Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 - Give us a break

I didn't need you to fix me
I needed you to love me
While i fix myself

***

"Ada yang mau aku omongin. Boleh aku masuk?" tanya Bintang sambil melirik ke dalam apartemenku. Aku terdiam sesaat memandang ke arah Bintang yang terlihat gusar, lelah dan juga merasa bersalah? Entahlah.

Aku menggeser tubuhku agar Bintang bisa langsung masuk. Bintang pun segera memasuki apartemen. Ia segera duduk di sofa dekat ranjang.

"Sini Nau," ucap Bintang sambil menepuk-nepuk tangannya di sebelahnya. Dan aku memutuskan menuruti dan menghampirinya. Ia duduk di sisi lain sofa tersebut, memberi jarak antara kami.

Kalau boleh jujur, aku sedikit marah dengan Bintang yang tidak memberi kabar jika memang ia tidak bisa menjemput. Entah hal apa yang begitu penting baginya sampai-sampai untuk menghubungiku pun ia tidak sempat. Namun melihat Bintang di depan apartemenku tadi membuat amarahku menguap begitu saja. Toh ini hanya masalah kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.

Dan tanpa diduga, Bintang merebahkan kepalanya di pangkuanku. Tentu saja aku  terkesiap dengan tingkah Bintang, namun kemudian hanya membiarkan Bintang melakukannya. Sepertinya Bintang memang lelah hari ini. Dan entah mengapa aku ingin menjadi sandaran Bintang dan mengurangi sedikit rasa lelahnya.

"Maaf," ucap Bintang sambil menatap lekat padaku, "maaf aku lupa ngabarin kamu. Ponselku pun lowbat. Maaf bikin kamu nunggu sia-sia malam ini," lanjut Bintang yang terlihat merasa bersalah karena melupakan janjinya. Aku reflek tersenyum mendengar ucapan maaf Bintang.

Jauh di lubuk hatiku, aku memang mengharapkan Bintang akan datang dan meminta maaf atas perlakuannya hari ini. Meski sepele, namun entah mengapa aku sangat ingin mendengar kata maaf darinya. Namun aku tidak menyangka ia akan datang kemari malam ini. Dan yang ia lakukan malam ini sungguh menggelitik sekaligus menghangatkan relung hatiku.

"Jujur, aku memang marah karena kamu seolah lupa sama aku. Tapi begitu melihat wajah kamu yang terlihat begitu lelah, rasa marah itu menguap begitu saja. Aku yakin kamu punya alasan kuat sampai lupa mengabariku." Aku mengelus lembut puncak kepala Bintang. Terlihat Bintang yang memejamkan mata menikmatinya.

"So we're good, right?" tanya Bintang dengan alis yang dinaik turunkan. Aku pun sontak terkekeh melihatnya. Kami saling tertawa sejenak menikmati kebersamaan kami.

Senyum Bintang terkembang dibalik wajah lelahnya. Namun tak berlangsung lama, karena kini netra cokelat itu kembali menerawang. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Bi ...," Aku mengusap lembut wajah Bintang, "kamu kenapa?" Aku menyadari tatapan Bintang yang terlihat begitu berbeda. Tatapan yang aku sendiri tidak dapat mengartikan. Bintang terlihat menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Ia beranjak dari tidurannya, duduk dan menghadapkan tubuhnya tepat di hadapanku.

"Ada beberapa hal yang ingin aku jelaskan ke kamu. Aku mohon kamu dengarkan dulu semua ceritaku sampai dengan selesai. Dan aku harap kamu nggak akan berubah membenciku setelah mendengar ceritaku," ucap Bintang sambil menggenggam erat kedua tanganku. Aku reflek mengerutkan kening mendengar ucapan Bintang. Entah mengapa, aku merasa takut untuk mendengar penjelasan Bintang, entah apapun itu.

"Keputusanku sebulan lalu untuk menjalin hubungan denganmu adalah sebuah keputusan yang aku ambil dengan pertimbangan yang cukup pelik. Dan sampai detik ini, aku tetap yakin dengan keputusanku tersebut. Jadi aku harap, kamu bisa menerima ini dan tetap akan melanjutkan hubungan kita." Kembali Bintang berkata memulai penjelasan. Dahiku makin berkerut mendengar ucapannya.

"Ini tentang apa sih Bi?"

"Kamu ingat sebelum bertemu kamu, aku juga seorang yang patah hati karena cinta yang tidak berbalas?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Bintang. "Dia ... kembali, Nau." Kalimat Bintang begitu singkat namun dengan sangat mudah membuat tubuhku menegang dan jantungku bertalu begitu hebatnya. Ada rasa takut juga ada rasa sakit mendengar kenyataan tersebut.

Haruskah aku sekali lagi melepas seseorang yang penting di hidupku untuk orang lain? Meski mungkin aku belum mencintai laki-laki di hadapanku ini, namun rasa nyaman yang ia berikan padaku membuatku ingin egois dan tidak melepasnya.

"Wanita itu juga seorang dokter, sama sepertiku. Dan hari ini aku bertemu dengannya, dia bekerja di rumah sakit yang sama denganku. Ia menghilang bagai ditelan bumi dan tiba-tiba hadir di hadapanku, tentu aku merasa penasaran. Aku pun menanyakan hal tersebut. Dan aku baru tahu kalau dia kemari untuk mencari orang yang dia cintai. Dan sore tadi, aku menemaninya untuk menyelesaikan satu permasalahannya. Before i love her, she is my friend. Jadi aku membantunya, sebagai teman."

Hatiku seolah diremas oleh sebuah tangan tak kasat mata ketika mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar darinya. Semua penjelasannya justru semakin menyakitiku.

"Dia alasan kamu lupa pada janjimu dan tidak mengabariku?" tanyaku memotong penjelasan Bintang. Batinku berkecamuk, tentu saja aku tidak mungkin menang bersaing dengan wanita yang dicintainya tersebut.

"Dengerin aku dulu, Nau. Please."

"Kamu yang dengerin aku, Bi," potongku cepat, "kamu masih mencintainya bukan?" Bintang hanya terdiam, mendengar pertanyaanku. Terlihat jelas kebimbangan di parasnya.

"Kalau kamu sendiri masih bingung dengan perasaanmu, bagaimana kamu bisa yakin kalau kamu hanya membantunya sebagai teman? Kamu masih mencintainya, kamu masih perduli dengannya. Dan kamu punya hak untuk itu, karena hati tidak bisa dipaksakan kepada siapa ia berlabuh." Bintang terlihat makin gusar dan merasa bersalah mendengar kalimatku.

"Bukan seperti itu, Nau. Iya, semenjak pertemuanku pagi tadi dengan dia. Hati dan pikiranku kacau. Terbagi antara kamu dan dia. Namun, satu hal yang pasti, hatiku tidak lagi merasakan perih yang amat dalam ketika ia menceritakan tentang lelaki yang ia cintai tersebut. Dan aku yakin semua ini karena kamu, Nau. Aku minta maaf atas kebodohanku malam ini. Aku hanya ingin membantunya sebagai seorang teman." Bintang menatap lekat padaku dan memohon melalui matanya aku aku bisa mengerti dia. Tetapi ini tidaklah semudah itu. Hatiku bukan mainan yang bisa dipermainkan kapanpun.

"Bi, i feel insecure now. Aku takut semua akan berbalik dan makin menyakitiku. Termasuk kamu. Karena selama ini selalu seperti itu cerita di hidupku. Dan kalau memang kehadiran wanita itu menggoyahkan hatimu, lebih baik kita hentikan semua ini. Sebelum aku jatuh terlalu dalam padamu," ucapku dengan pandangan menerawang mengingat semua yang sudah terjadi di hidupku. Semua kebahagiaan yang kuharapkan bersama lelaki yang kucintai sirna. Seketika wajahku pun berubah pias. Bintang terlihat sendiri menggeleng-gelengkan kepala tidak setuju dengan keinginanku.

"Aku memang masih bingung dengan perasaanku. Tapi satu hal yang pasti, aku sudah tidak pernah mengharapkan dia lagi untuk menjadi pasangan hidupku. Hal itu bahkan sudah kuyakini sebelum bertemu kamu. Dan setelah bertemu kamu, aku semakin yakin. Aku memilih kamu. Aku memilih untuk mencoba bersama kamu. Jadi aku mohon, percaya sama aku," ucap Bintang mencoba meyakinkanku yang kini memang tidak lagi memiliki keyakinan akan hubungan ini.

"Aku takut Bi." jawabku dengan suara tercekat, "aku takut akan lebih terpuruk ketika sudah meletakkan kepercayaanku ke kamu namun ternyata kamu mengingkarinya." Membayangkan hal tersebut terjadi saja sudah mampu membuat dadaku terasa sesak, apalagi jika hal tersebut benar-benar terjadi.

"Aku nggak akan mengingkarinya. Aku bahkan sudah tidak bisa jauh dari kamu Nau."

"But you forgot about me when you are with her," aku berdiri dari dudukku, "ada baiknya kita memikirkan kembali keputusan untuk menjalin hubungan. Aku butuh waktu sendiri dan kamu pun butuh waktu sendiri. Mari kita memikirkan ini dengan kepala dingin, Bi."

"Nggak, aku sudah yakin dengan keputusanku, Nau."

"Aku yang nggak yakin, Bi!" Aku sedikit berteriak, emosi mulai menghinggapiku. Dan aku benar-benar butuh waktu sendiri, "kasih aku waktu buat sendiri."

Aku memalingkan wajahku ke arah pintu apartemenku.

"Sudah malam, Bi. Lebih baik kamu cepat pulang. Aku yakin tubuhmu lelah dan butuh istirahat," ucapku sambil berjalan menuju pintu dan membukakan pintu untuk Bintang. Bintang sendiri masih terlihat enggan meninggalkan apartemenku.

"Tapi Nau ...,"

"Please, Bi." Terdengar helaan napas frustasi dari Bintang, namun pada akhirnya ia mengalah dan memilih untuk berpamitan pulang. Aku segera menutup pintu apartemenku dan tubuhku pun luruh terdudu di balik pintu. Seolah segala kekuatanku terenggut, aku tidak mampu lagi bergerak. Dan tanpa kusadari, air mataku telah luruh. Aku menangis tanpa suara.

***

"Kak Chyn." Suara yang tidak asing tersebut terdengar ketika aku mengangkat dering ponselku, membuatku kaget. Telepon ini jelas dari nomor Indonesia.

"Rana? lo di Indonesia? Sumpah demi apa?"

"Gue mutusin balik ke sini Kak. Gue mau fokus buat cari Mas Haviz." Jawaban Kirana tadi membuat rasa bersalahku kembali merebak. Tapi mau bagaimana lagi, baik aku maupun Aldric tidak bisa merubah keinginan Kak Haviz.

"Keluarga lo?"

"Mereka belom tau gue di sini. Gue berusaha sebisa mungkin supaya kedatangan gue nggak terlacak oleh mereka. Sementara ini cuma Dydy dan Rava yang tau gue ada di sini."

"Lo emang nekat, gila! Gue doain semoga lo bisa segera bertemu Kak Haviz." Doa ini benar tulus dari hatiku. Aku berharap Kak Haviz akan berubah pikiran dan mereka bisa kembali bertemu.

"Oh ya Kak, gue ketemu Om Syahril. Gue kerja di rumah sakit yang sama dengan Om Syahril." Hatiku semakin berdegub kencang mendengarnya. Sudah hampir 8 bulan kira-kira aku tidak bertemu ataupun mendengar tentang papa dan mama.

"Terus?"

"Beliau terlihat kacau. Sepertinya kepergian kamu bener-bener bikin beliau pusing. Tega lo kak." Jujur, mendengar hal ini membuatku merasa sedih. Tapi aku ingin melepaskan diri dari kekangan kedua orang tuaku.

"Lebih tega mana dibanding Papa gue yang mau njodoh-njodohin gue, Ra. Gue bahkan nggak dikasih kesempatan untuk memilih."

"Seenggaknya lo coba kenal dulu dong, Kak. Who knows he is good enough for you."

"Nggak akan ada kesempatan untuk menolak kalau sampai gue mengiyakan untuk mengenal calon itu, Ra. Ortu gue berubah gila semenjak gue bikin mereka malu dengan penolakan Rava.".

"Sorry for that." Suara Kirana terdengar lirih dan penuh rasa bersalah.

"No need to apologize Ra. Nggak ada yang salah. Gue yang terlalu berharap dan terlalu memaksakan diri kala itu." Jawaban ku kali ini benar-benar tulus dalam hati. Jika dulu aku mengatakan itu hanya untuk menyenangkan hati mereka, namun kali ini aku memang merasakan hal yang sama. Kehadiran Bintang di hidupku beberapa bulan ini benar-benar membuka hati dan pikiranku. Meski kini lelaki itu justru membuat luka baru bagiku.

"Paling nggak, lo temuin Om Syahril, kak. Dia pasti akan dengan senang hati mendengar apapun keinginan kakak."

"The last time they know my position, they made me fired. Masih beruntung karena tempat tinggal gue belom terlacak oleh mereka."

"Kayaknya kita perlu ketemu deh kak. Next time kita ngobrol panjang lebar bahas ini ya. Yaudah Kak, gue mau visite dulu. Bye!" Setelahnya telepon sudah ditutup secara sepihak oleh Kirana.

Aku bersyukur masih menyimpan nomor ini dan memutuskan memakai nomor ini. Dulu hanya orang-orang terdekatku yang tahu tentang nomor ini. Dan karena pelarianku, aku tidak lagi memakai nomor yang biasa aku pakai karena takut papa dan mama akan mengetahui keberadaanku. Jadilah aku memilih mengaktifkan nomor ini. Dan ternyata nomor ini membuatku tetap bisa berhubungan dengan Kirana. She's smart enough to remember about this number, right.

Aku segera membereskan barang-barangku dan bersiap untuk pulang. Ini sudah jam lima sore, dan aku harus segera beranjak. Aku tidak ingin bertemu Bintang. Meski sudah 3 hari berlalu, aku masih belum bisa memutuskan akn dibawa kemana hubungan kami yang masih tergolong singkat ini.

Aku sudah turun ke lantai satu, memandang sejenak ruangan cafe. Setelah berpamitan dengan Gara aku sudah akan keluar cafe ketika seorang wanita memasuki cafe ini. Wanita yang sangat kukenal.

"Dyandra." Aku mendekati Dyandra untuk membantunya yang terlihat kesusahan bergerak di usia kandungan yang sudah semakin besar. Aku pun menuntunnya untuk duduk di sofa terdekat. Kami duduk bersebelahan di sofa tersebut.

"Sendirian ke sini?"

"Nggak mbak, tuh orangnya masih parkir mobil. Dia makin protektif menjelang kelahiran si kembar," jawab Dyandra sambil mengarahkan dagunya ke luar cafe yang memperlihatkan mobil Range Rover warna putih sedang memposisikan diri untuk parkir. Aku menyunggingkan senyum mendengarnya. Tak ada lagi sakit hati ketika melihat ataupun mendengar tentang kemesraan Dyandra dan Rava. Setidaknya rasa sakit itu nyaris hilang. Dan aku bersyukur atas hal itu.

"Dia kan emang gitu. Bakal ekstra protektif terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Apalagi kamu, Dy." Dyandra tersenyum mendengar ucapanku.

"I like that smile."

"Hah?"

"Nggak seperti sebelumnya, sekarang Mbak Chyntia bisa tersenyum dengan tulus ketika melihatku. Tidak ada lagi gurat kesedihan maupun kesakitan ketika melihatku dan Mas Rava. Dan senyum itu, terlihat sangat tulus. Bukan senyum yang dipaksakan seperti sebelumnya." Dyandra menatapku lekat dengan manik yang terlihat berkaca-kaca. Wanita di hadapanku ini sungguh luar biasa. Dia bahkan memahamiku. Seseorang yang dulu nyaris menyakitinya.

"Maaf, Dy ...." Dyandra menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada yang perlu dimaafkan, Mbak. Semua sudah berlalu. Justru sekarang ini aku sangat berterima kasih kepada Mbak Chyntia." Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Dyandra.

"Terima kasih karena sudah hadir di hidup Mas Bi," ucap Dyandra seolah mengerti kebingunganku, "sepertinya baik Mbak Chyntia maupun Mas Bi sama-sama saling memberikan perubahan positif satu sama lain. Mbak Chyntia kini terlihat lebih hidup dan lebih bahagia dari terakhir kali kita ketemu. Mas Bi pun sama, dia terlihat lebih rileks dan bersemangat." Dan ucapan Dyandra membawaku kembali mengingat sosok Bintang yang tiga hari ini kuhindari. Rasa sakit kembali menjalari tubuhku ketika mengingat pertengkaran terakhir kami.

"Nggak perlu berterimakasih kepadaku, Dy. Aku yang seharusnya berterimakasih ke Bintang. Dia benar-benar membantuku. Aku nyaris gila ketika mengenal Bintang, dan dia dengan santainya masuk di hidupku. Menghilangkan luka itu sedikit demi sedikit. Tanpa kusadari." Aku terdiam sejenak ketika kemudian memutuskan untuk sedikit bercerita pada Dyandra, "aku sangat berterima kasih untuk kehadirannya. Tapi mungkin kami tidak lagi bisa melanjutkan hubungan yang tidak didasari rasa cinta ini."

"Maksud Mbak?"

"Wanita yang dicintai Bintang sudah kembali, dan sedikit banyak itu berpengaruh pada kami. Padaku lebih tepatnya. Dan aku rasa aku nggak bisa melanjutkan hubungan kami."

Wajahku mungkin kini sudah berubah sendu. Ketakutan akan Bintang yang mungkin tidak bisa mencintaiku atau Bintang yang akan meninggalkanku kembali hadir dan membuat sesak di dadaku.

Aku melihat keterkejutan dan kepanikan di wajah Dyandra, entah kenapa. Seolah ada sesuatu yang besar dari ap yang kuungkapkan. Namun aku tidak memahaminya. Bagian mana yang membuatnya panik?

"Kenapa nggak mencoba mempertahankan Mas Bi, Mbak? Mas Bi bukan tipe orang yang sembarangan memberi perhatian kepada wanita, Mbak. Dan ketika dia perhatian dan memperlakukan seorang wanita dengan berbeda, itu berarti wanita itu benar-benar punya tempat khusus di hatinya," jelas Dyandra yang mencoba menenangkan hatiku.

"Entahlah, Dy. Aku belum punya keyakinan dan keberanian itu. Hubungan kami masihlah baru, masih sangat mudah untuk retak." Mendengar ucapanku, Dyandra pun reflek menyentuh punggung tanganku. Tangannya melingkupi tanganku dengan kehangatan. Sekali lagi aku melihat pancaran netra hitam itu menunjukkan sesuatu yang sulit kuartikan.

"Apapun keputusan Mbak Chyntia, semoga itu yang terbaik bagi kebahagian Mbak Chyntia." Dyandra tersenyum tulus. Terlihat jelas ia mendoakanku dengan tulus. Dan entah mengapa, senyum itu menularkan ketenangan di hatiku.

"Thanks ya Dy," ucapku sambil menyentuh punggung tangan Dyandra yang masih menyentuh punggung tanganku yang lain. "Kamu dan Bintang benar-benar saudara sekandung. Kalian sama-sama punya bakat untuk menenangkan orang lain."

****TBC

Mulai part ini jalan ceritanya aku rubah. Yang dulu udah pernah baca pasti notice.

Enjoy ya... Happy reading..

23.02.2018 revised on 02.11.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro