Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17

Seorang pria berjalan dengan langkah pasti diiring dengan banyaknya kepala yang menunduk ketika ia melewati jejeran pria bersetelan serba hitam. Juga dirinya. Mengenakan blazer hitam lengkap dengan tongkat sebagai alat bantu jalannya, tak lupasatu cerutu selalu setia berkawan dengannya hingga kini.

Duduk dengan gerak cukup dramatis yang membuat aura di ruangan yang cukup luas namun sedikit penerangan di dalamnya, makin sesak. Asap mengepul dari balik cerutu yang baru saja ia isap. Memejam sejenak, merasakan nikotin yang cukup membuatnya tenang. Dalam pejamnya, apa yang hari ini akan dilaksanakan para pesuruhnya, akan berhasil.

Ia sudah membuat kalkulasi lebih mengenai hari ini.

Tak boleh ada cel*h.

Tak ada keinginannya untuk gagal lagi.

Juga tak ada dalam kasus dirinya menjalankan aksi, kembali mendapatkan sasarannya menghirup udara bebas.

Semuanya harus ia terabas, tanpa ampun. Terutama ketika ia melirik pada kakinya. Yang seumur hidup akan tetap seperti ini hingga ia menyapa Tuhan-nya kelak. Membuat bara dendam dalam tubuhnya kembali bergejolak.

"Pastikan dia dibawa ke sini. Hidup atau mati!" Suara itu begitu mengerikan. Sarat dendam juga kemarahan yang nyata tersirat. Untai kata pun tatap matanya tak pernah turun dalam kadar awas; selalu siaga. Bahkan anak buah yang sejak tadi berdiri di sekitar meja kerjanya, tak ada yang mampu beradu pandang dengannya.

Takut.

Itu yang mereka rasakan. D0minasi dari sang pria bersetelan hitam itu sungguh terasa. Asap lagi-lagi mengepul memenuhi dengan segera sesaat setelah ia mengembuskan sisa pembakaran cerutunya.

"Jangan sampai gagal untuk kali ini."

Kata-kata itu bagai ajian yang sarat sekali ancaman. Berhasil atau tidaknya rangkaian rencana mereka siang hari ini, bayarannya tetap sama. Berhasil, mereka bisa menyaksikan sendiri kematian seseorang yang seharusnya sudah terukir namanya pada nisan. Atau ... gagal. Dengan masing-masing dari mereka menggantikan si seseorang yang menjadi tujuan mereka.

Pilihan ada di depan mata mereka, kan?

"Baik, Pak." Salah satu dari kumpulan orang-orang berjas hitam, orang yang paling dipercaya, yang berani bersuara. Satu per satu kumpulan itu keluar ruangan. Meninggalkan sang pria masih duduk dalam singgasananya. Membekali diri dengan keyakinan akan keberhasilan mereka kali ini.

Sudah cukup amarah yang pernah digaung sang pria di singgasananya tadi, beberapa tahun lalu. Beberapa rekan mereka, dieksekusi di tempat karena kegagalannya. Padahal saat itu sedikit lagi. benar, sedikit lagi mereka berhasil kalau saja ...

Ruang dengan cahaya minim itu masih menimbulkan aura yang demikian mencekik. Belum lagi kepul asap yang perlahan hilang dan timbul dengan teratur seiring dengan kegiatan bercerutunya yang masih setia dilakukan.

"Alan," panggilnya pada orang yang tak beranjak dari mana-mana sejak tadi. Memiliki dua orang kepercayaan menurutnya adalah efisiensi. Salah satunya eksekutor sementara lainnya, bertindak sebagai penasihat. Dirinya masih memiliki kekhawatiran bahwasanya rencana bisa saja gagal.

"Ya, Pak."

"Menurutmu ... Pian bisa berhasil kali ini?"

Sejenak pria bernama Alan terdiam. Berpikir sekaligus menghitung konsekuensi rencana yang sudah disusun rapi sejak sebulan lalu. Termasuk beberapa kali mengecek lokasi. Kalkulasi Alan, kali ini mereka tak akan mungkin gagal. Tak boleh gagal. Kali ini, kesempatan itu sudah dibuka lebar. Tak boleh ada kesalahan lagi seperti sebelumnya.

"Berhasil."

Pria itu kembali mengepulkan asap. "Bagus." Dirinya hanya tinggal menunggu. Dilirik jam pada lengan kanannya, tiga jam lagi sebelum huru hara dimulai. Dan mendapati orang yang ia incar sejak lama. Mendapatinya adalah bayaran penantian selama ini.

"Apa kita di sini saja? Rapat direksi mulai satu jam lagi?"

Menimbang sejenak sebelum akhirnya ia beranjak dari kenyamanannya. "Kita rapat. Mendengar banyak ocehan tak berguna dari para pekerja." Pria itu pun melewati lelaki bernama Alan tadi. Mengangguk kecil, Alan mengikuti langkah dengan berjarak di belakangnya.

"Siapkan mobil Bapak," katanya melalui benda kecil yang selalu menempel di telinga. Tanpa butuh jawaban, Alan memutus sambungan komunikasi tadi. Ketika keluar dari tempat mereka berkumpul tadi, Range Rover hitam sudah menunggu tak jauh dari gerbang. Dibuka dengan cepat pintu penumpang dan pria bercerutu itu masuk. Diikuti Alan dan mereka melesat pergi.

Membelah jalan Jakarta demikian angkuhnya. Sama seperti pria tadi. Masih menjepit cerutu dan lagi-lagi mengepulkan asap tanpa menghiraukan sekitarnya. Berdecih kecil saat di lampu merah perempatan, di mana mobilnya terhenti karena traffic light. Matanya nyalang mendapati satu pengemis kecil bergerak mendekat ke arah kaca jendelanya.

Terlihat dari luar, hanya hitam legam penuh pongah. Sementara dari dalam, sang pria juga sang asisten, bisa jelas melihat tampang-tampang kotor dan kumal yang mendekati mereka.

"Beri mereka uang, Alan. Buang sial. Hari ini kita melakukan kekejaman lagi," perintahnya demikian santai namun sungguh, kalau saja Alan tak terbiasa ada di dekatnya, mungkin ia sudah terbunuh karena aura yang dimiliki sang pria paruh baya ini, kelam sekali.

Gegas, Alan mengeluarkan beberapa lembar merah dan segera memberikannya pada dua orang yang mendekat tadi. Mata mereka membulat mendadak dan entah sudah berapa kali berucap terima kasih yang hanya ditanggapi dengan anggukan kecil dari sang pria. Pun Alan.

Mobil hitam itu kembali melenggang menuju tempat seharusnya mereka ada, Energy Building.

****

"Vin, sudah dipastikan aman?" tanya Riga sembari memperhatikan tampilannya.

Pagi ini, ia masih harus ke kantor sebelum menghadiri seminar sebagai tamu undangan. Dikenal sebagai salah satu dari banyaknya nama pebisnis sukses di Indonesia, Riga terkadang—ini sudah dengan banyak penolakan kecuali untuk hari ini—mendapatkan undangan mengisi seminar. Hanya karena undangan yang disampaikan Vino berasal dari kampus Xena lah ia akhirnya mau menghadiri.

"Sudah, Pak. Orang-orang Tony sudah berjaga di sekitar area."

Riga mengangguk walau ia tau Vino tak tahu. "Jangan sampai lengah," imbuhnya.

Ia masih berada di kamar. Mematut diri dengan kemeja juga dasi, dan menyambar jas yang sudah tersampir di dekatnya. Dirasa semua sudah sesuai, Riga keluar kamar namun alangkah terkejutnya mendapati Kali sudah ada di depan pintu kamarnya.

"Mau apa kamu?"

"Ya ampun. Ini masih pagi. Kamu sudah ngibarin bendera perang aja," celetuk Kali cukup sinis. "Sesekali sambut aku dengan senyum, Riga."

Pria itu hanya menggeleng sekilas. Melanjutkan langkahnya ke dapur. Semalam, gadis itu berjanji membuatkannya sarapan. Akan ia tagih kali ini. Walau hanya bisa menyajikan roti selai strawberry atau dengan kacang, Riga tak masalah.

Ia masih mengingat bagaimana pucat dan tegangnya gadis itu kala Riga memergoki percakapan absurd dengan sahabatnya—mungkin—itu. Berkali-kali Xena minta maaf dan berjanji tak akan menggosipkan dirinya lagi semalam.

Riga memilih tak menjawab semua perkataan Xena. Terlalu mudah dikelabui dan gampang sekali terpedaya; itu Xena di mata Riga. Pria itu lantas memilih sibuk di dapur sekadar menyiapkan makan malam sementara gadis itu, duduk di salah satu kursi meja makan. Dari sudut matanya, bisa Riga perhatikan kalau duduk yang Xena lakukan dalam keadaan gusar. Mungkin perpaduan malu juga seperti ketahuan melenceng darinya, yang membuat gadis itu makin memerah pada rona pipinya.

Sudah tak lagi bersuara serta merengek lagi memang.

"Kamu berniat mau kerja sambil kuliah?"

Xena langsung menunduk tak berani lagi memperhatikan Riga di dapur. Padahal Xena merasa punya sedikit keberuntungan melihat Riga kembali berkutat di dapur setelah sekian lama.

"Jawab, Xena."

Yang bisa Xena lakukan hanya mengangguk kecil. terlalu takut mengeluarkan suaranya.

"Buat apa kerja?" Riga telah menyelesaikan masakannya. Hanya tinggal menambah beberapa iris tomat sebagai topping. Satu piring lainnya ia bawakan untuk gadis yang kini tak lagi berani menatapnya. "Xena. Kamu diajarkan untuk menatap orang yang bicara dan bertanya sama kamu, kan?"

"Iya, Om."

"Xena!"

"Iya, Kak Riga." Xena mengangkat pandangannya. "Maaf."

"Untuk apa?"

"Yah ... yah ... Xena butuh uang untuk jajan. Selama ini kartu itu penopang jajan Xena."

Riga menggeleng pelan. "Debit kamu ke mana?"

"Ada," cicit Xena.

"Saldonya?"

Xena bungkam.

"Saldonya, Xena." Riga punya batas dalam melabuhkan tanya. Kalau tak segera mendapat jawaban apalagi terkesan menghindar seperti Xena ini, Riga tak mampu kendalikan lama-lama emosinya. Namun Riga kadang lupa kalau gadis ini sering sekali berbuat seenaknya. Seperti sekarang.

Xena justeru berlari ke arahnya, duduk di atas pangkuannya, dan memeluknya. Memilih menenggelamkan diri pada dada Riga dan meminta maaf berulang kali. Riga ingin melepaskan tapi kemudian ia merasa, bahu gadis kecil itu terisak.

"Maafin aku, Kak Riga. Uang jajannya habis."

Riga memejam sesaat. Tangan yang tadinya biasa ia gunakan untuk mengusap lembut surai panjang Xena, tertahan di udara. Menahan laju amarahnya yang mulai bergejolak. Isak itu malah makin jadi dan membuat Riga pada akhirnya menghela napas panjang. Diraupnya wajah sendiri cukup kasar dan berkata, "Oke. Saya maafkan. Lain kali tolong ... tolong lebih hemat."

Xena melepaskan segera peluk yang tadi ia lekatkan pada Riga. Mendongak tanpa tau malu kalau wajahnya sudah lembab air mata. Pun netranya yang agak buram saat menatap pria yang sudah ia anggap bagian dari keluarganya. Siapa yang ia punya kini? Hanya Riga.

"Iya, Kak. Xena janji."

"Sekarang makan."

Satu suara jentikan jemari lentik Kali membuyarkan lamun Riga dengan segera.

"Kamu melamun, Riga?"

Butuh sepersekian detik bagi Riga untuk mengerti kalau apa yang baru saja Kali katakan itu benar. Dirinya melamun. Atas hal apa? Mungkin karena tingkah Xena semalam yang menurutnya aneh. Ah, bukan sekadar aneh. Seolah jarak yang dibentang mulai kembali dekat seperti awal-awal tahun di mana mereka berdua sama-sama melewatkan hari.

Hari tanpa Vally, bagi Riga. Dan kedua orang tuanya, bagi Xena.

Hingga Djena benar-benar butuh perhatian Riga yang teramat. Membuatnya memasang banyak perlindungan yang justeru menciptakan rentang yang makin jauh. Dan malam tadi, mereka tertawa bersama seperti yang pernah mereka ciptakan sebelumnya.

"Enggak," jawab Riga segera. Gegas ia melangkah menuju dapur, bersiap menyambut sarapan yang dijanjikan gadis berambut hitam legam itu. Masih jelas Riga mendengar, dengkus tak suka yang Kali keluarkan namun Riga tak peduli. Langkahnya saja diimitasi oleh wanita itu. Jadi ia beranggapan Kali hanya sebatas tak menyukai Xena.

Sejak awal perkenalannya memang aura permusuhan kentara sekali berkibar. Namun Riga tak ambil pusing. Baginya jelas, menjaga Xena adalah keharusan. Berhubungan dengan Kali karena dipaksakan. Ia butuh pengalihan dalam pikirannya, agar tak melulu memikirkan Xena. Apa pun jenis pemikirannya.

Karena sungguh, peringatan Ronald keras sekali padanya sejak saat pria itu melihat Xena duduk di pangkuannya.

"Morning, Om. Hai, Tante Kal," sapa ramah Xena yang seperti penguasa di dapur. Padahal hanya berkutat dengan roti dan sendok untuk melapisi roti yang ada di piring dengan selai. "Tante Kal mau sarapan juga? Rotinya butuh dipanggang atau enggak?"

Kali merasa kalau dirinya bertingkah sinis pada bocah tengil ini, maka sepanjang hari Riga akan bersikap anitpati. Entah kenapa pria itu demikian menyayangi walau tak jarang, di depan Kali, Riga memarahi Xena.

"Boleh. Aku bantu gimana?"

Gadis itu menggeleng cepat. "Tante Kal duduk aja sama Om. Pagi ini sarapan spesial buatan aku." Xena tersenyum dan sedikit melirik ke arah Riga yang sibuk dengan mesin kopinya.

Penuh senyum palsu, Kali menuruti dan duduk dengan anggun. Berpura-pura baik untuk Xena akan ia lakukan padahal kemarin, ia sudah memperingati bocah s!alan itu tapi sepertinya gertak yang ia beri tak memengaruhi apa-apa.

Apa ia harus melakukan tindakan yang agak kasar? Mengingat Xena ini sungguh mengganggu hubugannya dengan Riga hingga kini. Sering kali terjadi, saat Kali bersama Riga, Xena menganggunya. Padahal keberadaan mereka jauh namun Riga selalu menjangkaunya. Pulang buru-buru. Tak lagi berkonsentrasi dengan Kali. Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak gangguan yang Kali dapatkan karena Xena.

Kali mengamati Xena dengan amat, setiap geraknya, setiap tindakannya. Padahal Xena ini pantas ia jadikan seorang atau anggap seperti adiknya sendiri. Tapi entah kenapa, Kali tak bisa menganggap Xena seperti itu. Xena saingannya merebut semua perhatian Riga.

"Suasana hati kamu lagi gembira, Xena?" tanya Riga sembari meletakkan cangkir kopinya. "Jangan karena kamu kegirangan seperti itu, dapur saya hancur."

Xena menoleh dan menatap Riga tak percaya. "Astaga, Om. Enggak ada kata yang lebih bagus dari itu?"

Kali bisa menyaksikan dengan jelas, senyum yang Riga tampilkan tipis sekali tapi sorot matanya menghangat hanya karena ucapan Xena yang terdengar memuakkan? Luar biasa Xena kali ini. Kalau ia menarik perhatian Riga saat ini, dirinya akan kalah telak. Xena di atas angin pagi ini. Ia mengalah demi agar tujuannya segera tercapai.

"Oiya, Tante Kal. Om Riga kasih tau enggak?" Xena menghampiri mereka dengan piring berisi beberapa roti lapis aneka rasa. Kemajuan yang teramat besar karena dirinya tak memporakpandakan dapur Riga kali ini.

Xena merasa harus memberitahu ini. membuat wajah Kali merah padam karena kalah, adalah tujuannya.

"Kasih tau apa?" Kali cukup penasaran. Diliriknya Riga yang hanya mengedikkan bahu. Mengambil satu lapis roti dan menyantapnya tanpa ragu. Bahkan pujian kecil dilayangkan Riga hanya karena roti lapis? Kali sangat tidak menyangka hal ini.

"Siang nanti Om Riga jadi pembicara di seminar kampusku, lho." Xena duduk dengan binar mata yang tak dibuat-buat. Memang semenggembirakan ini paginya. Padahal kemarin, dirinya sempat kesal dan marah pada pria yang masih menikmati cangkir kopi pun roti buatannya.

"Sungguh?" Kali tak menyangka hal ini. "Benar begitu, Riga?"

"Iya."

"Aku semangat banget hari ini."

Kali menanggpi dengan senyum. "Aku boleh ikut enggak, ya?"

Xena tersedak susunya sementara Riga menatap Kali dengan bingung. Informasi ini Xena beri untuk membuat Kali kesal. Kenapa justeru berbalik mneyerangnya?

"Untuk apa kamu ikut, Kal?"

"Temani kamu, lah. Jangan lupa, Riga, kita pasangan di publik."

Mendadak, mendung menyapa Xena demikian cepat. "Ehm ... Xena berangkat dulu, ya. Ada kelas pagi."

Ia tak pernah siap mendengar jawaban dari Riga. walau bisa dipastikan Riga menolak, seorang Kaliandra itu rubah. Dan bodohnya ... sungguh, pagi ini Xena mirip sekali orang dungu. Malah semua hal menggembirakan di hatinya, berbalik menjadikan sedih karena Riga datang ke kampusnya, berdua dengan wanita cantik ini.

Ah ... payah! Payah! Payah!


***

Seru enggak cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro