26 - Time to Stop
Dengerin lagu dimulmed dulu sebelum baca atau sambil baca juga boleh. Sumpah lagunya dalem banget. Bikin mewek. Mewakili perasaan Naura di episode ini.
* * *
Don't worry when i fight with you,
Worry when i stop, because it means
There's nothing left for us to fight for.
* * *
"Mas Haviz sakit kanker. Leukimia stadium akhir. Hidupnya tidak lama lagi. Jadi ikhlaskan dia, Ra. Dia hanya ingin pergi dengan tenang." Bukan aku yang menjawab pertanyaan Kirana dengan seketus itu. Aku menoleh ke asal suara dan membelalakan mata melihat Aldric sudah berdiri di belakangku. Wajahnya menatap Kirana datar. Aku berbalik dan mendekati Aldric.
"Al, please...,"
"Lanjutkan hidup kamu, Ra. Jangan hanya stuck dengan Mas Haviz. Dia nggak mau ketemu sama kamu. Tolong hentikan dramamu ini," Lagi Aldric mengucapkan dengan dingin. Tatapan matanya datar. Aku memejamkan mata melihat sikap Aldric yang seolah membenci Kirana. Bukan seperti ini yang kuinginkan. Yang Aldric ucapkan menyakiti Kirana, dan mungkin juga dirinya sendiri.
"Stop Al!" ucapku setengah berteriak, "lo nggak berhak ngomong gitu. Mas Haviz yang berhak. Jangan memperkeruh keadaan." Aku menatap nyalang ke arah Aldric. Apa yang dia ucapkan itu keterlaluan. Aku bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati Kirana karena ucapan Aldric. Aldric pun membalas tatapanku tidak kalah tajam. Tidak ada satupun dari kami yang berniat mengalah. Sampai hal yang terjadi berikutnya membuatku terpaku.
Kirana berjalan mendekati kami, berdiri menghadap Aldric dan sedetik kemudian ia berlutut di hadapan kami. Aku segera mensejajarkan diri untuk menariknya kembali berdiri, namun Kirana bergeming. Ia tetap pada posisinya. Kedua tangannya ia satukan dan dengan gerakan memohon dia mulai berucap.
"Kak Al, tolong Kak. Aku mohon. Aku butuh Mas Haviz. Aku bisa gila kalau harus seperti ini. Paling tidak, biarkan aku berada di sisinya ketika ia mengalami masa sulitnya. Biarkan aku menemaninya sampai saat terakhirnya. Aku mohon, Kak." Jangan tanya bagaimana raut wajah Kirana saat ini. Wajahnya kacau, berurai air mata, ia bahkan tidak perduli seluruh pengunjung dan pegawai cafe memperhatikannya dengan wajah prihatin.
"Ra, please jangan gini. Bangun dulu, Ra." Kirana tetap pada posisinya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku akhirnya berdiri menatap tajam ke arah Aldric. Melalui mata aku memohon padanya untuk menghentikan semua ini.
Aldric menghela napas kasar dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun. Kirana hendak mengejar Aldric namun aku menahannya. Percuma. Aldric terlalu keras mengenai Kak Haviz.
"Nanti dulu, Ra. Kasih aku waktu buat meyakinkan kedua kakak beradik itu." Aku menuntun Kirana untuk duduk di sofa. Memberi isyarat kepada Gara untuk membuatkan minuman untuk Kirana. Kami diam selama beberapa menit, sampai sebuah suara menginterupsi kegiatan kami. Aku sedang mengaduk latte-ku ketika suara terdengar.
"Ra ...," Tanpa perlu menoleh pun aku tahu pasti bahwa itu suara Bintang. Dan panggilan itu jelas untuk Kirana. Oleh karena itu aku tidak berniat mendongakkan kepalaku. Rasa sakit itu kembali muncul. Sial!
"Kamu kenapa Ra?" Suara itu melembut ketika menanyakan keadaan Kirana. Dan hatiku terasa perih mendengar kelembutan itu. Kelembutan yang pernah kurasakan meski sesaat. Kelembutan yang kini menghilang dariku.
"Aku nggak papa, Mas. Hanya sedikit kacau karena belum dapat titik terang mengenai Mas Haviz."
Aku tidak sanggup jika harus berlama-lama ada pada situasi ini. Rasa sesak kembali melingkupiki. Aku harus segera menjauh dari dua manusia di hadapanku ini.
"Gue balik dulu, Ra." Aku segera memotong pembicaraan mereka, tidak ingin lebih lama berada di antara mereka. Aku segera berdiri dan berjalan menuju lantai dua. Tanpa menatap Kirana ataupun Bintang.
"Kak..." aku menulikan telingaku dan segera bergegas menuju ruanganku di lantai dua. Aku butuh sendiri. Aku benar-benar tidak ingin membenci Kirana ataupun Bintang. Tapi jika aku berada terlalu lama di antara Bintang dan Kirana, bisa-bisa aku akan membenci keduanya.
Aku merebahkan diri di sofa yang memang biasa aku pakai untuk istirahat. Menggunakan satu lenganku untuk menutup mataku. Aku memejamkan mata untuk menenangkan pikiranku. Tanpa bisa kucegah, buliran itu mengalur turun dari sudut mataku. Aku menangis dalam diam.
* * *
"Haaahh!!" teriakku dengan nafas yang terengah-engah. Mimpi itu lagi. Namun kali ini wajah yang dilihat di mimpi ini berbeda. Bukan lagi Rava dan Dydy, namun Bintang dan Kirana. Tangan kiriku memegang dadaku yang terasa sesak, perih itu yang kembali menjalari tubuhku bahkan kini jauh lebih menyakitkan.
Aku segera mencari obat yang selalu ia bawa kemana-mana. Obat yang dokter Jihan bilang hanya boleh kuminum di kala genting seperti ini. Setelah meminum obat tersebut, aku kembali memejamkan mata. Mencoba menenangkan emosiku dan menunggu reaksi obat tersebut. Aku juga segera menelepon dokter Jihan setelah kondisiku lebih baik.
"Dok, saya mendapat mimpi yang sama lagi dok, setelah hampir dua bulan tidak pernah muncul. Dan kali ini, saya merasakan sakit yang teramat dasyat," ucapku ketika dokter Jihan mengangkat teleponku.
"Obat yang saya resepkan kemarin kamu minum?" Aku mengiyakan pertanyaannya.
"Baguslah, sementara kamu istirahat dulu. Kamu bisa ke tempat praktek saya sore ini. Kebetulan sore ini kosong, saya bisa meluangkan sedikit waktu untuk konsultasi."
"Baik dok. Saya akan ke sana sore ini," jawabku cepat, aku sudah hendak memutuskan pembicaraan di telepon ketika mengingat sesuatu, "oh ya Dok, bolehkah saya minta bantuan kepada dokter?"
"Jika saya bisa bantu, saya usahakan."
"Tolong jangan bicarakan hal ini dengan dokter Bintang. Tolong rahasiakan pertemuan hari ini," Meski mungkin Bintang tidak akan memperdulikan kondisiku, namun aku tetap perlu memastikan. Akan lebih baik jika aku mulai membiasakan diri untuk menyembuhkan diriku sendiri, tanpa bantuannya.
"Baiklah. Saya tidak akan membicarakan perihal ini kepada dokter Bintang," jawab Dokter Jihan pada akhirnya. Aku pun mendesah lega. Setelahnya kami berpamitan mengakhiri panggilan telepon.
* * *
Seminggu sudah sejak kejadian di cafe itu. Semua tampak berjalan seperti biasa. Aku tetap yang bekerja setiap hari di cafe.
Aku dan Bintang pun tidak saling bertemu ataupun bertukar pesan dan telepon selama seminggu ini. Kami seolah melupakan eksistensi masing-masing. Bintang yang mungkin sibuk membantu dan menenangkan Kirana. Aku yang sibuk menyembuhkan penyakitku yang memang belum sembuh sepenuhnya namun kini kembali ke titik awal.
Aku menghela napas berat. Semiggu tidak bertemu ataupun bertukar pesan dengan Bintang membuatku rindu akan sosok tersebut. Dua bulan ini sosok Bintang selalu ada menemaniku, namun belakangan ini semua hilang. Hatinya semakin sakit, seolah ada yang kekosongan di relung hatiku. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku mencoba memperbaiki hubunganku dengan Bintang ataukah aku harus merelakan Bintang.
Tapi apa yang harus pertahankan dari hubungan ini? Bintang bahkan tidak perduli padaku. Bintang bahkan tidak berusaha memperbaiki hubungan ini. Aku meringis miris mengingat hal tersebut.
"Bengong aja nih!" Suara Gara menghentikan lamunanku. Aku berdecak sebal karenanya. "Mikirin Bintang?"
"Lo tau... Bintang itu cerdas, selalu nomor satu dalam segala hal. Bahkan dia bisa menjadi dokter bedah seperti sekarang ini murni karena kepandaiannya tersebut. Satu kelemahan dia," Gara sengaja menghentikan ucapannya sejenak, memperhatikan raut wajahku yang sedang menanti kelanjutan kalimatnya. Gara tersenyum, "dia selalu bodoh kalau sudah menyangkut cinta dan hati. Dia terlalu bodoh untuk membedakan mana cinta dan mana terbiasa. Mana cinta dan mana obsesi. Dia masih bodoh tentang hal seperti itu. Jadi, kalau lo emang masih ingin hubungan kalian tetap baik dan langgeng, nggak ada salahnya kalau lo yang memulai lebih dulu, Ra. Buat dia sadar dan bisa memahami hatinya. Nggak ada yang salah kok dengan hal itu," lanjut Gara meyakinkanku.
Gara memang sahabat Bintang sejak SMA. Mungkin memang ucapan Gara ada benarnya. Apa aku harus mencoba berbicara dengan Bintang?
Aku masih terdiam memikirkan ucapan Gara. Memang yang diucapkan Gara ada benarnya. Berulang kali aku memejamkan mata dan membuka mata kembali, sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti saran Gara.
"Bang, ajarin gue masak sesuatu dong. Gue mau bawain makan siang buat Bintang. Makan siang yang gue buat sendiri," ucapku pada akhirnya. Gara pun tersenyum mendengarnya.
"Bintang suka banget nasi gorang ikan asin, kebeneran gue punya stock teri medan. Kita masak itu aja ya," jawab Gara sambil berjalan ke arah dapur cafe ini. Aku pun menganggukan kepalanya penuh antusias. Dan selanjutnya kami larut pada kegiatan memasak kami.
* * *
Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke lift yang akan membawaku ke lantai tempat ruangan Bintang berada. Jujur, jantungku berdebar kencang. Sudah pasti aku akan bertemu Bintanh dan juga Kirana. Sejak pertemuan terakhir kami, tidak ada komunikasi lagi antara aku dan Kirana. Aku yakin akan ada kecanggungan di antara kami.
Saat ini aku sedang berada di depan lift bersama beberapa rombongan perawat. Seperti sebelumnya, aku memakai masker agar tidak ada yang mengenaliku.
"Gila, dokter Bintang sama dokter Kirana tuh serasi banget yah! Yang satu ganteng, yang satu cantik. Sama-sama pinter dan sudah jadi dokter bedah di usia muda. Bayangin mereka berdua di pelaminan pasti cocok banget. Ngiri iiih." Ucapan salah satu perawat kepada temannya itu membuat tubuhku menegang. Aku pun memasang telinga lebih tajam.
"Sembarangan kamu, Din. Dokter Bintang kan udah punya pacar. Malah udah diumumin di instagram gitu," sahut salah satu perawat lain. Mereka memasuki lift begitu pintu lift terbuka. Begitu juga denganku. Ucapan salah satu perawat itu mengingatkanku pada momen indah itu.
"Haiisshh. Pacarnya juga nggak pernah kelihatan ke sini. Setelah postingan waktu itu pun udah nggak pernah ada lagi postingan lain. Palingan cuma buat pengalih isu. Biar fansnya nggak ngejar-ngejar mulu. Tau sendiri kan banyak dokter dan suster cewek di sini yang deketin dokter Bintang terang-terangan. Mungkin dokter Bintang risih sama mereka makanya bikin postingan begitu."
"Bener juga ya. Mana dokter Bintang sama dokter Kirana deket banget lagi. Kadang malah keliatan mesra gitu ya. Jangan-jangan dokter Bintang dan dokter Kirana pacaran lagi? Waaahh patah hati sedunia banget nih. Dokter paling favorit jadi pasangan. Hospital couple banget jatuhnya," ucap perawat yang lain. Hatiku bagai diremas olah tanhan tak kasat mata mendengar percakapan ketiga perawat tersebut.
Ting.
Aku segera keluar begitu lift sampai di lantai 3 dan pintu lift terbuka. Beruntung ketiga perawat tersebut tidak turun di lantai yang sama. Aku memejamkan mata, menghirup udara dan mengembuskannya kasar. Mencoba menenangkan hatiku. Inhale, exhale.
Setelah merasa lebih tenang barulah aku berjalan menuju ke ruangan Bintang. Namun langkahku terhenti ketika melihat pemandangan di teras balkon yang terletak paling ujung dari lorong lantai ini.
Bintang dan Kirana sedang berdiri berdampingan di teras balkon tersebut. Mereka terlihat sedang bercanda dan tertawa bersama. Baik wajah Bintang maupun Kirana terlihat bahagia. Entah apa yang mereka candakan sampai-sampai mereka terlihat sebegitu senangnya. Sesekali terlihat Bintang membenarkan menepuk lembut puncak kepala Kirana. Pancaran mata Bintang begitu terlihat bahwa ia sangat menyayangi Kirana. Kirana sendiri pun terlihat nyaman dengan perlakuan Bintang.
"Gue yakin Ra. Bukan hal yang sulit buat lo untuk membalas perasaan Bintang," gumamku lirih.
Air mataku meluncur begitu saja. Rasa sakit kembali menelusup ke hatiku. Mati-matian aku berusaha melawan rasa sakit selama seminggu ini. Mati-matian melawan rasa rindu pada Bintang selama seminggu ini. Tapi ternyata Bintang terlihat bahagia. Meski tanpaku. Dan kenyataan itu sungguh sangat menyakitkan.
"Dan kebahagiaanmu memang berada di sampingnya, Bi."
Selanjutnya, aku berbalik menuju ke arah lift. Berhenti sejenak di depan pintu ruangan Bintang, menimbang-nimbang apa yang akan kulakukan. Aku pun membuka ruangan itu dan meletakkan kotak makan yang kubawa di atas meja Bintang. "Selamat makan, Bi," ucapku sambil menatap lekat meja milik Bintang. Buliran bening itu kembali meluncur deras. Aku segera mengusap air mataku, dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Dengan membawa hatiku yang kembali hancur.
****TBC
Nulis part ini sambil muter lagu di mulmed. Sumpah aku mewek. Nyesek banget jadi Naura.😭😭
Semoga suka part ini ya. Bintang jangan dihujat banget-banget. Dia cuma lagi ogeb.
Happy reading.. 😘😘
07.03.2018 revised on 05.11.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro