Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part. 18


20 NOVEMBER 2019

"Hei, Xena. Ngapain, sih, lo bengong pagi-pagi? Enggak guna banget." Jess duduk di dekat Xena segera. Pagi ini kunjungan yang entah sudah ke berapa kali dengan wajah Xena yang mendung.

Lagi-lagi pemandangan Xena yang mengaduh pastanya tanpa minat, tersaji sempurna di depan mata Jess.

"Gue sendiri bingung kenapa begini."

Jess tergelak. "Om lo masih marah perkara kemarin?"

Bahu Xena makin merosot. "Lebih dari itu, sih. chat kita dia baca."

Jess sukses tersedak udara yang ia ambil lewat mulut. "Wah ... Om Riga memang hwat, tapi gue enggak mau berurusan sama pria dingin kayak dia. Hiihh ... ngeri."

Lawan bicaranya sudah menduga hal itu. Kembali menatap malas juga tanpa minat karena sungguh suasana hatinya buruk sekali.

"Eh kalau gue enggak salah ingat, hari ini Om lo jadi pembicara di seminar, kan? Semangat dong."

Xena meringis saja. Memang benar, hari ini adalah hari yang ia tunggu ternyata. Biarpun Riga sudah lama tak bersikap bersahabat dengannya, untuk beberapa hari belakangan ini, Xena patut tersenyum senang. Mendapati pria yang terbiasa rapi dengan blazer mahal itu lalu bicara di depan umum layaknya seorang pebisnis sukses, mengingatkannya akan sosok Papa.

Kadang, Xena kecil ikut ketika Hanif Dinandirja menjadi salah satu pembicara. Yang tak ia mengerti apa inti perkataan sang ayah. Hanya satu yang selalu terpatri dalam benak, jangan pernah berhenti berjuang kalau memang layak diperjuangkan. Kala itu Xena berusia tiga belas tahun. Bertanya dengan kesungguhan apa maksud perkataan ayahnya.

Namun, hanya usap sayang yang lagi-lagi Xena terima. "Suatu saat nanti, Xena akan mengerti. Gunakan hati ketika akan berjuang. Karena hati paling tau, ke mana tujuannya." Hanya itu yang Hanif katakan tapi selalu Xena genggam erat hingga kini.

Bicara mengenai sosok ayahnya, membuat Xena menutup kelopak matanya. Mengulang kembali memori manis itu agar jangan mati. Ah, mungkin esok kala weekend tiba, mengunjungi makam mereka adalah obat paling mujara mengentaskan rindu.

"Tapi Om lo sangar banget, ya. Lo benar, Xena, enggak apa-apa?"

Xena sontak membuka matanya. Menatap Jess dengan pandangan tanya. "Maksudnya?"

"Iya, gue lihat Om lo kayak marah banget gitu. Lo enggak kenapa-napa, kan? Enggak dimarahin banget?"

Xena hanya mengedikkan bahu. "Gitu lah."

"Gitu lo mau minta kerjaan sama gue," dengkus Jess geli. Ia tak bisa membayangkan dirinya pasti akan terseret masalah yang lebih besar lagi. "Gue enggak mau ambil risiko kafe gue diremukin sama Om lo," kelakarnya lebuh jauh.

Sejak Jess benar-benar melihat Riga secara langsung—kemarin—pada akhirnya ia menyadari kalau banyak tekanan yang mendera sahabatnya itu. Walau tanpa kata, Jess yakin, Xena sebenarnya butuh seseorang untuk bersandar. Segera ia mengusap punggung Xena pelan, sekadar membagitahu kalau gadis cantik itu tak sendiri. Ada dirinya. "Lo sabar aja dulu, deh. Mungkin aja Cuma sebentar marahnya Om Riga."

"Thanks, Jess."

Setidaknya, Xena tak salah memilih tempat untuk menepi sejenak. Sejak dirinya keluar pintu apartement, kata-kata Kali kembali bergaung. Mungkin kalau dirinya tak ada di tengah mereka, Xena yakin, baik Riga dan Kali sudah melangsungkan pernikahan sejak setahun lalu.

Sering kali, wanita cantik itu menyinggung mengenai pernikahan. Baik ada atau tidak ada Riga saat mereka di apartement. Namun tak pernah ada balasan pasti dari Riga yang membuat Xena berpikir, apa karena dirinya dan surat wasiat itu?

Apa karena tanggung jawab lain yang Riga emban?

Apa karena dirinya hingga menghalangi Riga menggapai bahagia?

Lekat sekali dalam benak Xena kalau Riga memang akan menikahi sang kakak. Tapi waktu bergulir dan tak ada yang bisa memungkiri kalau Vallerie sudah meninggalkan mereka selamanya. Mungkin dengan adanya Kaliandra, Riga dalam pikiran Xena bisa bahagia.

Melanjutkan mimpinya berumah tangga.

Satu desah panjang penuh frustrasi Xena keluarkan. Siapa Xena? Bukan siapa-siapa bagi Riga. Kalau pun Riga secara struktural bekerja padanya, Riga sudah mendapat bayaran. Pun segala kemewahan yang Xena terima, memang hasil dari perusahaan peninggalan ayahnya. Lantas? Kenapa dirinya malah seperti penggangu?

Dan kenapa juga Xena tak berani bersuara?

Benar. Ia hanya butuh menunggu. Menunggu saat yang tepat agar semuanya kembali ada di genggamannya. Walau sebenarnya ia tak ingin. Sama sekali. Pilihan studinya memang diperuntuk agar dirinya siap. Oleh siapa? Riga. Apa pernah pria itu bertanya apa kesukaannya? Hanya sekali dan Xena rasa mungkin pria itu sudah lupa.

Xena menyukai Lily. Memiliki kebun disertai banyak tanaman bunga hias adalah keinginannya. Toko bunga lengkap dengan dirinya yang cakap membuat buket, adalah harapannya. Dalam sibuk yang ia punya selama studi bisnisnya, ia pun banyak mempelajari cara-cara mendirikan serta budidaya bunga.

Akan tetapi, mana berani dirinya membantah dan menyela inginnya Riga untuk bekalnya kelak. Semakin bertambah usianya, Xena merasa memang tak memiliki kecakapan akan bisnis keluarga yang menjadi penopangnya kini.

Setiap kali laporan dibacakan dan Xena menyaksikan sendiri berlembar-lembar di hadapannya, otaknya mendadak beku. Pusing karena sama sekali tak memahami isinya. Perlahan ia mulai mempelajari dan yah ... hanya berbekal keyakinan kalau dirinya harus bisa lah, yang membuat Xena kini mengerti bagaimana perusahaan itu dijalankan.

Xena tak buta mengenai laporan keuangan pada akhirnya. Ada beberapa titik minus yang harus dipenuhi Riga namun, Xena sendiri berulah.

Banyak keuntungan yang ia manfaatkan secara pribadi, yang Riga tau sebagai bagian dari pemborosan Xena. Padahal ... ada yang gadis itu rencanakan.

"Hati yang paling tau ke mana akan berlabuh."

Sekali lagi, suara sang ayah bergema. Mengukuhkan dirinya kalau apa yang ingin ia jalankan, adalah keinginannya. Djena? Akan ia pikirkan nanti. Atau ... menyerahkannya pada Riga saja? Agar dikelola terus menerus sementara Xena dengan hidup barunya?

Nanti. Nanti akan segera Xena pikirkan jalan keluarnya. Fokus utamanya kini, mengumpulkan pundi uang untuk tujuannya. Dan itu tak sedikit. Xena yakin itu. Jess endirikan kafe ini saja, bermodal ratusan juta. Mungkin sama seperti keinginannya akan toko bunga.

Kalau Riga tau keinginannya, entah akan semarah apa pria itu padanya. mungkin lebih pada kecewa setelah sekian tahun menjaga Djena dengan baik, justeru orang yang seharusnya memegang kendali, malah ingin melepasnya.

"Ayo, kita ke kampus," ajak Jess. Membuat Xena mengerjap pelan. Disesapnya sedikit minum yang ada di depannya. Bersiap. Ah, menyiapkan hati karena nantinya akan menatap Riga yang duduk bersama Kaliandra dengan pongahnya itu.

"Nah, benar aja. Sudah ramai," keluh Jess begitu mereka memasuki gedung tempat diselenggarakannya seminar. "Kita langsung masuk atau gimana?"

Tadinya Xena berencana sekali untuk duduk di barisan paling depan. Tadinya juga ia ingin banyak mengabadikan moment di mana Riga bicara dalam benaknya. Mungkin saja sama seperti sang ayah dulu; keren dan berwibawa walau Xena yakin seribu persen, Riga lebih mengesankan ketimbang ayahnya.

Wajahnya yang memang tampan, sorot matanya tajam namun Xena sering kali mendapati tatapan menghangat darinya (dulu), sikapnya yang tegas, suaranya yang tak pernah ada keraguan di dalamnya. Belum lagi tubuhnya yang menjulang tinggi. Dibalut setelan Armani sebagai merk kesukaannya, selalu sukses membuat orang lain tak berhenti menatapnya dengan kekaguman.

Namun sosok Kaliandra bermain di kepalanya. Membuatnya urung untuk melangkah mendekat ke sana dengan riang dan buru-buru.

"Lo duluan aja, Jess. Gue mau ketemu Jimmy dulu."

Jess mengerjap bingung. "Jangan bilang lo mau diskusi sama si Kutu Buku itu?"

Xena tersenyum kecil. "Enggak, dia sibuk. Gue cuma balikin bukunya aja, kok."

Belum genap Xena melangkah menjauh, Jess kembali menghentikan langkahnya. "Lo sama Jimmy pacaran, ya?"

"Omong kosong dari mana itu?" Xena mengibaskan tangannya dan gegas melaksanakan niatnya. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, kok. Hanya saja, sebenarnya ia bisa mengembalikan buku itu nanti. Xena mempergunakan waktu untuk sekadar diulur. Agar ketika ia kembali, ia duduk di area belakang saja.

Tak mau berlama-lama menatap Riga di depan jajaran tamu undangan. Yang bisa dipastikan, tak jauh dari podium utama. Sementara Jesslyn, pasti akan memilih tempat di depan. Bukan lantaran ingin mendengar ceramah dan petuah dari Riga. Bukan. Xena yakin dengan pasti akan hal itu. Yang Jess lakukan hanya agar mereka berdua bisa duduk puas memandangi betapa kerennya Riga, terutama Xena.

Memperhatikan Riga dari kejauhan karena jika Riga bersama Kali, rasanya suasana hati Xena makin mendung saja.

"Gue kenapa, sih?" keluh Xena pelan sembari terus berjalan. Menyusuri koridor menuju kantin belakang tempat pemuda itu memberitahu posisinya saat ini.

"Kenapa apa, Na?"

Beruntung Xena berhenti tepat waktu. Kalau tidak, bisa dipastikan dirinya menubruk pria yang ingin ditemuinya itu dengan telak. "Lo ngagetin gue aja." Segera Xena putar ranselnya dan mengeluarkan satu buku yang memang sengaja ia pinjam. "Thank, ya. Berguna banget."

Jimmy tertawa. "Sama-sama. Senang bisa bantu lo, Na."

Sebelum gadis cantik itu berbalik, Jimmy menahannya. "Lo enggak ikut seminar?"

Xena hanya tanggapi dengan senyuman kecil, berlalu dengan segera walau memperlambat langkah. Ia kembali menuju tempat di mana dirinya berpisah dengan Jess tadi. Namun kali ini langkahnya dibuat sangat lamban. Ah, apa sebaiknya xena mampir dulu ke kantin? Sekadar membeli permen? Untuk memperlambat waktu tiba?

Ide yang bagus.

Dan segera ia wujudkan demi menuntaskan pemikirannya agar ia bisa mendapat duduk di belakang saja. Niatnya ingin melihat Riga di depan, sudah lenyap karena Kali. Satu kantung makanan manis sudah ia jejal masuk ke dalam ranselnya. Juga air mineral sebatas pengisi penuh tas ranselnya.

Dering ponsel menginterupsi langkah Xena yang memang tak ada cepatnya sama sekali padahal acara akan segera dimulai.

"Na, lo di mana?"

"Bentar lagi."

"Jangan lama-lama, acaranya se—"

Xena memilih mematikan sambungan teleponnya. Ia yakin, Jess pasti sudah mengambil posisi di depan atau di barisan agak tengah. Dan juga menyediakan satu untuknya. Tetapi kali ini, Xena tak mau. Inginnya bulat saat ini. Duduk di belakang. Tak terlalu terlihat oleh Riga.

Atau bahkan, sekalian saja tak perlu ada di dalam jangkauan Riga. Itu lebih baik. Walau terbersit pemikiran kabur dari seminar adalah jalan paling menyenangkan namun ia tak mau ambil risiko. Ia harus terlihat, walau hanya sekelibatan dari pandangan Riga.

Dan benar saja, saat Xena sudah tiba di ruang seminar, sudah banyak mahasiswa lain yang berjejal masuk. Seperti ada magnet tersendiri bagi mereka berkerubung seperti ini. Entah karena pembicaranya yang digantikan oleh Riga atau memang karena Riga sudah tiba dan menjadi bintang mendadak?

Adegan di mana dua pasang manusia elok rupawan turun dari sedan mewahnya, disambut hangat oleh penyelenggara acara, sudah ada dalam bayang Xena. Berjalan anggun nan elegan tanpa menurunkan tatapan tajamnya pada sekitar. Tampak acuh dengan apa yang terjadi dan segera menuju tempatnya berada di ruangan yang telah disediakan.

Semua tergambar sempurna dalam benak Xena.

Xena tak ingin ambil pusing namun bayang itu terus saja mengusik.

Ia masuk dan sesuai inginnya, duduk di area belakang. Tak terlalu terdengar sama sekali apa yang disampaikan para pembicara di sana. Sorot mata Xena hanya tertuju pada satu titik; Riga Angkasa. Di mana tepat di belakang pria itu duduk, ada Kali yang mendampingi.

Xena mengakui dengan amat betapa mantan calon kakak iparnya ini benar-benar memesona. Paduan tampan berbalut jas rapi juga wajahnya yang tak bosan dipandang, memang anugerah tersendiri bagi Riga. Bahkan Xena pernah terang-terangan memuji betapa tampan Riga di depan kakaknya. Dan ditanggapi dengan kekehan geli oleh Vally, dulu.

Belum lagi, benar adanya kalau apa yang Riga katakan di depan umum membuat banyak orang—terutama para gerombolan mahasiswi—hampir histeris. Bicaranya sangat memberi kesan kalau Riga menguasai apa yang ia katakan. Lugas dan tepat sasaran terutama point-point yang menjadi inti kenapa dirinya dipilih sebagain pembicara siang ini.

"Kenapa rasanya sesak, ya? Ngeselin banget, sih, Kak Riga. Katanya sayang banget sama Kak Val. Mana? Pembohong!" rutuk Xena tanpa sadar. Andai saja tidak ada Kaliandra tadi pagi, mungkin kali ini tepuk tangan paling kencang akan Xena persembahkan untuk Riga. Ah, harusnya ia merutuk pada bibirnya yang sempurna sekali memberi informasi terkait kegiatannya hari ini.

Harusnya ... Xena bisa menatap Riga demikian puas di jajaran depan.

Bukan seperti sekarang yang menghindari padahal mereka sangat dekat, oh ... untuk saat ini tidak. Xena bahkan tidak mengenal Riga yang sekarang. Dingin, kaku, banyak aturan, tukang perintah, juga seringnya memarahi Xena. Namun ... biar bagaimanapun, Xena berutang budi padanya. Riga berbaik hati merawatnya dengan sangat baik hingga kini.

Sayangnya ... semuanya berantakan karena rubah berekor sembilan itu mirip lintah menempeli Riga tanpa tau diri juga malu. Hingga acara itu hampir selesai, Xena tak puas-puas mengumpat untuk Riga. Ketika selesai acara, Xena pun bersiap untuk segera keluar ruangan. Camilan yang tadi ia beli sudah habis dikunyahi sembari bergumam kesal.

Sungguh, pemandangan di depannya membuat muak dalam diri Xena berlipat-lipat. Bagaimana dengan gayanya yang manja, Kaliandra seolah perempuan paling beruntung ada di sisi Riga. argh! Semuanya membuat Xena kesal.

Memang, ruangan ini tertutup. Sekali waktu dalam diskusi serta tanya jawab di mana Riga sebagai narasumber berlangsung, entah sudah berapa kali mereka saling bersitatap. Sorot Riga mengisyaratkan penuh tanya yang tertangkap oleh Xena yang duduk di belakang. Ingin Xena abaikan namun apa daya, Xena terlalu menyukai sorot kelam seorang Riga Angkasa.

Begitu acara berakhir, Xena memilih keluar belakangan. Ia pun memutuskan menemui Jess di kantin saja namun, hal terakhir yang Xena ingat, suara Riga begitu lantang memanggilnya. Saat ia menoleh, Xena merasa ia sudah terlambat menyadari ada sesuatu hal terjadi. Hanya ada satu hal yang benar-benar ia rasakan. Xena merasa tubuhnya seperti terbakar dan perih di hampir sekujur tubuh.


***
Kita memasuki bagian yang menenangkan dari cerita ini. Hahahhahah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro