Part 32 [Welcome Back, Na]
Tadinya Jess mau protes tapi begitu Xena menjelaskan kepulangan mereka pastinya tak sebentar, gadis yang kini mengecat rambutnya menjadi hijau pupus itu pun menyetujui. Tak gampang ternyata meninggalkan apa yang sudah mereka bangun di sini walau tak seberapa. Jess dengan adanya Asya sebagai bagian dapur namun di kafe, Jess bertugas mengantar menu dan mengurus pembayaran. Dibantu satu orang lain, Dian, yang memang sengaja untuk membantu Jess ataupun Asya.
Belum lagi Xena, di mana dirinya memang cukup kewalahan akhir-akhir ini karena banyak pesanan flower ballon. Hampir tiga minggu lamanya, mereka berkutat dengan persiapan untuk meninggalkan orang-orang yang bekerja di bawah mereka kini. Karena bisa dibilang, mereka ini bos walau kata-kata itu tak pernah ingin didengar sampai di telinga mereka berdua.
"Gue sudah beres," kata Xena mendahului sebelum Jess benar-benar bicara. Untuk tiga minggu yang cukup melelahkan, Xena akhirnya bisa terbebas dari cekikan orderan yang sebenarnya ia syukuri, tapi karena kondisi sekarang membuat tekadnya makin bulat untuk pulang, ia cukup terengah memenuhi penanan yang ada.
Berulang kali ia bertanya memastikan pada Meli seandainya mereka lama di Jakarta, bagaimana jalannya toko bunga ini. Meli dengan gagah beraninya bilang, kalau itu tak perlu Xena khawatirkan. Ia bisa membuat rangkaian kecil. Mengirim flower ballon karena sudah lama ia mengamati dan memang sudah berhasil membuatnya sendiri. Hanya saja, kartu ucapan yang menjadi special thing di florist yang Xena kelola adalah kendalanya.
Meli tak bisa menulis seindah tulisan tangan Xena.
"Kalau ada pesanan masuk, Mbak Meli bilang terus terang saja kalau enggak bisa buat tulisan tangannya seperti biasa. Kalau mereka menolak, berarti bukan rezeki," pesan Xena akhirnya.
Mengangguk pasrah, walau sebenarnya Meli ingin menyanggah. Tapi apa yang gadis berambut sebahu itu kemukakan, benar adanya. Kualitas harus lah nomor satu. Jangan sampai ada pelanggán kecewa lantaran diturunkannya standart pesanan mereka.
"Gue juga," kata Jess memecah lamun Xena. Ia tersenyum puas sekali. "Semua stok bahan baku sudah gue prepare untuk satu bulan ke depan. Kontak supplier juga sudah gue beri ke Asya. Gue percaya, Asya bisa mengelola. Anak baru biarpun masih kaku melayani tamu, gue rasa bakalan cepat menyesuaikan diri.'
Xena mengangguk saja.
"Jadi ... kita berangkat besok?" tanya Jess memastikan. Lagi-lagi Xena menjawab dengan anggukan. Membuat Jess sedikit mengerutkan kening heran. "Lo kenapa? kayak enggak memiliki semangat?"
Xena malah mengedikkan bahu sebagai respon. "Gue enggak tau, apa kepulangan gue ini tepat atau malah nantinya akan ada drama lanjutan."
"Yah, pastinya bakalan ada, Na. Makanya gue perlu menanyakan kesiapan hati lo. Sanggup atau enggak."
"Gue kembali untuk Djena, bukan untuk Om Riga."
Decih tak percaya serta merta menjadi irama yang membuat Xena merotasi matanya. Jess mencemoohnya demikian telak. "Jangan bilang kangen sama Om Riga, ya."
"Gue enggak pernah berucap itu di depan lo, Jess," kata Xena kalem yang masih disambut Jess dengan cibiran.
"Segera, Na. Segera. Lihat aja nanti."
Jess membiarkan Xena tak lagi menatapnya alih-alih Jess memperhatikan bagaimana tatapn Xena lurus sekali mengarah pada jaan raya. Seolah di dalam kepalanya, sedang terjadi pergulatan penuh ragu. Jess bisa merasakan itu dengan amat.
"Kalau lo ragu, Na, enggak usah kembali pun enggak apa." Jess berkata dengan lirihnya. Sebenarnya ia cukup menyesal karena mendukung Xena agar berani. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tak ingin sahabatnya ini terpuruk lama. Ada sebagian hatinya yang tertinggal di Jakarta. Bukan sebatas hubungannya dengan Riga melainkan arti keluarga.
Walau hanya sekelumit ia ketahui kalau kedua orang tuanya meninggal, tapi ada satu bagian dari Xena yang hidup hingga kini. Kenangan yang membuat Xena bisa terus tersenyum. Dan Jess tak sampai hati kalau sampai senyum itu menghilang hari ke hari. Kadang, di antara obrolan seru mereka bertiga bersama Asya, terselip nama Vally di sana. Atau juga, nasihat sang ayah yang menurut Xena ia sedikit lupa-lupa ingat. Lalu ... ia teringat kalau mereka semua sudah lama tiada.
Keputusannya untuk pergi, sangat lah tak tepat. Apalagi saat Jess muai mneghubungkan banyaknya konspirasi yang terjadi menyelimuti Xena, ia tau dan sadar, bahayanya sama dengan ia menantang bom bunuh diri.
Sontak, ucapan Jess mendapai kernyitan bingung dari Xena. Sorot matanya menatap lekat sang sahabat meminta penjelasan lebih. Akan tetapi, Jess memilih menikmati jusnya alih-alih bicara. menyikapi hal itu, Xena menghela napas pelan. "Gue enggak ragu, Jess. justeru makin hari makin penasaran apalagi gue sudah mulai mengikuti medsos Rubah. Paling enggak gue tau pergerakan dia dulu. Karena dia kunci keberadaan gue."
Jess kini memilih mengadu pandangan dengan Xena. "Maksudnya?"
"Gue enggak tau motif dan rencana apa yang sebenarnya Rubah lakukan. Yang gue tanggap, dia hanya pengin gue pergi dari Om Riga. Tapi setiap kali gue tanya, bagaimana bisa gue ditemukan olehnya. Cara dia mengindari serta mengurus surat-surat mengenai gue. Itu bikin gue pusing mendadak."
"Lo benar. Itu pun yang menjadi tanda tanya besar sama gue. tapi belum pengin gue suarakan karena, yah ... gue harus melihat kondisi lo sendiri."
Xena makin tak memahami arah bicara Jess. "Maksudnya?"
"Gue trauma, Na. Itu benar. Gue takut, lo pun mengalami hal yang sama. Apalagi kondisi fisik lo sekarang. Jangan memungkiri satu hal yang penting ini, Na. Dulu, bisa dibilang lo sempurna. Sama seprti gue. diciptakan Tuhan demikian sempurnanya. Sekarang? Karena kejadian itu, jangannya mengangkat beban terlalu lama. Gue ngangkat nampan berisi mangkuk sup dua aja, sudah gemetaran. Padahal lo tau gue, kan? Gesit. Cekatan. Bebas bergerak." Jess memperlihatkan tulang lengannya yang bergeser. Ada tonjolan di sana walau fungsinya sudah kembali namun untuk normal rasanya butuh waktu yang lama.
Xena memahami apa yang Jess katakan kini.
"Gue tau, lo enggak suka kalau harus mengambil alih Djena. Gue akhirnya mengerti kenapa lo enggak suka ketika lo de ngan asyiknya ada di taman belakang. Merawat bunga. Seolah bunga-bunga itu kawan lo yang baru."
Xena memilih diam.
"Bukan passion lo berada di belakang meja dengan banyaknya kerjaan, kan?"
Tepat sekali apa yang Jess katakan. Membuat Xena merinis pelan.
"Bicara mengenai trauma, bukan hanya gue, Na. Seperti yang pernah gue bilang, ada yang kehilangan juga seperti keluarganya Putri, kan? Gue masih berkomunikasi sama teman-teman di kampus. Saling tukar kabar. Dan, yah ... keluarga Putri sampai detik ini masih sedih dengan apa yang terjadi. Walau pun diberitakan terorisnya ditangkap. Tapi mendengar cerita lo, gue yakin, ini bukan sekadar teroris."
Pelan, Xena menyepakati hal ini. "Dan ... siapa yang dimakamkan atas nama gue, Jess. Itu pun kita mesti cari tau."
Jess menjentikkan tangannya dengan binar puas. "That's, Na. Itu yang mesti kita ungkap. Gue menyetujui lo pergi, bukan lantas benar-benar mendukung lo di sini. Enggak." Gadis itu menggoyangkan telunjuknya. Lalu kembali melanjutkan bicara. "Tapi selesaikan ulu masa lalu kita di Jakarta. Baru lah kita pilih, hidup damai. Lo di toko kembang, gue di kafe."
Ada satu hal yang baru Xena sadari di sini. Entah kenapa, sejak ia tinggal di Bandung, pemikirannya tak sesimple dulu. Ada banyak hal yang harus ia pertimbangkan baik-baik juga butuh pemikiran lebih. Termasuk pembicaraan ini. Selama ini, mereka berdua jarang sekali atau bisa dibilang Xena menghindari sekali untuk mulai menyusun puzzle retak yang terjadi dalam dirinya. Melalui obrolan yang sarat akan banyak makna juga teka teki ini.
Akan tetapi, saat ia tanpa sengaja mendengar seseorang membawa kecelakaan tahun lalu, juga ada seseorang yang menjadi incaran pihak tertentu. Maka mulailah, sepertinya Tuhan juga turut membantunya, agar Xena tak lagi menghindari kenyataan ini. Fakta di mana memang banyak sekali lubang menganga dalam hidupnya.
"Lo jangan takut, Na. Jangan ragu. Ada gue di sisi lo, kok." Jess menyentuh lengan Xena, sedikit mencekalnya tanda simpati. Membuat Xena akhirnya memutuskan dengan satu keyakinan penuh.
"Oke, besok kita berangkat."
Senyum Jess terkembang. Setidaknya, ada banyak harapan ketika mereka kembali ke sana. Semua tabir yang sengaja ditutupi, bisa dikuak satu demi satu.
"Tapi sebelumnya gue perlu memastikan satu hal," sela Xena buru-buru. Pun geraknya mengambil ponsel di tas yang ia letakkan di meja. Semua gerak Xena tak luput dari pengamatan gadis itu.
Xena sedikit mengabaikan Jess, memilih fokus pada ponselnya. Menekan pelan layar ponselnya pada angka yang tak pernah ia lupa hingga detik ini; nomor telepon rumahnya.
Dan benar, suara di ujung sana adalah penentu langkah yang akan ia ambil begitu tiba di Jakarta esok hari.
Suara Narti.
***
Xena membuka pelan jendela losmen yang ia sewa seminggu ini. Ia tak mungkin segera mengarahkan tujuannya ke rumah di mana kenangan akan keluarganya tak pernah padam. Merasakan embus angin yang cukup segar karena pagi ini, mereka sudah tiba di Jakarta. Jess masih terlelap padahal perjalanan semalam lancar tanpa ada kendala.
Akan tetapi, Xena sendiri rasanya seperti orang yang habis lari marathon. Lelah. Akumulasi tenaga yang terlalu diporsir karena harus meninggalkan rutinitas mereka, memang sangat menguras tenaga. Ia memutuskan hari ini lah, kunjungan perdana setelah sekian lama tak berkunjung ke rumah besarnya.
Dulu, Xena pernah merengek untuk sekadar menemui Narti, Didi, juga Jaka. Para pekerja setia mereka namun, Riga melarang keras. Katanya, selama tak bersama Riga, gadis itu sama sekali tak boleh keluar dari jalur yang sudah ditetapkan; hanya boleh ke sekolah dengan antar jemput, les tambahan pun ditunggui bodyguard, juga saat ia kuliah.
Riga membuat Xena benar-benar seperti burung dalam sangkar emas.
"Kita ke rumah lo jam berapa?' tanya Jess parau, membuat Xena menoleh dan terkekeh.
"Mandi dulu, lah. Lo tidur kayak kerbau gitu."
Jess mencebik. Menarik kembali selimutnya. Tindakannya itu mendapat gelengan heran dari Xena. Saat ia memastikan kalau di rumah itu masih ada Narti di sana, ia tak bicara sepatah kata pun. Kilas memorinya terputar pada masa kecilnya yang bahagia di sana. Ia memang sering ditinggal bersama Narti di rumah namun, kasih sayang yang Xena rasa tak pernah ada kurangnya.
Juga ada Didi yang selalu menemaninya berkegiatan di sekolah.
"Aku kembali, Mom, Pa," katanya sembari kembali menatap luar jendela. Di bawahnya, kepadatan lalu lintas Jakarta menyapa penglihatannya. Debu mulai naik diembus angin yang sudah tak lagi segar. Matahari pun mulai terasa terik. Menimbulkan kenyit di kening Xena, sudah berapa lama ia termangu di sini tanpa sadar waktu sudah berjalan?
"Keputusan ini ... apa lebih baik dari saat aku di Bandung?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro