Part 37 [Arslan's Offer]
"Jadi gimana?" Arslan menyilangkan kaki. Matanya menatap Jess lebih lama ketimbang gadis yang selalu memberi notes padanya untuk komunikasi. Si Norak, terlihat tak terima dengan apa yang baru saja ia tawarkan. Pekerjaan.
Ada kepuasan tersendiri yang Arslan miliki saat memberitahu apa jenis pekerjaan untuk mereka berdua. Apa sama? Tentu tidak. Peluang ini dimanfaatkan oleh Arslan dengan baik dan cerdik termasuk, menundukkan pandangan tak suka dari Jess padanya.
Enak saja. Memangnya dia siapa? Hanya kerabat dekat pembantu di sini, kan? kenapa seolah memandangnya dengan tatapan tak suka? Berbeda sekali dengan Si Kalem yang sudah merebut perhatiannya. Bukan lantaran wajahnya, sungguh ... itu berbeda jauh dengan Jess. namun, perilaku serta bahasa tubuhnya yang sopan serta lebih banyak menunduk, membuat Arslan merasa kasihan.
Sebuah notes kembali Arslan terima sebagai jawaban dari Si Kalem.
[Kami pikirkan baik-baik, Tuan.]
Arslan berdecak pelan, menatap enggan pada dua gadis di depannya ini. "Jangan terlalu lama. Saya hanya kasihan sama kalian makanya mau bantu."
Xena mengangguk pelan.
"Terima kasih, Tuan." Ucapan terima kasih yang sangat diwakilkan oleh Jess. Padahal di dadanya sedang berlangsung badai hebat. Tangannya terkepal kuat serta sorot matanya tajam tak main-main menantang pria di depannya ini. Kalau saja nanti di masa depan ia memiliki kesempatan untuk memaki, pasti akan ia pergunakan bibirnya mendaraskan makian yang paling banyak untuk seorang Arslan yang sombong ini.
Tak banyak basa basi, Arslan bangkit. Berjalan menjauh dari mereka dengan angkuh. Menyisakan helaan napas panjang dari Xena sementara Jess? menjambak rambutnya kuat-kuat. Padahal ia kesakitan tapi sungguh, ia butuh pelampiasan. Sebelum semuanya terlambat, Xena menarik Jess ke kamar.
"Buat gue ini kesempatan, Jess," kata Xena sesaat setelah mereka masuk ke dalam kamar. Menutup dengan segera dan tak lupa menguncinya. Ia tak ingin ada kecurigaan berlebih mengarah padanya karena Narti memberitahu Arslan, kamar mereka ada di kamar kecil yang ada di sudut lain wing kanan.
"Gue tau, Na. Gue tau. Tapi ... gilá aja! Kerjaannya jadi office girl, lho. Lo tau, kan, kerjaannya ngapain aja?"
Xena mengangguk kecil. "Gue enggak masalah, kok. Malah punya kesempatan masuk ke ruang Uncle Alif."
Jess menggeram kesal. ia sangat tau maksud dari perkataan Xena tanpa perlu penjelasan panjang. tapi? Ya Tuhan. Selama mengena Xena, jangankan untuk bekerja kasar seperti itu, dipanggang sinar matahari saja baru saat ia merawat kebunnya saja. Ia tak sampai hati kalau sahabatnya itu harus menerima pekerjaan itu.
"Pasti ada cara lain, Na."
"Seperti?" tanya Xena pelan. dirinya menyamankan diri duduk di sandaran ranjang. kakinya sengaja diluruskan dengan tangan bersidekap minta penjelasan lebih.
"Ya ... ya ... apa, lah."
"Apa, Jess?"
Jess ingin banyak berkata tapi semuanya tercekat di tenggorokan.
"Lo yang bilang, apa pun risiko yang akan gue ambil, lo dukung. Iya, kan?" tanya Xena dengan suara pelan tapi sungguh, suara ini terdengar mengerikan. Serupa kidung di mana Jess hanya diperintah untuk mematuhinya. Menemaninya tanpa terkecuali.
Tak ada yang bisa Jess lakukan selain mengangguk pelan.
"Kenapa berubah?"
"Gue ... gue ...," Jess menghirup banyak-banyak udara untuk pasokan embus napasnya kini. bercampur dengan aroma vanilla yang selalu memenuhi ruang kamar ini, Jess pun bersiap untuk kembali menyuarakan keberatannya namun, kata-kata yang sudah ia susun, lenyap tanpa sisa.
"Gue enggak masalah, Jess, dengan pekerjaan ini. Kalau itu yang lo khawatirkan tentang jenis pekerjaannya. Lo cukup dukung gue."
"Gue enggak akan biarkan lo sendirian, Na," kata Jess akhirnya. "Gue cuma enggak sangka kalau Arslan seenaknya ke gue. Masa gue dikhususkan kerja di ruangannya."
Xena mau tak mau tersenyum. Lipaan tangannya di dada, ia turunkan. "Jadi itu yang lo khawatirkan?"
Bahu Jess merosot. "Kayaknya kakak sepupu lo punya dendam tersendiri ke gue," katanya lemah. "sial banget gue ketemu Ular Kobra kayak dia."
"Apa? Ular Kobra?" Xena ingin tertawa tapi melihat wajah Jess yang tampak nelangsa, ia urungkan gelaknya menjadi senyum kecil yag sungguh, ia tahan sekali agar tak berubah menjadi tawa.
"Lo lihat aja gayanya! Astaga! Macam sudah paling oke segalanya aja," sungut Jess. "Sudah, ah. Gue mau tidur. Ingat-ingat mukanya bikin malam yang indah ini, buruk banget. Astaga! Jauh-jauh, ya Tuhan! Hidup gue pernah dalam titik buruk, enggak mau buruk lagi."
Xena sudah tak tahan. Akhirnya tawa yang ia tahan hingga perutnya kaku, keluar tanpa bisa dikendalikan lagi. Sudah lama ia tak tertawa sebebas ini. Beruntung lah Xena memiliki Jess di dekatnya. Selain hiburan yang tak ada habisnya, Jess tak pernah berniat meninggalkan serta selalu mendukungnya.
"Jadi?" Xena sedikit menahan tawanya dan mengalihkan pandangan dari Jess, karena kalau tidak, yakin lah gelaknya masih setia keluar. "Lo ambil tawaran Arslan? Kalau gue ... lo tau jawabannya."
Jess manyun. "Gue punya pilihan?"
***
Pada jam yang sama, di balkon apartement mewah milik Riga yang sengaja dibuka gorden besarnya. Menampilkan landscape kota Jakarta di malam hari yang masih saja berdenyut. Gedung-gedung di sekitarnya, bermandi lampu dengan sorot yang cukup terang.
"Jadi gimana?" tanya pria yang menjadi tamu Riga malam ini. Di depannya, Riga menghela napas pelan. kembali memijat pelipisnya kasar.
"Bukti pencucian uang sudah di tangan, Om. Tinggal serahkan ke polisi, saya yakin, Pak Alif enggak bisa berkilah lagi."
Benar. Apa yang Riga sampaikan benar adanya. Selama ini, bersama asistennya, Riga berusaha sekali mengungkap apa yang sebenarnya Alif sembunyikan. Karena banyak proyek yang terkendala namun biayanya banyak sekali mengucur deras di sana. Setiap kali Riga mulai mencampuri, Alif segera pasang badan dan berkata dengan sikap meremehkan seperti biasanya.
"Sebelum kamu ada, approval selalu diberikan Hanif pada saya. Ingat, kamu hanya bekerja di sini. Jangan merasa berkuasa."
Riga ingin masuk lebih jauh, tapi Alif selalu pintar menyembunyikan. Dan kini? Dengan adanya semua bukti serta laporan pajak juga banyaknya proposal pengajuan dengan dana mark up yang membuat Riga menggeleng heran, sudah di tangan.
"Besok kita serahkan pada pihak berwajib."
Pria yang masih mengenakan kemeja namun lengannya digulung asal itu mengangguk pelan. "Tapi, Om, kalau Pak Alif ditangkap, akan ada rapat besar lagi. dan kemungkinan, akan jatuh di tangan Pak Akmal."
"Dia bisa lebih dipercaya, kan Riga?"
"Selama saya mengamati di Djena, Pak Akmal yang bekerja dengan biasa saja. Menjalankan bagiannya dengan baik walau, yah ... bisa saya bilang, ia yang masih meragukan saya. Mendukung Alif tentu saja tapi bukti tidak ada yang mengarah pada Pak Akmal."
Kali in Ronald yang mengangguk. "Kamu sudah cek semua aliran dananya?"
Riga tampak berpikir, kembali membuka tumpukan laporan yang sudah berhasil ia kumpulkan. Pada bagian-bagian yang sengaja ia tandai dengan post it karena sungguh, aliran dana ini sangat mencurigakan. "Saya lihat, dari rekening ini penarikan dana besar sekali. Biasanya saya perhatikan, penarikannya tak banyak dan kebanyakan untuk rekening perusahaan yang bekerja sama dengan proyek Pak Alif di bawah naungan Djena."
Ronald mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Tiga setelah tanggal penarikan dalam jumlah besar, saya ingat kejadian ini." Riga menunjuk ada deretan angka yang tertera di sana. "Malam di mana Xena diincar terang-terangan di rumahnya, kalau Om Ronald lupa."
Ada kesiap ngeri di wajah Ronald yang tak bisa ia tutupi. Matanya kembali menatap deret angka yang ditunjuk Riga. "Apa kamu sepemikiran dengan saya?"
Riga menyodorkan tumpukan lainnya. "Dari rekening yang sama, penarikan kali ini jumlahnya dua kali lipat. Tepat seminggu sebelum peristiwa di kampus Xena."
Ronald terhenyak dengan fakta yang baru saja Riga katakan.
"Saya enggak tau, apa ini saling berkaitan atau enggak tapi jelas ini mencurigakan."
"Coba tarik mundur saat setelah atau sebelum kecelakaan Hanif?" desak Ronald. Dan tangan tua pria itu tak sabar membolak balik laporan yang tebal itu demi memuaskan keingintahuannya.
"Sayangnya, enggak ada Om." Riga menghela napas panjang. Aliran dana yang dimaksud terjadi enam bulan setelah dirinya memimpin Djena. Dengan dalih, proyek-proyek ini sudah disetujui Hanif juga banyaknya bukti di mana ada chop Hanif dibubuhkan di sana.
Riga tak bisa mengutak atik laporan itu lantaran Alif sudah memegang persetujuan dari Hanif. Tak mungkin Riga menanyai makam Hanif, kan?
"Kalau perkara korupsi saja, Om rasa, Alif masih bisa tertawa. Kalau dugaan kita benar ditambah spekulasi ini, artinya benar, kalau Alif yang mengincar Hanif beserta seluruh keluarganya."
"Dan lagi-lagi, kita kekurangan bukti untuk menguak hal ini, Om."
Ronald membanting dirinya dengan frustrasi pada sandaran sofa di belakangnya. Tak jauh dari Riga yang mengurut pelipisnya kasar. "Sial!"
Diam adalah hal yang paling bisa mereka lakukan kini. sibuk pada pemikiran masing-masing juga menentukan langkah lanjutannya di mana semua berkas ini alah dilimpahkan pada pihak berwajib dengan segera. Jangan sampai kerja keras mereka menemukan barang bukti, sia-sia lantaran Riga yang keburu disudahi masa kerjanya yang bisa dibilang, menghitung hari.
"Dekati Alan?"
Riga terkekekh kecil. "Alan seperti ánjing penjaga yang sangat patuh, Om. Sulit sekali mendesaknya."
Ronald mengangguk lemah. "Atau ... gunakan Arslan?"
Alis Riga saling tertaut. Sorot matanya kebingungan dengan apa yang baru saja pria paruh baya ini katakan. "Arslan? Anak Alif?"
"Siapa lagi?' dengkus Ronald geli.
"Saya memintanya tinggal di rumah Xena karena desakan Alif juga istrinya. Alasannya agar Arslan bisa mengawasi para pekerja di sana."
Punggung Ronal menegak. "Sudah kamu tanya sama pekerja di sana bagaimana Arslan?"
Riga mengangguk. "Dia seperti burung yang patuh. Keluar hanya untuk bekerja dan tak pernah menyentuh ruang lainnya di rumah itu."
"Sama sekali?"
Anggukan Riga beri sebagai jawaban.
"Kamu serius? Mereka enggak berbohong, kan?"
Riga paham kenapa Ronald seperti mendesaknya. Bukan tanpa sebab, karena memang sudah sedikit sekali orang yang bisa mereka percaya selama tabir belum terkuak di tubuh Djena. "Semua orang di sana, orang kepercayaan Pak Hanif, Om."
Ronald kini mengangguk pelan. "Lantas kenapa harus menempatkan Arslan di sana?"
Pertanyaan itu yang hingga kini, Riga belum ketahui motifnya.
"Narti bilang,"
"Siapa Narti?" sela Ronald tanpa ampun.
"Kepala pelayan di sana, Om." Mendapati anggukan pelan dari lawan bicaranya, Riga kembali meneruskan bicaranya. "Arslan ini sama sekali enggak keluar kamar dan sering berdiri menatap jendela jika sudah pulang kerja. semua orang di sana dalam tingkat waspada, Om, termasuk Didi dan Jaka."
"Siapa pula mereka?"
Riga tersenyum kecil. "Sama seperti Narti, orang kepercayaan Pak Hanif."
Merasa ucapannya tak lagi dijeda, Riga kembali bersuara. "Tapi sepanjang Arslan di sana, tak ada satu pun tindakan yang mencurigakan."
Baik Ronald dan Riga kembali terdiam. Bungkamnya mereka diinterupsi oleh dering telepon yang berasal dari mili Riga. meminta izin sebentar mengangkat telepon karena nama Vino tertera di sana.
"Ya?"
"Pak, saya dapat aporan dari bagian HRD, Pak Arslan meminta slot lowongan office girl untuk dua orang."
Kening Riga berkerut. "Dua orang? Itu hal yang enggak biasa, Vin."
"Iya, Pak. Bu Yeni bilang, untuk keponakan pembantunya yang ada di rumah."
"Di rumah? Rumahnya?"
"Rumah Pak Hanif, Pak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro