Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10

"Lo langsung balik?" tanya Jess sembari merangkul Xena. Sesi kuliah berakhir sepuluh menit lalu tapi Xena belum mau beranjak. Memilih berada di kelas sembari menunggu semua mahasiswa lain keluar. Rasa malas menderanya dengan amat. Apalagi teringat pada sosok Kaliandra tadi.

"Iya. Kapan gue bisa kelayapan selain weekend?"

Jess tergelak. "Om lo luar biasa memang. Makan dulu gimana? Asya bilang, buat menu baru. Gue harus cicipi sebelum dilempar di menu utama."

Xena sebenarnya heran juga dengan orientasi Jess mengenai masa depan. Dirinya cinta dengan kuliner. Memasak adalah keahliaannya tapi malah tersasar di kelas bisnis seperti ini. Alasannya satu; membangun bisnis bukan sekadar menguasai satu bidang. Tapi menyusun strategi. Selain di kelas bisnis, enggak ada yang lebih tepat menggambarkan bagaimana bisnis itu berjalan.

"Kalau enggak enak, gue malas bayar."

Jess makin tenggelam dalam tawa. "Kapan lo bayar?"

Xena menyeringai. "Mau berapa? Gue ada 8 juta. Kurang enggak?"

"Uang jajan lo tanpa seri, ya, Xena."

Saat langkah mereka sampai di pelataran parkir, Xena dikejutkan oleh kedatangan Riga. Lebih tepatnya, mobil yang sering Riga gunakan. Sama sekali tanpa pemberitahuan.

"Xen, ayo," ajak Jess begitu mendapati Xena yang malah terpaku tanpa melanjutkan langkahnya lagi. Arah mata Jess pun mengikuti pandangan Xena. Pada satu sedan mewah mengkilat yang menyilaukan dalam sekali lihat. "Xena," panggilnya sekali lagi.

"Lo duluan, Jess. Gue dijemput."

"Sama siapa? Om lo?" Jess harus memastikan ini dengan amat. Tapi mendapati jawaban Xena yang mengangguk yakin, akhirnya Jess menyerah padahal masih ingin melontar tanya. "Oke, deh. Kabari gue kalau sudah sampai, Na."

Lagi-lagi sahabatnya itu hanya mengangguk. Lamat, Jess tak mengalihkan matanya ke mana-mana. Mengikuti Xena yang berjalan tanpa ragu menuju mobil mewah yang terparkir mencolok sekali di parkiran kampus. Seseorang bersetelan rapi membukakannya pintu.

Lalu ... sedan itu melesat pergi.

Meninggalkan Jess yang berdoa dalam hati, semoga Xena baik-baik saja. Secara visual, Xena sehat. Tapi Jess yakin dan keyakinannya penuh. Bahkan Roy yang sering menenangkannya perihal Xena, hanya dianggap lalu. Baginya Xena menyimpan banyak masalah tapi ... anak itu sekeras batu karang. Hanya sedikit informasi yang diberi; termasuk Rubah Ekor Sembilan dan Om-nya, Riga Angkasa.

Entah mengapa timbul kepedulian lebih saat pertama kali bertemu Xena, 2 tahun lalu. Gadis cantik berambut hitam legam itu tak terusik sama sekali dengan banyak tatapan yang mengarah padanya. Namun ia justeru terlihat memperhatikan seseorang yang terkena masalah. Membantunya. Tanpa banyak bicara dan menarik pergi dari kerumuman. Memberi pertolongan pada lengan si korban yang luka.

Dia adalah Jesslyn. Sejak saat itu, diikrarkan dalam hati kalau Xena adalan sahabatnya. Jess pribadi mengakui, kalau dirinya tak pandai bergaul. Bertemu Xena yang irit bicara membuatnya bersyukur.

"Belanja apa tadi?" tanya Riga spontan. Padahal sejak Xena masuk ke dalam mobil, pria itu tak bicara sepatah kata pun.

"Tas." Xena hanya melirik Riga sesaat sebelum kembali menormalkan ekspresinya lagi.

"Dipakai?"

Xena menggeleng. "Datang saja belum. Gimana pakainya?" Sebersit tanya mulai hinggap dalam diri Xena karena ini di luar kebiasaan pria kaku yang duduk santai di sampingnya. "Om ada apa jemput? Tumben."

Riga sendiri tak tau kenapa meminta arah mobilnya ke kampus Xena. "Tadi pagi, kita enggak sarapan bersama."

"Ada Tante Kal. Xena enggak mau ganggu."

"Kamu bukan gangguan."

"Tapi beban. Ya, kan?" Xena menoleh cepat pada Riga yang tampak terkejut karena ucapannya. "Xena enggak mau terlalu lama jadi beban Om. Tenang saja, sebentar lagi Xena lulus. Mohon maaf lama merepotkan."

Riga mengedip dua kali. Berpikir. Mencerna dengan amat. Otaknya memroses cepat untuk merangkai kata balasan yang sayangnya semua menghilang entah ke mana. Gadis yang cantik dengan teduhnya netra yang ia miliki, bisa mengatakan hal demikian mengganggu Riga. sungguh, berapa banyak waktu yang berlubang di antara mereka sebenarnya? Hingga tujuan mereka sudah di depan mata, Riga sama sekali tak bicara.

Xena hanya meringis dalam hati. Ternyata benar. Dirinya memang beban. Selama ini, lima tahun belakangan ini ia selalu memprogram isi kepalanya untuk membuang kata 'beban' dari seluruh untaian syarafnya. Ia bukan beban. Takdirnya yang menciptakan dirinya terjebak bersama Riga. Ucapan terima kasih yang banyak pun Xena tau, tak akan pernah cukup.

Hanya satu hal yang ia genggam hingga kini, kenangan manisnya bersama Riga yang sudah tak mungkin terulang. Pun meniadakan kata itu membuatnya bisa bertahan hingga kini. Walau beberapa kali, entah alasannya apa Riga selalu mengatakan hal yang sama. Namun setelahnya, Riga selalu memperlakukannya demikian lembut. Xena hanya gadis berusia dua puluh tahun. Yang masih butuh dan haus kasih sayang.

Kehilangan Mommy dan Daddy serta kakak yang seharusnya menjadi sandaran, membuatnya mau tak mau dengan rela hati kembali memaafkan ucapan Riga. Ah ... bukan memaafkan, menghanguskan kata yang sudah meluncur padahal ia tau, tak bisa ditarik lagi. Selayaknya gores panjang pisau yang menyayat kulitnya. Menimbulkan luka juga meninggalkan perih.

"Pak, sudah sampai."

Riga berdeham sekilas. "Ayo, turun. Kita makan."

Tak ada yang mampu Xena lakukan selain mengikuti pria yang masih rapi dengan setelan mahalnya.

***

Xena pikir, pulang makan malam dirinya bisa beristirahat dengan tenang dan damai seperti biasanya. Ia salah sangka. Kaliandra masih berputar di apartement Riga. Seolah dirinya pemilik dan penguasa.

"Kapan datang?" tanya Riga basa basi. Ia melepas segera jas yang masih menempel namun segera diambil alih oleh Kali. Menyaksikan hal itu, membuat Xena muak mendadak.

"Xena masuk kamar, Om. Selamat malam." Ia tetap harus santun pada walinya. Tanpa perlu menunggu jawaban Riga, Xena melesat menjauh dari dua orang yang ia rasa sebentar lagi akan mengentaskan hasrat entah di mana. Di ruang tamu mungkin. Melihat gelagat Kali yang seperti cacing kepanasan, sudah bisa dipastikan hal itu nantinya akan terjadi.

Mengunci dengan segera pintu kamarnya. Bukannya segera mandi, ia memilih menyapa ranjangnya yang sudah rapi ini. Menghirup lamat-lamat aroma pewangi yang menguar lembut dalam penciumannya. Ah pasti Bi Nah yang mengganti. Bi Nah bekerja di sini sudah sejak empat tahun lalu. Hanya saja, jarang Xena temui kecuali saat libur kuliah.

"Mesti nyingkirin Kaliandra caranya gimana, ya?" guman Xena sembari berbalik. Matanya menangkap pigura cantik yang selalu menjadi teman setianya. Foto keluarga dirinya dalam formasi lengkap.

Segera ia bangkit dan meraih pigura tadi. Duduk bersila di tengah ranjang sembari memperhatikan dengan amat ekspresi mereka semua. Terlihat bahagia dan tanpa beban.

"Kak, Kaliandra nyebelin banget. Tadinya aku fans, jadi hates sejati lah kalau kelakuannya begitu. Kak Riga juga. Kenapa mau sih ditempeli makhluk astral begitu? Kak Val jauh lebih cantik. Jauh lebih elegan dan kayaknya lebih seksi, deh."

Ia susuri foto itu dengan gerak lembut. "Semalam Kak Riga tidur lagi sama aku. Tapi sumpah ... sumpah Kak aku enggak ngapa-ngapain sama Kak Riga. Dia Cuma peluk aku seperti dulu. Kadang aku bingung, kenapa, sih, sekarang dia jadi jahat? Tapi pas kami liat-liatan, dia kayak yang sedih banget pas natap aku." Mata Xena sudah berkaca-kaca. "Apa dia kangen sama Kakak tapi enggak terucap, ya? Sama kayak aku yang kangen kalian semua."

Pipi Xena yang lengket karena keringat, belum terbasuh air sama sekali, sudah lebih dulu terkena air mata.

"Kenapa kalian tega ninggalin kami, sih? Aku terutama."

Bahu Xena mulai bergetar.

"Kadang ... kadang Kak Riga jahat sama aku. Seolah, semua yang menjadi penghalang itu karena adanya aku di sini. Setiap kali aku tanya di mana salah aku, Kak Riga cuma diam. Lalu pergi. Berasa banget aku yang salah, kan?"

Tangis Xena makin jadi.

"Kapan, sih, kalian ajak aku? Jangan lama-lama bisa, kan? Ajak aku, Pa, Mom, Kak."

****

"Om," panggil Xena sekadar memastikan kalau penglihatannya tak salah. Mungkin saja karena semalaman ia menangis, makanya pandangan yang ia punya buram mendadak. Atau ia sedang berhalusinasi.

Tidak. Tidak. Apa mungkin ia masih bermimpi? Mimpi indah yang pernah terjadi beberapa tahun lalu? Tapi ...

"Kamu sudah bangun?"

Xena mengerjap pelan. Suara Riga terlalu nyata untuk ditolak. Tegas, penuh dominas!, tak terbantahkan, juga dingin. Belum lagi wajahnya makin kaku seiring bertambahnya usia dari sang pria. Xena heran, apa memang pria dewasa seperti itu?

"Om enggak kerja?"

Riga hanya menarik sudut bibirnya kecil. "Meeting jam sebelas. Masih sempat buatkan kamu sarapan."

"Om ... enggak lagi gegar otak, kan?"

Gerak Riga memotong bawang untuk membuat tumisan dagingnya harum dan lebih enak, terhenti. "Kamu bilang apa? Saya gegar otak?"

"Eh ... maksud Xena ... itu ... aduh ..." Sungguh, biasanya saling melempar canda serta tawa adalah kebiasaan mereka dulu. Tapi kini? Berkata seperti itu saja, Xena sudah dihadiahi satu tatapan dingin tanpa belas kasih. Kadang ingin sekali Xena bertanya, apa salahnya. Kenapa Riga sampai berubah sedrastis ini padanya.

Namun semuanya urung ia lakukan. Xena sadar diri, siapa dirinya kini.

"Ketimbang kamu bicara gugup gitu, kamu mandi sana." Riga mau tertawa tapi ditahan. Terutama saat melihat bagaimana pucatnya wajah Xena karena ucapannya barusan. Sudah lama sekali riga hitung, ia tak menghabiskan banyak waktu bersama gadis periang nan lembut itu.

Ah ... urusan pekerjaan serta tekanannya luar biasa mengganggu Riga hingga kini. Acap kali, hal ini yang membuat amarahnya tak terkendali. Ucapan yang seharusnya tak terlontar, sudah terlanjur Xena dengar. Ingin ia tarik, rasa percuma baginya.

"Kenapa masih diam? Enggak mau sarapan dengan saya?"

Gadis yang masih mengenakan piyama tidur melesat kembali ke kamarnya. Memilih menuruti permintaan Riga. Ada senyum kecil yang menghias bibir mungilnya terutama saat ia sempat mengawasi sekitar, tak ada Kaliandra di sana. Dan semoga saja, hingga sesi sarapan lezat nan jarang terjadi ini, Kali memang tak pernah ada.

Buru-buru ia berganti pakaian, sikat gigi, dan merapikan diri. Tak peduli kalau dua jam lagi Riga berubah dingin, ia hanya mengharap, pria itu mau tersenyum padanya seperti dulu. Membuat Xena selalu yakin kalau Riga adalah sandar yang tepat. Sama seperti saat ia mempercayakan genggaman tangannya pada pria tiga puluh lima tahun itu.

Dan sepertinya semesta memang sedang baik padanya. Riga sudah menyelesaikan sajiannya, menatap Xena dengan senyum kecil yang membuat gadis itu terpaku sejenak. Kapan terakhir kali ia melihat Riga seperti ini, ya? Ia berusaha sekali mengingat.

"Xena, ayo cepat. Nanti keburu dingin. Saya perhatikan kamu jarang sarapan yang betul akhir-akhir ini."

Sudah lah. Ingatan mengenai senyum Riga tak penting sekarang. Hari ini, detik ini, Xena membuka lembar baru untuk diisi senyum Riga yang tampak lain dari biasanya. Lebih baik Xena mendekat ke arah meja makan.

"Ehm ... sampai hari ini Xena belum lolos buatkan kopi untuk Om, ya?"

Riga menahan sendok berisi irisan daging di udara, berpikir sejenak, lalu terkekeh. "Kapan kamu belajar buat? Terhenti begitu saja, kan?"

Gadis itu mendengkus sebal. "Om saja jarang pulang. Gimana Xena mau buatkan."

"Bulan ini saya di Jakarta. Kamu bisa belajar sajikan kopi untuk saya."

Binar mata Xena cerah seketika. "Benar kah?"

Riga menjawab dengan anggukan yakin. Yang Riga tak pernah siapkan, kalau Xena beranjak dari duduknya dengan cepat. Menghampirinya dan segera melabuhkan satu peluk yang erat. Juga ucapan yang terdengar menyapa hati Riga, mendadak menghangat.

"Makasih, Om. Pokoknya nanti Xena buatkan yang paling enak."

Butuh sepersekian detik untuknya agar tidak bergerak berlebih, terutama membalas peluk gadis itu. "Iya. Saya tunggu."

Dan sesi sarapan kali ini, Xena banyak bicara. Apa saja. Riga hanya tanggapi seperlunya. Bukan tak ingin hanya saja, terbiasa tanpa banyak ucap namun mengetahui dengan pasti tiap perubahan dari gadis bernetra cokelat terang ini. Terutama suasana hatinya.

Sejak kedatangannya beberapa hari lalu, Riga merasa Xena membatasi dirinya. Ah, Riga sendiri yang berbuat. Ucapannya memang sudah keterlaluan. Bekerja dalam dua bidang yang sangat berseberangan membuat otaknya kaku. Seharusnya ia tak memperlakukan Xena dengan kejam. Untuk itu lah, sarapan ini dibuat. Mengawali hari dengan senyum riang Xena itu adalah balas yang bisa Riga beri.

Mungkin ... Riga memang perlu memperbaiki sikapnya pada gadis itu. Mendadak ia rindu, saat mereka bersama menyusuri taman rumah mewah milik sang gadis, beberapa tahun lalu.

***

"Xena."

Ia menoleh, mendapati Jess yang tampak sedikit berlari menghampirinya. Ada apa?

"Lo ikut seminar besok?"

Ah, seminar ya. Xena tampak berpikir sesaat. "Kayaknya enggak ikut, deh."

Kening Jess berkerut tiba-tiba. "Kenapa? Bukannya lo nungguin? Pembicaranya bagus, kan, lo bilang?"

"Iya. Tapi gue ada janji, Jess."

Jesslyn makin tak mengerti arah ucapan Xena. Sejak kapan sahabatnya punya janji lain selain hal-hal yang berkaitan dengan kampus dan perpustakaan?

"Om Riga sebulan ini di Jakarta. Gue enggak bisa banyak kelayapan sebenarnya."

Ah, ternyata karena Riga. Pantas saja. Jess memaklumi pada akhirnya. Yang Jess tau, Riga wali Xena karena kedua orang tuanya sudah tiada sejak lima tahun lalu. Hanya itu. Pria super sibuk dan jarang bisa Xena temui itu, ada sesekali waktu yang dipunya, menetap di Jakarta.

Sementara.

Mengurus bisnis yang Jess sendiri tak tau bergerak di bidang apa. Xena tak memberi banyak kisah lain. Dan satu hal yang pasti Jess tau, Riga sangat menjaga Xena. Bahkan tak jarang ada beberapa ajudan yang sengaja menjemput dan mengawal mereka jika gadis itu ingin sekadar menghabiskan waktu di mall.

Risih. Jelas. Tapi Jess tak bisa banyak omong karena Xena sendiri mengabaikan mereka. Hampir seperti robot ketika Xena menghadapi mereka. Melihat Xena tersenyum itu hal langka yang bisa terjadi. Makanya Jess tak ingin beranjak karena merasa Xena ini membutuhkannya. Butuh teman yang bisa berjalan di sisinya tanpa banyak bicara. Cukup mendukung dan menyediakan bahu saat dirinya dilanda gundah entah karena apa.

"Jadi gue sendiri nih?" tanya Jess memastikan. Tangannya kembali dirangkul pada bahu sahabatnya itu. Kali ini, Xena melirik tajam dan segera menurunkan paksa lengan gadis berambut merah itu. Jess tergelak. "Dinginnya kembali."

Xena berdecak. "Gue lapar. Makan, yuk."

Gelak Jess makin jadi. "Xena dan makan. Dua hal yang enggak terpisahkan, ya."

Gadis berambut hitam itu menyeringai. Jess benar. Xena menggemari makan terutama pasta. Berbalut keju juga rasa saus tomat yang gurih juga sedikit asam. Perpaduan itu lah yang selalu Xena cintai macam hidupnya.

"Makan di mana?"

"Asya buatkan pasta dong."

Jess rasanya ingin menjitak Xena dengan keras. Sial. Dipikir dirinya akan keluar dari area kafenya. Ternyata ....

"Bayar!"

Xena terkikik. "Gampang. Ada Om Riga. Uang gue banyak."

"Sumber dana berjalan, ya, Na."

Tanggapan Xena hanya menyeringai. Dalam segi uang jajan, Xena mana pernah kekurangan. Punya kartu banyak dalam limit yang tak sedikit tapi Xena paham, ini semua adalah uang hasil kerja keras Riga mengelola usaha ayahnya.

Yang sebentar lagi, akan diserahkan padanya. Akan ia kelola dengan baik dan seharusnya bijak. Tapi terkadang, ia membutuhkan uang cash untuk menunjang hal-hal yang sedang ia persiapkan. Walau meragu, tapi terkadang ia harus memupuk banyak keingingan penuh agar bisa diwujudkan.

Sebentar lagi. iya, Xena meyakinkan hal itu terus menerus ketika hatinya meragu.

"Lo extra keju seperti biasanya, kan?"

Xena mengerjap pelan. Lamun yang tadi sedang ia pikirkan baik-baik, buyar. Langsung ia ganti perangah karena keterkejutan kecil tadi dengan seulas senyuman. "Iya. Kalau bisa extranya tiga."

Jess mencibir. "Memang enggak bikin lo mual kebanyakan keju gitu?"

"Enggak. Gue suka keju, by the way."

Jess menggeleng. "Iya, tau. Lo dan keju."

Tiba di kafe, Asya sudah menyediakan apa yang Jess minta. Asisten di dapurnya itu memang luar biasa cekatan. Tak percuma Jess mempercayakan kafe yang baru berdiri setahun lamanya ini pada Asya. Selain terampil, Asya selalu bisa dijadikan kawan tukar pikiran terutama masalah menu dan promo baru.

"Wow. Asya the best banget memang!" Xena tak berhenti takjub dengan pasta sajiannya kali ini. pun Iced Capucinno yang selalu menjadi penemannya, sudah tersuguh di meja. "Gue laparnya makin jadi."

Melihat hal itu, Jess tertawa lagi. "Makan, deh. Lo kayak kelaperan banget gitu."

"Jelas. Pusing kelamaan di perpustakaan tadi. Banyak banget yang harus gue baca dan rangkum."

"Lo terlalu keras sama diri sendiri, Na."

Andai Jess tau, kalau dirinya memang harus terlecuti seperti ini. Xena pribadi ingin bebas dan menjalani hari selayaknya usia yang ia punya. Bebas bergaul dengan siapa saja tanpa perlu was-was karena diikuti.

Tapi dia bisa apa?

Titah Riga adalah keharusan. Walau sebagian darinya menerima, terutama ketika dirinya berhasil membuat garis lengkung dalam bibir Riga tercetak sempurna, ia puas sekali. Ia tak mengerti sejak kapan, keinginan membuat senyum Riga terus menerus ada menjadikannya bagai obsesi. Banyak yang ia kalahkan hanya demi senyum yang Riga punya.

Jangan tanya mengapa karena Xena sendiri tak punya jawabannya.

Mereka pun menikmati sajian yang ada hingga ponsel Xena menginterupsi. Buru-buru Xena keluarkan dari tas tentengnya siapa tau pesan penting.

Om Kasa : Hadir di seminar nanti. Jangan bolos. Pembicaranya saya.

Xena sukses tersedak hebat.


***
jangan lupa komentnya yaaaa 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro