Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 - Special Latte

Balaslah kejahatan dengan kebaikan,
maka kebaikan juga yang akan kamu dapat.

***

"Haaah!!" Aku terbangun dengan keringat membanjiri wajahku. Tidak, aku tidak bermimpi buruk. Aku bahkan tidak bermimpi. Namun, dadaku terara sesak, seperti ada sebuah batu besar yang menghantamnya. Sakit.

Inhale. Exhale.

Aku mengambil obat pereda sakit yang selalu ku simpan di dalam tas, meminumnya dalam sekali teguk. Aku menghembuskan nafas kasar. Frustasi dengan keadaan dimana aku harus selalu bergantung dengan obat sialan itu.

***

"Ini keycard-nya. Ada dua dan lo bisa bawa semua." Aldric mengangsurkan keycard ke tanganku. Aku menerima tanpa menoleh ke arahnya. Sibuk memperhatikan apartemen mungil ini. Sedikit kaget Aldric mempunyai apartemen semungil ini. Untuk apa?

"Gue beli apartemen ini pakai duit gue sendiri. Setelah menabung selama beberapa tahun kerja sambil kuliah dulu. Wajar kalo gue cuma bisa beli apartemen mungil ini, Chynt," jelas Aldric seolah tahu aku akan sangat mempertanyakan alasan ia membeli apartemen mungil ini. Nada suara itu, nada sendu penuh luka. Dan aku sangat membenci jika nada itu keluar dari mulutnya.

"Seenggaknya lo punya sesuatu yang lo beli dari jerih payah lo sendiri," ucapku sambil membalik badanku menghadapnya. "and i'm proud of you, Al," lanjutku sambil tersenyum dan mengerling menggodanya. Menularkan senyum jenaka ke wajah Aldric. Dalam hati aku bersyukur karena tidak sulit membuat Aldric keluar dari kemurungannya.

"Yaudah, gue tinggal dulu. Gue janji jemput Dinda di Thamrin," ucap Aldric sambil mengacak rambutku. Always! Dan menyebalkan! Aku hanya bisa mendengus sebal. Ku lihat Aldric sudah berjalan menuju pintu apartemennya. Namun sebelum membuka pintu, Aldric kembali menoleh ke arahku.

"Ah ya! Di deket sini ada coffe shop, cukup rame. They have a great barista. Lo mesti cobain. Buon Coffe." Aldric memang sangat tahu kegemaranku akan kopi. Aku pun mengacungkan jempol menyukai idenya. Sedikit mengernyit mendengar nama yang terbilang aneh di telingaku tersebut.

Setelahnya Aldric sudah menghilang di balik pintu. Aku kembali melihat ke sekeliling apartemen. Ukuran studio yang memang cukup kecil tapi pas untuk seseorang yang hanya tinggal sendiri sepertiku.

Dari pintu masuk apartemen, aku bisa langsung melihat pintu kamar mandi di sisi kiri dan dapur mini di sisi kanan. Masuk lebih jauh terdapat ruang kecil yang sudah terisi sofa panjang serta meja dan di dinding bagian kanan telah menempel sebuah TV LED ukuran 40 inch.

Di belakang sofa terdapat rak lemari yang juga berfungsi sebagai sekat antara ruang tengah dengan kamar tidur. Tidak ada tembok pemisah, hanya sekat pembatas. Seolah sejatinya ruangan ini seharusnya menyatu. Tentu saja, ini adalah apartemen tipe studio. Di ujung ruang tengah terdapat jendela kaca besar serta pintu yang menghubungkan dengan balkon. Aku bersyukur dalam hati karena ternyata terdapat balkon di apartemen ini.

Apartemen ini masihlah standart. Terlihat jelas tidak ada yang dilakukan Aldric pada apartemen ini selain mengisinya dengan perabotan. Ya, buat apa juga? Dia bahkan tidak tinggal di sini.

Selesai mengamati apartemen, aku segera menata beberapa barangku. Aku juga membersihkan apartemen yang sepertinya sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan. Pasti Aldric lupa untuk menyuruh orang membersihkan tempat ini.

***

Sebulan sudah aku bekerja sebagai sekretaris di perusahaan Aldric. Awalnya sangat melelahkan, ketika aku bahkan tidak punya basic sebagai seorang sekretaris. Dan mereka, para rekan-rekanku sesama sekretaris pun tidak banyak membantu. Mereka seolah memusuhiku hanya karena komentarku tentang Sandra.

Ah salahkan mulut bocorku ini.

Namun kini aku sudah mulai menikmati pekerjaanku. Menjadi sekretaris ternyata tidak begitu buruk. Terima kasih kepada Sandra yang banyak membantuku.

"Lo itu mestinya bantuin nyokap lo urus perusahaan. Kemampuan lo nggak bisa disia-siakan begitu aja." Ucapan Aldric membuatku sontak menoleh dan menatap horor ke arahnya.

"Slip of tongue, sorry," ucap Aldric mengangkat kedua tangan ke atas sambil menyengir bodoh. "Gue butuh lo sebagai penasehat gue. Kemampuan lo nggak sia-sia di sini," lanjutnya masih dengan cengiran yang membuatku gemas ingin mengetok kepalanya.

"Gue balik duluan ya. Jangan lupa besok pagi lo ada meeting di Shangrilla. Mr. Steward nunggu di resto di jam sarapan," ucapku berpamitan sekaligus mengingatkan jadwalnya besok pagi. Aku bukan sekretaris yang baik karena meninggalkan bosku sendirian di kantor? Jangan bercanda. Aldric tidak segera pulang karena ia menunggu Dinda selesai shooting. Untuk apa juga aku menemaninya.

Setelah mendengar kata "ya" dari Aldric, aku segera beranjak keluar ruangan. Dan tentu saja aku langsung berhadapan dengan trio kwek-kwek yang selama sebulan ini sangat memusuhiku. Trio kwek-kwek di sini adalah Juna, Jessi dan Nita. Formasinya mirip bukan dengan grup nyanyi cilik jaman kita kecil dulu? Hahahaha.

Tanpa memperdulikan tatapan sinis mereka, aku segera merapikan meja dan bersiap untuk pulang.

"Lo udah balik? Bos lo aja belom balik. Enak banget ya jadi anak kesayangan bos," cibir Juna dengan gaya kemayunya. Oke, setelah sebulan dalam satu ruangan yang sama dengan mereka aku paham kenapa Juna punya mulut nyinyir mengalahkan emak-emak yang nawar sayuran di pasar, ternyata memang dia punya bakat kemayu dan mungkin hormon kewanitaannya jauh lebih banyak ketimbang aku yang benar-benar wanita ini.

"Buat apa juga gue nungguin. Pak Aldric nggak pulang karena beliau nunggu pacarnya selesai kerja. Sedang pekerjaanku sudah selesai," jawabku acuh sambil mengendikkan bahu.

"Gue balik dulu ya rekan-rekan sekalian," sapaku sambil melambaikan tangan tak lupa senyuman di wajahku. Meski mereka tidak menanggapinya. Kata Bik Rumi, kita nggak boleh balas orang yang jahat sama kita dengan kejahatan. Balaslah kejahatan dengan kebaikan, maka kebaikan juga yang akan kamu dapat.

"Udah balik, Ra?" Suara ketukan sepatu sekaligus suara ceria Sandra terdengar ketika aku menunggu lift. Aku tersenyum sambil mengangguk ke arahnya.

Kami masuk lift bersama-sama ketika pintu lift terbuka. Hanya ada kami berdua di dalam lift. Dan Sandra dengan baik hati menawarkanku tumpangan pulang. Jarak antara kantor dengan apartemen tidaklah jauh, tapi lumayan menghemat tenaga kalau ada yang mengantar. Jadi aku mengiyakan tawarannya.

"Hebat lo, udah bisa sebulan di sini. Gue pikir lo cuma bertahan maksimal dua minggu," ucap Sandra setelah kami memasuki mobilnya di prkiran basement.

"Ngremehin banget, San. Gue bukan tipe orang yang mudah nyerah."

"Gue sempet kaget waktu tiba-tiba Pak Aldric bilang udah nemuin pengganti sekretarisnya. Tanpa proses wawancara ataupun lamaran. Not so him banget." Ucapan Sandra jelas mengindikasikan ia ingin tahu hubunganku dengan Aldric. Well, sebulan di kantor, hanya Sandra yang dekat denganku.

"Karena emang gue yang maksa dia buat kasih gue kerjaan, San. Gue bener-bener butuh duit saat ini, dan satu-satunya harapan gue cuma si Aldric doang."

"Lancar banget ya manggil bos besar kita pake nama doang." Aku tersenyum mendengar ucapannya. Kubiarkan Sandra dengan asumsinya sendiri.

"Dan lo sepertinya sangat mengenal bos besar kita itu, San." Giliran aku yang membelokkan pembicaraan. Aku mengarahkan badanku menghadapnya dan memicingkan mata berpura-pura curiga. "Jadi bener lo ada crush sama Aldric?" tanyaku lebih lanjut yang sukses membuat wajah Sandra berubah merah, menahan malu sekaligus kaget. Mungkin dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan ini dariku.

"No, i'm not!" Dan jawabannya berbeda dengan raut wajahnya. Mau menyangkalpun aku sudah menangkap raut gelisah dan menahan malunya.

"Iya juga nggak papa. Selama janur kuning belum melengkung, lo masih bisa berharap San," ucapku setengah menggodanya. Namun sebuah hantaman keras di kepalaku seolah menyadarkanku sesuatu. Aku ingin menahan apapun yang akan keluar dari mulutku, karena pasti akan menyakitiku, namun rasanya..., "but don't hope to much, it hurts so much when your hope doesn't fulfilled," ucapku dengan suara yang ... terdengar sendu. Lagi-lagi aku teringat Rava. Lagi-lagi hatiku merasakan sesak. Sial. Dan sepertinya Sandra menyadari perubahanku tersebut.

"You sounds like you already have experienced that. Gue nggak tau apa yang terjadi, tapi gue yakin lo bakal menemukan kebahagiaan lo sendiri. You're a kind person after all. Tuhan Maha Baik pada semua hambaNya," ucap Sandra yang sukses membungkam mulutku.

"San, gue turun di perempatan jalan itu aja," ucapku sambil menunjuk perempatan lampu merah yang berada sekitar 100 meter sebelum gedung apartemenku, "ada yang mau gue beli sebelum pulang," lanjutku dengan suara yang nyaris bergetar.

"You okay?" Terlihat jelas kekhawatiran di wajah Sandra. Aku berdehem untuk menetralkan suaraku dan tersenyum.

"I'm okay, San. Gue cuma butuh latte." Sandra menurunkanku tepat di ujung perempatan. Sandra melajukan mobilnya setelah sekali lagi memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Tapi, aku tidak baik-baik saja. Aku segera merosot terduduk di trotoar sambil memegangi dadaku yang semakin terasa sesak. Ku ambil botol air minum di dalam tas dan meminumnya. Berharap bisa mengurangi rasa sakit ini.

***

"Welcome to Buon Coffe." Suara riang pegawai cafe yang selalu menyambut ketika pengunjung memasuki cafe ini terdengar menyenangkan. Aku segera masuk dan menuju meja kasir untuk memesan minuman.

"Green tea latte sama Almond donnut." Petugas kasir segera mengentri pesananku, menyebutkan total harga dan memberikan tag nomor setelah aku membayar pesanan.

Aku segera berjalan ke sofa di pojok cafe yang tepat berada di samping jendela. Spot favoritku.

Aku mendatangi cafe ini sehari setelah Aldric merekomendasikannya. Dan benar saja, aku jatuh cinta pada latte di sini. Baristanya memberi takaran yang pas pada latte ini. Baik espresso, susu maupun foam-nya. Aku sudah mencoba beberapa varian latte di sini, dan semuanya memanjakan lidah dan pikiranku. Semua terasa pas. Yang aku dengar, Baristanya memang lulusan sekolah Barista di Singapore.

Dan sejak hari itu, aku sering berkunjung ke cafe ini untuk sekedar menikmati latte. Terutama ketika tiba-tiba saja Rava kembali melintas di kepalaku dan membuat seluruh tubuhku mendadak tegang serta jantungku berpacu tak normal maupun dadaku yang kembali sesak. Satu-satunya yang mampu mengalihkan rasa sakit itu adalah latte ini. Dan latte ini membantuku mengurangi kecanduanku pada obat pereda rasa sakit.

"One green tea latte and one almond donnut" Seorang pelayan mengantar pesanan dan segera meletakkannya di mejaku. Ia segera beranjak setelah aku mengucapkan terima kasih.

Sekilas melihatnya aku tahu ini berbeda dengan greentea latte yang bisa kupesan. Latte art-nya lain, foamnya pun sedikit berbeda. Dan entah mengapa aku merasa pembuatnya pun pasti berbeda. Aku mengernyit, namun tetap penasaran untuk mencobanya. Apakah benar akan lain rasanya seperti dugaanku?

Aku mengangkat cangkir tersebut. Uapnya menyapu wajahku sekilas. Segera aku menyesapnya sedikit. Memejamkan mata karena ada rasa lain yang merambati hatiku saat menyesapnya. Ini berbeda, sangat berbeda. Aku merasakan kesedihan di latte ini. Hatiku tiba-tiba merasakan sendu namun sedetik kemudian merasakan manis dan hangat yang mampu melegakan.

Dan entah mengapa aku merasa, Greentea latte ini, bukan, pembuat green tea latte ini pun sedang merasakan kesedihan yang sama denganku.

*****TBC

Happy reading...

jangan lupa tinggalkan jejak vote atau comment ya... 😘😘

19.12.2017 revised on 07.10.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro