Part 45 [Riga's Ultimatum]
Xena kembali pada rutinitas yang membuatnya tak terlalu bebas bergerak. Ia hanya berharap, segera datang hari di mana dirinya menjalani shifting sore. Kepalanya telah penuh pertanyaan dan entah mengapa ia meyakini ada yang tersembunyi di sana. Juga harapnya, pada weekend ini Arslan kembali pulang ke rumahnya. Sehingga ia bisa leluasa berada di ruang kerja ayahnya.
"Siang, Anne," sapa Vino kelewat ramat yang membuat Xena menoleh cepat. Bingung, ia menatap Vino tanpa kedip. Lamunnya buyar mengenai segala harapnya tadi. Berganti dengan Vino yang berdiri di samping meja kerjanya sembari tersenyum kecil. Hal ini membuat Xena makin gusar di mana keyakinan kalau Riga pun Vino, telah mengetahui siapa sebenarnya ia.
Xena hanya membalas dengan anggukan. Dari balik maskernya ia tersenyum ragu. Sejak pagi dirinya memang telah menaruh curiga namun, semuanya ia lenyapkan karena Riga terlalu banyak mau sejak pagi tadi. Hanya meninggalkan dirinya kala jam sudah menunjuk pukul sepuluh. Itu pun hanya berlangsung setengah jam lamanya.
Gadis itu mana bisa bergerak lebih jauh dari jarak pandang Riga, ia yakin itu. Ada saja yang harus ia lakukan di ruang itu. Yang rasanya pekerjaan itu hanya untuk menahan Xena di dalamnya.
"Bapak sudah tunggu," imbuh Vino tanpa mengurangi ramahnya sama sekali. Sungguh, ini justeru semakin membuat Xena ketar ketir. Apa bisa ia menolak? Tidak. Selain pasrah dengan helaan napas pelan, ia bisa apa?
Kembali ia mengangguk kecil sebelum tangannya mengeuk pintu ruang Riga. Suara yang sangat ia kenali itu mempersilakan dirinya masuk. Kembali Xena meraup udara yang semakin tipis karena terhalang masker, ia tetap harus melakukannya. Kalau tidak, di dalam ruang milik Riga ia merasa tipis sekali pasokan udaranya.
"Sudah makan?"
Anggukan Xena beri sebagai jawaban.
Mendapati gadis itu masih berdiri tak jauh dari pintu, membuat Riga menggeleng pelan. "Duduk di sana," katanya sembari menunjuk sudut sofa di mana banyak lembar kerja yang Xena tak tau kapan muncul di sana. Apa sewaktu makan siang tadi, Riga tak makan? Malah makan berkas alias bekerja? Memang, Xena tau Riga ini pekerja keras tapi kalau sampai menunda makan siang? Apa itu sama saja tak sayang dengan dirinya sendiri?
"Saya lihat, tulisan kamu bagus. Bantu saya menyalin pekerjaan itu."
Xena melongo. Bolak balik menatap Riga juga meja yang tadi ditunjuk pria itu. Maksudnya apa? Tapi pertanyaan itu jelas tak mungkin ia suarakan selain anggukan pasrah yang bisa ia berikan. Sementara seringai tipis sekali timbul dari sudut bibir Riga.
Melihat gadis yang kini mulai duduk di sofa sembari mulai menyalin apa yang ia perintahkan tanpa banyak bertanya, membuat segala praduga Riga mengenai siapa sebenarnya gadis ini, bulat seratus persen. Tidak. Ribuan persen.
Apa yang Riga perintahkan adalah hasil meeting yang masih acak. Yang sering kali Riga tambahkan tiap kali meeting selesai sesuai dengan kebijakan yang ia inginkan. Di mana, sering kali juga hasil meeting itu lah yang menjadi bahan lapornya pada seorang Xena di apartement dulu.
"Mau sampai kapan kamu seperti itu, Na?" tanya Riga mirip gumaman. Menggeleng pelan, ia tak jadikan itu soal asal gadis itu tak lagi menjauh. Bahkan Jumat lalu, ia tinggalkan makan malam yang seharusnya bisa untuk melobby satu bukti untuk menjerat Alif, ia undur. Memilih melajukan kendaraannya pelan hingga sedan mewah menjemput dua gadis itu. Sorot salah satu gadis itu, yang Riga kenali sebagai sahabat Xena, terlihat memantau sekitar sebelum akhirnya ia pun masuk ke dalam mobil itu.
Riga bergerak penuh jarak namun tetap bisa menjangkau sedan itu hingga benar-benar berhenti di rumah lama yang dulu sering ia kunjungi. Apalagi sambutan orang yang paling dekat dengan Xena di sana; Narti. Benar-benar menguatkan dugaan kalau Xena ... masih hidup.
Suara dering ponsel pertanda satu pesan masuk, membuyarkan angannya. Melirik enggan pada benda itu yang kini menampilkan nomor yang tak ia ketahui.
(+62813********445)
Sudah saya serahkan bukti terakhir pada Pak Ronald. Tolong bebaskan saya dari segala tuntutan, Pak. Saya mohon belas kasih Anda.
Jemari Riga mengetuk pelan penuh irama di meja yang dibalut kaca hitam yang cukup tebal ini. setelah semua yang terjadi? Orang ini meminta belas kasih? Riga terkekeh pelan. "Enak saja."
Mengenyahkan pikirannya pada sosok pengirim pesan yang memohon padanya, ia memilih tenggelam pada sisa pekerjaannya. Masih ada waktu untuk membuktikan kalau semua yang terjadi saling terkait ditambah, orang yang mereka sasar ada di ruangannya. Walau Riga belum tau apa motifnya, tapi kini, mata Riga tak akan lagi teralih.
Masa bodo dengan apa yang terjadi di sekitarnya, bagi Riga sejak awal, harusnya Xena yang menjadi prioritas perlindungannya.
Cukup lama Riga biarkan Xena tenggelam dalam perintahnya itu sementara ia sendiri pun dibuat sibuk dengan banyaknya email yang masuk. sesekali ia melirik pada gadis yang tampak asyik menulis. Kadang juga, kacamata tebalnya itu ia benahi. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu tak membuka maskernya sama sekali.
Apa ia tak kesulitan bernapas?
Baru saja ia akan bertanya, suara interkom berdering. Membuat Riga harus melipat keinginannya untuk menyuarakan rasa penasarannya itu. Telepon itu dari Vino. Katanya, "Pak, ada Pak Alif."
Riga melirik Tag Heuer pada lengan kirinya. Pukul setengah tiga siang. Persis seperti yang Alif janjikan untuk membahas bagian terakhir dari penentuan harga sebelum lelang dua minggu lagi. Di mana nantinya ini adalah lelang terakhir yang akan Riga hadiri.
"Suruh masuk."
Xena mencuri-lirik pada kegiatan Riga dan melarikan netranya pada pintu begitu terdengar bunyi klik disertai Vino juga ... Alif, yang masuk ke dalam ruangan. Masih sama seperti terakhir kali Xena ingat, pamannya masih berjalan dengan bertopang tongkat. Tak banyak berubah dari terakhir kali Xena ingat saat dibacakan surat wasiat orang tuanya dulu.
Uncle Alif-nya masih setenang air. Hanya saja kali ini, ada sorot tak terima ketika Alif menatap Riga yang masih duduk santai di kursi kebesarannya itu. Xena mengamatinya penuh lekat. Tak mau kehilangan moment atas kesempatan yang sangat langka ini. Berharap dengan amat, Riga tak menyuruhnya pergi. Menegakkan telinga baik-baik sementara matanya kembali ia tujukan pada tugasnya. Kepalanya ia pergunakan untuk merekam dengan baik apa yang nantinya mereka bicarakan.
Kesempatan tak akan datang dua kali, kan?
"Selamat datang kembali, Pak," sapa Riga dengan uluran tangan. Yang segera disambut dengan kekeh serta seringai kecil dari Alif.
"Terima kasih." Walau disambut uluran tangan itu, rasanya Alif ingin sekali meremukkannya sekarang. tapi tidak. ia tak akan melakukannya sekarang. Sebentar lagi tujuannya tercapai. Kenapa ia harus bersusah payah menyingkirkan pria konyol di depannya ini? Semua suara mendukungnya. Tinggal menunggu.
Iya. Hanya tinggal tersisa beberapa bulan lagi maka tujuannya tergapai. Atas apa yang Riga lakukan semingguan ini, yang membuatnya meradang tiba-tiba, masih bisa ia kendalikan. Lalu matanya mengedar, mendapati sosok perempuan dengan seragam ... OG?
"Siapa dia?" tanya Alif dengan nada remeh.
"Oh ... Maaf, Pak. Tadi saya minta bantuan membereskan file. Vino repot sekali untuk meeting kita besok." Riga tersenyum kecil yang ditanggapi dengan tatapan curiga dari Alif. "Anne, kamu boleh keluar sekarang."
Merasa dipanggil, Xena mendongak. Ia tak percaya kalau Riga memintanya keluar. Mengerjap pelan namun tubuhnya bangkit. Tak berani membantah. Siapa dirinya sekarang? Anggukan kecil dengan sedikit membungkuk ia beri sebagai tanda pamit. Tak mungkin juga ia bersuara sekadar meminta izin keluar ruangan.
Meninggalkan harapan yang tadi melambung cukup tinggi; bisa mendengar pembicaraan antara Riga juga Alif. Saat berpapasan dengan Vino, justeru pria itu yang lebih dulu tersenyum ramah serta sedikit membungkuk padanya. Sungguh, Xena curiga namun tak bisa ia suarakan sekarang. Yang bisa ia lakukan kini, hanya balas dengan anggukan kecil dan memilih melenggang pergi.
Berhubung area kerja Xena sudah berada di lantai ini, ia tak bisa sembarangan tuun ke lantai di mana Jess bekerja. Sedikit bingung, ia memilih menuju pantri yang tak jauh dari dekat lift yang biasa para karyawan gunakan untuk naik turun lantai tujuan. Berjalan pelan sembari menikmati satu per satu mereka yang bekerja di bawah naungan Djena. Walau di sini hanya terisi bagian HRD serta Finance, tetap saja Xena bisa merasakan kalau mereka lah salah satu dari banyaknya penopang Djea.
Ada senda gurau di antara mereka. belum lagi, fokus pada masing-masing pekerjaannya. Belum lagi, saat pertama kali ia ditempati di area divisi marketing, banyak juga obrolan ringan di mana hidup mereka banyak bergantung pada Djena. Lantas? Kalau Xena tak berjuang mengungkap apa yang sebenanya terjadi dalam tubuh usaha yang dirintis ayahnya ini, mereka semua bagaimana nasibnya?
Tulisan ibunya kembali membayang di mana ketika Djena pernah mengalami masa sulit. Xena menoleh pelan pada ruang yang tak jauh darinya kini. Memang, masa itu telah berlalu lama. Belum tentu orang yang sama yang berjuang untuk Djena masih ada hingga kini. Kalau Xena bisa diberi akses melihat data karyawan, pasti akan mudah untuk mengetahui siapa yang bekerja untuk Djena dalam kurun waktu yang lama.
Kendati demikian, perjuangan ayahnya lah yang harus sangat ia hargai.
"Bos sedang bertemu Riga, Max."
Xena membeku saat itu juga. langkahnya berhenti mendadak lalu segera ia merapatkan diri pada tembok di dekatnya. Sembunyi. Adalah hal yang terlintas paling depan dari segala pemikirannya saat ini. Pun tubuhnya yang gemetar hebat. Suara itu ... suara yang sama saat ia mendengarnya di Bandung.
"Kau benar. Sebentar lagi tujuannya tercapai."
Dia terkekeh pelan. Xena tak tau wajahnya karena sungguh, untuk sekadar mengintip barang secuil saja keberaniannya hilang total.
"Beri waktu baginya, Max. Setelah itu kita eksekusi. Dendam kita terbalas."
Tubuh Xena merosot tanpa ampun. Tangannya membekap bibir agar tak mengeluarkan suara. Keringat dingin mulai bercucuran. Jantungnya sudah tak tak lagi berdegup seperti biasanya. Laju napasnya pun rasanya sesak mirip dihimpit ribuan ton bebas.
"Tenang saja. Selama Bos dalam pengawasan saya, enggak akan mudah baginya untuk pergi."
Lalu suara ujung sepatu beradu dengan lantai terdengar mirip alun penuh debar yang menyapa pendengaran Xena. Tangan Xena makin kuat menutup mulut sekadar untuk bernapas saja ia persulit karena takut, suara napasnya membuat orang itu sadar, ada yang mencuri dengar percakapan tadi. Sungguh, ia takut kalau suara tadi berjalan ke arahnya. Yang mungkin dalam sekali toleh, bisa dipastikan kalau Xena akan ketahuan ada di balik tembok ini.
Dingin keringat yang mengucur membasah pelipis makin jadi Xena rasakan. Ia memejam sembari terus menajamkan telinga, berharap dengan amat, agar ada satu sela di mana dirinya bisa meloloskan diri. Derapnya makin jadi Xena dengar. Menggema. Menciptakan kidung kian mencekik bagi Xena.
"Ya Tuhan! jangan sampai orang ini tau aku di sini!"
"Siang, Pak Alan," sapa seseorang yang samar-samar masih bisa Xena dengar. Bukan. Bukan si pemilik suara berat juga mengerikan itu. ada orang lain yang puji Tuhan, seperti memberi kesempatan untuknya bisa meloloskan diri.
Tanpa banyak berpikir, Xena bangkit. Menguatkan hati juga dengan sisa tenaga yang ada, Xena berbalik. Melangkah senormal mungkin, agar tak kentara kalau dirinya sejak tadi ada di balik tembok itu. Mengesankan pula, kalau dirinya baru muncul dari balik pintu yang ada di sana.
****
"Saya tak mengerti kenapa semua aliran dana untuk proyek kamu hentikan, Riga?" tanya Alif tanpa basa basi. Setelah memastikan pintu ruang riga tertutup dengan keluarnya offce girl tadi, ia tak ingin berbasa basi lagi.
Suaranya pelan namun Alif tau, banyak nada tak sudah di sana yang ia gelontorkan pada sosok pria yang sungguh, ia tak habis pikir kenapa Hanif mempercayakan Djena padanya. Alih-alih dirinya yang berkuasa.
Padahal telah ia buat skenario panjang untuk membuat Djena dalam genggamannya. Sial. Alif mencengkeram pegangannya pada tongkat dengan cukup kuat.
"Masih kurang, kah?" tanya Riga pelan. Untuk kali ini, ia tak main-main lagi. Segala bukti sudah ia dapatkan. Ronald juga sudah mengumpulkan jadi satu dan sudah dalam pihak kepolisian. Riga hanya butuh satu moment, esok, untuk mengungkap satu dari beberapa dugaan yang mengarah pada Alif.
"Kurang?" Alif menelengkan kepala. Menatap Riga dengan sorot mata tak biasa. "Apa maksud kamu?"
Lawan bicaranya justeru dengan santai mengedikkan bahu. "Tak ada maksud apa-apa, Pak."
"Sudah seminggu tak ada aliran dana masuk, Riga. Itu menghambat jalannya produksi. Bahkan kalau kamu mau tau, kita sudah merugi ratusan juta. Kalkulasi kamu di mana? Nol?" berangnya tanpa ampun. Alif tak lagi bicara dengan nada santai. Emosinya naik. Walau tak perlu menggunakan suara tinggi, seharusnya Riga tau dengan siapa dirinya berhadapan.
"Memang." Riga bersidekap. Bersandar pada kursinya sembari lantang membalas tatapan tajam Alif. Tak gentar sama sekali. "Besok penentuannya, Pak Alif. Apa aliran dana itu diteruskan atau tidak. Mengingat, laporan dari Anda hingga detik ini belum juga saya terima. Saya yang butuh kalkulasi nol yang Bapak sebut tadi."
Tangan Alif terkepal kuat. Napasnya menderu. Matanya nyalang menatap Riga tanpa ragu. Namun satu bisik halus ia terima merasuki kepalanya. "Biar saja. Biar Riga puas menjatuhkan kamu di sisa jabatannya. Sebentar lagi, Lif. Sebentar lagi. Djena di tangan kamu."
Menarik napas panjang, menormalkan gemuruh di dadanya yang siap sekali ia sembur. Baik kalau itu mau kamu. Segera saya kirim laporannya."
Riga mengangguk pelan.
"Perlu kamu tau satu hal, Riga. Saya turut membesarkan Djena. Tak mungkin saya hancurkan begitu saja."
Lagi-lagi anggukan Riga beri. "Saya yakin, Pak Alif demikian mencintai Djena. Benar?"
Ucapan itu sarat sekali makna yang tertangkap dalam benak Alif namun, ia memilih kembali bicara dengan suara senormal mungkin. "Benar. Saya mencintai Djena." Didorong pelan kursi tempatnya duduk, berjalan dengan ditopang tongkat, ia memilih angkat kaki dari ruang yang sebentar lagi akan menjadi miliknya.
Kalau saja saat itu pria bernama Riga Angkasa ini lenyap, sudah bisa dipastikan kalau semua tujuannya beres. Sial. Sial. Sial. Sudah tak ada lagi alasan Alif untuk melenyapkan Riga kali ini.
Alif berjalan tanpa perlu pamit pada Riga yang masih menatap kepergian satu-satunya kandidat yang akan menggantikan Djena dalam waktu dekat ini. Baginya, itu tak perlu. Riga di sini seharusnya mematuhi ucapannya. Bukan dirinya yang terlihat seperti anj!ng pesuruh. Piyan benar-benar bodōh! Seharusnya mereka berdua lenyap. Xena ... juga Riga.
"Pak," sapa Alan pelan. "Anda ... baik-baik saja?"
Kental sekali aura kelam dalam tatapan Alif kini. "Laporan yang sudah kamu revisi sudah dikirim?"
"Sudah, Pak."
"Saya cek dulu sebelum memastikan dikirim pada Riga. Sial orang itu."
Alan memilih mengekori langkah bosnya. Yang mana setiap kali berhubungan dengan Riga, pasti emosi sang bos selalu tersulut. Seringai kecil Alan ciptakan lantaran tak butuh waktu lama juga untuknya bergerak. Bukan dalam perintah Alif lagi. Bukan. Ia hanya tinggal menanti datangnya waktu itu datang.
"Baik, Pak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro