Part 33 [One Secret]
Turun dari taksi online yang mengantar keduanya ke rumah besar yang selalu Xena ingat dalam kenangannya, ia terpaku sejenak. Semua kenangan enam belas tahun tinggal di sana sedari lahir, terputar tanpa bisa ia kendalikan. Mata Xena mendadak panas. Mungkin dalam sekali kedip, luruh sudah membasahi pipinya.
Suara teriakannya saat bermain air bersama Kak Vally. atau mendengarkan bagaimana Mommy berkisah mengenai caranya menanam dan merawat taman walau lebih banyak dibantu Didi serta Jaka. Pun segala petuah yang agak samar Xena ingat dari sang ayah. Semuanya jelas masih Xena ingat.
"Lo pasti bisa." Jess menepuk pelan bahu Xena. Menciptakan sensasi kejut yang cukup membuat Xena menghela napas berat.
"Gue takut," cicit Xena. Mendapati Jess yang menatapnya dengan pandangan bingung, tak jua membuat Xena melanjutkan bicaranya. Apa yang ia takutkan? Padahal tadi, ia yang paling gagah berani turun dari losmen sewaannya untuk memesan taksi online. Di belakangnya, Jess berjala masih dengan menahan kantuk.
Sekali lagi ia menarik napas, memenuhi rongga udaranya dengan banyak udara. Siapa tau, ada kejutan yang tak siap untuk Xena hadapi.
"Ayo, Na. Gue dukung lo." Menunggu Xena bicara dan bertindak saat ini membuat sabar Jess menipis. Ia paham, kalau banyak keraguan Xena di sana. Namun mereka sudah tba di sini? Tak mungkin kembali tanpa membawa sesuatu, kan?
Pelan, Xena mengangguk. Agak gemetar ujung jemari yang kini ia abaikan, ia pun menekan bel yang tepat berada di dekat gerbang. Belum juga bel itu ditekan, sudah ada yang menghampiri. Jaka.
"Siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Jaka menatap mereka dengan pandangan curiga. Sejak tadi, dua gadis ini hanya berdiri saja di depan gerbang. Entah apa yang mereka inginkan, Jaka wajar menaruh curiga. Tak pernah ada kunjungan ke rumah ini sejak lama. Ditelisik dari pakaian mereka, hanya pakaian sederhana.
Terutama pada gadis yang mengenakan jaket dengan tudungnya. Mengenakan masker juga kacamata bulat yang sepertinya tebal. Jaka cukup heran, apa penampilannya itu tak membuatnya merasa kepanasan? Di hari terik seperti ini?
Xena terdiam sejenak, tersenyum kecil, "Mau bertemu Bu Narti. Ada?"
Mendengar nama salah satu penghuni rumah ini, membuat Jaka makin mengerutkan kening. Banyak dugaan berputar di kepalanya termasuk apakah mereka berdua ini saudara jauh dari Narti? Seingat Jaka, Narti sudah tinggal sendirian di sini dalam waktu yang lama. Baik kakak juga adiknya, tak tinggal di pulau Jawa melainkan Sumatera.
Sama sepertinya, yang hidup sebatang kara di Jakarta. Ah, Jaka lebih beruntung. Memiliki satu anak walau sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri di Karawang, sesekali ia mendapat kunjungan. Telah lama istrinya meninggal karena sakit. Sementara Narti? Sejak pernikahannya hingga sang suami meninggalkannya lama, tak dikarunia satu orang anak pun.
Benar-benar sendirian hidup di Jakarta ini.
"Bu Narti?" tanya Jaka memastikan. Siapa tau, para gadis ini tersasar arah karena rumah-rumah di sini memang sepi juga besar-besar.
"Iya. Bu Nartinya ada? Saya keponakan dari Tegal," dusta Xena sembari melirik sedikit pada Jess. mengharap sahabatnya itu membantu memuluskan langkahnya.
"Tegal? Bu Narti enggak punya saudara dari Tegal," kata Jaka yang makin bertambah kecurigaan pada mereka berdua. Terutama melihat geliat yang semakin mengarahkan kalau mereka berdua ini bohong. "Mungkin kalian berdua salah alamat."
Dari balik maskernya, Xena masih mempertahankkan senyum. Walau tak terlihat oleh lawan bicaranya, tapi ia yakin garis senyumnya pasti terlihat jelas. "Enggak, Pak. Saya enggak salah alamat."
Jaka berdecak kesal. Habis sudah kesabarannya. "Jangan membuat saya mengusir Mbak berdua dengan cara kasar, ya."
"Kenapa mesti mengusir kami?" tanya Jess lantang. Kali ini dengan cara baik sepertinya agak sulit namun ketika Xena menahannya, Jess terlihat murka. Geram kesal lantas menyelimuti diri Jess. matanya sontak menatap tajam ke arah pria yang mungkin salah satu dari penjaga keamanan di rumah ini.
"Pak Jaka," panggil Xena pelan."Tolong, panggilkan Mbak Narti." Kali ini, Xena kembali bersuara namun ada ketegasan juga sorot matanya yang tak ragu lagi menatap Jaka. Juga kacamata serta maskernya ia turunkan.xena juga mempersiapkan diri dengan tatapan Jaka yang terbeliak kaget menatapnya.
Mungkin ngeri karena melihat wajah Xena ini.
Hal ini sontak membuat pria paruh baya itu melongo. Matanya berulang kali mengerjap sembari memperhatikan dengan amat, siapa gadis yang ada di depannya kini.
Bukan tanpa sebab ia melakukan pemindaian lebih dari netranya.
Suaranya. Caranya bicara. Belum lagi, walau ada bekas luka yang cukup membuatnya mengerutkan kening sesaat setelah menatap gadis itu, sekelibatan pemikiran mengenai sang nona, dikikis habis begitu saja. Kecuali ... saat ini. Pikiran itu laksana cahaya yang terang sekali masuk dan berkuasa di kepala Jaka. Membuatnya berucap dengan amat pelan, "Nona?"
"Iya. Aku Xena, Pak Jaka."
Kesiap serta satu pekik penuh kejut meluncur tanpa bisa dikendalikan Jaka. "Enggak mungkin," katanya sembari menggeleng. Tak percaya pada apa yang ia lihat kini. "Enggak mungkin. Non Xena ... Non Xena ...,"
"Ada apa ribut-ribut, Jaka?" Seorang perempuan paruh baya tergopoh menyusul mereka. Menatap Jaka dengan pandangan bingung karena pria itu justeru terlihat seperti sedang menatap hantu pada dua gadis yang satu di antaranya, bergerak mendekat.
"Mbak Narti," panggil Xena.
Narti, wanita paruh baya itu, membeku. Suara yang begitu ia kenali, yang selalu dekat di hatinya, yang sangat ia hapal alun serta cara memanggil dirinya, ada di hadapannya. Berdiri. Menatapnya tanpa ragu serta dihiasi satu senyum penuh makna yang sepertinya mengerti, kenapa Narti terpaku seperti ini.
"Enggak mungkin," kata Narti pelan. Seolah kesadarannya baru saja kembali setelah terbang bersama angannya.
"Ini Xena, Mbak."
Pelan, Narti bergerak mendekat. Matanya berkaca-kaca sembari memberi pandangan tak percaya. Saat telapaknya menyentuh pipi kiri Xena dengan teramat lembut, air mata yang sejak tadi ditahan, turun membasahi pipi. erisak hebat, dibawanya gadis itu dalam peluknya. Tak ada keraguan sama sekali. "Ya Tuhan, Non Xena!!!"
***
"Pokoknya Non mau makan apa bilang? Non mau mandi air hangat? Kamar Non selalu rapi," kata Narti dengan binar kegirangan yang amat. Belum juga bibir Xena membalas ucapa tadi, datang Jaka dengan laporannya.
"Non enggak mau lihat taman belakang? Bunganya bagus semua tumbuh. Saya rawat baik-baik, Non."
"Mbak Narti potongin buah, ya. Non kurus banget."
"Non, Pak Jaka segera ganti bunga di kamar, Non, ya. Mulai malam ini Non tinggal di sini, kan?"
Atas segala perhatian juga keceweretan mereka hari ini, Xena hanya terkekeh saja. Sudut matanya sudah berair entah sejak kapan. Mungkin saat Xena dan Narti berbagi tangis? Atau ketika rangkulan di mana seorang Jaka dengan suara yang bergetar menahan air matanya, ikut larut dalam pelukan di teras depan tadi.
"Saya ... saya ... sungguh enggak percaya Non dimakamkan. Hari-hari saya selalu berdoa sama Tuhan, kalau apa yang saya lihat itu bohongan," isak Narti sesaat setelah mengurai sejenak peluk erat tadi. Menatap Xena lekat-lekat. Dalam netranya yang berbayang karena air mata, ia tak meragukan sama sekali kalau gadis ini, gadis yang dalam segi wajah serta penampilannya banyak berubah, adalah Nona Muda-nya.
"Bukan Bibi aja, kok. Saya juga," kata Jess kalem. Yang sontak membuat Narti juga Jaka menoleh. Memberi pandangan bingung karena tak pernah bertemu dengan gadis yang rasanya seusia dengan Xena ini.
"Mbak Narti, Pak Jaka, kenalkan. Ini Jess, sahabat Xena," kata Xena menengahi kebingungan di antara mereka.
Narti berdiri, segera memeluk Jess erat. Membuat gadis itu terbeliak kaget juga sesak karena peluk itu cukup membuatnya terganggu bernapas. Erat sekali. "Makasih, Non Jess. Makasih. Sudah selamatkan Nona Muda saya. Makasih, Non. Ya Tuhan. Saya mesti banyak-banyak bersyukur dan beramal sebagai rasa terima kasih. Ya Tuhan."
Bergeliat lemah, Jess akhirnya dilepaskan dari jerat peluk erat Narti. Meringis namun tak mengurangi rasa gembira dalam wajah tuanya itu. Menggandeng dengan segera Xena juga Jess. perasaan bahagianya tak terkira siang ini. pasti ada banyak kisah serta cerita yang akan ia ketahui segera namun, lebih dari apa pun yang terjadi. Ia sungguh bersyukur, keyakinannya kalau Nona Muda Dinandirja masih hidup.
Mengabaikan banyak perhatian serta tawaran dari Narti juga Jaka, Xena lebih menyukai pertanyaan sederhana yang sudah lama ia tahan. Mungkin sejak pertama kali ia menginjakkan diri di apartement mewah Riga. "Kalian apa kabar?"
Kompak, Narti dan Jaka saling tukar pandang. Dan serentak juga, mereka tersenyum kecil. "Kami baik-baik saja, Non. Tuan Riga enggak pernah lupa menggaji kami. Memberi uang untuk pengurusan rumah ini. dan meminta kami jangan pergi ke mana-mana sampai jelas, status rumah ini berpindah ke tangan siapa."
"Maksudnya?" Xena mulai menegakkan punggung. Di sampingnya, Jess pun demikian. Jaka memilih diam, membiarkan Narti yang bicara.
"Sejak Non dikabarkan meninggal, semua aset Tuan Besar dikelola Tuan Alif."
Xena mengangguk pelan.
"Dan nanti, kalau Tuan Riga sudah enggak ada di kantor Tuan Besar, rumah ini akan dilelang. Yang saya dengar seperti itu, Nona."
"Apa?!" Ini bukan suara Xena, melainkan Jess. "Sumpah, ya, Na. Beruntung lo kembali. Kalau enggak? rumah sebesar ini mau dilelang? Gilá aja!" sungut Jess kesal sekali.
"Itu dia, Non Jess. saya juga sepemikiran sama Non. Masa rumah ini mau dilelang? Hanya karena pemiliknya sudah enggak ada. Kalau diberi ke yayasan amal mungkin kita masih enggak masalah. Uangnya mau mereka pakai pribadi sebagai warisan."
"Hah?" Jess kembali menyuarakan keberatannya. Decak kesal lagi-lagi keluar dari bibirnya. Xena sampai menggeleng heran dengan tingkah Jess kali ini. "Ck! Bukan gitu, Na. Pak Jaka bilang, ini mau dibuat seolah untuk pembagian warisan, lho. Sama siapa tadi, Pak?"
"Pak Alif."
Jess menjentikkan jemarinya. "Nah, itu. Lo kenal?"
Xena mengangguk tak memungkiri kalau dirinya memang mengenal siapa seorang Alif Mahesa dalam keluarga besar Dinandirja. Walau hanya bertemu sesekali namun, Xena bisa merasakan tatapan yang sering terarah padanya, dengan pandangan tak suka serta meremehkan. Xena kecil, tak terlalu akrab dengan pamannya itu. yang mana memang sepertinya, seorang Alif Mahesa tak menyukainya. Begitu pikir otak kecilnya dulu.
Yang ia mengerti dan pahami, duduk di dekat keluarganya. Bukan terkesan ia tak ingin mengenal banyak orang, Hanif sangat posesif padanya. Ia hanya diperbolehkan dikenal oleh keluarga besarnya saja.
Hanya itu.
"Dia paman gue dari pihak Papa."
Jess manggut-manggut. "Orangnya pasti serakah."
Xena tak tau harus merespon apa. "Setau gue, enggak. dia punya usaha sendiri. Cuma enggak tau, ya, sejak enggak ada Papa."
"Ehm ... Non," panggil Narti pelan. "Saya lupa bilang kalau ...,"
"Kenapa, Mbak?" tanya Xena penasaran. Narti terlihat ragu berkata namun, anggukan kecil yang Jaka beri, semakin membuat Xena tak sabar. "Ada apa, sih?"
"Sejak pemakaman Non, anak sulung Pak Alif tinggal di sini. Katanya untuk menjaga rumah ini."
Netra Xena membuat sempurna. "Apa?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro