Part 35 [Dickering]
"Memang kamu lulusan apa?"
Xena mencoba menormalkan laju napas. Di depannya, duduk Arslan dengan santainya. Mengenakan kaus berkerah hitam dipadu celana selutut juga sandal rumah yang santai. Memilih duduk di salah satu ruang di mana TV besar yang tak difungsikan di wing kanan, Xena memang diminta untuk mengikuti pria itu.
Saat Arslan memperhatikan mereka yang berdiri di depan potret besar Om-nya, Arslan sedikit tak suka. Mereka orang asing, pikirnya. Kenapa harus memperhatikan semua yang ada di rumah ini sedemikian detail?
Berjalan tanpa ragu ke arah mereka yang seperti orang berbisik, dan benar saja, ada kesiap kecil yang kentara sekali mereka terkejut karena Arslan menghampiri.
"Kalian sedang apa?" tanya Arslan dengan tatapan menghunus terlebih pada perempuan kampung berambut hijau. Katanya dari mana? Kampung? Dan rambutnya? Ya Tuhan! Ada yang lebih berlebihan darinya?
"Maaf, Tuan." Narti segera menghampiri sedikit juga menunduk. "Saya sedang jelaskan potret-potret yang ada."
"Gunanya?" Arsan bersidekap tak suka.
"Ehm ... maaf kalau saya lancang," kata Narti.
Arslan berdecak. Lalu matanya memindai satu per satu gadis yang berdiri tak jauh dari kepala pelayan di sini. Dan gadis kampung berambuT hijau lah yang mengesankan kalau dirinya tak ada pengaruhnya dengan keberadaan Arslan di sini. Padahal siapa dia? Hanya keponakan dari pelayan, kan?
"Kalian di sini sampai dapat kerja, kan?"
"Iya. Saya di sini sampai dapat kerja, kok," kata Jess tak menggeser sedikit arah pandangnya. Sejak melihatnya masuk ke dalam, berjalan pongah, dan belum lagi mengesankan mereka berdua ini hanya kutu busuk yang menjadi benalu di sini, Jess sudah mengibarkan bendera perang tanpa perlu terucap.
"Bagus kalau begitu."
Kali ini Xena bertindak. Kesempatan tak mungkin datang dua kali, kan?
Tak pernah ia lupa membawa satu notes kecil juga pulpen yang pas pada pegangan notes-nya. Sejak ia gunakan nama Anne Rossaline, juga hal-hal yang menyertainya termasuk pura-pura bisu. Karena ia tak mau ambil risiko berlebih kalau-kalau, ada seseorang yang mengetahui suara aslinya. Walau wajahnya kini sulit dikenali kecuali orang itu benar-benar dekat dengannya, maka tak mudah mengenalnya sebagai seorang Roxeanne Arizona.
Apalagi sekarang, ada di sini, di rumah utamanya. Tak mungkin ia segera membuka jati dirinya sebelum mengetahui, ada rahasia besar apa yang sebenarnya menaunginya. Satu per satu akan ia urai dan berharap, semuanya tak terlambat untuk ditangani.
Menulis buru-buru dan segera memberikannya pada Arslan yang masih menatapnya dengan janggal. Xena sungguh menekan perasaan sedih yang hebat sekali menderanya karena tatapan seperti itu—lagi-lagi—ia terima. Juga kepra-puraannya yang harus selalu ia ingat, ia bersuara saat ada di dekat orang-orang tertentu.
[Sekiranya di kantor Tuan ada lowongan, boleh saya diinformasikan?]
Saat Arslan membaca pesan dari Xena, sebenarnya ia cukup terkejut. Ternyata gadis yang terlihat tak banyak bicara, memang tak bisa bicara. Arslan pikir, gadis ini tak mau bersitatap dengannya tadi karena sungkan juga masih memiiki sopan santun. Mengingat strata sosial yang mereka miliki. Tak seperti gadis yang ada di sebelahnya.
Sangat tak sopan. Ia mencibir dengan sengaja serta memberi tatapan tak suka pada Jess, gadis tak sopan itu.
"Jadi ... kalian butuh kerja?"
"Kalian?" tanya Jess.
Segera Xena meminta kembali notes tadi dengan sopan.
[Iya, Tuan.]
Dengkus tak suka kentara sekali Jess beri mengarah pada Jess. "Saudari kamu bilang, kalian butuh kerja. Dan sekadar informasi saja, kalau saudari kalian yang meminta pekerjaan pada saya."
Jess memekik pelan, sementara Narti melotot tak percaya dengan kata-kata yang baru saja terucap dari Arslan. Melempar tatapan penuh tanya jelas dilakukan keduanya pada Xena. Sementara Xena, tersenyum kecil sembari menganggu meyakinkan. Di mana di mata Arslan, Xena ini membutuhkan pekerjaan namun, di mata kedua orang yang ada di depannya, tak demikian.
"Tapi jenis pekerjaan apa yang bisa saya beri untuk kamu, An? Kalau melihat ... kondisi kamu," Arslan menatap lekat Xena yang tak mengalihan matanya ke mana-mana. "Saya belum ada info."
Xena kembali menarik sudut bibirnya tipis. [Siapa tau nanti ada, saya boleh diberitahu]
Berbekal tulisan itu lah, Arslan meminta Xena juga Jess mengikutinya. Menyuruh Narti menyiapkan secangkir kopi untuknya juga makan malam.
"Kami lulusan SMA, Tuan," jawab Jess dengan rasa kesal yang sangat ia tekan. Saat mengimitasi langkah Arslan yang memimpn, Xena meremas tangannya kuat-kuat. pertanda agar jess bisa mengendalikan rasa tak sukanya pada Arslan. Walau sebenarnya, Xena sendiri memang tak menyukai Arslan sejak kali pertama bertemu tadi.
Kesan angkuh, arogan, serta merasa memiliki segalanya, tergambar jelas dalam kacamata Jess untuk Arslan.
"Oh, SMA." Arslan menganggk pelan. "Kalau SMA, mungkin Office Girl?"
Jess hampir menjatuhkan rahang. Bibirnya terbuka pelan dengan tatapan tak percaya yang mengarah jelas pada pria di depannya ini.
"Saya bukan sedang merendahkan lulusan SMA. Tapi memang untuk bagian administrasi di kantor saya, minimal Diploma," terang Arslan begitu melihat bagaimana ekspresi terkejut dari Jess. Agak menggelikan memang untuk ia jelaskan seperti ini. Apa yang mau diharapkan? Tau-tau bekerja sebagai seorang staff? Dengan lulusan SMA? Yang benar saja. pikirnya begitu.
Xena buru-buru mengeluarkan notes-nya. Menulis dengan cepat dan memberinya dengan sopan pada Arslan.
[Tak masalah, Tuan. Selama pekerjaan itu halal juga untuk tambahan kami kuliah]
Arslan terpaku pada kata demi kata yang Xena tulis. Bukan perkara bagus atau tidaknya tulisan tangan ini dibuat namun, makna yang tertulis di dalamnya. Pekerjaan halal. Dan mereka sembari kuliah? Hebat. Bukan tanpa sebab ia memuji. Saat ia menimpa ilmu dulu, tak bisa disambi sama sekali dengan pekerjaan lainnya. Sang ayah, Alif Mahesa selalu menuntutnya dengan nilai sempurna. Tanpa terkecuali. Bahkan hingga kini, segala yang ia lakukan selalu dalam barometer ayahnya.
Ia pernah mendengar banyak teman sejawatnya dulu, kuliah dengan jalur beasiswa di mana ada satu waktu mereka bekerja untuk menambah uang saku. Walau tidak pernah dalam satu frame dengan kumpulan mahasiswa beasiswa namun, siar kabar itu tak pelak menjadi bahasan tersendiri. Bukan untuk pujian, tapi cemooh dari kawan-kawan akrabnya.
Tadinya, Arslan dibuat kagum namun pergaulannya yang membuat dirinya memandang semua itu dengan remeh. Ada seringai tipis yang Arslan ciptakan tanpa ia sadari.
"Jadi kalian juga kuliah? Dan bekerja nantinya sambil kuliah?" tanya Arslan memastikan.
"Iya, Tuan," tukas Jess cepat.
"Besok saya infokan apa ada lowongan atau enggak."
Mereka kompak mengangguk.
"Kalian bisa pergi. Saya mau makan malam."
Jess menggeram kesal sekali. Sedikit menghentak, ia menarik Xena untuk segera menjauh. Begitu jarak mereka aman, sembur amarah Jess Xena terima.
"Lo gilá?"
"Apa yang gilá?"
Jess mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Sumpah, ya, Na. Lo frontal juga."
"Gue melihat peluang, Jess. Mumpung Arslan di Djena. Siapa tau, gue bisa menyusup tanpa ketahuan." Xena memutar kunci kamarnya. Yang Narti siapkan adalah kamar tamu yang paling besar. Ranjang ukuran besar sudah siap untuk mereka tiduri. Pun aroma vanilla yang selalu Xena sukai, menguar sempurna membelai penciumannya denga penuh manja.
Sejuk dari pendingin ruangan sudah memenuhi ruang kamar itu.
"Wow!" Jess terkagum dengan pemandangan yang ada di depannya kini. "Ini ... kamar tamu keluarga lo?"
Xena hanya mengangguk sekilas. "Biasanya dipakai Tante Iklima, adik Papa."
"Gimana kamar lo?"
Gadis itu hanya tersenyum simpul. Membuat Jess membayangkan betapa mewah kamar yang Xena tempati di atas. Segera ia berkeliling di kamar ini. Dan benar saja, semua fasilitas yang membuat Jess menggeleng takjub, lengkap tersedia di sini. Narti bilang, kamar itu tak pernah terbuka kecuali berkala untuk dibersihkan. "Punya kamar begini gue betah banget enggak keluar, Na."
Hanya kekehan yang bisa Xena beri.
"Pantas lo diburu, Na. Tajirnya bokap lo enggak main-main."
****
Pagi hari, Xena membantu Narti yang gemetaran karena Nona Mudanya lihai di dapur. Memandangnya penuh takut juga khawatir terutama saat Xena mengiris bawang untuk bumbu. Beberapa kali Narti tampak memperingati yang justeru membuat Xena tergelak.
"Mbak enggak usah khawatir. Dapur sama aku itu sekarang berkawan."
"Siapa yang berkawan dengan dapur?" tanya seseorang yang membuat gerak Xena kaku mendadak. Matanya terbeliak kaget dan hampir loncat dari tempatnya. Kenapa juga Xena bisa sembarangan bicara selama Arslan ada di rumah ini? bodōhnya ia! Rutuh Xena dalam hati.
"Kok, diam? Saya tadi dengar ada yang bicara. Yang berkawan dengan dapur. Kamu, Anne?"
Xena sudah pucat pasi. Sejak kapan Arslan muncul di dapur. Apa obrolannya dengan Narti disimak diam-diam oleh pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjangnya itu? Ya Tuhan!
"Mungkin Tuan salah dengar." Jess muncul dari arah belakang. "Tadi saya yang bicara. Bilang ke Budeh Narti kalau Anne sekarang berkawan dengan dapur."
Kening Arslan berkerut dalam. Jelas ia mendengar hanya ada dua suara di dapur ini dan hanya ada Narti juga Anne berkutat di dapur.
"Tuan mungkin lapar? Jadi ... kurang fokus?"
"Apa kamu bilang?'
Jess menutup mulutnya dengan sengaja. "Hanya menyampaikan pendapat."
"Kamu ...," tunjuk Arslan kesal. Matanya mendelik marah pada gadis yang sekarang justeru menampilkan cengiran tanpa rasa bersalah padanya.
"Saya buatan sarapan untuk Tuan, ya?" tawar Narti menengahi apa yang terjadi antara Arslan dengan Jess pagi ini. mengdepin memberi kode pada Jess agar jangan banyak bicara kalau tak ingin menimbulkan masalah. Yang membuat Jess akhirnya mengalah dengan memberi anggukan kecil.
"Maafkan saya, Tuan," kata Jess berusaha dengan amat untuk menurunkan intonasi suaranya.
Arslan mendengkus dan masih memberi tatapan sesinis mungkin. tanpa banyak bicara, ia pun keluar dari dapur. Meninggalkan mereka bertiga yang kini bernapas lega. Sementara dalam hati Arslan, sedang disusun rencana penyiksaan gadis kurang ajar itu.
"Jess," erang Xena setelah benar-benar memastikan kalau Arsan telah pergi.
"Apa? Gue salah?" tanya Jess santai. Di tangannya, setangkup roti yang sudah Narti buatkan, ia lahap. "Dia aja nyebelin, kok."
Xena hanya menggeleng pelan. "Jangan ada drama lo naksir sama Arslan, ya."
Jess tersedak hebat.
"ARE YOU KIDDING ME?!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro