dengan masker. Sekarang? Bibirnya justeru menampilkan ketidaksukaan. Ada apa memangnya? Ada yang salah?

"Sebel aja. Ponsel aku ketinggalan. Tas aku juga. Om kebiasaan, seringnya maksa," dumel Xena yang segera menjatuhkan bokōngnya di sofa tak jauh dari duduk Riga.

Hal ini jelas membuat Riga terkekeh. "Kamu yang salah."

"Ih! Kenapa aku terus yang disalahkan, sih? Salah aku apa coba? Dari tadi aku disudutkan terus sama Om! Bukannya senang kalau Om masih bisa bertemu aku. Apa Om suka kalau aku sudah enggak a—"

Netra Xena melotot sempurna sebab tanpa aba-aba, Riga menciumnya tepat di bibir. Bahkan tak ada jeda barang sesaat karena cium itu makin membuat Xena kelabakan. Saking terkejutnya ia, justeru tangannya terkalung sempurna pada leher Riga pegangan. Yang malah direspon dengan seringai kecil dalam cium yang tengah Riga lancarkan, ketika ada yang menariknya pelan. Yang berasal dari Xena.

Cium itu tadinya Riga layangkan sebagai bentuk dari segala perasaan yang ia tahan selama ini. Dukanya. Kehilangannya. Sesalnya. Rindu yang tak pernah bisa ia tahan hingga kini. Juga bahagia yang benar-benar tak mampu ia bendung ketika kenyataan itu hadir di depannya. Bahwa Xena-nya masih hidup.

Dan saat rasa manis itu menyapanya tanpa kendali, Riga makin memperdalam kecupnya. Mengisap pelan pada bibir tipis milik gadis yang sejak lama berkuasa di hatinya. Menggeser pelan namun pasti, keberadaan Vally yang tadinya tak terganti dalam hati. Suara riangnya. Garis tawanya. Caranya tersenyum. Tingkah manjanya. Sudah merenggut waras yang Riga punya. Kali ini, tak akan ia biarkan sedikit saja matanya, perhatiannya, seluruh hidupnya, teralih dari gadis yang tampak gelisah di bawah kukungannya.

Jangan tanya bagaimana jantung Xena bertalu. Degupnya mungkin sudah bisa memaku sebuah cermin di dinding saking kuatnya. Belum lagi, sentuhan yang Riga beri makin membuatnya kebingungan harus bersikap seperti apa. Tubuhnya kaku. Matanya masih melotot tak memercayai apa yang ada di depannya kini.

Pria yang seringkali ia rindukan dengan amat ini, sungguh nyata ada di depannya. Ingin rasanya ia menyentuhnya tapi Xena yakin, kalau pegangannya terlepas sedikit saja, ia bisa terjatuh. Padahal ingin sekali dirinya bukan sekadar berpegangan pada Riga. Menyugar rambutnya, misalnya.

Xena tak pernah siap ketika Riga mengigit bibirnya. Walau pelan, Xena tetap terkejut dibuatnya. Menimbulkan suara pekik yang lantas diredam dalam cium yang ternyata makin jadi dibuat Riga. Menggunakan ujung lidahnya, Riga mengabsen satu per satu deret gigi yang Xena miliki. Hal ini justeru membuat Xena kian mengeratkan pegangannya. Seolah belum puas, pria itu kembali menyapa bibir Xena dan lagi-lagi melumatnya.

Hal ini semakin membuat Xena setengah rebah, selain karena desakan tubuh Riga yang kian mengarah padanya, Xena sendiri makin lunglai dibuat oleh segala cumbuan yang Riga beri. Ia pernah merasakan bibir pria itu. Rasanya sangat mendebarkan. Efeknya berhari-hari Xena tak berhenti tersenyum padahal kala itu hanya sebatas disapa sebentar.

Dan kali ini?

Rasanya naik beribu-ribu kali lipat. Membuatnya kepayahan. Sungguh, rasanya jauh berbeda. Xena merasakan banyak hal di setiap inchi pergulatan bibir mereka. Campuran frustrasi juga rindu yang sama besarnya seperti milik Xena. Hingga tanpa ia sadari, dirinya sudah rebah di sofa dengan berbantalan lengan sofa yang empuk. Sebagian tubuh pria yang mengukungnya, bertahan pada tepian juga punggung sofa agar tak benar-benar menindihnya.

Bergantian, pria itu seolah tak ada puasnya mencicipi rasa manis dari bibir Xena. Tak peduli kalau gadis di bawahnya mungkin kehabisan napas. Tak kala satu erang keluar dari bibir sang gadis, Riga memberi satu jarak demikian tipis hanya sekadar untuk mengambil udara sebanyak yang bisa mereka berdua lakukan.

"Jangan pernah coba-coba lagi tinggalin saya, Na."

Kata-kata itu bagai sihir bagi Xena. Tegas walau diucapkan tepat di atas bibirnya. Bergerak dengan irama yang menyebabkan tubuh Xena meremang. Hanya anggukan pelan yang bisa Xena beri sebagai jawaban.

Lekat sekali Riga menenggelamkan diri pada kedalaman netra Xena yang teduh juga hangat. Betapa ia merindukan gadis ini dengan amat. Dalam jarak demikian tipis, juga posisi mereka yang sangat intim, Riga memohon pada Tuhan, agar jangan ada hal lain lagi yang bisa memisahkan mereka. Hidup Riga kacau karenanya.

Seolah pindai yang Riga lakukan pada Xena tak pernah berujung pada puas, terutama saat manik matanya tepat melihat jejak luka yang sejak tadi ingin ia tanyakan. Tangan kekar yang ia gunakan untuk menahan tubuhnya agar tak rubuh menindih xena, ia tumpu pada siku. Pelan, jemarinya ia gunakan untuk menyusuri bekas luka yang cukup panjang itu. Yang membuat Riga akhirnya paham kenapa Xena menutupinya.

Tak terbayang dalam benaknya, kalau gadis yang ada dalam perlindungannya, melalui hal semengerikan ini. Bahkan rekaan dalam kepalanya tak sanggup membayangkan betapa kejadian itu ... benar. Kejadian itu. Yang menjadi titik di mana mereka berpisah. Menyisakan banyak lubang menganga yang mesti ditutupi satu per satu.

"Pasti sakit banget, ya, Na?" tanya Riga tak ubahnya seperti gumaman. Tak jelas. Namun karena jaraknya sangat dekat, Xena bisa mendengarnya.

"Xena bahkan lupa rasa sakitnya." Perlahan, kaitan tangannya pada leher Riga ia lepaskan. Ia biarkan Riga masih mengusap pipi kirinya dengan gerak teramat lembut. Sebenarnya membuat sebagian dirinya meremang namun, ada hal yang sangat ingin ia lakukan. "Xena," Ia ragu. Takut juga.

"Kenapa?"

Mata mereka kembali bertemu. Embus napas Riga entah sudah berapa kali menyapa area wajah Xena. Seolah pria itu menanti apa yang akan Xena ucapkan serta perbuat padanya. Lantas, jemari gadis yang ujungnya mulai gemetar, menyapa rambut Riga demikian lembut. Mengantarkan efek yang dramatis dalam diri Riga. Memejam merasakan kelembutkan yang Xena ciptakan melalui sentuhannya. Lalu sedikit menarik Riga agar makin mendekat.

"Xena pengin peluk Kak Riga."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro