Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 - F.R.I.E.N.D


"Loh ... Nau," ucap Bintang masih dengan keterkejutannya. Dibandingkan diriku, sepertinya dia jauh lebih terkejut.

Aku tersenyum canggunh. Sedang Bintang terlihat mengulum senyumnya.

"Hai, Bi."

Kami saling memandang dalam canggung kemudian terkekeh kecil menyadari tingkah konyol kami.

"Sepertinya aku harus kasih Dion hadiah spesial."

"Hah?" Aku menoleh dan mengernyit mendengar ucapan Bintang yang cukup absurd.

"Sudah baca DM-ku kan? Aku ada di sini karena menggantikan Dion yang harus menunggui Ibunya operasi. Awalnya aku protes dan meminta dia membelikanku sesuatu sebagai ganti, tapi setelah melihatmu, aku merasa akulah yang harus memberinya hadiah. Spesial." Aku hanya ber-oh ria mendengar penjelasan Bintang.

"Kamu apa kabar, Nau? You look much happier."

"Aku baik. Bekerja di sini, bertemu banyak orang baru dan berada dalam suasana pantai yang paling kusuka, setidaknya bisa membuat hati dan pikiranku manjadi jauh lebih ringan."

"Alhamdulillah ..., apa ...." Ucapan Bintang terhenti oleh bunyi ponselku. Bang Arsa meneleponku.

"Ya, Bang?"

"How's the preparation? Gue balik senin pagi nggak apa kan? Meski rapatnya terakhir besok." Aku berdecak mendengarnya.

"Everything's going well. But i object. Lo mesti balik jumat pagi, enak aja! Siapa yang selalu bilang kalau nggak boleh korupsi waktu kerja."

"Ck ..., sekali ini doang, Ra."

"Gue butuh lo, Bang. Hari Jumat ada rombongan dari Kementrian Pariwisata, lo lupa?"

"Right! Gue lupa, Ra. Hahaha. Ah ya! Jangan lupa Bastian hari ini ke Bali. Lo bisa konsul ke dia beberapa hari ke depan."

Aku menepuk dahiku. Aku nyaris melupakan kalau minggu ini adalah jadwal Bastian datang ke Bali yang artinya jadwalku konsultasi.

Aku belum memperkenalkan Bastian ya? Dia adalah Psikolog rekan dokter Jihan. Dia banyak membantuku selama aku ada di Bali. Ia tinggal di Jakarta namun selalu ada jadwal dua minggu sekali ke Bali untuk melakukan konsultasi kepada beberapa pasiennya di Bali. Cukup banyak pasiennya di kota ini, termasuk aku.

Aku suka cara dia membawa obrolan yang secara tidak sadar membawa alam bawah sadarku untuk lebih terbuka. Dia memberiku beberapa terapi untuk mengurangi depresiku. Dan aku lebih menyukai metodenya ketimbang harus bergantung pada obat-obatan. Dia juga yang selalu mendorongku untuk memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuaku. Well, He's a talented psychologist.

"Ah ya! Gue nyaris lupa, Bang. Nanti gue telepon Bastian deh. Thanks for reminding me."

"Ya udah, gue cuma mau mastiin semua berjalan sesuai rencana. Jum'at pagi gue balik. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Pintu lift terbuka ketika sampai di lobi. Aku pun melangkah keluar. Dan ternyata Bintang mengekor di belakangku.

"Itu tadi siapa, Nau?" Aku mengernyit mendengar pertanyaan Bintang, "yang tadi telepon kamu siapa? Atasan kamu yang tempo hari bareng kamu ke rumah sakit?"

"Oooh, iya. Itu tadi Bang Arsa, atasanku." Entah mengapa aku merasa raut wajah Bintang berubah. Mungkinkah dia marah? Untuk apa coba?

"Kalian sedekat itu?"

"Tentu saja, kami sudah lama kenal, Bi. Jauh sebelum aku kenal kamu." Terdengar helaan napas dari mulut Bintang.

"Jadi, benar-benar nggak ada harapan?" Dahiku mengerut dalam mendengar pertanyaan Bintang, "sudah ada laki-laki lain penggantiku?" Aku sontak tertawa mendengar ucapannya. Bintang justru terlihat bingung mendengar tawaku.

"Bisakah kita tidak membicarakan hal itu dulu? We just met, Bi. Ya sudah, aku balik dulu ya." Aku sudah akan meninggalkan lobi ketika tangannya mencekalku.

"Aku anter kamu pulang, boleh?"

Yang benar saja! Tidak masalah sebenarnya, hanya saja aku takut terbawa perasaan kalau terlalu sering berada di dekatnya. Bintang ini punya bakat alami membuat wanita merasa spesial, jatuhnya jadi baper deh.

"No. Aku bawa mobil sendiri."

"Ya, nggak apa. Aku setirin mobil kamu, nanti aku balik naik taksi."

"Nggak efisien banget."

"Hanya ingin menghabiskan sedikit lebih banyak waktu denganmu, Nau," ucap Bintang dengan cengirannya, "ayolah, kita memang bukan lagi pacar, tapi kita bisa jadi teman kan Nau?"

"Teman mana yang masih berusaha modus?"

"Ya namanya juga usaha, Nau." Aku memejamkan mata sambil memijat pelipisku karena perbincangan absurd ini.

"Bi ... Kita bakal ketemu lagi besok sampai tiga hari ke depan. Aku yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan seminar yang kamu hadiri. Jadi, nggak perlu cari alasan supaya bisa ngobrol lebih lama sama aku. See you tomorrow." Aku segera melangkah menjauh meninggalkan Bintang. Memegang dadaku, aku merasakan gejolak luar biasa. Baru beberapa menit bertemu, efek Bintang masih sebegini dahsyatnya.

* * *

Pagi ini, seperti biasa aku berangkat ke hotel. Memeriksa persiapan seminar. Memastikan semua fasilitas yang dibutuhkan sudah disiapkan. Berkoordinasi dengan tim panitia.

"Hai, Mbak Naura." Aku menoleh dan menemukan Bastian sudah berada di belakangku. Pagi ini aku memang ada janji dengan Bastian. Seharusnya aku yang mendatangi tempat prakteknya, tetapi karena kesibukan tiga hari ini membuatku tidak bisa ijin.

"Hai, Bas. Bentar ya. Aku tinggal mastiin satu ini aja. Setelahnya kita ke ruangan Bang Arsa." Aku segera menyelesaikan final check untuk acara seminar. Menitipkan sejenak kepada salah satu rekanku di bagian Marketing.

Kami sudah ada di ruangan Bang Arsa. Sudah ngobrol selama setengah jam. Hanya hal kecil tapi gal itu yang membuatku mudah terbuka kepada Bastian.

"Dia ada di sini, Bas."

"Siapa? Bintang?" Aku mengangguk.

"Reaksi Mbak atas kehadiran dia seperti apa?"

"Much better. Efek Bintang masih cukup besar padaku. Tetapi aku sudah bisa mengontrol dan menekan efek itu."

"Hubungan Mbak Naura dan Mama yang membaik sungguh membuat perubahan besar pada Mbak Naura. Tinggal dua lagi, Papa Mbak dan Bintang. Mbak bilang Papa Mbak susah ditaklukan, jadi mungkin bisa dimulai dari Bintang."

Aku reflek mengembuskan napas panjang. Menghadapi Papa jauh lebih mudah bagiku, tapi aku yakin akan ada perang dunia jika kami bertemu sekarang. Sedang menghadapi Bintang, dijamin penuh cobaan. Cukup melihat senyumnya saja bisa membuatku lumer seketika. Bodoh!

"Bisa diskip dulu dua-duanya, Bas? Waktunya belom pas."

"Siapa bilang? Bintang sudah ada di depan mata, Mbak. Kalian bahkan bertemu secara kebetulan. No, itu bukan kebetulan. Itu takdir Tuhan." Oke, berbicara takdir selalu membuatku mati kutu. Bastian sangat percaya tidak pernah ada namanya kebetulan. Semua sudah diatur.

"Baiklah. Lagipula sebenarnya aku sudah berdamai dengan Bintang. Hanya saja ada rasa yang tertinggal yang sukit untuk diacuhkan begitu saja."

"Justru itu, Mbak. Kamu harus menuntaskan rasa yang tertinggal itu. Entah dengan benar-benar melupakannya atau kembali bersamanya." Aku melotot mendengar ucapannya. Kembali bersama tentu bukan opsi yang bisa kupilih saat ini.

"Aku balik dulu ya Mbak. Aku sudah ada janji dengan klien lain." Aku mengangguk tanda mengerti.

Aku mengantar Bastian sampai lobi. Ketika Bastin sudah berpamitan dan meninggalkan lobi, Bintang datang dan menyapaki.

"Nau."

"Oh, Hai Bi."

"Itu siapa?" Entah mengapa wajah Bintng terlihat marah. Dua hari aku bertemu dan dua hari itu pula Bintang terang-terangan menunjukkan rasa cemburunya.

"Teman."

"Teman apa, Nau?"

"Kenapa aku harus menjelaskan kepadamu, Bi?" Terlihat Bintang yang tak mampu mengucapkan sanggahannya.

"Bi, kita itu hanya TEMAN. Tak ada kewajiban bagi seorang teman untuk melaporkan dengan siapa saja dan kemana ia pergi." Aku sengaja menekankan kata "teman" agar ia bisa lebih mengerti.

"Dan apa aku nggak boleh untuk tahu? Aku bertanya sebagai teman. Teman yang ingin melindungi temannya dari situasi berbahaya."

"Dimana ada situasi berbahaya, Bi?"

"Laki-laki tadi, dia terlihat berbahaya. Jangan sampai dia berbuat jahat padamu." Aku reflek mengeluarkan tawa mendengar ucapan Bintang.

"Bastian bukan lelaki yang berbahaya. Lagipula, kamu lebih berbahaya buatku ketimbang Bastian." Aku menyesali mulut pedasku, karena saat ini Bintang menampilkan wajah sendu, penuh rasa bersalah. Membuatku  merasa bersalah.

"Kamu kok di sini? Harusnya kamu ada di ballroom kan?" Rasa bersalahku membuatku mencoba mengalihkan pembicaraan yang makin menjurus menyedihkan.

"Lagi break, Nau. Lagipula, aku belum ketemu kamu pagi ini, jadi aku cariin kamu di lobi. Barangkali bisa ketemu kan, bisa jadi penyemangatku untuk enak jam ke depan." Aku sedikit tercengang dengan ucapan Bintang. Kenapa sekarang Bintang pandai modus begini.

"Please, Bi. Stop modusin aku."

"Kasih aku anter kamu pulang hari ini dulu."

"No way!"

"Ya kalau gitu siap-siap aja dengerin recehanku terus tiga hari ini." Aku memejamkan mata mendengar Bintang yang menurutku berubah gila. Harus aku apakan anak ini?

"Fine! Hari ini kamu boleh antar aku pulang. Hanya hari ini." Seringaian di wajah Bintang membuatku menyesal mengiyakan tawarannya.

Sepertinya perjalanan pulangku hari ini akan menjadi perjalanan paling melelahkan.

****TBC

Maap part ini receh banget dan cuma dikit.. ide mampet lagi, lagi pusing sama ikutan event...
Semoga suka ya...

Ohya, aku update cerita baru. Ikutan event Grasindo. Mampir ya, kasih saran, kritik, komen, vote juga. Tapi plisss jangan komen bahas lapak yang lain. 🙏🏻🙏🏻

Revisi dan lapak baru itu akan berjalan berdampingan kok.

Makasih banyak.

25.03.2018 revised on 15.11.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro