Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Baper's Time

Cinta itu untuk dirasakan,
Bukan dipikirkan.
Cinta lebih butuh balasan
Ketimbang alasan.

* * *

Bintang bersenandung dalam perjalanan kami menuju condotel tempat Sandra tinggal. Ya, aku tinggal di sana. Thanks to Aldric, dia memberikan fasilitas tempat tinggal untuk Sandra.

Bintang menatap gedung dengan dahi berkerut dalam, "Kamu tinggal di sini? Jauh banget," ucap Bintang

"Aku numpang di tempat Sandra."

"Sandra? Sandra yang temen kantor kamu dulu itu?" Aku mengangguk.

"Jadi Aldric memang tau dimana kamu berada selama ini," geram Bintang yang membuatku menaikkan satu alis.

"Jelas Aldric tau. Dia orang pertama yang akan aku kabari dimana aku berada."

"Ck ... Aldric tetap yang pertama ya." Entah, aku merasa ada nada cemburu dalam ucapannya. Tapi aku tak mengindahkannya.

"He's my bestfriend, afterall."

Kami berdua turun setelah Bintang memarkirkan mobilku. Bintang mengikutiku hingga aku berdiri di depan lift. Aku menaikkan satu asliku.

"Aku antar sampai depan unit. Memastikan bahwa aku nggak akan kehilangan jejakmu, lagi."

"No! Ini privasi Sandra dan juga aku. Lagipula, aku bisa pergi dari sini kapan aja. Handphone mana?" Bintang terlihat bingung dengan jawabanku, namun tetap memberikan ponselnya padaku. Aku mengetikan nomor ponsel baruku dan melakukan panggilan. Aku memang tidak menyimpan ataupun mengingat nomor ponselnya.

"Itu nomor hape-ku. Kamu nggak akan kehilangan jejakku. Dan sekarang, kamu cukup antar aku sampai sini." Terlihat jelas Bintang tidak setuju dengan ucapanku, ia hendak protes namun segera kupotong, "kasih aku ruang, Bi. Aku sudah kasih nomor hape-ku kan? Lagipula ingat, kita hanya teman."

Helaan napas kelur dari mulut Bintang.

"Take care ya. See you tomorrow," ucap Bintang pada akhirnya sebelum kemudian pamit untuk kembali ke hotel.

Aku masih menatapnya yang berjalan keluar dan kemudian menaiki taksi. Ia menatapku sekilas sebelum kemudian taksi yang membawanya meninggalkan gedung ini.

Benar kata Bastian. Aku harus menyelesaikan apapun yang masih mengganjal dalam diriku. Mengenai Papa, Mama, ataupun Bintang. Aku bersyukur dalam hati karena Rava sudah bukan lagi ganjalan dalam hatiku meski kini kedudukan itu tanpa kusadari kini digantikan oleh Bintang.

* * *

"Pagi." Dan sepagi ini aku harus mendengar sapaan ini.

"Pagi."

"Nanti makan siang bareng yuk?" Aku menoleh ke arah Bintang dengan raut wajah tercengang. Namun segera kunormalkan ekspresi wajahku.

"Peserta seminar akan dapat makan siang di restoran, dok."

"Tapi aku maunya makan di luar. Sama kamu."

"Mau apa lagi, sih?" tanyaku dengan nada jengkel.

"Nggak ada yang salah bukan dari sepasang teman yang makan siang bersama," ucapnya sambil mengangkat kedua bahunya. Dan ucapannya membuatku kalah telak. Dia ini sengaja mengujiku dengan selalu muncul di hadapanku ya?

"Nanti siang aku sibuk, Bi."

"Kalau gitu makan malam. Sekalian aku antar kamu pulang." Kalimat terakhirnya membuat netraku membelalak.

"Again?"

"Setiap hari selama aku di sini kalau bisa." Aku berdecak sebal mendengar ucapannya.

"Jangan bosan, Nau. Aku bakal terus menghantuimu. Sampai kamu sadar kalau aku sayang sama kamu, dan cuma aku yang bisa melengkapimu." Ah, lagi-lagi ucapan yang membuat hatiku berdetak tak karuan.

"Jangan gombal. Nggak ada teman yang nggombal macem gitu."

"Aku nggak keberatan kok jadi lebih dari teman." Bintang mengucapkan kalimat tersebut dengan senyum menggodanya. Menyebalkan!

"Bi ...." Terdengar tawa dari mulut menyebalkannya itu. Tawa yang sudah lama tak kudengar. Tawa yang dulu mampu membuat hatiku menghangat setiap mendengarnya. Dan masih memberikan efek yang sama bagiku.

"Yaudah aku balik dulu ya. Nanti malam, kita makan bareng dan aku antar kamu pulang." Tanpa menunggu responku, Bintang segera meninggalkanku menuju ballroom.

Sungguh menyebalkan. Aku bahkan belum mengiyakan ajakannya. Dia justru sudah memutuskan sendiri. Bodoh amat! Aku akn menolaknya nanti.

Seharian ini banyak hal yang harus kukerjakan. Beberapa komplain dari pengunjung hotel, pengawaaan acara seminar, menghubungi beberapa vendor yang rencananya akan menyewa ballroom di hotel kami.

Tanpa terasa aku baru menyelesaikan pekerjaanku di jam sembilan malam. Leherku terasa kaku, punggungku rasanya ingin rontok, tangan juga ikut protes karena terlalu lama menulis dan mengetik, dan yang paking parah, mata ini rasanya tak mau lagi terbuka. Lelah menyelimutiku.

Delapan bulan lalu, lelah seperti itu yang selalu aku butuhkan agar aku bisa tidur nyenyak di malam hari. Namun untuk saat ini rasanya ingin sekali menjauh dari rasa lelah ini. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Sedang Bang Artha masih berada di Jakarta dan belum bisa membantuku.

Aku segera turun menuju lobi untuk pulang. Memijat leherku dengan satu tangan, aku merasakan kenikmatan yang hakiki. Sepertinya aku butuh relaksasi dan pijat.

Aku terpaku pada sosok yang duduk di dekat pintu lobi. Wajahnya terlihat lelah namun sekaligus terlihat segar karena sepertinya ia sudah membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia segera menghampiriku begitu melihatku.

"Kamu kok ...," Ucapanku terhenti ketika kembali mengingat percakapan kami pagi tadi. Aku lupa!

"Aku telepon kamu berkali-kali, Nau. Aku tanya salah satu rekanmu dan mereka bilang kamu belum pulang karena harus lembur mengurusi kontrak."

"Ah ya sorry, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."

"Sudah makan malam?" Aku menggeleng.

"Yuuk, kita makan malam," ucapnya sambil menggandeng tanganku dan menarikku menuju parkiran mobil. Aku menghentikannya.

"Udah malem,Bi. Lagipula aku capek. Besok aja ya." Bintang menggeleng.

"Dan membiarkan kamu melewatkan makan malam? Nggak, kamu harus makan, Nau. Delapan bulan nggak ketemu, kamu makin kurus. Jadi begini pola hidupmu. Bekerja keras, kerja sampai malam dan lupa makan."

Tak ada yang bisa kusanggah karena memanng ucapan Bintang benar. Aku sering lupa makan kalau sudah dihadapkan dengan deadline kerja.

Bintang kembali menarik tanganku. Ia juga menanyakan dimana aku memarkirkan mobil serta meminta kunci mobil padaku.

Kami pergi dalam diam. Entah Bintang membawaku kemana. Yang jelas ia tidak menanyakan harus kemana untuk makan malam.

Kami tiba di sebuah cafe di daerah Legian. Cafe ini tidak terlalu ramai, apalagi ini bukan malam minggu. Terletak di pojok jalan dan sedikit masuk ke dalam. Beberapa kali aku ke Legian namun tidak pernah menyadari keberadaan cafe ini. Sedikit mengernyit karena Bintang yang bukan tinggal di sini justru mengetahui keberadaan cafe ini.

Cafe yang tak terlalu besar ini cukup nyaman ketika memasukinya. Cafe ini memiliki desain interior yang simple namun cozy. Tak banyak hiasan di dinding namun ada beberapa quotes yang tertukis di dindingnya. Didominasi warna krem dan beberapa warna cokelat, aku bisa bilang tempat ini cukup menenangkan. Bintang membimbungku duduk di sofa dekat jendela di bagian depan.

Aku seperti biasa memesan vanilla latte dan spagetti. Sedang Bintang memesan jus dan roti bakar.

"Kamu nggak makan, Bi?"

"Tadi aku makan malam di hotel, Nau." Aku hanya ber-oh ria mendengar jawabannya.

"Aku ke toilter dulu ya."

Sepeninggal Bintang ke toilet, aku kembali memandang suasana cafe ini. Benar, cafe ini menyenangkan, meski kecil. Sambil menatap ke arah jalanan yang sedikit jauh dari cafe, dan melihat orang berlalu lalang, setidaknya rasa penat bisa berkurang.

"You look tired, Nau."

"I am. Pekerjaanku beberapa hari ini sungguh menguras tenaga."

"Aku nggak menyangka kamu bekerja untuk Rava. Jadi selama ini kedua bocah itu menyembunyikan kamu dariku."

"Atas permintaanku, Bi."

"Tetap saja mereka keterlaluan. Bahkan mereka tahu persis bagaimana terpuruknya aku paska kepergian kamu." Aku reflek berdecak mendengarnya. Aku sudah akan protes ketika pelayan mengantarkan latte-ku.

"Woaah, this is cute," ucapku ketika melihat hiasan di atasnya. Gambar beruang dengan kakinya dan abstrak love di atasnya. Baru kaki ini melihat hiasan ini. Melihatnya membuatku ingin mengabadikannya sebelum menikmatinya. Aku pun mengambil ponsel dan memotretnya.

Aku segera menyesapnya. Netraku membola begitu merasakan latte ini. Ini latte buatan Bintang. Aku bisa memastikan hal ini. Aku segera mengalihkan tatapanku pada Bintang yang kini tersenyum misterius kepadaku.

"You made this, right?" Cengiran muncul di wajah Bintang sambil kepalanya mengangguk-angguk. Ya Allah, bisakah ia berhenti membuatku baper? Bastian, kamu membuatju dalam masalah! Tak seharusnya aku mengikuti saran Bastian.

"Aku yakin kamu kangen dengan latte buatanku. Dan aku pun kangen menikmati wajah penuh kepuasan ketika kamu menikmati latte buatanku," jawab Bintang yang membuatku terdiam. Benar, aku merindukan latte ini. Benar, aku pasti akan tersenyum penuh kepuasan setiap menikmati latte butn Bintang. Mendadak hatiku menghangat namun juga merasakan nyeri. Sebesar itu efek ucapan Bintang.

"Thanks anyway."

Kami terdiam setelahnya. Aku masih menikmati latte yang sudah hampir sembilan bulan tak kunikmati. Sedang Bintang, ia sedang menikmati ekspresiku ketika menikmati latte ini. Tak lama kemudian makanan kami datang. Kami makan dalam diam.

"Makasih ya Nau," ucap Bintang setelah kami selesai menikmati makanan. Kini hanya tersisa latte milikku dan jus milik Bintang. Aku mengernyit mendengar ucapan terima kasihnya.

"Terima kasih karena sudah memaafkanku. Terima kasih karena kamu baik-baik saja selama deapan bulan ini. Dan terima kasih karena sudah berhasil meyakinkan Haviz." Kalimat terakhirnya membuatku menegang. Aku terlupa fakta itu. Kirana masihlah menjadi hal penting dalam hidupnya.

"Nggak perlu berterima kasih untuk Kirana. Aku melakukan itu untuk Kak Haviz. Kirana dan keluarganya adalah yang paling dibutuhkannya saat ini."

"Kamu masih marah ...," ucap Bintang lirih sambil menatapku lekat. Aku melihat kembali raut wajah penuh rasa bersalah itu, "kamu masih nggak suka tiap aku bahas Kirana."

"No, i'm not."

"Yes, you are. Satu hal yang perlu kamu tau, dalam rentang waktu kedatangan Kirana kembali itu tak pernah sedikitpun aku berpikir untuk memperjuangkan Kirana. Bukan karena tidak ada kesempatan, tapi karena memang aku sudah merelakannya. Jauh sebelum kamu hadir di hidupku." Aku masih diam mendengar penjelasan Bintang. Hati kecilku berkata aku harus mendengarkannya.

"Tapi Kirana tetaplah seorang teman bagiku. Kebahagiaan dia juga jadi hal penting buatku. Bukan sebagai wanita yang pernah kucintai, tapis sebagai orang yang kuperdulikan. Sebagai teman, sebagai kakak. Hanya itu, Nau."

Entah mengapa ucapan Bintang seolah membawaku kembali ke titik awal. Usaha move on yang kubangun selama beberapa bulan belakangan seolah runtuh dan aku kembali ke titik baper yang selalu diciptakan Bintang. Lelaki di hadapanku ini selalu dengan mudahnya membuatku baper. Tetapi aku tak mau kembali ke masa kelam itu.

***TBC

Maaf baru update.

Banyak banget yang harus dikerjakan seminggu ini..

Enjoy ya...
Jangan lupa vote commentnya... 😘😘

28.03.2018 revised on 18.11.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro