5 - Savior
Untuk seorang yang asing bagiku
Hadirnya cukup menghangatkan hatiku
***
"One caramel macchiato latte spesial buat customer paling spesial. Silahkan Kak Naura." ucap Gara penuh keriangan ketika mengantar latte ke mejaku. Aku mengernyit heran melihat Gara sendiri yang mengantar latte pesananku. Kemana si pelayan ganteng? Aaah, aku mulai terpengaruh karena senyum pelayan itu.
"Panggil Naura aja kali Bang. Gue yakin lebih tua lo dari gue." Jangan heran. Aku dan Gara memang jauh lebih akrab sejak pertemuan pertama kami sekitar dua minggu lalu. Ya, selain bermulut manis, Gara juga cukup menyenangkan sebagai teman. Kami pun memutuskan untuk memakai bahasa yang lebih santai.
"Muka gue setua itu ya Ra?" tanya Gara dengan polosnya. Membuatku seketika menggangguk dan tertawa kecil, dan Gara terlihat masam karenanya. Kenapa dia seperti cewek yang mendadak bad mood karena dianggap tua? Hahahaha.
"Kenapa ini spesial? Yang kemarin-kemarin nggak spesial berarti?"
"Special karena gue yakin latte ini jauh lebih nikmat dari latte yang lo pengen sebulanan ini." jawab Gara dengan senyuman menggodanya. Mau menggodaku Bang? Aaah, jelas sulit.
Aku mengalihkan pandanganku ke latte di hadapanku dan langsung mencoba latte tersebut.
Latte ini enak, sungguh. Tapi bukan yang seperti ini yang aku rindukan. Aku melirik ke arah Gara yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menatapku penuh harap. Rasanya tidak ingin mengecewakan wajah itu. Tapi bagaimana lagi.
"Latte ini enak, beneran Bang ....," terlihat wajah bingung Gara mendengar ucapanku, "tapi bukan ini yang gue kangenin. Gue kangen latte yang seperti sebulan lalu. Sensasinya lain." cicitku takut-takut, tak ingin mengecewakan Gara.
"Gila! Gue masih frustasi sampe sekarang. Kalahnya dimana latte buatan gue Ra?" tanya Gara frustasi. Sepertinya dia benar-benar frustasi. Kenapakah? Apa karena harga diri sebagai baristanya terluka.
"Hmm... latte buatan lo itu enak Bang. Tapi entah kenapa gue ngerasa lebih pas sama latte itu. Gue ngerasa si pembuat latte ini punya kegundahan hati yang nyaris sama dengan gue ....," jawabku sambil kembali mengingat latte spesial yang terakhir kali kucoba, "dan dia, asisten lo itu, membuat latte seperti sebuah pelampiasan baginya untuk mengalihkan rasa sakit di hatinya. Sama seperti gue yang butuh latte untuk mengalihkan rasa sakit di hati gue. Karena dibuat dengan perasaan seperti itu, hasil racikan dia benar-benar mampu bikin gue merasa tenang dan mengalihkan rasa sakit di hati gue." lanjutku mencoba menggambarkan apa yang aku rasakan ketika mencoba latte itu. Terlihat jelas raut wajah Gara yang tersentak dengan jawabanku. Aku mengerutkan kening melihatnya. Jangan-jangan tebakanku benar?
"Jelas gue nggak bakal bisa bikin latte yang sama persis ...," ucap Gara setelah sempat terpaku beberapa saat, "karena emang cuma dia yang punya perasaan seperti itu." Kalimat terakhir itu Gara ucapkan dengan lirih, nyaris tak terdengar. Aku masih mengernyit heran ketika Gara kembali berucap,
"Gue bakal pastiin lo bisa ngerasain latte itu kalo dia mampir ke sini."
"Emang dia nggak kerja di sini? Bukannya dia asisten lo, bang?"
"Dia nggak kerja di sini, Ra. Dia selama ini cuma bantu-bantu di cafe sebagai ganti gue ngajarin dia how to be a barista. Nggak bener-bener jadi asisten gue sih," Gara tertawa kecil di sela-sela ucapnnya sambil menggaruk tengkuknya, "literally, he's friend of mine. Dia punya kerjaan lain dan itu bikin dia cukup sibuk. Makanya sebulan ini dia nggak pernah muncul."
"Pantes, susah banget buat dapet latte itu, Bang."
"Namanya juga special, Ra. Kalo dapetnya gampang mah nggak spesial lagi." ucapnya sambil mengedipkan satu mata. Membuatku spontan mencebik karenanya.
Speak of something special, aku jadi teringat si pelayan ganteng. Dia juga nggak terlihat selama sebulan ini. Mulutku ini rasanya gatal ini menanyakan kepada Gara.
"Bang, satu lagi, gue pernah beberapa kali lihat ada pelayan yang namanya ...," aku kembali mengingat pertemuan pertama kami sebulan lalu, "Bi, ya? Bi namanya kalo nggak salah. Kenapa dia sekarang juga nggak kelihatan?" Aaarggh, salahkan mulut bodohku ini. Melihat raut wajah geli dan menahan tawa dari Gara membuatku ingin menenggelamkan wajahku di bawah meja.
"Forget it!" ucapku lagi cepat. Dan segera disusul oleh tawa renyah Gara.
"Sorry, Ra ...," ucapnya sambil mengulum senyum yang terlihat sengat kentara buatku, "pelayan itu juga udah resign." Ada nada geli dari ucapannya, membuatku semakin mengernyit heran. Kenapa? Nada geli itu untuk apa?
"It's oke, bang. Gue cuma penasaran aja dia jarang kelihatan, padahal sepertinya fans dia banyak."
"Yap, dia punya banyak fans. Kadang kita sampe kewalahan." Aaah, tentu saja, he got everything everyman needs.
"Yaudah gue tinggal dulu ya. Pelanggan mulai rame." ucap Gara ketika tidak ada lagi yang kami bicarakan. Segera setelah aku mengangguk, Gara pun langsung melenggang kembali ke meja baristanya.
Aku menghela nafas panjang. Latte favoritku akan sulit mendapatkannya lagi, senyum hangat dan penuh pesona yang memikatku sebulan lalu pun sudah tidak bisa aku nikmati. Alasan untuk datang ke cafe ini seolah hilang, haruskah aku berhenti datang kemari?
***
"Hah!"
Napasku tersengal-sengal ketika bangun dari mimpi buruk. Aku memegang dadaku yang terasa begitu sesak. Kenapa semakin hari semakin menyiksa seperti ini? Bahkan sekarang aku harus mengalami mimpi buruk yang aku sendiri tidak dapat artikan apa maksud dari mimpi itu.
Bukan. Sebenarnya mimpi itu tidak buruk, hanya saja bayangan sepasang sejoli bersama seorang anak kecil yang begitu bahagia dan terlihat sosokku yang sedang menangis penuh luka menatap pemandangan itu benar-benar membuat hatinya sesak dan hal tersebut bagai mimpi buruk bagiku. Dan malam ini, lagi-lagi aku harus menangisi nasibku. Menangisi hidupku yang terasa makin hampa sejak Rava pergi dari hidupku.
Aaarrggh, kenapa merelakan harus semenyakitkan ini? Aku sudah berusaha ikhlas, tapi semua tidak mudah.
"Gue nggak boleh gini terus." Mulai terdengar isakan yang tak kusadari. Aku menangis sesengukkan sambil menggumamkan hal yang sama. Semua sugesti telah aku lakukan namun hasilnya nihil. Tubuhku terasa lemas. Untuk menggerakan tubuh ini rasanya sangat sulit. Keringat dingin mulai bermunculan di tubuhku. Dadaku naik turun dan terasa makin sesak. Alarm di otakku mengirimkan sinyal bahwa ini sudah batas akhir tubuhku.
Cepat-cepat aku mengambil obat penenanh yang ada di laci nakas dan meminumnya. Tinggal menunggu beberapa untuk melihat reaksi obat ini. Namun obat itu pun tidak memberikan efek apapun. Kembali alarm di otaknya memberi sinyal bahwa aku dalam kondisi kritis yang perlu bantuan seseorang. Atau biarkanlah aku pergi saja? Toh, tidak ada hal yang menahanku di sini.
Seolah dihantam sebuah palu, kesadaranku kembali datang. Aku menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran gila itu. Aku meraih ponsel untuk menghubungi Sandra. Karena Sandralah yang tinggal paling dekat dengan apartemen ini. Telfonku diangkat setelah bunyi dering kedua.
"Halo Ra, lo ngapain telfon..."
"San, tolongin gue San. Gue sesak napas, gue.." Nafasku tersengal-sengal.
"Hah? Shit! Tunggu gue. Gue ke sana, stay awake, Ra." Sandra segera menutup telfonnya
Sebisa mungkin aku tetap berusaha tetap sadar. Sulit. Mataku mulai berkunang-kunang, dadaku semakin terasa sesak dan sekuruh tubuh rasanya lemah dan tan bisa lagi menopang diri. Aku terduduk lemas di sofa. Aku sudah tidak sanggup lagi. Dan tubuhku pun terhuyung entah kemana.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, namun aku mendengar ketika ada suara gaduh di dekatku. Sayup-sayup aku mendengar suara Sandra dan ada seorang lagi yang entah aku tidak mengenal suara itu. Aku tidak terlalu perduli, tubuhku tidak dapat melakukan apapun saat ini. Mataku pun tak bisa terbuka. Kubiarkan suara-suara itu membantuku.
"What the... kenapa loe bisa kayak gini Ra?"
"Mbak, kita bawa langsung mbak ini ke UGD aja. Deket sini ada RS Harapan Kita. Kita langsung ke sana aja. Mbak bawa mobil kan?"
Di sela-sela ketidak sadaraknku tersebut, aku masih bisa mendengar meski samar ucapan seseorang tersebut.
Aaaah, sepertinya aku harus kembali mengecap rasa rumah sakit.
***
Aku mengerjapkan mata pelan merasakan cahaya yang menyilaukan mata. Bau arsenol --bau khas rumah sakit-- menguar. Melihat sekeliling, aku mengernyit melihat tubuh asing sedang tertidur di sofa sambil menutupi mukanya. Siapa dia? Seharusnya Sandra yang ada di situ, bukan lekaki asing. Entahlah, aku bisa menanyakan hal itu nanti.
Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar ini. Aku merasa tidak asing dengan kamar ini. Dan netraku membola sempurna ketika melihat lambang dan tulisan nama rumah sakit di dinding kamar ini. RS Harapan Kita.
"Shit!"
Aku segera mendudukkan diri dan berniat untuk keluar dari kamar ini. Namun saat aku hendak berdiri, tubuhku limbung dan membuat kegaduhan kecil. Tubuhku ternyata masih lemah. Sial!
"Mbak mau kemana? Mbak itu belum pulih mesti istirahat beberapa hari di sini." Suara bariton yang terdengar dingin dan mencekam itu menghentikan aktivitasku yang ingin lepas dari jarum infus. Aku menoleh ke arah laki-laki tersebut dan kembali membelalakkan mata. Si pelayan ganteng. Sempat tercengang sesaat, aku segera kembali sadar.
"Saya nggak papa kok Mas. Saya cuma perlu istirahat di rumah. Lagipula saya nggak punya biaya untuk bayar biaya rumah sakit lama-lama." jawabku cepat sambil berusaha merapikan diri. Aku mencari barang di sekitarku, dan seketika sadar aku bahkan tidak membawa apa-apa. Badanku pun mendadak lemas. Aku bahkan tidak membawa ponsel dan dompet. Tentu saja, aku pingsan dan bahkan nyaris mati semalam, mana mungkin mengingat dompet dan ponsel. Terkutuklah Sandra yang meninggalkanku di sini tanpa dompet dan ponsel bersama lelaki asing.
"Boleh saya minta tolong Mas?" tanyaku kepada si pelayan ganteng. Tidak ada pilihan, aku harus meminta bantuan laki-laki ini, "saya benar-benar harus pergi dari rumah sakit ini. Boleh saya pinjam uang atau ponsel anda? Saya perlu uang untuk membayar biaya rumah sakit, dan saya perlu ponsel untuk menghubungi teman saya." lanjutku dengan suara lirih dan nada yang memelas. Jujur, aku sangsi laki-laki di depanku ini akan menolongku. Melihat bagaimana dingin dan kaku sikapnya. Tapi sekali lagi, aku tidak punya pilihan lain.
"Ponsel saya juga lowbat. Saya di sini semalaman tanpa mengisi baterai. Untuk biaya rumah sakit akan saya selesaikan, tapi kita tidak bisa pergi tanpa persetujuan dokter yang merawatmu. Dia bahkan belum visite ke sini."
"No! Bisakah kita hanya pergi dari sini saja? Kita bisa taruh uang di ruangan ini untuk mengganti biaya pengobatan saya. Saya mohon ...," ucapku sambil menyatukan kedua telapak tangannya dan menggerakkan seolah memohon dengan penuh keputusasaan. Lelaki di hadapanku masih tetap tak bergeming, "saya punya alasan kenapa saya harus segera pergi dari tempat ini. Dan maaf, saya belum bisa memberi tahu anda. Tapi bisakah anda membantu saya sekali lagi? Saya..."
"Baiklah," potong si pelayan ganteng cepat, "asalkan kamu benar-benar beristirahat selama dua hari ke depan. Saya sendiri yang akan memastikan hal tersebut." lanjutnya tegas. Yang benar saja, aku harus istirahat dua hari? Aku hanya perlu tidur seharian dan besok kembali bekerja. Tapi hanya ini satu-satunya cara agar bisa segera pergi dari tempat ini. Lagipula setelah keluar dari sini, belum tentu akan bertemu laki-laki ini bukan?
"Baiklah, jadi bisakah kita pergi sekarang?"
"Baiklah." jawab si pelayan ganteng yang kemudian berdiri, mengambil uang dalam dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu, dia pun menuliskan sebuah pesan di atas uang tersebut. Setelahnya kami berdua mengendap-endap layaknya pencuri. Dan begitu keluar dari lobi, kami segera naik ke taksi yang kebetulan sedang lewat menurunkan penumpang.
Kami duduk bersisian. Lelaki itu terlihat fokus pada pemandangan di luar jendela.
"Naura." ucapku sambil mengulurkan tangan. Aku memutuskan untuk memperkenalkan diri. Dia sudah membantuku, rasanya aneh kalau aku tidak tahu namanya. Kulihat dia reflek menaikkan satu alisnya, memandangi uluran tanganku tanpa ingin membalasnya. Yang benar saja! Dasar sombong. Aku pun segera menarik kembali uluran tanganku.
"Saya cuma berusaha bersikap sopan dengan bertanya nama orang yang sudah membantu saya. Kalau memang anda keberatan, saya pun tidak masalah."
Suaraku terdengar ketus. Tak masalah. Aku sungguh benci dengan tipe lelaki sok dingin seperti itu. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
"Bintang." Kali ini laki-laki bernama Bintang lah yang mengulurkan tangannya untuk memperkenalkam diri. Aku mengulum senyum tak ingin terlihat terlalu bersemangat karena uluran tangannya.
"Naura."
Aku membalas jabatan tangannya. Kami hanya diam sampai taksi ini membawa kami di depan pintu lobby.
Aku menuju pintu lift. Ku lihat jelas Bintang mengikuti langkahku. Aku pun menaikkan satu alis sambil menatapnya.
"Kenapa kamu mengikuti saya?"
"Sepertinya saya sudah sebutkan tadi kalau saya akan memastikan kamu benar-benar istirahat. You are a runaway patient, i don't even know your exact situation and condition. Setidaknya biarkan saya memastikan bahwa saya benar-benar membantu seorang pasien yang kabur dalam keadaan sehat." jawab Bintang masih dengan tatapan dinginnya.
"Whatever."
Kami pun masuk ke dalam lift yang terbuka. Keheningan kembali datang sampai kami tiba di depan pintu unit apartemen. Melihat Bintang yang tetap berdiri di belakangku, Aku pun akhirnya angkat bicara.
"Saya sudah sampai di apartemen saya, dan saya berterima kasih untuk bantuanmu. Saya akan mengganti uang kamu, hanya sebutkan nomor rekeningmu, maka saya akan mentransfernya." ucapku terdengar ketus. Aku memang berterima kasih atas bantuan Bintang, namun sikap dingin laki-laki ini membuatku jengkel.
"Nggak perlu ganti biaya yang sudah saya keluarkan. Dan saya akan memastikan keadaan di dalam apartemen kamu. The last time i was here, it was such a mess. Nggak mungkin juga saya biarkan orang sakit bersih-bersih apartemennya sendiri."
Wait! What? Dia masuk ke apartemen ini sebelumnya? Bagaimana bisa....
"Kamu pernah masuk apartemen saya?"
"Saya yang gendong kamu dari kamar ini sampai ke rumah sakit. Teman kamu Sandra yang tiba-tiba meminta tolong pada saya." jelasnya membuatku ingin mengumpat saat ini juga. Sialan si Sandra! Jadi malam itu bukan mimpi, ketika aku mendengar suara seorang laki-laki yang ternyata Bintang.
"Baiklah, mari kita masuk." ucapku menyerah.
Dan begitu membuka pintu apartemen, benar saja kondisi unitku tak ubahnya kapal pecah yang semua barang berserakan. Aku pun segera masuk dan membereskan barang-barangku. Namun, tanganku dicekal oleh Bintang.
"Kamu belum pulih benar. Kamu basuh diri dulu dan istirahat. Saya yang akan bantu membersihkan ruangan ini." ucap Bintang dingin dan tegas. Tentu saja aku tidak setuju, bagaimanapun ini tempat tinggalku. Aku hendak menyuarakan protesku ketika Bintang hendak membantah ketika kembali berkata, "jangan membantah. Saya bisa seret kamu lagi ke rumah sakit untuk memastikan bahwa kamu memang belum waktunya keluar rumah sakit. Saya hanya akan membersihkan ruangan ini dan membuatkanmu bubur untuk sarapan dan setelah itu saya akan pergi."
Baiklah. Aku menyerah. Aku pun akhirnya menyerah dan mengambil beberapa pakaian sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sudah sekitar setengah jam aku berada di kamar mandi. Aku sudah selesai sedari tadi, tapi rasanya enggan untuk keluar dari kamar mandi, mengingat ada Bintang di sini. Si pelayan ganteng yang tina-tiba berubah menjadi penyelamatku.
Tidak mungkin juga aku terus bersembunyi di kamar mandi ini. Menghela napas, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar mandi. Dan kamarku tampak sepi! Senyumku mengembang. Bintang sepertinya sudah pergi.
Aku melirik ke arah dapur kecilku dan mataku membola ketika melihat semangkuk bubur ayam dan segelas air putih dengan beberapa obat di samping.
"This man is not bad." Gumamku tanpa sadar melihat hasil karya laki-laki tersebut. Kembali meneliti sekitar, mataku terhenti pada sticky note berwarna pink dengan tulisan :
Need to go asap. There's some emergency.
Makanlah bubur yang sudah saya buat. Minum obatnya dan istirahatlah.
0811***** this is my phone number
call me if you need something.
Bintang
Tanpa sadar, sudut bibir ini mengembang menampilkan senyuman saat melihat note tersebut. Aku merasakan sebuah aliran asing merambati dadaku. Baru kali ini ada seseorang memperhatikanku sampai sedetail ini. Padahal laki-laki ini hanya orang asing.
**** TBC
Enjoy and Happy reading..
ditunggu vote commentnya 😘😘
28.12.2017 revised on 12.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro