20 - What's happen?
Love only grows by sharing
You can only have more for yourself
by giving it away to others
***
"Aku ini dokter, Nau." Ucap Bintang singkat namun mampu membuat sekujur tubuhku membeku. Ada apa antara hidupku dengan dokter? Apa ini disebut karma karena telah membangkang kepada orang tua selama ini?
Atau, takdir kembali mempermainkanku? Dari semua profesi yang ada di dunia ini, kenapa Bintang harus menjadi seorang dokter? Profesi yang sangat ingin kuhindari.
Bintang yang sepertinya menyadari perubahanku pun segera menggenggam satu tanganku. Aku reflek ingin menariknya lepas dari genggaman tangan Bintang, tapi ditahan olehnya. Sungguh ini masih belum bisa kuterima dengan mudah.
"Janji pertama kamu, Nau. Nggak akan berubah sikap ke aku." ucap Bintang mengingatkan. Aku masih setia dengan diamku. "Maaf, aku nggak pernah bermaksud menyembunyikan hal ini dari kamu. Di awal pertemuan kita, memang aku tidak menyadari apa-apa, dan aku merasa tidak perlu menjelaskan siapa diriku. Namun seiring waktu, aku semakin khawatir tentang kamu. Baru ketika kamu masuk di RSCM, aku sadar bahwa sepertinya kamu tidak terlalu menyukai seseorang yang berkecimpung di dunia kesehatan. Entah kenapa, sejak saat itu aku tidak menyebutkan pekerjaanku. Aku takut kamu akan menghindariku jika tahu aku seorang dokter. Aku hanya tidak memberimu informasi, tapi seandainya kamu bertanya saat itu pasti aku akan jujur. Aku bersyukur, karena sikapmu sangat membantuku. Kamu nggak pernah bertanya tentang pekerjaanku."
Aku masih diam setelah mendengar penjelasan Bintang. Benar, Bintang hanya menyembunyikan. Aku sendiri memang tidak pernah bertanya apa pekerjaannya. Aku merasa hobi Bintang sebagai barista tidak lah cocok dengan profesinya yang seorang dokter. Itulah mengapa aku tidak pernah curiga.
"Kamu kerja dimana?" tanyaku pada akhirnya. Mencari tahu seberapa jauh kemungkinan koneksinya terhadap Papa.
"Di RSCM. Dokter spesialis bedah toraks. Baru menyandang spesialis bedah setahun ini." jawab Bintang yang lagi-lagi membuatku shock. Kenapa bisa ada kebetulan yang seperti ini?
"Pantes kamu bisa dengan mudahnya memalsukan identitasku waktu itu. Ternyata kamu...," ucapku yang masih merasakan ketegangan akibat kebenaran yang baru saja diungkap Bintang, "kenapa dunia sebegini sempitnya." lirihku sambil menghembuskan nafasnya kasar.
"Maksudnya dunia sempit gimana Nau?" Bintang kini menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku pun merubah posisi duduknya mengarah ke Bintang dan membalas tatapannya dengan sama lekatnya.
"Alasan aku benci dengan rumah sakit dan juga dokter adalah Papaku." Aku memutuskan untuk mencoba menerima kenyataan bahwa kekasihku ini mempunyai profesi yang paling kuhindari. Aku pun mulai menceritakan apa yang tadi sudah kujanjikan kepada Bintang tadi. Bintang mengernyit bingung mendengar kalimatku.
"Papaku adalah seorang dokter, sama sepertimu, Bi. Ia juga salah satu dokter di rumah sakit tempat kamu dinas. Ia juga memiliki sebuah rumah sakit. Papaku tipe orang yang sangat ambisius. Dia ingin apa yang ia bangun semakin besar. Segala hal tentangku diatur secara ketat olehnya yang juga didukung oleh Mamaku sendiri. Aku harus menjadi apa, aku harus bergaul dengan siapa, aku harus menikah dengan siapa. Tidak ada satupun yang luput dari keputusan sepihak dari kedua orang tuaku." Aku menghirup udara dan mengembuskannya untuk mencari kekuatan. Menceritakan hal ini selalu mampu menguras tenagaku,
"Papa selalu memaksaku untuk menikah dengan seorang dokter. Ia terlalu berambisi mempunyai menantu dokter sampai-sampai lelaki brengsek pun nyaris menjadi calon suamiku. Papaku pernah berhenti sejenak ketika tahu bahwa aku mencintai Rava. Karena memang sebenarnya Papa suka dengan Rava meski Rava bukan seorang dokter. Jangan ditanya kenapa? Kamu tahu pastu kemampuan kekuara besar Rava. Tapi ketika Rava menolakku dan menikah dengan Dyandra, Papa semakin kalap. Ia langsung memutuskan untuk menjodohkanku lagi dengan seorang dokter. Entah siapa. Dan aku tentu saja menolak dengan keras. Dan di sinilah aku sekarang, sebagai pelarian dari orang tuaku sendiri." lanjutku menjelaskan kisah tentang diriku secara lengkap. Terlihat raut kaget di parasnya mendengar penjelasanku.
"Sebenarnya aku bukan membenci rumah sakit ataupun dokter. Cara Papa yang terlalu berambisi dan memaksakan kehendak membuatku ingin menjauh dengan segala hal yang berhubungan dengannya. Aku bahkan berjanji pada diriku sendiri tidak akan mewujudkan keinginan Papa untuk mendapatkan menantu seorang dokter. Tapi sepertinya aku mendapatkan hukuman atas perilaku membangkangku tersebut." Kembali aku melanjutkan cerita. Menghela napas kasar setelah selesai mengungkapkan semua. Sekali lagi aku harus merasakan kesedihan, namun aku juga merasakan kelegaan karena sudah berbagi dengan Bintang. Meski kenyataan bahwa Bintang adalah seorang dokter sangat mengejutkanku, namun aku tahu pasti bahwa saat ini hanya Bintang yang kubutuhkan untuk selalu berada di sisiku. Masa bodoh dengan janji yang pernah kubuat. Aku hanya ingin Bintang tetap berada di sampingku saat ini.
"I don't know what to say." ucap Bintang yang tertegun setelah mendengar semua ceritaku. "Benar katamu tadi, kenapa dunia bisa begini sempit. Aku hanya berharap kamu bisa berdamai dengan Papa kamu. Aku nggak mau menjadi seseorang yang kamu benci hanya karena profesiku."
"Aku nggak mungkin bisa benci kamu semudah itu, Bi. Bahkan sekarang aku sangat bergantung dan membutuhkan kamu. Kamu sudah seperti obat yang akan aku perlukan ketika rasa sakitku kembali muncul. I'm kinda addictive to you." ucapku sambil menatap dengan lembut ke arah Bintang. Bintang terlihat tersenyum. Membuatku merasakan aliran hangat dan desir halus di tubuhku. Tanpa bisa kucegah, Bintang mendekatkan diri dan mencium lembut keningku lembut seolah menyalurkan rasa sayangnya kepadaku. Rasa sayang? Yang benar saja!
"I think i'm fallin for you." Ucapan singkat Bintang sanggup membuat jantungku seolah ingin melompat keluar saat ini juga. Aku yakin wajahku kini sudah semerah tomat. Dan senyum geli yang ditunjukkan Bintang pun membenarkan hal tersebut. "Sumpah ya Nau, aku berasa pacaran sama anak SMA. Kamu dengan gampangnya salting karena ucapanku. Kamu cute banget." ucap Bintang lagi sambil mencubit kecil hidungku. Bintang pun tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku.
"Bintang ih. Gitu." ucapku sebal menanggapi godaan Bintang. Kami akhirnya bercanda hampir sepanjang malam.
***
Aku masih meringkuk di ranjang ketika mendengar pintu depan terbuka. Entah siapa yang datang, tapi aku yakin itu Bintang. Aku melanjutkan tidurku meski sempat mendengar suara peralatan dapur yang beradu.
"Makan dulu Nau. Abis itu kamu bisa tidur lagi." Teriak Bintang membangunkanku. Aroma nikmat latte dan juga nasi goreng menggelitik indra penciumanku, membuatku pun mengerjap malas namun segera bangun dari tempat tidurku.
Tak lama aku sudah berada di depan mini bar. Terlihat Bintang sedang meletakkan dua piring nasi goreng di meja bar. Aku mengendus makanan yang tertata di hadapanku.
"Smells good. Rejeki banget sih punya pacar kayak kamu, Bi. Ganteng, pinter, dokter, pinter masak dan pinter bikin latte lagi."ucapku sambil mengangkat cangkir latte dan menyesapnya. Membuat Bintang berdecak.
"Makan dulu, Nau. Bukan minum latte." tegur Bintang. Naira pun hanya tersenyum tanpa dosa. Selanjutnya, aku segera duduk di samping Bintang dan menikmati sarapan yang sudah dibuat Bintang. Pagi ini berjalan seperti biasa, sarapan pagi bersama dan selanjutnya Bintang berangkat bekerja.
"Nanti sore aku jemput di cafe ya. Jam lima. Nggak usah bawa mobil." Ucap Bintang ketika hendak berangkat. Naura pun mengangguk mengiyakan permintaan Bintang. Bintang pun segera berangkat ke rumah sakit.
***
Aku sudah menyelesaikan laporan mingguan untuk penjualan cafe ketika jam menunjukkan pukul enam sore. Mengernyit ketika menyadari ini sudah lewat waktu janji Bintang menjemputku.
"Loh udah jam segini aja. Duh, Bintang udah dateng belom ya." Aku segera keluar menuju lantai satu cafe ini. Aku memang tidak menempati ruangan lama milik Dante, karena ruangan itu sering dijadikan tempat istirahat oleh Gara dan Bintang. Aku tidak ingin mengganggu kenyamanan mereka.
Belum ada Bintang baik di ruang istirahatnya maupun di dalam cafe. Apa mungkin Bintang terkena macet? Aku pun segera mengambil ponsel di saku. Mencari aplikasi messenger dan mengetikan pesan untuk Bintang.
Naura C. Armilda : Bi, dimana? Jadi jemput aku di cafe?
Tidak ada jawaban dari Bintang. Bahkan pesanku hanya centang satu, artinya belum terkirim pada Bintang. Tidak biasanya Bintang seperti ini. Aku pun menghela napas lalu kemudian berjalan mendekati meja barista Gara.
"Bang, latte dong."
"Siap Bu Manajer!"
"Iiisshh apalah gue dibandingin lo yang punya cafe ini." jawabku sambil berlalu menuju ke salah satu meja kosong di dekat meja barista.
Tak berapa lama, Gara membawakan latte untuk Naura.
"Special caramel latte, meskipun nggak sespesial buatan pacar sendiri ya." ucap Gara setengah menggoda dengan menggerak-gerakan kedua alisnya sambil meletakkan cangkir di depanku. Aku hanya berdecak kesal mendengar godaan Gara.
"Lo tumben jam segini masih di sini, Ra?" Tanya Gara lagi.
"Mau balik sih Bang. Bintang janji mau jemput, tapi kok belom dateng ya."
"Jangan-jangan ada emergency."
"Mungkin." jawabku sambil mengendikkan bahu.
Aku pun akhirnya menyesap latte buatan Gara. Cukup lama aku duduk di meja tersebut, sampai jam menunjukkan pukul 8 malam. Sudah beberapa kali pula aku menelepon Bintang namun hanya tersambung dengan mailbox. Aku kembali menghela nafas panjang. Sudah dua jam lebih aku menunggu di sini, namun Bintang tidak juga datang.
"Masih mau nungguin Bintang? Mending lo balik gih, Ra. Udah malem." Ucap Gara yang sudah duduk di hadapanku.
"Gue tungguin bentaran deh, Bang. Jam 9 belom dateng, gue tinggal deh." jawabku yang memang masih ingin menunggu Bintang.
Saat aku dan Gara sedang asik mengobrol, Dion —rekan Bintang— datang ke cafe.
"Hai, Yon. Tumbenan lo ke sini." sapa Gara kepada Dion yang sedang berjalan ke arah kami.
"Suntuk gue. Butuh kopi. Gue mau jaga malem di UGD." jawab Dion santai.
"Gila! jaga UGD sempet ya ngopi-ngopi."
"Gue abis dari rumah bro, sekalian mampir beli kopi."
Aku ingat, Dion ini adalah rekan yang pergi bersama Bintang di Singapore. Jadi aku asumsikan Dion juga dokter di rumah sakit yang sama dengan Bintang. Dan aku ingin sekali menanyakan perihal Bintang kepada Dion. Aku yakin Dion pasti tahu keberadaan Bintang.
"Dok, apa Bintang masih di rumah sakit? Dia janji mau jemput tapi sampe jam segini belum dateng juga." Dion terlihat menghela napas pelan mendengar pertanyaanku, entah apa yang ia pikirkan.
"Bintang sudah pulang, Ra. Saya nggak tahu kalau dia janjian sama kamu. Tapi kayaknya tadi dia buru-buru banget. Kayaknya ada urusan penting banget deh. Mungkin dia lupa ngabarin kamu."
Entah mengapa aku merasa ada yang disembunyikan Dion. Namun aku tidak tahu apa.
"Mending lo balik deh Ra. Mungkin emang Bintang lagi ada urusan penting yang mendadak. Lagian udah malem. Lo jalan sendirian, bahaya." Lagi-lagi Gara memintaku untuk segera pulang. Tentu saja, ini sudah cukup malam. Aku pun menyerah dan memilih untuk kembali ke apartemen.
Aku kembali dengan suasana hati tak menentu. Sikap aneh Bintang hari ini membuatku heran. Tidak biasanya Bintang menghilang seperti ini. Kami memang baru mengenal selama beberapa bulan, namun selama itu pula Bintang selalu ingat untuk mengabariku apapun yang terjadi.
Terlebih melihat bagaimana sikap Dion ketika aku bertanya tentang Bintang, membuatku merasa ada yang disembunyikan. Tapi apa? Entahlah.
Aku sampai di apartemen dalam waktu 10 menit. Aku segera membersihkan diri. Setelah selesai, sekali lagi aku mencoba untuk menghubungi Bintang. Lagi-lagi hanya terhubung mailbox.
Aku merasa sedikit marah dengan sikap seenaknya Bintang hari ini. Ia sendiri yang berjanji untuk menjemputku dan memintaku untuk menunggunya. Tetapi kini justru dia yang hilang tanpa kabar seharian ini.
Bunyi bel apartemen membuyarkan lamunanku. Aku mengernyit mengingat ini sudah terlalu malam untuk seseorang bertamu. Apa mungkin Bintang? Tapi dia punya keycard apartemen ini, dia pasti langsung masuk. Segera aku mengintip dari lubang pintu, dan teersenyum tipis melihat siapa yang berdiri di depan pintu apartemen. Amarah yangs empat timbul pun seolah menguap begitu saja.
"Loh Bi, kok ke sini? Udah malem Bi." ucapku begitu membuka pintu. Aku disuguhi dengan wajah Bintang yang terlihat lelah, bingung, dan gusar. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, aku yakin itu.
"Ada yang mau aku omongin. Boleh aku masuk?" Sorot matanya memancarkan keseriusan dan juga kesedihan.
Melihat dari raut wajah itu, aku yakin ini akan menjadi pembicaraan panjang di antara kami berdua.
****TBC
Hai hai... Di tengah-tengah kepuyenganku lihat angka-angk, aku putuskan untuk update... mengistirahatkan sejenak mataku dari angka.. ehehehe
Maaf ya indah-indahnya cukup sampai di sini dulu..
Selamat membaca 🤗🤗
20.02.2018 revised on 31.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro