Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16

"Pak, saya rasa meeting kali ini hasilnya oke." Vino tak bisa menyembunyikan gembiranya barang sejenak. Asisten merangkap orang kepercayaan seorang Riga Angkasa berjalan dua langkah di belakangnya. Mengawasi sekitar walau wajahnya terlihat semringah mengenai hasil meeting tadi.

Kecakapan Riga bernegosiasi memang patut diacungi jempol, Vino banyak belajar darinya. Tiga tahun sudah ia bekerja untuk Riga dengan segala tekanannya namun Vino menyukainya. Banyak sekali pelajaran berharga mengenai dunia bisnis juga segala macam yang melingkupinya, Vino dapatkan.

Hal ini jelas membuat Riga menggeleng pelan. Sebenarnya jauh dalam hati Riga, ia memang meyakini kalau negosiasinya kali ini akan membawa dampak. Tak besar memang, tapi setidaknya membuktikan pada para pemiliki saham dirinya masih memiliki potensi.

Ini yang sungguh merupakan pekerjaan besar mengingat hingga kini, masih banyak sekali bahkan kalau bisa dibilang, nada sumbang mengarah dan meragukannya makin kencang berembus. Riga sebenarnya bisa saja masa bodo dengan keadaan Djena. Ia cukup menjaga sampai seseorang yang memang selaku pemilik sah mengambil kendali. Dalam keadaan stabil, juga tak perlu repot dan pusing dengan banyak agenda selama kurun waktu tiga tahun belakangan ini.

Entah mengapa, Riga meyakini pergerakan rival terberat Djena Grup, eksistensinya tak bisa ia abaikan begitu saja. Kentara sekali ingin membuat Djena dalam keadaan kacau balau. Dibantu Ronald, ia bergerak menyelidiki walau dengan informasi yang sangat minim. Kecelakaan lima tahun lalu, tragedi di rumah Xena, juga Djena yang mulai diterpa badai, semuanya seolah dijalankan dengan rapi entah oleh siapa.

Riga bahkan khawatir kalau-kalau, ini semua juga berkaitan dengan keluarga terdekat Hanif Dinandirdja. Kalau ia memikirkan hal ini, pening mendadak menyerangnya tanpa ampun.

Vino gegas membukakan pintu tapi langsung disambar Riga dengan satu kali cekal. Sontak menciptakan pertanyaan tersendiri dalam benak Vino.

"Saya yang buka. Ada Xena di dalam."

Ah, euforia meeting tadi membuat Vino lupa. Ada sang pewaris di dalamnya. Yang sudah barang tentu dijaga sedemikian rupa oleh bosnya tanpa boleh ada c*cat sedikit pun. Vino bisa merasakan, semenjak dirinya bekerja di bawah tekanan Riga, hanya sosok gadis berkulit putih itu yang mampu menundukkan Riga walau sedikit.

Walau hanya sebatas memberi kabar lewat telepon di sela break meeting mereka, Vino sudah bisa menangkap jelas kalau kasih sayang bosnya tertuju pada gadis yang mereka jemput di mall. Bertemu sesekali saja membuat Vino takjub, Xena tumbuh menjadi seorang gadis yang memesona.

Tinggi semampai, berkulit putih mulus tanpa cac*t, rambut hitam legam dengan mata seelok boneka. Aura lembut namun dingin terasa sekali dari diri gadis itu. Tak tersentuh. Tak tergapai.

Berdeham pelan membuyarkan lamun memikirkan mengenai Xena, Vino memilih kembali ke meja kerjanya. Membiarkan sosok Riga masuk ke dalam ruangan namun, belum sampai pintu kaca itu tertutup, Vino sudah kembali mendengar namanya dipanggil.

"Vin, siapkan mobil. Saya segera pulang."

Tak banyak cakap, Vino segera melaksanakan titah Riga.

Sementara di dalam ruangan, Riga masih setia berdiri tak jauh dari sofa. Memperhatikan dengan amat bagaimana sosok yang ia lindungi ini tertidur lelap sekali. Sesekali alisnya berkerut. Pun bibirnya yang merekah—dengan warna lipstik yang sepertinya sudah tersisa tinggal sedikit—tampak bergumam tak jelas.

Cukup lama Riga terdiam di posisinya. Bagaimana gadis itu kini berubah. Bagaimana gadis itu makin jauh darinya, ini pun karena kesalahannya. Dan bagaimana gadis ini sebentar lagi akan menggantikannya di ruangan ini. Kenangannya bersama Xena remaja yang manis, masih sering terbayang walau tak jarang ia tepis jauh.

Benar yang Ronald katakan, Xena terlarang.

Ponsel yang Riga tahu adalah milik Xena, bergetar pelan. Tampilan pesannya masih terbuka jelas tanpa adanya kunci otomatis. Artinya, Xena tertidur dan membiarkan pesan itu masuk bertubi-tubi. Riga cukup penasaran dengan dunia gadis yang bisa digolongkan cantik ini. Ia hanya mendapati laporan bagaimana perkembangan kuliahnya. Prestasi serta indeks nilainya selama ini. Dalam bersosialisasi, Riga hanya menerima satu nama yang dekat dengan sang gadis; Jess namanya.

Mungkin gadis yang tadi ia temui di mall, adalah Jess. Nanti Riga akan cari tau karena ia hanya diberitahu mengenai sosok yang menjadi teman di kampus Xena selama ini.

[Xena, lo yakin?]

[Gue horor banget lo mau kerja bantuin Asya.]

[Lo mending belajar aja lah. Kurang banget duit lo ya? Memang ke mana om lo itu? Bangkrut karena lo jajan mulu ya?]

Riga terkekeh. Penasaran, ia men-scroll pesan sebelumnya.

(Gue di kantor Om Kasa. Lo?)

[sampai tujuan dengan selamat. Biarpun ga diajak ngobrol. Heran. Orang dewasa itu bisu, ya?

(Bantuin gue dong, Jess.)

[Apaan?]

(cariin gue kerjaan. Need much money.)

[LO GILA?]

(Masih waras)

[Om lo enggak ngasih jajan lagi?]

(Gue seperti simpanan om-om, ya?)

[Hahahhaha... kalau Daddy Sugar-nya se-hwat Om Kasa, gue mau deh. Gila, sih, lo. Tinggal seatap dengan laki-laki dewasa sekeren itu. Gue mau deh.]

(Ingat Roy, Jess.)

[Ups! Tapi gue serius, lo enggak dikasih jatah lagi sama Om lo]

(Enggak. Lagi marah orangnya. Serem)

Tanpa sadar Riga menggeleng karena pesan ini demikian membuatnya geli.

[Rayu aja, pasti luluh. Kayaknya dia sayang kok sama lo. Matanya biarpun serem banget gitu, tapi gue yakin dia sayang sama lo.]

(Sayang tapi kok gue dimarahin terus. Sebel.)

(Jess, gue serius. Gue boleh ya kerja bantuin Asya.)

Suara ketuk pelan membuat Riga buru-buru mengantungi ponsel Xena. Mendapati Vino yang membuka pintu, Riga menghela napas pelan. Entah kenapa ia seperti sedang memeriksa ponsel tanpa ingin ketahuan siapa-siapa, termasuk Vino.

"Sudah siap, Pak."

Riga mengangguk sekilas. "Kamu bawa tas Nona Xena."

Tak ada yang bisa Vino lakukan selain menuruti, pun mendahului langkah Riga untuk sekadar memastikan pintu terbuka demikian lebar agar bosnya bisa melenggang tanpa hambatan. Xena dalam gendongan Riga masih terpejam nyaman. Walau sesekali gadis itu menggeliat pelan namun, masih enggan membuka matanya. Mungkin karena terlalu kenyang menyantap makanan tadi, atau memang karena gadis ini kelelahan. Riga tak peduli. Baginya sekarang, memastikan Xena segera tiba di apartement dan segera menidurkannya di ranjang milik sang gadis.

***

Xena ingat kali terakhir dirinya terbaring ada di mana. Kantor Riga. Dan ia pun tak bisa sembarangan berbalik karena sudah bisa dipastikan terjatuh dan menyapa lantai beralas karpet itu. Namun saat ia berbalik, ia tak merasakan tubuhnya sakit karena sapaan di lantai itu. Perlahan mata Xena terbuka. Merasa adanya distorsi waktu yang baru terjadi padanya.

"Kok, ini di kamar?" gumam Xena pelan. Dan betapa terkejutnya ia, mendapati Riga pun terbaring di sampingnya. Alur napasnya teratur, dadanya turun naik dengan irama yang konstan. Dari pengamatan Xena yang sangat singkat ini, dirinya tau kalau pria yang sukses membuat mood-nya hancur hari ini, belum berganti pakaian.

Hanya melepas Armani-nya saja, menggulung lengan kemejanya hingga sesiku, pun membuka beberapa kancingnya. Memperlihatkan sebagian dadanya yang terlihat ... seksi?

Buru-buru Xena menggeleng. Pemikiran dari mana atas hal itu?

Tadinya, Xena ingin gegas ke kamar mandi dan berganti baju. Mungkin berendam pilihan yang bagus mengingat seharian ini ia belum menyentuh air sama sekali. Namun niat itu ia urungkan begitu matanya mengamati Riga dengan amat.

"Capek, ya, Kak?" Pelan, Xena ulurkan jemarinya sekadar mengentaskan keinginannya menyentuh wajah Riga yang tadi kaku karena marah padanya. "Maaf. Xena masih sering merepotkan. Keluarga yang Xena punya cuma Kak Riga. Xena sayang Kakak, sama seperti Xena sayang Kak Val."

Satu kecup lembut Xena beranikan untuk ia beri pada wajah Riga yang ditumbuhi bulu halus. Mengusapnya pelan dan Xena memilih menyingkir untuk segera mandi. Tubuhnya sudah agak lengket dan ingin segera berganti piyama tidur. Mendadak pula, perutnya berbunyi.

"Jam berapa, sih?" Xena mendongak, mendapati jarum di jam dinding mengarah pada angka sebelas. "Ya ampun. Gue bisa sakit kalau mandi malam. Tapi lengket."

Sepeninggalan Xena, Riga mengerjap pelan. Sebenarnya Riga sudah terjaga sejak gerak gadis itu meloloskan diri dari dekapnya. Hanya saja, Riga memilih memejam. Diusapnya kembali jejak kecup yang barusan gadis itu beri. Tanpa sadar, Riga menarik sudut bibirnya sedikit. Riga memilih duduk dan sedikit menggerakkan kepala serta tangannya. Agak keram ia rasa mungkin karena Xena menindihnya tanpa sadar tadi.

Tadinya, ia tak ingin berbaring di ranjang Xena yang terbalut sprey dengan corak bunga lily. Bunga kesukaan sang gadis. Tapi apa daya, saat ia akan bergerak bangkit, tangan Xena menahannya. Meringkuk dengan gumanan yang tak jelas namun terlihat menggemaskan di mata Riga.

Baru saja Riga beranjak dari tepi ranjang, Xena sudah keluar dari kamar mandi. Sudah berganti pakaian tidur dan lebih terlihat segar.

"Om baru bangun?"

"Bisa panggil saya dengan panggilan yang benar?" Riga menatap Xena tanpa putus. Di ambang pintu toilet, Xena terlihat menelan ludah gugup.

"Kak Riga," ulang sang gadis pelan. Padahal tadi bibir gadis itu lancar sekali berucap maaf. Kenapa setelah dirinya sama-sama tersadar dari tidur, sapaan kaku juga aneh kembali dilayangkan Xena untuknya?

"Kamu lapar?"

Xena mengerjap beberapa kali. Pikirannya hanya terisi betapa malu dirinya andai pria itu tau, apa yang tadi ia perbuat! Memejam sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. "Iya, Kak."

"Nasi goreng?"

"Kak Riga mau masak?"

Riga berdecak pelan. "Iya. Mau atau enggak."

"Mau!"

Buru-buru Xena mengekori Riga yang keluar kamarnya. Ia yakin, tujuannya adalah dapur. Makan malam yang sangat terlambat ini, akan ia nikmati dengan amat biarpun masih ada perasaan jengkel kalau Xena mengingat, kartu emas itu naas sekali nasibnya.

Bicara mengenai kartu, mendadak ia teringat pada ponselnya. Dilihat, Riga mulai sibuk di area dapur. Ingin menyela atau sekadar bertanya apa Xena bisa turut membantu, gadis itu agak sedikit takut. Jika Riga sudah di dapur, ia yang berkuasa. Tak boleh ada yang mengganggu.

Ia memilih kembali ke kamar, membongkar tasnya dan mencari ponsel. Sedikit banyak ia bergantung pada benda canggih itu. Pun karena sesi pembicaraan di chat tadi, masih belum ia teruskan. Sekali ia cari, tak ada. Dua kali, tak ada juga. Hingga tas itu Xena tuang di ranjang, mencari pelan-pelan siapa tau terselip di salah satu buku yang ia bawa namun, nihil. Tak ada ponselnya di sana.

Apa ketinggalan, ya? Bathin Xena. Dia menepuk jidat pelan. Teringat kalau ponselnya ia taruh di meja sebelum memilih berbaring dan terjatuh tidur tadi sore. Menghela napas pelan, ia harus menyiapkan diri menyela kegiatan Riga.

Meminta Riga memastikan apa ponselnya tertinggal di ruang kerjanya atau tidak. berulang kali umpatan bodoh ia gumamankan saking teledornya terhadap barang. Bukan tanpa sebab, ududk sendirian di ruangan yang sepi tanpa ada yang dilakukan, membuatnya mengantuk. Belum lagi dirinya kenyang akan makan yang walau terlambat itu.

"Cari ini?"

Xena berjengit saking terkejutnya. Ia sampai mengusap dadanya menormalkan diri dari rasa kagetnya barusan. Riga ada di dekat pintu kamar yang memang tak Xena tutup. Menenteng ponsel pink berlogo apel tergigit di sana.

"Xena pikir ketinggalan," kata Xena penuh kelegaan. Ia pun bergegas menghampiri sosok pria yang berdiri sembari bersandar di dekat pintu. "Makasih, Kak Riga."

"Setelah membicarakan saya di chat ini? Enggak ada yang mau kamu jelaskan?"

Xena mengerjap. Mulai merangkai apa yang baru saja Riga katakan. Jangan bilang ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro