Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15

Xena sama sekali tak membuka suaranya. Ia hanya mengimitasi dengan langkah besar-besar karena detik ketika Jess mengekori Vino, maka dengan segera tangan besar Riga Angkasa menariknya. Agak kasar dan penuh tekanan yang Xena rasakan di pergelangan tangannya tapi ia enggan mengeluh. Semua rasa yang bercokol di hatinya, ia simpan. Membiarkannya tertumpuk tanpa ingin tau kapan dimuntahkan.

Tak pernah sepanjang ia mengenai pria yang sebenarnya tampan di mata Xena ini, bertingkah kasar padanya. Mungkin ... sebatas kata tapi kalau perbuatan? Baru kali ini Xena merasakannya. Sedih rasanya mendapati perlakuan seperti ini pada seseorang yang pernah dekat dengannya. Yang hingga kini, ia tak pernah lupa, bagaimana sikap Riga padanya.

Andai bisa ia mengulang waktu juga bertanya, ada apa dan kenapa Riga berubah, pasti sudah ia tanyakan. sayangnya, keberanian itu tak pernah muncul. Hanya anggukan serta menuruti semua yang Riga katakan, yang Xena bisa lakukan.

Bahkan Riga sedikit mendorang tubuhnya ketika menyuruh Xena masuk ke dalam Jaguar hitam mengkilatnya. Tak ada basa basi di sana. Aura Riga luar biasa menyeramkan sebenarnya dan Xena pasrah kalau nantinya akan dimarahi. Sepanjang jalan tak jarang Xena mendengar umpatan yang keluar dari bibir Riga. Dari ekor matanya saja, Riga sudah menggertakkan rahang dengan kuat. Matanya nyalang ke depan dan sesekali tangan besarnya itu menekan klakson kuat-kuat.

Bunyi berisik yang timbul membuat jantung Xena kebat kebit juga. apa yang telah mengubah Riga hingga seperti ini, sih? Itu saja yang bercokol dalam kepala kecilnya. Sementara di lain pihak, sesekali Riga melirik ke arah gadis yang memilih menatap lurus ke jalan raya. Geram serta kesal sekali Riga dibuat olehnya. Xena benar-benar membuatnya marah.

Gadis itu menyadari dan merasa tak ingin menambah keruh suasana, ia memilih memejamkan mata. Syukur untung dirinya terjatuh tidur. Tapi ... suara perut Xena lebih minta perhatian ketimbang matanya yang sudah sengaja ia pejamkan.

"Kamu belum makan?" tanya Riga masih belum mau menurunkan intonasi suaranya. Geram serta kesalnya masih bertumpuk karena gadis ini. Walau ponselnya mengarahkan pada lokasi tepat di mana gadis ini berada, bukan berarti Riga bisa tenang saja mengetahui kalau anak yang dalam pengawasannya bisa melenceng begitu saja.

Tadinya Riga akan rapat membahas pergerakan terbaru serta kebijakan yang akan diambil terkait kalahnya tender yang belum lama diinformasikan oleh Vino. Pikirannya tadi pagi penuh dengan ide-ide baru. Sarapan bersama Xena dan mendengar banyak celoteh random dari gadis itu cukup membuat Riga bahagia.

Akan tetapi selesai rapat pagi tadi, Vino memberitahu kabar mengejutkan ini.

"Maaf, Pak. Kalau saja ini bukan rapat penting, pasti sudah saya info sejak awal."

Riga mengumpat kasar dan gegas menyusul keberadaan anak itu dengan langkah buru-buru. Mengabaikan bahwasanya masih ada satu rapat penting lainnya. Bagi Riga, Xena lebih penting dari sekadar angka yang akan ia perjuangkan.

"Memang enggak ada yang berjaga di sekitar Xena?"

Vino mendadak bungkam.

"Vino?"

"Maaf, Pak. Mereka kelolosan juga."

"BERENGSEK SEMUA!"

Beberapa staff yang berada di dekat koridor tempat Riga berjalan, sontak menatapnya dengan penuh ketakutan. Pengganti pemilik perusahaan ini selain dikenal tegas, dingin, dan kaku, juga memiliki peringai yang tak bisa disusupi kata ramah. Senyum Riga pun bisa dihitung jari selama memegang kendali Djena Grup.

"Panggil Tony. Dia harus bertanggung jawab. Memangnya Xena sekecil tikus bisa lolos dari pengawasan?"

Vino tak berani angkat bicara. menyela ucapan bosnya sama saja cari mati. Pria itu memilih segera menekan tombol B2 tempat mobil Riga terparkir.

"Jam berapa meeting?"

Buru-buru Vino menjawab, "Jam tiga, Pak."

Riga melirik Tag Heuer miliknya dengan cepat. Kalkulasinya mengatakan kalau masih sempat dirinya menarik Xena dari titik terakhir dirinya berada, lalu kembali ke kantor dan mengikuti meeting. Untuk kali ini, ia bertarung tak ada yang boleh dilewatkannya. Membawa Xena ke kantor juga menghadiri meeting. Ia berharap, konsentrasinya tak buyar karena amarahnya sudah bergejolak sejak Vino memberitahu kabar mengenai gadis itu.

Bisa saja ia menyuruh Tony menjemput, tapi rasanya Riga harus memarahi Xena kali ini. Tak bisa gadis itu seenaknya membuat Riga kacau seperti sekarang.

"Jawab, Xena!" Riga membentaknya.

Di sampingnya, gadis itu mengerjap bingung. Tak pernah Riga sampai menggunakan nada tinggi ketika marah. Apa kesalahannya demikian besar hari ini hingga membuat pria berwajah kaku itu benar-benar habis sabar?

"Belum, Om." Xena memilih tak berbohong walau mengatakan dengan suara sangat pelan. Bahkan ia berharap kalau Riga tak perlu mendengar jawabannya.

"Dari tadi kamu ngapain?!"

Tanpa disadari, air mata Xena sudah menetes. Dulu, ia selalu mendapat perlakuan lembut dari ayahnya. Tak ada seorang pun yang berani berkata dengan nada tinggi bahkan membentaknya. Awal kebersamaannya dengan Riga pun, pria itu memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih. Selalu bertanya mengenai apa yang disuka atau tak Xena sukai. Tutur katanya sopan juga terkesan mengayomi. Seolah menggantikan posisi ayah juga kakaknya yang telah tiada.

Kini? Seiring berjalannya waktu tinggal bersama Riga, Xena mulai terbiasa diabaikan. Mulai juga terbiasa disudutkan tapi tak pernah pria itu menggunakan bentakan sebagai jurus andalan.

Baru kali ini dan itu sangat membuat Xena bersedih.

"Vino, segera pesan makan siang. Untuk Xena. Extra kejunya banyak. Pasta kalau bisa." Riga langsung melepas handsfree yang tadi ia kenakan buru-buru untuk melakukan panggilan pada asistennya itu. Ia tau, gadis di sampingnya menangis.

Dalam hatinya ia tak ingin mengeluarkan bentakan tapi sungguh, Riga demikian khawatir. Kalau gadis itu diketahui keberadaannya? Apa bukan semakin membuat runyam urusan?

Nanti ... nanti akan ia pastikan, Xena mendengar permintaan maafnya. Untuk kali ini, Riga biarkan gadis itu terisak pelan. Menahan sedih yang Riga tahu asalnya dari mana. Setir ia cengkeram kuat-kuat, menahan gejolak serta emosi yang kini mengarah pada dirinya sendiri.

Seharusnya ... ia tak berkata sekasar tadi.

***

"Om ... enggak makan?" tanya Xena pelan. Dirinya sudah duduk di ruangan Riga yang hanya sekali ia kunjungi saat itu. Masih lekat dalam ingatannya mengenai ruang kerja sang ayah. Bahkan hingga kini, tak ada yang diubah oleh Riga. Pernah sekali Xena berkunjung ke ruang ini karena janji makan malam bersama Vally.

Meja kerja sang kakak ada di ujung koridor lain, tadi sempta Xena melirik ke arah tempat biasanya Vally sibuk berkutat dengan laptopnya. Kali ini, meja itu sudah digantikan oleh karyawan lain. mendadak Xena teringat dan semakin merindukan sang kakak.

"Suapi."

Xena tersedak. Gegas ia sambar gelas berisi lemon tea dalam cup, buru-buru ia tenggak mirip seserang yang tak pernah terkena air tenggorokannya barang dua hari karena terdampar di gurun. Pun cara Xena mengusap bibirnya dengan kasar. Punggung tangannya basah oleh sisa minumnya tadi.

"Cepat."

"Om! Yang benar saja!"

Riga mendongak. Sejak tadi ia memang membaca ulang materi yang Vino siapkan. Setengah jam lagi meeting dimulai. Vino sudah menginstruksikan beberapa divisi terkait agar lebih menekankan point benefit yang akan ditawarkan mengingat kerja sama ini, bukan perkara main-main lagi.

"Apa? Segera, Xena." Riga kembali menatap laporannya. Sesekali ia ambil pena yang tergeletak di meja, mencoret sesuatu dan mulai menghitung perbandingan. "Saya lapar dan telat makan. Tau siapa penyebabnya?"

Hanya sekilas Riga menatap Xena yang masih memilih meminum lagi cup-nya. "Kamu," imbuhnya dan kembali netranya bergerak memindai satu per satu lembar sebelum benar-benar siap.

Agak ragu tapi akhirnya Xena bergerak mendekat. Membawa kotak makannya penuh hati-hati. Setelah memastikan semuanya aman—agak mengerikan kalau sampai dirinya menumpahkan makannya di lembar yang sedang Riga teliti, ia menggulung spagheti pun penuh hati-hati. "Buka mulutnya, Om."

Riga tak banyak protes, selain karena lapar, ia memang tak memiliki banyak waktu sekadar untuk makan. Kalau saja tadi ia memutuskan di kantor dan mengecek lembaran yang ada, dipastikan jam makannya tak akan terganggu. Sudah pria kaku itu katakan kalau Xena penyebab utamanya kali ini. Dan gadis itu punya tanggung jawab lebih untuk hari ini.

"Sudah cukup." Riga melirik sekilas jam yang melingkari lengan kanannya. "Vin," panggilnya kemudian. Membuat asisten yang sejak tadi duduk di kursi yang lain, gegas menghampiri.

"Ya, Pak."

"Kamu revisi bagian yang saya coret." Riga menyodorkan lembar yang tadi dikoreksi. Tanpa menunggu, Vino segera menyambar dan keluar ruangan. Melaksanakan titah bosnya dengan segera.

"Lima menit lagi saya meeting. Kamu di sini. Jangan coba keluar ruangan. Paham?"

Xena memilih mencibir. "Minum dulu, Om." Segera ia sodorkan gelas berisi air mineral milik pria itu. tanpa banyak bantah, Riga melakukan apa yang Xena katakan.

"Dengar yang tadi saya bicarakan?"

Gadis itu memilih menggunakan anggukan sebagai jawaban, sembari merapikan sisa makan mereka yang sangat telat ini. Xena berdoa, semoga asam lambungnya tidak naik mendadak karena keterlambatan makannya hari ini.

"Kartu kredit kamu mana?"

Xena mengerjap pelan, masih sibuk mencerna.

"Mana?"

"Tapi, Om...,"

"Enggak ada tapi. Hukuman karena kamu enggak menuruti apa kemauan saya."

"Om!" rengek Xena kali ini. Jarak yang memang sudah dekat, dipertipis dalam satu kali gerak. Segera ia menggamit tangan Riga tanpa permisi dan tanpa tahu diri. Baginya kartu berwarna emas itu adalah jalan mengumpulkan pundi uang tanpa kentara. "Xena janji, enggak belanja banyak lagi."

Riga teguh pendiriannya. Tangan yang terbebas dari jerat Xena, ia ulurkan. "Mana." Sekali lagi Riga berkata namun kali ini, nadanya lebih tegas.

"Om, Xena janji. Kali ini sungguhan." Xena sedikit berjinjit demi agar Riga mau menatapnya. Biasanya kalau ia mengeluarkan jurus andalannya—mengerjap pelan dengan mata yang sengaja ia bulatkan.

"Enggak." Riga hanya melirik sekilas. Tau dengan pasti bujuk rayu apa yang sedang dilancarkan Xena. Biasanya ia kalah tapi untuk kali ini, ia tak mau kalah. "Mana kartunya?"

Ada decak kesal yang dikeluarkan dari bibir gadis berambut hitam ini. Belum lagi bibirnya sontak mengerucut tanpa bisa dikendalikan. Cekalan tangannya pada Riga, ia empas begitu saja. Matanya bolak balik memindai Riga, berharap kata-kata tadi ditarik dalam sekejapan mata. Tetapi sepertinya, pria menyebalkan ini pantang untuk melakukan hal tersebut.

Satu kartu berwarna emas dikeluarkan dari dompet pink berlogo salah satu brand kesayangan Xena, mendarat mulus di telapak tangan Riga yang besar itu. Begitu mengetahui kartunya sudah ada di tangan, tanpa basa basi Riga patahkan begitu saja. Membuat kesiap kecil keluar dari Xena tanpa disadari oleh sang gadis.

"Mulai besok enggak ada lagi kartu kredit. Bisa saja saya blokir hari ini tapi saya masih sayang dengan malu yang kamu punya nantinya."

Xena menelan ludah perlahan. Ia menyadari maksud ucapan Riga.

Suara ketuk di pintu kaca ruang Riga terdengar, pertanda Vino sudah menyelesaikan tugasnya. Dan benar saja, sosok asisten Riga muncul di ambang pintu. "Pak, semua sudah siap."

"Saya meeting dulu." Biar bagaimana pun, ada satu hutang yang Riga punya pada gadis yang masih menekuk wajahnya itu. Permintaan maaf. Untuk itu lah, ia beranikan diri mengusap kepalanya sekilas—setelah lama tak dilakukan lagi kebiasaan itu.

Hal itu jelas membuat Xena mematung. Hanya ekor matanya yang bisa digerakkan sekadar mengikuti arah langkah Riga keluar ruangan. Hingga bunyi pintu kaca tertutup, baru lah Xena menyadari, kalau sentuhan tadi benar-benar berasal dari Riga.

"Marah-marah tapi gitu. Kak Riga kapan enggak nyebelin, sih."

Dan ketika melihat patahan kartu yang selalu menjadi penopangnya beberapa waktu ini, ia meringis sedih.

"Pakai apa lagi aku ngumpulin uang, ya?"

Buru-buru ia mengecek saldo atm di mobile bankingnya. Helaan napas pelan keluar tanpa bisa dikendalikan. "Kemarin sudah habis buat beli cincin. Tabungan itu." Xena merosot lemah di sofa. Memijat pelipisnya gusar.

"Gimana dapat uang lagi tanpa ketahuan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro