31 - A (Happy) Farewell
Sometimes,
Forgiveness is for past reconciliation,
not for a future consideration.
🎵 Conrad Sewell - Start Again
* * *
"Naura." Suara bariton itu membuatku menegang. Aku bahkan tidak berani menoleh kan kepalanya. Aku hanya terpaku dengan kedua tangan masih menutupi wajahku.
"Nau, ini bener kamu? Nau, Maaf. Aku ... maaf." Ya, laki-laki itu adalah Bintang.
Entah bagaimana kami bisa berada di tempat dan waktu yang sama denganku. Padahal aku sengaja memilih mengenok Dyandra di jam kerja, agar kemungkinan ini bisa ku hindari. Aku merasakan ada seseorang beberapa langkah di hadapanku. Dan aku yakin itu Bintang.
Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya membuka kedua tanganku dan menengadahkan kepalaku ke arah Bintang dengan senyuman yang kubuat senormal mungkin.
"Hai, Bi."
"Nau," Bintang melangkah mendekatiku, hendak menyentuh tanganku namun terhenti karena gerakanku yang berdiri dan hendak menghindarinya, "aku minta maaf Nau. Aku janji nggak akan nyakitin kamu lagi. Aku janji cuma kamu yang akan jadi prioritasku. Tapi aku mohon jangan pergi dariku, berhenti marah kepadaku. Berhenti menghukumku," lanjut Bintang dengan raut muka penuh permohonan. Jujur, aku merasa iba melihat Bintang. Akan menjadi hal yang sangat mudah untuk memaafkan Bintang dan kembali padanya jika terus melihat Bintang seperti itu. Namun aku segera menepisnya dan tersenyum penuh arti.
"Aku nggak pernah marah sama kamu, Bi. Apalagi menghukummu. Aku hanya menyadari satu hal. Kita memang tidak tercipta bersama. Well, seharusnya sudah sejak dulu aku memahami ini, namun entah mengapa aku kembali mencoba berusaha. Namun ternyata usaha keras saja tidak cukup. Jadi aku memilih melepasmu, Bi. Aku bukan marah sama kamu, aku hanya merelakanmu untuk bahagia," ucapku yang membuat Bintang menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan ucapanku.
"Bahagiaku sama kamu, Nau. Bahagiaku kalau ada kamu." Aku masih bergeming mendengar ucapan Bintang. Bintang mendekatiki, berlutut dihadapan Naura dan menundukkan kepalanya. Aku pun terduduk kembali di kursi, dengan Bintang yang berlutut di hadapanku.
Tubuhnya bergetar, terlihat jelas bahwa ia sedang menangis. Aku tidak menyangka kepergianku menimbulkan efek sebesar ini padanya. Aku pun segera membungkukkan badan mencoba menegakkan tubuh Bintang namun Bintang menolak.
"Jangan gini, Bi."
"Aku tahu aku bodoh. Yang aku lakukan kemarin sungguh bodoh. Aku marah untuk hal yang tidak seharusnya dan aku menghukummu dengan terlalu kejam. Aku minta maaf, Nau. Aku mohon. Aku butuh kamu. Dua bulan ini serasa di neraka. Bahkan aku merasa seperti orang gila," ucap Bintang dengan penuh penyesalan. Aku bahkan bisa merasakan jelas penyesalan tersebut. Namun, aku terlalu takut. Dan aku sudah memutuskan untuk tidak kembali jatuh di lubang yang sama.
"Maaf, Bi. Aku terlalu takut. Jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya itu sangat menyakitkan. Aku masih bersyukur karena aku tidak sampai gila. Aku bersyukur aku tahu kapan harus berhenti berusaha. Dan untuk saat ini, kondisi seperti ini jauh lebih aman bagiku. Berbahagialah, Bi. Bukan denganku, tapi dengan orang lain. Kirana mungkin," Senyuman tak lepas dari wajahku ketika mengucapkan hal ini. Aku harus bisa menunjukkan kalau aku baik-baik saja.
"Tapi Nau ...," ucapan Bintang terhenti karena dering teleponku yang berbunyi. Aku segera mengecek ponselku, dan ternyata dari Bang Arsa. Sedikit mengerutkan kening, aneh jika Bang Asa meneleponku.
"Naah di sini ternyata. Ditungguin Mama, Ra," ucap Bang Arsa yang membuatku mengernyit. Mama yang mana? "Kan tadi aku udah bilang. Tungguin. Kenapa ditinggal," lanjut Bang Arsa dengan nada lembut tidak seperti biasanya. Membuatku makin mengernyit. Namun kemudian aku tersadar, Bang Arsa sedang berusaha membantuku keluar dari situasi ini.
Aku langsung melangkah ke arah Bang Arsa dan tersenyum lebar kepadanya. Dalam hati mengucapkan kata terima kasih kepada Bang Arsa berulang kali, "Sorry, tadi seneng banget lihat taman di sini Bang," jawabku yang kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Bintang yang melihat ke arah kami dengan tatapan bingung.
Aku kembali mengarah ke Bintang yang kini sudah berdiri sembari berkata, "Bi kenalin ini Arsa, atasanku di tempat kerjaku yang baru. Bang, kenalin ini Bintang," ucapku sambil bergantian menatap Bintang dan Bang Arsa. Bang Arsa pun segera mengulurkan tangannya yang segera diterima oleh Bintang.
"Bintang."
"Arsa. Akhirnya ketemu sama yang namanya Bintang. Terima kasih ya, kamu sudah membantu Naura ketika masa sulitnya. Dan terima kasih, berkat kamu juga Naura akhirnya menerima tawaran kerja dari perusahan saya. Auw! Apa sih, Ra? Bener kan?" ucap Bang Arsa santai namun membuatku memelototkan mataku. Aku pun menghadiahinya cubitan.
"Bang, mulut please dijaga," cicitku pelan. Jujur aku merasa tidak enak dengan Bintang atas perkataan Bang Arsa. Bintang sendiri terlihat menegang karena ucapan Bang Arsa.
"Udah yuk, Mama nungguin kamu Ra," ucap Bang Arsa yang lalu mengalihkan pandangan ke Bintang, "Maaf ya Bintang. Sepertinya Naura nggak bisa menemani kamu lama-lama. Kami duluan ya," lanjutnya masih dengan senyuman yang terlihat sangat menyebalkan. Bintang bahkan terlihat sebal dengan Bang Arsa.
"Aku balik dulu ya, Bi." Aku sudah hendak melangkah menjauhi Bintang, namun kemudian tangannku dicekal oleh Bintang membuatku menatap ke arahnya.
"Kita belom selesai bicara, Nau."
"Maaf Bi, udah nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Setelah ini, aku harap kamu bahagia," ucapku sekuat tenaga menahan rasa sakit yang timbul ketika melihat wajah kecewa Bintang. Ya, di mata Bintang terlihat jelas jika ia merasa sedih dan kecewa melihat interaksiku dan Arsa. Namun sekali lagi, aku harus kuat.
Setelahnya aku merasakan tanganku digenggam oleh Bang Arsa dan menuntunku untuk meninggalkan Bintang.
* * *
"Makasih ya, Bang," ucapku ketika kami sudah berada di dalam mobil.
"You're welcome." Jawab Arsa sambil tersenyum ke arah Naura. "Lo ada niat balik sama Bintang?" tanya BangArsa kembali membuatku reflek mengendikkan bahu.
"Gue takut mengambil resiko Bang. Gue takut makin terpuruk."
"Then don't," Aku reflek menatap lekat ke arah Bang Arsa.
"Jangan paksakan apapun. Kalo lo emang belom siap, kalo emang masih takut, maka jangan lakukan. Untuk saat ini yang lo butuhin adalah ketenangan hati. Gue nggak mau liat lo balik ke kondisi dua bulan lalu," Bang Arsa kemudian mengacak rambutku pelan.
Jangan dikira aku bisa melewati dua bulan ini dengan mulus. Semua bagai di neraka bagiku. Beruntung aku memilih pergi di saat yang tepat sehingga lukaku tidak terlalu dalam. Beruntung Dr. Jihan dan Bang Arsa banyak membantuku. Serta kondisi hotel tempatku bekerja yang cukup kondusif membuat usahaku tidak sia-sia.L.
"Nggak akan gue biarin lo terpuruk lagi. Cukup sekali gue kecolongan," ucap Bang Arsa sambil menatap lekat kedua mataku. Terlihat jelas raut bersalah di wajah Bang Arsa, "Maafin gue, nggak ada di samping lo waktu lo berjuang melawan depresi lo dulu. Tapi kali ini, gue bakal temenin lo. Dan gue bakal pastiin nggak ada yang nyakitin lo lagi. Well, Mama bisa cincang gue kalo sampe dia tau apa yang menimpa lo," lanjut Bang Arsa dengan diselingi canda di akhir kalimat. Aku pun ikut tergelak karenanya.
Hatiku menghangat karena percakapan ini. Aku dan Bang Arsa tidak terlalu dekat, tetapi ternyata dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat beruntung ada Bang Arsa ketika aku berada di titik terendahku dua bulan lalu.
"Makasih ya, Bang. That means a lot to me."
"Lo itu salah satu orang terpenting di hidup gue. Meskipun beberapa tahun ini kita nggak pernah berhubungan, tapi lo masih jadi salah satu prioritas gue, Ra." Senyumku terkembang mendengar ucapan Bang Arsa. Meski kami memang sempat terpisah beberapa tahun ini akibat hubungan keluarga kami yang tidak akur, tetapi mendengar ucapannya membuat hatiku menghangat. Selama ini hanya Aldric yang memperhatikanku.
"By the way, sepertinya ada yang ngikutin kita," ucap Bang Arsa sambil mengendikan dagunya ke kaca spion. Membuatku menoleh ke arah belakang. Dan benar saja, mobil Honda Civic warna hitam berada di belakang mobil Bang Arsa.
"Mobil Bintang."
"As i expected. Dia pantang menyerah ya." Aku reflek mengurut kening mendengar ucapan Bang Arsa. Mengembuskan napas panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menghadapi Bintang.
"Berhenti, Bang," Terlihat Bang Arsa yang enggan menghentikan mobilnya, "dia nggak akan berhenti. Biar gue coba ngomong dulu sama dia." Terdengar helaan napas dari mulut Bang Arsa sebelum akhirnya ia menyerah dan menghentikan mobil. Benar saja, mobil sedan hitam tersebut pun ikut berhenti.
"Call me when you need a ride, Ra." Aku mengangguk mengiyakannya.
Setelahnya mobil Bang Arsa meninggalkanku. Terlihat mobil Bintang yang berjalan menghampiriku. Aku segera membuka pintu mobil penumpang dan masuk ke dalamnya. Terlihat senyum yang coba ia sembunyikan. Mobil melaju, entah kemana, aku tak peduli. Aku hanya ingin menyelesaikan ini.
"Stop it, Bi. Berhenti berusaha. Karena semua akan sia-sia," ucapku ketika kami sudah duduk di dalam cafe. Bintang membawaku ke cafe miliknya.
"Aku benar-benar minta maaf, Nau. Aku ...,"
"Aku sudah memaafkanmu. Sometimes, Forgiveness is for past reconciliation, not for a future consideration. Aku memaafkanmu, bukan berarti aku harus kembali bersamamu. Aku hanya ingin meneruskan hidup dengan kelegaan dalam diriku."
Bintang terlihat tersentak dengan ucapanku. Aku masih terdiam menatap lurus ke arah Bintang dengan datar. Senyum ku sunggingkan untuk menunjukkan betapa aku kuat menjalani patah hati keduaku ini.
"Tapi Nau ..., aku akhirnya sadar kalau selama ini aku membutuhkan kamu. Kamu yang aku sayangi. Maaf atas khilafku beberapa saat lalu, aku hanya ..., aku hanya ...," Ucapan Bintang terhenti karena isyarat tanganku yang memintanya berhenti.
"Please, Bi. Kita perlu ruang untuk diri kita masing-masing. Jangan terlalu memaksakan. Sesuatu yang terlalu dipaksakan tidak akan berakhir baik. I knew that more than anyone else."
Sepertinya Bintang tidak bisa lagi mengucapkan apapun. Entahlah, mungkin perkataanku menyakitinya karena kini wajah itu terlihat terluka. Namun, aku harus tetap meneguhkan pendirianku.
"Goodbye, Bi. I wish you a happy life," ucapku yang kemudian meninggalkannya yang masih terpaku. Aku segera meninggalkan cafe dengan menaiki taksi yang sudah ku pesan beberapa menit lalu.
***TBC
Lagu di mulmed tuh Semacam curahan hati Bintang..
Bingung nggak sih Bang Arsa ini siapa?
Yang udah pernah baca pasti tahu.. jadi jangan ikut nebak ya... yang belom pernah baca bisa nebak Bang Arsa ini siapa? Haha
Enjoy ya...
😘😘😘
20.03.2018 revised on 13.11.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro