Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 - Healing Self

It might take a year
It might take a day
But what's meant to be
will always find its way

****

Aku tidak langsung meninggalkan bandara dan menuju ke tempat tujuanku begitu menginjakkan kaki di negara ini. Aku masih butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku harus menyelamatkan diriku sendiri terlebih dahulu sebelum bisa menyelesaikan masalah orang lain bukan?

Aku masih berjalan di dalam Changi Airport. Masih ingin menikmati beberapa keindahan yang ada di airport ini. Yang selalu kusukai yaitu indoor waterfall. Sengaja aku memilih penerbangan malam karena aku ingin menikmati sejenak keindahan air terjun buatan di bandara ini yang dihiasi lampu ketika malam hari.

Cukup lama aku menikmati keindahan air terjun tersebut sambil mendengarkan suara deru airnya. Hatiku merasakan kelegaan yang cukup besar setelah seminggu ini cukup sesak dengan hadirnya kembali Rava dan Dyandra dalam hidupku. Bahkan kehidupan baru yang kupikir akan mengobati luka hatiku pun ternyata berisikan mereka berdua di dalamnya. Perih itu lagi-lagi kurasakan bila mengingat hal tersebut. Ya Allah, What should I do?

Setelah puas memandangi indoor waterfall tersebut, aku segera meninggalkan bandara dan menuju tempatku akan menginap selama di Singapura. Aku memang belum memesan hotel namun sudah menjatuhkan pilihan kemana akan menginap. Credit card unlimited milik Aldric yang kubawa pun membuatku tersenyum evil. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju ke resort favoritku jika sedang berada di Negeri Singa ini. Mendapat kamar suite favorit pula. Urusan Aldric akan marah padaku akan menjadi hal terakhir yang kupikirkan.

Netraku berbinar cerah ketika memasuki Ocean Suite di Santosa Resort. Aku selalu menyukai laut. Dan hal yang paling kusuka adalah berada di akuarium raksasa seperti ini. Melihat ikan berenang ke sana kemari dengan latar birunya aur laut, sungguh mampu menenangkan hatiku.

Aku memilih untuk segera membersihkan diri dan merebahkan badan di ranjang. Sambil melihat ke arah akuarium raksasa di depanku, netra ini pun terasa berat dan larut terseret ke alam mimpi.

Paginya aku bangun cukup siang. Ini adalah tidur terpanjang dan yang paling nyenyak selama seminggu ini. Pikiranku pun terasa lebih lega, beban berat di kepala dan hatiku pun seolah terangkat. Senyum menghiasi wajahku. Pagi ini aku akan berjalan-jalan di sekitar resort baru setelahnya aku akan ke tempat Kak Haviz. Seharian ini aku hanya ingin memanjakan diri di sekitar resort.

Siangnya setelah makan siang, aku segera ke rumah sakit yang berada di pusat Singapura. Ini merupakan salah satu Rumah Sakit terbaik di negara ini. Aku segera menuju tempat di mana Kak Haviz sedang dirawat. Tentu saja Kak Haviz berada di ruang perawatan VIP. Aldric tidak akan membiarkan kakaknya merasakan ketidaknyamanan sedikitpun.

"Hai, Kak. Long time no see." ucapku ketika sudah memasuki kamar rawat Kak Haviz. Seperti biasa bau arsenol —yang sangat tak kusukai— menguar sejak aku memasuki rumah sakit. Begitu masuk aku langsung dapat melihat Kak Havis yang terbaring di atas ranjanh. Ruangan rawat ini cukup luas. Terdapat ranjang yang mengarah langsung ke televisi. Terdapat sofabed di sisi kiri ranjang dan di ujung ruangan terdapat sebuah pintu yang kutaksir adalah kamar mandi.

"Hai Chyn. My little sister." ucap Kak Haviz dengan cukup lirih. Sepertinya kondisi badannya hari ini sedang tidak baik. Aku memandang lekat ke arah Kak Haviz. Sosok yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri.

Miris melihat kondisi Kak Haviz saat ini. Paras tampan penuh pesona yang selalu ada dalam diri Kak Haviz seolah redup. Senyum penuh percaya diri itu pun telah luntur. Tubuh yang dulu berisi kini nyaris habis tersisa tulang dan kulitnya saja. Sosok itu terlihat lemah. Rasanya ingin menangis saat ini juga melihat kondisi Kak Haviz, tapi tidak boleh! Aku harus kuat dan menguatkan Kak Haviz.

"How do you feel, kak?"

"So-so. Just trying to stay awake. Fighting with the cancer. It's not as easy as i thought, Chynt." Jawab Kak Haviz dengan santai. Lelaki di hadapanku ini adalah Kak Haviz, calon suami Kirana yang hilang tanpa jejak beberapa hari menjelang pernikahan mereka. Dan aku sudah mengetahui keberadaan Kak Haviz sekitar 6 bulan yang lalu saat baru bekerja pada Aldric.

Meski mengetahui keberadaan Kak Haviz, aku tidak bisa mengatakan apapun kepada Kirana karena janjiku kepada Kak Haviz dan Aldric. Oleh karena itu, kali ini aku datang untuk mencoba merubah pikiran Kak Haviz. Sudah sebulan ini Kak Haviz ada di Singapura untuk pengobatan intensifnya. Aldric memindahkan Kak Haviz ke rumah sakit di Singapura karena kondisi Kak Haviz yang kian tiada perkembangan. Selain itu juga karena Kirana sudah mengendus keberadaan Kak Haviz di Jakarta.

Aku mendekatkan diri ke ranjang dan duduk di kursi yang disediakan sambil memegang satu tangan Kak Haviz dan menatapnya lekat.

"Kak, sorry to bring this up, tapi bisakah kakak menghentikan siksaan kakak ke Rana? Biarkan Rana tau kondisi kakak. Biarkan dia menemani kakak berjuang di sisi kakak." Helaan napas terdengar dari mulut kak Haviz.

"Kalau kakak biarin Rana berada di sisi kakak dalam kondisi seperti ini, justru akan menyiksa dia, Chyn. Menemaniku yang pasti akan pergi cepat atau lambat? Pada akhirnya ia akan ikut hancur seiring dengan kepergianku. Lebih baik seperti ini. Dia membenciku karena telah meninggalkannya sehingga dia akan tetap bisa bangkit nantinya."

"Kenapa kakak berpikir Rana bakal benci kakak?" tanyaku yang tidak mendapat jawaban apapun setelah beberapa saat. "Rana nggak pernah benci kakak sedikitpun, seolah tau bagaimana kakak, ia menarik kesimpulan ada sesuatu yang terjadi sama kakak dan dia tetap mencari keberadaan kakak sampai saat ini. Itu kah yang kakak bilang terbaik untuk Rana?" lanjutku setelah tidak ada jawaban apapun dari  Kak Haviz. Dan ia masih setia dalam keterdiamannya.

"Pernahkah kakak berpikir kalau seandainya Rana tau apa yang terjadi pada kakak di saat semua sudah terlambat dan kakak pergi dari dunia ini tanpa membiarkan ia bisa berada di sisi kakak di saat terakhir kakak itu akan semakin membuat Rana hancur? Chyntia cuma berharap kakak mau memikirkan kembali keputusan kakak yang ingin menyembunyikan keberadaan kakak dari Rana. Tolong kak, beri kesempatan diri kakak bahagia, dan beri kesempatan Rana untuk bahagia di samping kakak." Air mataku luruh begitu saja, tidak bisa lagi menahan rasa sesak yang kurasakan akhir-akhir ini setiap Rana menghubungi dan membahas masalah Kak Haviz. Kak Haviz sendiri masih tetap terdiam. Mungkin sedang berpikir tentang apa yang kuucapkan. Aku berdiri dari dudukku dan membenarkan letak selimut Kak Haviz.

"Selain itu, pikirkan juga perasaan om dan tante, Kak. Mereka berhak tau kondisi kakak. Mereka bahkan tidak bisa bersedih karena terlalu merasa bersalah kepada Rana dan keluarganya. Tolong kak, pikirkan semua baik-baik." Aku kembali berucap dengan manik mata menatap lekat kepada laki-laki yang sudah seperti kakak kandungku sendiri ini.

"Chyn...." Kak Haviz menghidup udara dalam-dalam dan menghembuskan perlahan sebelum melanjutkan, "Kakak punya alasan untuk ini semua. Kakak nggak mau terlihat menyedihkan di mata semua orang. Kakak..." Ucapannya terhenti karena batuk yang menyerangnya tiha-tiba. Menyadarkanku bahwa tidak seharusnya aku memaksakan perdebatan ini terus berlangsung.

"Kakak istirahat aja. Besok waktunya kakak kemo. Aku harap kakak mau memikirkan apa yang Chyntia ucapkan tadi. Chyntia pergi dulu kak. Nanti sore Chyntia ke sini lagi." Aku kembali membetulkan posisi selimut Kak Haviz. Setelahnya, aku segera beranjak meninggalkan kamar tersebut. Aku ingin memberikan waktu bagi Kak Haviz sendiri untuk memikirkan semua pembicaraan kami tadi.

"Ya Allah, bantu hamba merubah keputusan kak Haviz." Lirihku begitu berada di luar ruang rawat Haviz.

***

"Gimana kondisi Mas Haviz?" Tanya Aldric ketika menyusulku yang sedang di luar ruangan, menunggu tindakan kemoterapi Kak Haviz. Setelah pembicaraan kami kemarin dan aku yang meninggalkan Kak Haviz sendirian, malamnya aku kembali dan menginap di kamar rawat Kak Haviz.

"Masih sama Al. Kemo nya masih belom selesai."

"Lo istirahat gih. Gantian biar gue yang jaga. Beli makan atau minum dulu sana."

"Ntar aja, gue masih belom laper." jawabku lirih, netraku masih menatap ke bawah sambil menerawang.

"Al..." aku mendongakkan kepala menatap Aldric lekat, "apa nggak sebaiknya kita bilang masalah ini ke om sama tante? Gimana perasaan om sama tante kalau sampai mereka tau." Aldric menghembuskan nafasnya kasar. Ia pun sepertinya bimbang mengenai hal tersebut wajahnya saat ini aku yakin pikirannya benar-benar kacau akhir-akhir ini.

"Gue bingung Chyn. Gue nggak tau mesti gimana. Huuufft." jawab Aldric frustasi, "gue tetap harus minta persetujuan Mas Haviz terlebih dahulu. Kondisi Mas Haviz bikin gue nggak bisa memutuskan sesuatu seenaknya." lanjut Aldric kembali dengan nada suara yang terdengar lemah.

"Gue harap Kak Haviz bisa berubah pikiran."

"Udah gih, lo balik ke hotel dulu. Mandi, ganti baju, makan. Itu hotel gue bayar mahal-mahal bukan cuma buat lo anggurin begitu." omel Aldric padaku. Aku bisa tahu dengan pasti bahwa Aldric mencoba untuk bercanda agar suasana di antara kami tidaklah suram. Aku hanya bisa menyengir mendengar omelan Aldric

"Ehehe... Sumpah gue mupeng banget tidur di situ. Makanya begitu lo kasih card lo yang unlimited itu, langsung lah gue hamburin." ucapki sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sedikitpun. Wajah Aldric terlihat berang seketika. Aaah, suasana seperti ini yang kita perlukan.

"lo check out hari ini juga! cari hotel deket sini. lo ke sini bukan liburan ya. Anjriiit bisa bangkrut gue." Ucap Aldric dengan nada tegas dengan manik yang menatapku tajam.

"Iya.. Iya... rencana hari ni emang gue check out. Gue udah puas kemarin seharian main di sana. hahaha." jawaku cuek diiringi tawa. Entah kenapa rasanya senang sekali membuat Aldric kebakaran jenggot. Aldric pun makin menatapku tajam. "Yaudah gue tinggal dulu ya. Trus gue mesti nginep dimana nih? Tega kalo lo suruh gue tinggal di kamar Kak Haviz terus." gerutuku yanh membuat Aldric berdecak kesal.

"Gue stay di Hyatt, dan kita gantian tidur di situ. Kalo gue jaga, lo tidur di sana. Kalo lo jaga, gue yang tidur di sana. Dan Minggu kita balik. Bareng. Nggak ada bantahan. Lo udah cukup abisin duit gue di sini." Ucap Aldric tegas begitu melihat gelagatku yang hendak membantah kemauan Aldric.

"Ya nasib.. Gue terima deh. Disia-sia begini, tau gitu gue minta honor aja kemarin."

"Njiirrr... gue kasih honor juga nggak bakal lo bisa nginep di Santosa dengan Ocean Suite. kampreeet lo!" potong Aldric cepat mendengar ucapan melanturku. Membuatku reflek tertawa mendengarnya.

"Ya udah gue balik ya. Abis check out gue ke sini lagi. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

****TBC

Nggak ada Bintang-Naura ya chapter ini.
Naura lagi berjuang untuk Rana.

Semoga suka...

07.02.2018 revised on 26.10.2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro