Part 14
Xena memilih memainkan ujung sedotannya. Menyesap pelan kadang tak sampai menyentuh ujung lidahnya. Matanya sesekali memperhatikan bagaimana wanita cantik di depannya ini tak bersuara sama sekali. Sejak bertemu hingga mereka berdua duduk di kafe yang tak jauh dari area kampus; Amore' Kafe. Milik Jess.
Sengaja Xena memilih di sini, antisipasi kalau-kalau Kali berbuat seenaknya. Walau usianya terpaut cukup jauh dan bisa dikatakan, wanita yang berprofesi sebagai model terkenal ini seusia dengan sang kakak, tetap saja Xena tak memercayainya.
Sejak pertemuan pertamanya dengan Kali beberapa tahun lalu, wanita itu bersikap baik dan lembut. Namun seiring waktu terutama sejak ia mengetahui siapa Xena, sorot tak suka serta permusuhan kentara sekali dikibarkan Kaliandra Sofyan padanya.
"Kamu tau kenapa saya ajak bertemu?"
Sudah Xena duga. Bicara di depan Riga, suaranya mendayu penuh rayu. Juga terhadapnya yang manis seperti madu. Nyatanya? Hanya berdua di depan Xena seperti ini, rubah berekor sembilan ini menampilkan wujud aslinya. Cantik tapi dibalut dengan amarah dan rasa dengki. Entah karena apa.
"Enggak, Tante." Xena menjawab dengan penuh kalem. Matanya tepat menatap Kali yang selalu berganti-ganti warna manik mata. Tak gentar sedikit pun. "Memang ada apa? Xena penasaran juga, sih."
"Kamu pengganggu!" desis Kali tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. Sungguh. Jika ada satu makhluk yang ingin sekali disingkirkan, itu adalah sosok seorang Roxeanne Arizona.
"Maksudnya?"
"Enggak usah sok suci kamu! Saya tau, kamu selalu merebut Riga. Kamu siapa, sih? Bukan siapa-siapa buat Riga. Asal kamu tau ... kamu itu beban buat Riga!"
Xena beberapa kali mendengar Riga bicara seperti itu padanya. Hanya padanya. Dalam kondisi berdua tanpa ada orang lain. Xena masih mencoba menguatkan hatinya. Tak menyuarakan apa-apa karena merasa apa yang Riga bilang, benar adanya. Tak membantah sedikit pun juga membela diri, Xena tau diri. Sangat tau diri.
Akan tetapi, mendengar orang lain mengatakan hal seperti itu untuknya, sontak membuat hatinya sesak. Matanya berkaca-kaca tanpa disadari. Mungkin dalam sekali kedip, air mata yang Xena perjuangkan agar tidak jatuh, pasti akan luruh.
"Maaf."
Tadinya, Xena ingin balas memaki dan menyudutkan Kaliandra.
Tadinya, Xena ingin sekali bicara dengan nada super tinggi kalau wanita itu lah sang penganggu.
Tadinya juga, Xena tak mau dibuat kalah seperti ini.
Namun ... gadis berambut panjang itu hanya mampu mengeluarkan satu kata dengan sangat pelan. Mungkin saja, apa yang Kali bilang benar adanya. Bahkan orang lain saja menganggap dirinya hanya beban. Walau Xena tak pernah meminta seujung kuku pun bantuan Kaliandra selama ia mengenalnya.
"Xena sudah waktunya kelas. Permisi." Gegas, ia melangkah meninggalkan Kali yang sepertinya puas atas jawaban yang diberikan. Agak buru-buru melangkah tanpa peduli semisal ada pel@nggan lain yang akan kena tubruk. Sedikit kasar menarik pintu keluar kafe dan ... ia menarik napas panjang. diusapnya pipi yang sudah basah air mata.
Menepuknya pelan dan melangkah cepat karena waktu tak pernah melambat. Sekuat apa pun ia sembunyikan sesak yang tadi mendera, tetap saja ia hanya gadis biasa. Jalannya beriringan dengan tetes air mata yang terus saja jatuh tanpa aba-aba. Seolah ini satu-satunya cara melepas sedikit beban yang menghantamnya tadi.
"Asal kamu tau ... kamu itu beban buat Riga!"
Serangkaian kata itu demikian bercokol dalam seluruh syarafnya. Menggelontorkan segenap rasa sakit yang tak mau pergi barang sedikit. Kalau saja ia boleh memilih, pasti dirinya akan mengajukan menjadi orang pertama yang ikut dalam perjalanan bisnis kedua orang tuanya. Mengabaikan ujian matematika yang ia gemari di sekolah. Dan berakhir tewas di tempat seperti keluarganya.
"Xena." Jess sama sekali tak tenang membiarkan Xena berdua dengan Kaliandra. Walau sepenggal kisah mereka Xena bagi, Jess yakin seribu persen niatan wanita itu tak pernah ada baiknya. Sorot matanya penuh benci pada Xena. Pun caranya bicara.
Tadinya Jess memaksa ikut tapi Kali mencegahnya. Juga Xena yang berkata dengan entengnya kalau menemani kekasih om-nya itu sekadar sarapan. Tetapi saat melihat dari kejauhan Xena berjalan setengah berlari dengan pandangan yang terunduk, Jess yakin, sahabatnya itu menangis.
"Xena," panggil Jess lagi dan kini ia hampiri. Dirangkulnya tubuh kecil yang rapuh itu mendekat. "Lo diapain?"
Gadis itu menggeleng pelan.
"Kita ngemall aja, yuk."
Dalam sepersekian detik, Xena mengangkat matanya yang basah untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Jess kali ini. Siapa tau, bicara dengan Kaliandra membuat gendang telinganya mendadak malfungsi.
"Ngemall. Refeshing. Lagian jam kuliah sudah mulai lima menit lalu. Ketimbang dihukum bikin essai."
"Tapi ..." Xena ingin membantah tapi Jess lebih dulu menarik tangannya.
"Jangan banyak berpikir. Nanti kepala lo botak. Yang botak cukup Pak Jumhari aja."
Mirip orang linglung, Xena mengikuti Jess melangkah. Tak butuh waktu lama bagi sahabatnya itu menyetop taksi yang wara-wiri di depan kampus mereka. Sedikit merasakan didorong karena ia tak kunjung masuk padahal sudah dibuka pintu tersebut.
"Macet, Na, di belakang. Buruan!"
Tak ada yang bisa Xena lakukan kecuali mengikutinya. Sepanjang jalan, hanya terdengar audio dari mobil yang terputar. Si supir hanya bertanya sekali mengenai tujuan dan kembali hening. Jess berinisiatif mengeluarkan tisu dari dalam tasnya.
"Hapus air mata lo."
"Thanks, Jess."
Ekor mata Jess memperhatikan bagaimana Xena menyeka air matanya yang memang sudah berhenti. Lalu gadis itu mulai merapikan make up-nya. Memulas kembali bibir tipisnya dengan pemulas yang tidak terlalu kentara. Merapikan surai rambutnya agar kembali tertata.
"Kenapa lo enggak lawan?" tanya Jess mendadak.
Gerak Xena menyisir rambutnya terhenti. Matanya menatap ke arah depan namun tak menemukan fokus di sana. Kepalanya justeru membayangkan kemenangan di wajah Kali yang seharusnya tak pernah ada.
"Gue enggak tau. Kata-kata Tante Rubah benar-benar bikin gue mati kutu," kata Xena demikian pelan.
"Xena, listen. Lo punya gue. Lo bisa ceritain semua yang bikin lo galau. Jangan sendirian berpikir, Na. Belum tentu hati lo kuat." Jess menggenggam tangan Xena yang masih memegangi sisir. Tulus sekali ia berkata seperti itu. Karena Jess yakin sekali, bukan hal yang mudah untuk berdiri seperti Xena entah apa masalah yang menderanya.
Xena terlalu penuh teka teki bagi Jess.
Mendapat perlakuan seperti itu membuat Xena mengerjap berulang kali. Mendadak hatinya diliputi perasaan menghangat yang sudah lama sekali tak pernah singgah. Xena bukan orang yang pandai bicara dan bergaul. Temannya hanya Valerie. Dan teman sebangkunya saat SMA, Tika Parasayu. Namun sejak lulus SMA, komunikasi mereka terputus begitu saja dan Xena tetap lah Xena. Yang tak ingin mencari tau kabar temannya, apalagi sejak ia mengetahui kalau Tika terlihat bahagia dengan hidupnya di Surabaya.
Ia takut, kehadirannya akan membuat Tika sungkan.
"Makasih, Jess." Seulas senyum Xena beri. "Jadi ... kita mau ngapain di mall?"
Jess memekik girang. "Happy-happy pokoknya. Tapi janji, lo harus cerita sama gue tadi ngapain aja sama Rubah."
Xena tak menjawab tapi memilih lebur dalam tawa yang Jess lakukan. Mengabaikan kerut tanya yang si supir lakukan sembari melihat spion tengah. Mungkin ia berpikir, dua gadis ini adalah gadis aneh yang ditemui hari ini.
****
Mereka benar-benar menghabiskan sisa waktu dengan berkeliling mall hingga lelah. Xena mengabaikan ponselnya yang sengaja dalam mode silent. Sesaknya harus ia lepas sebelum nantinya ia kembali ke apartement. Bersiap juga merangkai jutaan alasan kenapa dirinya tak mengangkat, memberi kabar, atau malah tidak ada di kelas ekonomi mikronya.
Hal yang pertama Xena inginkan, menonton di bioskop. Membuat terperangah Jess lantaran film pilihannya.
"Enggak ada pilihan lain?" Jess meringis. Heran sekali dengan apa yang baru saja Xena tunjuk. Tapi sumpah demi apa pun, binar mata hitam nan elok itu demikian gembira. Membuat Jess berpikir ulang untuk menolaknya.
"Banyak, sih. Tapi enggak apa, kan, kalau filmnya ini?" tanya Xena dengan tatapan memohon. "Tapi kalau lo enggak mau, kita pil—"
"Oke. Oke. Enggak apa, kok. Gue enggak masalah." Jess menggenggam tangan Xena dan beranjak ke loket. Membeli dua tiket Disney Frozen 2 yang sedang digandrungi anak-anak.
"Thanks, Jess."
Di sela film yang terputar, walau samar, Jess masih bisa mendengar Xena berkata, "Harusnya, saat itu gue dan Kak Val nonton film bersama. Dia janji, ngajak gue nonton film disney. Dia cinta banget sama princess, siapa pun itu tokohnya. Menghabiskan weekend berdua seperti yang sering kami lakukan dulu. Sayangnya, dia tewas bersama Papa dan Mommy."
Jess tak tahu harus merespon apa setelahnya. Xena tak pernah menceritakan bagian ini sepanjang mengenalnya.
Xena menoleh sekilas dan menatap Jess yang juga mengarahkan mata padanya. "Thanks sekali lagi sudah mau temani gue. Gue anggap, gue lagi quality time sama kakak perempuan gue satu-satunya itu."
Tanpa sadar, bibir Xena melengkung sedikit. "Jarang banget saat-saat seperti ini datang di hidup gue."
"Kalau terlalu berat masalah lo, cerita Xena. Cerita." Jess mengusap bahu sahabatnya itu pelan. Sejak kali pertama perkenalannya dengan Xena, ia sudah meyakinkan dalam hati, kalau gadis ini akan menjadi kawan karibnya.
Gadis berambut hitam itu memilih menggeleng. "Masalah gue enggak berat. Hanya saja tanggung jawab gue yang kayaknya enggak sanggup buat gue pikul. Dan gue enggak bisa berbuat banyak."
Kening Jess berkerut.
"Belum waktunya lo tau, Jess. Nanti pasti gue cerita."
Jess rasanya ingin mengguncang kepala Xena dan mengeluarkan isinya. Membaca satu per satu masalah yang sedang mendera sahabatnya itu. Sebagai orang yang dekat dengan Xena, mengetahui banyak yang seolah dirahasiakan seperti ini, membuat Jess geram sendiri.
Ada apa sebenarnya?
Karena Xena terlihat tak ingin lagi bersuara, Jess memilih mengalah. Kembali menikmati film yang rasanya kurang seru dari pada mendesak Xena bicara. Hingga ruangan yang banyak pengunjungnya ini mulai menyala kembali lampunya, Jess tak terlalu menikmati. Saat melirik sekilas, Xena terlihat tersenyum dengan mata yang tak teralih ke mana-mana selain pada layar.
"Kalau Kak Val ada, gue yakin banget dia bakalan jadi fans Elsa."
Jess mau tertawa tapi ditahan. Mendengar suara Xena justeru menggelitiknya. Sendu sekali Jess rasakan nada suara itu menyapa telinganya. "Memang saat Kak Val enggak ada, usianya berapa?"
"Dua puluh lima tahun," jawab Xena kalem. Memejam sejenak meresapi, betapa mungkin hari yang harusnya ia lewati bersama Valerie adalah hal menyenangkan. "Dia bilang, princess disney itu patut dicontoh semangatnya. Pantang menyerah dan selalu percaya, akan ada hari indah suatu saat nanti."
"Dan lo percaya?" tukas Jess buru-buru.
Xena hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. "Kayaknya ujung bahagia gue kalau bisa membawa beban yang ada di pundak ini, maju."
"Lo bicarain apa, sih, Xena? Gue enggak paham"
Mendapat pertanyaan dari Jess yang menjurus pada terbukanya identitas Xena, gadis itu memilih bungkam. Menggeleng pelan dan menarik sahabatnya itu untuk segera keluar ruangan. "Gue kebelet pipis." Xena berkilah dengan cepat agar tak menimbulkan pertanyaan lain.
Meninggalkan Jess yang mencebik karena kelakuan Xena yang selalu seperti itu; menghindar. Melangkah mengikuti gerak Xena yang sudah lebih dulu berada di ujung lorong.
Kedua gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengunjungi food court. Sebelum kembali memulai petualangan berkeliling mall sekadar melepas penat terutama bagi Xena. Namun, baru saja kakinya keluar dari area bioskop, sosok yang sedang Xena hindari berdiri di sana.
Bersandar santai tapi sorot matanya tajam mengarah pada Xena. Mungkin salah gerak sedikit, Xena bisa terbunuh karena tatapannya itu. Lebih dari sekadar dingin dan kentara sekali aura kemarahan di sana. Membuat Xena menelan ludah perlahan. Menyembunyikan dengan amat, laju jantungnya yang sudah tak keruan dibuat.
"Puas main-mainnya?" tanya sosok itu yang bergerak mengarah pada Xena yang sudah membeku di tempat. Gadis itu makin ciut rasanya tapi saat ia melirik, ada Jess di sana. Yang tak mungkin harus terkena dampak kemarahan Riga.
"Sudah." Xena membenahi tas ranselnya. "Jess, lo pulang sendiri, ya. Om gue jemput."
Jess mengerjap berulang kali. Antara tak percaya juga bingung. Baru kali ini ia melihat dengan jelas, sosok Om alias wali Xena yang sesungguhnya. Mengenakan setelan rapi dengan tubuh tegap juga aura yang kental sekali akan dom!nasi, Jess sendiri akan lari ketakutan kalau berhadapan dengan pria ini.
Mendadak ia khawatir dengan Xena. "Lo yakin?" tanyanya perlahan.
Xena malah tersenyum walau pun sukar. "Tenang aja."
"Vin, antar teman Xena pulang." Riga langsung melirik pada pria yang selalu tak jauh dari jangkauannya. "Dan kamu," Riga makin mendekat pada Xena. "Urusan kita belum selesai."
****
Om Riga menakutkan emanggg
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro