Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33 - Reconciliation

Jodoh itu...
Mau dikejar sekeras apapun,
kalau belum jodoh tidak akan bersatu.
Mau dihindari sejauh apapun,
kalau memang jodoh pasti akan bertemu.

🎵 Glenn Fredly - You are My Everything

* * *

Mobil sedan hitam yang membawaku kini memasuki pelataran rumah mewah bernuansa putih tersebut. Tak banyak yang berubah dari rumah ini, meski memang aku telah meninggalkan rumah ini cukup lama.

Taman luas yang selalu terawat. Pepohonan yang selalu terpangkas rapi. Hamparan bunga mawar yang disukai oleh si pemilik. Bahkan ayunan kecil dan tempat duduk untuk menikmati taman pun masih berada di posisi yang sama. Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk utama rumah ini.

"Neng Chyntia ...," suara wanita paruh baya yang sudah sangat ku kenal membuatku menoleh ketika aku sudah akan membuka pintu, "Alhamdulillah, ini bener neng Chyntia? Apa kabar neng? Kok makin kurusan Neng?" lanjur Bik Rumi yang berbicara tanpa henti. Aku tersenyum menanggapi pertanyaan penuh perhatian darinya.

"Chyntia baik Bik. Sehat juga. Agak kurus karena emang diet," jawabku sambil mengedipkan satu mata.

"Ngapain diet atuh Neng. Neng mah udah kecil badannya, diet malah nanti kayak tengkorak Neng."

Aku langsung memeluk Bik Rumi. Sungguh aku merindukan sosok yang sudah seperti Ibuku sendiri di rumah ini. Satu-satunya sosok yang bersikap hangat padaku, melebihi orang tuaku.

"Kangen sama Bibik," ucapku sambil masih memeluknya. Tangan Bik Rumi kurasakan mengelus kepalaku lembut. Hatiku menghangat.

"Bibik juga kangen sama Non Chyntia."

Aku melepaskan pelukan kami, "Aku masuk dulu ya Bik. Sepertinya aku bakal disidang habis-habisan," ucapku sambil meringis. Bik Rumi pun tersenyum jenaka.

"Bapak kangen sekali dengan Non. Begitu juga Ibu."

Aku tidak merespon ucapan Bik Rumi karena aku tahu betul, itu hanya harapan Bik Rumi, bukan kenyataan.

Mengembuskan napas panjang, aku memilih memasuki rumah besar ini. Rumah yang sudah hampir empat tahun tak kusinggahi. Rumah yang kuhindari dengan dalih berkuliah. Benar, aku memilih menetap di Bandung empat tahun terakhir dengan alasan kuliah S2-ku.

"Chyntia." Suara sendu itu menyambutku, entah mengapa aku merasakan kepedihan dalam suara tersebut. Aku nyaris tak mengenali suara itu.

"Mama."

Tubuhku terhuyung karena pelukan tiba-tiba dari Mama. Aku mengernyit. Ini bukan seperti Mama. Ada apa?

"Mama minta maaf, nak. Mama ...," ucapan Mama terhenti karena isakannya.

"Ada apa, Ma? Ini bukan seperti Mama." Aku tahu ucapanku sangat jahat. Tetapi sungguh, ini bukan seperti Mama yang ku kenal. Mama menuntunku untuk masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang keluarga.

"Mama sudah tahu semuanya, nak. Perjuangan kamu selama hampir sepuluh bulan ini. Patah hati yang kamu alami, bahkan depresi yang kami derita." Ucapan Mama membuat tubuhku menegang seketika. Darimana ia mengetahuinya?

"Mama minta maaf, nak. Mama mohon maaf atas segala kebodohan Mama selama ini," ucap Mama dengan penuh ketulusan. Terlihat jelas kesedihan dan penyesalan yang di netra Mama. Hal yang tidak pernah aku rasakan darinua selama ini.

Kemudian meluncurlah cerita awal pernikahan Papa dan Mama. Bagaimana pernikahan meraka diawali dari sebuah perjodohan. Dan bagaimana selama pernikahan ini hanya Mama yang mencintai Papa sepihak. Sedang Papa, ia mempunyai wanita lain dalam hatinya. Entah mengapa aku bisa merasakan sakit yang dirasakan Mama selama 30 tahun pernikahannya.

Jujur, aku merasa kaget mendengar cerita Mama. Meski Mama dan Papa bersikap otoriter dan selalu menekanku, mereka selalu terlihat bahagia dan mesra di depan semua orang. Selama ini aku mengira pernikahan mereka benar-benar berlandaskan cinta. Namun ternyata semua itu hanya tameng. Aku memang terlalu bodoh sampai tidak menyadari hal itu. Ah tidak, aku hanya terlalu dipusingkan dengan mencari kebahagiaan sebagai seorang anak sehingga tidak terlalu memperhatikan hal lain.

"Selama menjadi istri Papamu, Mama selalu ingin membuatnya senang. Meski salah satunya adalah dengan membiarkan dia membesarkanmu dengan penuh tekanan. Jujur, Mama pun merasa tertekan. Tetapi, rasa cinta Mama kepada Papa kamu terlalu besar, sampai-sampai Mama menutup mata melihat ketidakbahagiaan di mata kamu, Ra," pungkas Mama mengakhiri cerita tentang masa lalunya. Air mata menetes dari pelupuk matanya membuatku reflek menyentuh wajah Mama dan menghapus air matanya.

"Mama merasa tertampar ketika mengetahui fakta bahwa kamu mengalami depresi karena patah hatimu dengan Rava. Fakta yang membuat Mama sangat marah, tetapi tidak ada yang bisa Mama lakukan. Kamu tahu kenapa Mama tidak memaksakan perjodohanmu dengan Rava kala itu meski kamu memohon sedemikian rupa? Karena Mama takut kamu akan merasakan sakit yang sama dengan Mama. Seumur hidup mencintai lelaki yang tidak pernah bisa mencintaimu sungguh sangat menyakitkan. Tetapi, Mama nggak menyangka hal itu justru membawamu ke dalam jurang depresi."

Penjelasan Mama memberikan jawaban atas pertanyaanku dulu. Mama yang sangat egois dan sombong namun ketika keluarga Rava memutuskan perjodohan secara sepihak, Mama sama sekali tidak marah dan memaksakan meski ketika itu aku meraung dan memaksa kedua orang tuaku untuk meneruskan perjodohan.

Mendengar cerita Mama membuatku merasakan iba kepadanya. Di balik sikap otoriternya ternyata tersimpan kesedihan yang ditutupi sempurna olehnya.

"I'm fine, Ma. Masa terberat itu sudah terlewati. Meski memang depresiku belum sembuh sepenuhnya."

"Dan kenapa kamu justru ada di Bali sekarang?"

"Mencari suasana baru, Ma. Aku butuh suasana baru untuk memperbaiki kondisiku."

Dalam hati, aku sedikit tercengang. Aku dan Mama yang selama ini tak pernah bisa mengobrol banyak, kami yang selama ini hanya mengobrol kaki, entah mengapa kali ini bisa bercerita dengan terbuka. Mungkin langkah Mama yang berusaha terbuka padaku membuat alam bawah sadarku merasakan kenyamanan seorang Ibu dalam dirinya.

Kembali aku mengingat ucapan Dokter Jihan ketika awal mula aku mulai konsultasi denganya.

"Akar permasalahanmu bukan karena patah hati, Ra. Entah mengapa aku merasa luka hatimu sudah ada jauh sebelum itu. Patah hatimu memperparahnya. Cari akar permasalahanmu dan mulai menyelesaikan dari situ. Coba untuk terbuka, hanya dengan itu aku bisa membantumu."

Ketika itu, aku sudah menyangka kalau Papa dan Mama adalah akar permasalahan tersebut. Terima kasih kepada psikolog kenalan Jihan yang mampu membangkitkan alam bawah sadarku dan membuatku lebih baik dari waktu ke waktu. Dan kini saatnya aku menyelesaikan dari akar permasalahanku.

"Jadi, kedatanganku kemari tanpa sepengetahuan Papa?" Mama mengangguk.

"Papamu masih sulit untuk ditaklukan, seperti biasa. Mama akan coba membujuknya perlahan, Chynt. Kamu tahu bagaimana kerasnya Papamu. Nggak semudah itu merubah jalan pikirannya. Sementara ini, tetaplah tinggal di Bali kalau itu bisa membantumu untuk sembuh." Aku mengangguk tanda mengerti. Bagaimanapun Memang sulit merubah pendirian Papa. Dan kali ini aku hanya bisa berharap bantuan Mama.

"Aku bisa menerima sikap otoriter Papa selama ini. Masalah pendidikan, pergaulan ataupun pekerjaanku. Tapi untuk masalah jodoh, biarkan aku memilih sendiri lelaki yang akan menjadi pendampingku kelak, Ma. Jangan memaksakan kehendak dengan menjodohkanku denhan lelaki yang bahkan aku tidak mengenalnya."

"Iya, Chynt. Mama akan coba memberi Papamu pengertian."

Setelahnya hanya ada perbincangan ringan antara aku dan Mama. Aku berada di sana tidak terlalu lama. Aku takut Papa akan pulang dan menemukanku di sini. Aku pamit pulang setelah menikmati makan siang buatan Bik Rumi. Masakan yang selalu kurindukan. Mama melepasku dengan berat. Namun aku berjanji akan sering menghubunginya. Toh kami sudah bertukar nomor ponsel.

* * *

*Six Months Later*

"Ra, lo gantiin gue rapat di Jakarta ya? Gue mesti handle acara seminar tiga hari rabu besok," ucap Bang Arsa dengan santainya membuatku menaikkan satu alis.

"Kenapa mesti gue? Yang lain kek. Gue males Bang kalau mesti ke Jakarta," jawabku sambil tangan bersedekap di dada. Jakarta menjadi salah satu kota yang kuhindari. Terakhir keali aku ke sana aku harus bertemu dengan Bintang.

"Terserah deh, lo mau handle acara seminar atau lo mau gantiin gue rapat ke jakarta."

"Ck.. pilihannya nggak ada yang lebih enak gitu."

Ya, aku dan Bang Arsa masih tetap berada di Bali. Dan rencananya kami akan menetap di sana selama setahun. Tidak seperti rencana awal. Keputusan itu diambil oleh Bang Arsa dan Rava dengan pertimbangan kondisi kejiwaanku yang maju pesat sejak berada di Bali.

Mungkin kondisi hotel yang selalu berhadapan dengan pantai membuat pikiranku menjadi lebih segar. Serta beban pekerjaan yang bisa dibilang banyak namun cukup menyenangkan bisa mengalihkanku dari rasa sakit. Oleh karenanya, keduanya sepakat untuk membiarkanku berada di sink sampai satu tahun.

Hubunganku dan Mama pun berangsur membaik. Kami sering telepon ataupun video call. Meski Mama masih merasa bersalah karena belum bisa membujuk Papa. Namun aku tak ambil pusing. Tidak mudah membengkokkan sebuah baja bukan?

Kondisiku sendiri sudah cukup stabil saat ini. Tidak ada lagi depresi di malam hari ketika sedang sendiri. Hati dan jiwaku sudah memilih untuk berdamai. Kini aku sudah jauh lebih tenang. Meski memang Bintang belum sepenuhnya hilang dari pikiranku, tapi setidaknya tidak ada lagi kesakitan berlebihan ketika mengingat sosok Bintang.

Bagaimana dengan kabar Bintang? Entahlah, tapi sedikit banyak aku tahu kondisinya juga sudah lebih baik, meski ia tetap tak pernah menyerah dan selalu mengirimiku pesan melalui Instagram. Ia tidak lagi membahas hubungan kami, namun semua pesan darinya membuatku sulit untuk lupa padanya.

dr_bi : Hai, Nau. How are you? Aku baik meski sedikit lelah. Hari ini ada operasi besar. Aku ada di ruang operasi selama hampir 8 jam. Alhamdulillah, kondisi pasien stabil paska operasi.

dr_bi : Aku baru aja nengok si kembar. Mereka lucu Nau. Sudah bisa tengkurap. Sungguh melihat mereka membuat semua beban pikiran seolah pergi dari otakku. Dyandra pun kini tidak lagi marah padaku, sehingga aku bisa sering berkunjung dan menengok keponakanku.

dr_bi : Hi, Nau. Marahkah kamu kalau aku bilang malam ini aku kangen kamu banget? Aku bikin vanilla latte kesukaanmu. Sayangnya latte itu nggak menemukan penikmatnya. 😢😢

Itu beberapa message yang ia kirim melalui Instagramku beberapa bulan ini. Lucunya, aku justru merasa terhibur setiap membaca message dari Bintang.

"Seminar apa sih?"

"Seminar kesehatan. Kayaknya dokter-dokter gitu yang dateng. Seluruh Indonesia. Rundown acara dan segala tetek bengeknya ada di Rani."
Seminar kesehatan? Entah kenapa firasatku tidak begitu baik mengenai ini. Tetapi tetap saja, ke Jakarta juga bukan pilihanku.

"Pesertanya berapa orang? kok kayaknya ribet banget."

"Kemungkinan sekitar 100 orang. Karena pesertanya dari berbagai kota di Indonesia dan pihak penyelenggara dari dinas kesehatan, mereka maunya semua di-handle dengan baik, jadi gue kudu ngecek langsung semuanya."

"Yaudah, gue milih handle seminar di sini aja deh," pungkasku pada akhirnya.

"Lo mesti ketemu sama pihak dinas kesehatan. Hubungi mereka pastikan masalah jadwal dan jalannya acara nanti. Koordinasi sama Food beverage, housekeeping dan Front Off ...," Ucapan Arsa terhenti karena decakanki.

"Gue tau kali Bang. Nggak usah detail gitu nyuruhnya."

"Hahaha... sorry, jaga-jaga aja Ra. Kali lo amnesia.m," canda Bang Arsa, "ya udah gue nyiapin buat rapat dulu. See you next week," lanjut Bang Arsa sambil mengacak pelan rambutku

"Puasin ya bang. Mumpung pulang kampung," ucapku yang mungkin tidak didengar oleh Bang Arsa karena ia sudah berjalan menjauhiku. "Dasar jomblo akut, yang didatengin cuma Mama tercinta."

Setelahnya aku berkoordinasi dengan seluruh bagian terkait untuk persiapan seminar tersebut. Aku sudah mendapat informasi tentang detail acara, list peserta serta contact person panitia penyelenggara. Rencananya beberapa panitia akan datang terlebih dahulu untuk persiapan terakhir.

* * *

Semua persiapan sudah dilakukan. Seminar pun akan dilaksanakan mulai besok hingga jumat. Beberapa peserta pun sudah mulai berdatangan. Aku masih sibuk dengan persiapan ballroom yang akan digunakan sebagai tempat seminar.

Hari sudah malam ketika aku selesai mengecek kembali persiapan pembukaan seminar besok. Aku sedang berada di depan lift ketika melihat notifikasi di ponselku. Pesan dari Bintang. Pesan yang beberapa hari ini tak muncul.

dr_bi : Hai, Nau. Maaf beberapa hari ini nggak message kamu. Rumah sakit lagi hectic banget, sehingga aku nggak sempat menulis pesan. Oh ya, beberapa hari aku mesti gantiin Dion ikut seminar. Mestinya dokter umum yang hadir, tapi bagaimana lagi, kami sedang kekurangan dokter umum di IGD. Sehingga aku yang diminta hadir. Kamu sendiri, bagaimana kabarmu, Nau? Kamu baik-baik saja kan dimana pun kamu berada? Tidak bolehkah kamu memberiku petunjuk dimana kamu berada sekarang?

Aku mengernyit mendapati pesan dari Bintang. Ia akan ikut seminar? Bukan seminar yang sedang aku handle ini kan? Aku menggeleng-gelengkan kepala menolak pemikiran absurdku ini.

Ting

Pintu lift terbuka dan aku segera menuju ke dalam lift. Netraku membola ketika kemudian pandanganku terarah kepada sosok lain yang ada di dalam lift.

"Bintang," ucapku lirih membuat lelaki yang sedang sibuk dengan ponselnya pun menoleh kepadaku. Dan netra cokelat itu pun membelalak lebar.

Aduh! Kenapa aku sial begini sih?!

*****TBC

Buat yang udah baca versi lama, taukah kenapa aku merubah alurnya?
Karena aku ingin Naura lebih dulu menemukan kebahagiaan untuk dirinya, bukan dari sisi pasangan hidup melainkan dari sisi keluarga.
Biarkan Naura sembuh atas usahanya sendiri, bisa mencintai dirinya sendiri sebelum memikirkan yang lain.

Jadi tolong jangan diprotes lagi ya..
Aku galau karena kemarin2 banyak yang bilang lebih suka versi lama. Ya nggak apa sih, itu hak masing-masing. Tapi itu bikin aku males nerusin revisi rasanya. Padahal aku lakukan itu karena aku merasa mendzalimi karakter yang aku buat sendiri.

Sekian. Selamat membaca, happy reading..

23.03.2018 revised on 14.11.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro