13 - Face it!
Love comes with the most unexpected person,
In the most unexpected place,
At the most unexpected time.
****
"Happy bday, Chyn." ucap Aldric ketika aku membukakan pintu pagi ini. Aku menatapnya malas, karena Aldric datang terlalu pagi. Ini benar-benar masih terlalu pagi untuk pengangguran sepertiku bangun!
"Telat. but thanks anyway. Mana kadonya?"
"lo udah bukan anak kecil lagi yang minta kado tiap ultah, Chyn." jawab Aldric sambil ngeloyor masuk ke dalam apartemen, "tapi gue bawa ini." lanjutnya sambil mengangkat tangannya yang membawa paperbag brand terkenal favoritku. Melihat ukuran paperbag-nya aku yakin itu adalah tas. Netraku seketika berbinar cerah melihatnya. It's been a long time since the last time i brought a brand new bag!
"Wah thanks ya Al. You're the best deh." ucapku antusias sambil menerima paperbag tersebut, "lo abis dari jengukin Dinda?"
"Iya, kangen gue ma Dinda. Udah dua bulan nggak ketemu. Dia sibuk banget." Nada suara itu datar namun jelas terpancar kekecewaan dan kesedihan. Penolakan lamaran oleh Dinda beberapa bulan lalu benar-benar membuat Aldric kecewa. Meski hubungan mereka tetap berlanjut, tapi kini hubungan mereka semakin renggang. Aku menepuk bahu Aldric pelan.
"Kasih Dinda kesempatan buat mewujudkan impian dia, Al. Dia udah nungguin lo selama 6 tahun ini. Nggak ada salahnya kalau lo nungguin dia beberapa lama lagi kan?"
"I don't mind waiting for her, tapi nyokap bokap udah desak gue buat buru-buru nikah. Gimana mau nikah? Calonnya aja sekarang pergi jauh begini."
"Paling nggak lo tau keberadaannya kan." Jawabku datar membuat satu alisnya menukik tajam
"Itu kenapa responnya begitu?"
"Rana telepon gue kemarin. Masih gigih dia cari keberadaan Kak Haviz. Dan gue nggak tega tahu kondisi dia begitu." Aldric terdengar kaget dengan penjelasanku. Aneh jika dia kaget, aku yakin Aldric tahu selama ini Rana mencari Kak Haviz. Dan aku tahu pasti, Aldriclah yang menutup segala akses informasi Kak Haviz.
"Mau gimana lagi? Ini permintaan Mas Haviz."
Tidak ada pembicaraan lagi setelah jawaban Aldric yang terakhir. Aku sedang tidak ingin berdebat masalah ini. Sedang Aldric sendiri mungkiin sedang merasa bersalah kepada Kirana, atau mungkin semua orang, karena menyembunyikan keberadaan Kak Haviz tersebut. Keheningan di antara kami terhenti karena bunyi bel apartemen.
"Siapa yang dateng pagi-pagi gini Chyn?"
"Palingan Bintang." jawabku sambil bangkit menuju pintu untuk membukakan pintu apartemen.
"Loh ada Aldric? Sorry gue cuma bawa sarapan buat gue sama Naura, Al." ucap Bintang kepada Aldric begitu ia masuk dan melihat sosok Aldric.
"Eh nggak apa kok Mas. Gue ke sini cuma mau kasih ucapan ultah ke Naura. Gue mau langsung balik." ucap Aldric sambil berdiri dan mengambil tas punggungnya. "Abis ini ada meeting. Thanks to my new secretary, jadi gue mesti ngerjakan semua persiapan sendiri." Aku reflek tertawa mendengar lanjutan kalimat Aldric tersebut.
"Hahaha.. Sapa suruh lo mecat gue?"
"Ck.. Sapa suruh lo punya ortu serem gitu?" Dan aku tertawa makin keras mendengar jawaban Aldric.
"Andai gue bisa milih Al." Tawaku terdengar makin sumbang. Miris terhadap kondisi keluargaku sendiri.
"Udah ah! Disyukuri, Chyn." ucap Aldric sambil mengusap pucuk kepala Naura, "ya udah gue balik dulu. Assalamualaikum." setelahnya Aldric juga pamit pada Bintang dan segera meninggalkan apartemen.
Aku pun segera menuju meja bar, menuangkan sarapan yang dibawakan Bintang dan kami kembali sarapan berdampingan. Seperti pagi-pagi sebelumnya.
"Kamu masih butuh kerjaan nggak?" tanya Bintang setelah kami menyelesaikan sarapan.
"Hah? gimana?"
"Masih butuh kerjaan nggak? Denan dapet beasiswa S2 ke Inggris, dua bulan lagi dia berangkat. Dan dia baru ngabarin kemarin malem. So, posisi manajer cafe lagi kosong. Kalo kamu mau sih, gajinya nggak sebesar gaji sekretaris direktur loh ya." jelas Bintang yang langsung kusambut antusias dan netra berbinar cerah. Biarpun gajinya kecil, paling tidak, pekerjaan ini bisa membuatku bertahan hidup. Toh masih ada pesangon dari Aldric yang lumayan nominalnya.
"Mau banget! Nggak perlu CV kah? Wawancara juga? Langsung diterima nih?".
"CV perlu. Tapi bisa nyusul. Wawancara nggak perlu. Bahkan aku yakin kamu sudah mumpuni memimpin sebuah perusahaan. Apalagi cuma manajer cafe."
"Lebay. Mentok kerja cuma jadi sekretaris doang Bi."
"Sekretaris yang multitasking tapi kan?" Kami pun tertawa karena perdebatan yang tidak penting ini.
"Denan memang berangkat dua bulan lagi, tapi dia udah ngajuin resign per akhir bulan ini. Jadi kalo bisa secepatnya kamu gabung ke cafe buat serah terima dan sedikit pembekalan dari Denan."
"Siap bos!" ucapku sedikit berteriak sambil menempelkan tangan kanan ke kepala —seperti sedang hormat—. "minggu depan aku ke sana deh. Syukur kalau bisa langsung kerja, kalau nggak ya belajar-belajar dulu sama Pak Dante itu."
"Nggak usah panggil Pak juga kali, Nau. Dia seumuran sama aku dan Gara. Ah ya! Kamu belum pernah ketemu Denan ya?"
"Belom. Cuma Bang Gara sama beberapa waitress aja yang aku kenal, Bi."
"Yaudah kalau bisa mulai minggu depan kamu kerja di cafe. Semoga betah." pungkas Bintang akhirnya. Senyumku terkembang, aku tidak perlu lagi bingung harus mencari pekerjaan. Meski gajinya tidak besar, bagiku ini lebih dari cukup.
"Yaudah aku berangkat dulu ya. Have a nice day." ucap Bintang yang sudah berdiri begitu juga denganku. Entah atas alasan apa, Bintang mengusap puncak kepalaku dan hal tersebut membuat hatiku terasa menghangat. "Oiya jangan lupa nanti sore waktunya kamu konsul ke Dr. Jihan. Aku jemput kamu jam lima sore ya."
"Aku bisa berangkat sendiri Bi."
"It's ok. Kebetulan hari ini aku senggang. Yaudah aku berangkat ya. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Selanjutnya Bintang berjalan menuju pintu dan segera berlalu. Aku sendiri tak henti tersenyum sambil menatap Bintang yang menghilang di balik pintu. Entah kenapa aku selalu merasakan sesuatu yang tidak dapat kujelaskan setiap menerima perhatian kecil Bintang. Dan pagi-pagi berikutnya. Hal kecil yang tak pernah luput dilakukan Bintang tersebut menjadi hal manis bagiku
Sudah sebulan sejak kami sepakat untuk mencoba bersama dalam hubungan yang bahkan tidak bisa kujelaskan dengan gamblang. Aku bahkan masih bingung dengan hubungan ini. Apa sebenarnya kami?
Terlepas dari fakta tersebut, aku merasakan kenyamanan ketika berada di dekat Bintang. Dan sepertinya aku mulai bisa mengalihkan rasa sakiku. Bantuan dari Dr. Jihan dan juga Bintang selama sebulan ini benar-benar membuat kondisi hati dan mentalku menjadi lebih baik. Aku pun sudah bisa terbuka pada Dr. Jihan.
Perhatian-perhatian kecil dari Bintang pun membuatku sedikit demi sedikit mengalihkan sakit hatiku terhadap Rava. Mengalihkan fokusku yang selalu berkutat pada kesakitanku. Hidupku kini terasa jauh lebih lepas ketimbang sebulan lalu.
Sudah dua minggu ini pula aku resmi bekerja sebagai manajer cafe milik Bintang. Aku merasa enjoy bekerja sebagai manajer cafe ini. Kesukaanku pada latte dan lingkungan kerja cafe yang sangat menyenangkan membuatku dengan musah beradaptasi di sini. Meski selama dua minggu bekerja aku jarang melihat atau bertemu dengan Bintang.
Ada beberapa hal yang kusadari bahwa Bintang dan Bang Gara adalah pemilik Boun Coffe. Keduanya berkolaborasi menciptakan cafe ini. Selain itu, Bintang ternyata mempunyai pekerjaan lain —seperti yang pernah diungkapkan Bang Gara— sedang cafe hanya sebagai hobi dan penghasilan sampingannya. Aku sendiri belum begitu mengetahui pasti dan sempat bertanya-tanya apa sebenarnya pekerjaan Bintang. Entah kenapa Bintang tidak pernah menceritakan mengenai pekerjaannya.
***
"....." Terlihat jelas binar di netra cokelat tesebut ketika mengangkat telepon.
"Walaikumsalam, dek. Tumbenan?"
Dek? Apakah Adik Bintang? Aku masih diam sambil mendengarkan Bintang.
"......."
"Ck. Kok siang sih? Aku masih kerja kali. Sorean aja. Jam 4 atau jam 5, gimana?"
"........"
"Iya. Aku standby di sana dari jam 4 deh. Kebetulan sore ini aku off."
"......."
"Siap Tuan Putri. Kamu kasih tahu aja kalau udah otw, nanti aku bikinin pancake-nya. Jadi kamu dateng bisa langsung makan."
"........" Terlihat Bintangmemutar bola matanya malas. Aku reflek tersenyum.
"Walaikumsalam." Senyum terkembang di bibir Bintang.
Pagi ini Bintang sedang berada di apartemenku setelah hampir seminggu tidak datang atau bertemu denganku namun Bintang seolah lupa dimana ia berada setelah menerima telepon tadi. Entah mengapa ada rasa tercubit di hatiku melihat hal tersebut.
"Udah makannya Bi?"
"Eh iya, belom Nau, tunggu." Bintang segera menyelesaikan makannya sambil melirik ke arah jam tangannya. Sepertinya ia buru-buru sehingga ia mempercepat makannya. "kamu kenapa pagi banget ke cafe?" tanyanya masih dengan mulut penuh. Tadi memang aku sempat berkata akan numpang kendaraan Bintang untuk ke cafe.
"Hari ini Bang Denan terakhir kerja Bi. Dia minta aku dateng pagi buat nyerahin semua. Trus aku juga ada janji sama klien yang mau pake cafe kita buat ngelamar ceweknya jum'at ini." Bintang yang mendengar penjelasanku pun hanya ber-oh ria. Dia memang tidak terlalu paham mengenai pengelolaan bisnis secara terperinci. Selama ini ia hanya mempercayakan hal tersebut kepada Denan.
"Yaudah yuk berangkat sekarang. Aku juga mesti kerja pagi banget hari ini." ajak Bintang ketika sudah selesai dengan makanannya.
"Oh ya Bi, aku mau ijin siang ini. Aldric minta bantuan aku buat ngecek kerjaan dia. Boleh kan ya?" tanyaku ketika mereka ada di dalam mobil.
"Sebenarnya nggak apa sih, Nau. Hanya saja aku berencana memperkenalkanmu dengan seseorang." Naura reflek menaikkan satu alisnya merasa penasaran.
"Seseorang? Siapa Bi?"
"Ada deh. Yang jelas dia salah satu wanita terpenting dalam hidupku."
Deg.
Wanita terpenting dalam hidupnya, mungkinkah wanita yang dicintai Bintang kembali? Aku mencoba mengalihkan kegundahanku yang tak berdasar ini.
"Dih sok misterius banget." gerutuku yang diikuti oleh senyuman jahil Bintang, "tapi aku nggak bisa janji, aku nggak tau urusan sama Aldric bakal lama atau nggak."
"Nggak apa Nau. Masih ada lain kali." ucap Bintang tersenyum. "Udah sampe."
"Thanks ya Bi."
Setelahnya mobil melaju meninggalkan cafe setelah aku turun dan masuk ke dalam.
***
Pekerjaan yang diminta Aldric sudah selesai kukerjakan. Besok pagi pun aku akan ikut presentasi Aldric dengan sebuah kesepakatan. Kesepakatan yang sangat aku perlukan, saat ini.
Aku berniat segera kembali ke cafe ketika mengingat ucapan Bintang yang ingin mengenalkanku dengan seseorang. Namun hatiku bimbang. Bimbang apakah harus segera ke cafe atau langsung pulang ke apartemen. Setengah hatiku merasa penasaran dengan sosok wanita penting dalam hidup Bintang namun setengahnya lagi merasa takut kalau-kalau apa yang kuperkirakan benar. Wanita yang ingin dikenalkan kepadanya adalah wanita yang dicintai Bintang.
"Lo kenapa Ra? nggak balik? udah kelar kan?" Suara Aldric menghentikan lamunanku.
"Hah? Iya ini mau balik. Besok pagi jam 9 kan ya meeting-nya?"
"Yup! See you tomorrow. As we agreed, kalau besok berhasil, gue kasih yang lo mau."
"Tenang aja. Gue nggak bakal ngecewain lo, as usual. Ya sudah gue balik dulu, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Aku segera meninggalkan ruangan Aldric dan memutuskan untuk kembali ke cafe. Entah aku akan bertemu dengan wanita yang disebut Bintang ataupun tidak.
Waktu menunjukkan jam setengah lima sore ketika aku selesai memarkirkan mobil di pelataran parkir cafe. Suasana cafe terlihat lengang dari luar. Dan tepat ketika aku memandang ke arah cafe, aku melihat Bintang tersenyum sedang berbicara dengan sosok wanita.
Deg.
Aku sangat mengenali wanita itu. Wanita dengan surai hitam panjang tergerai sampai ke punggung, senyum indah yang mampu memikat semua orang, netra yang selalu memancarkan keceriaan, perut yang membuncit menandakan wanita itu sedang berbadan dua. Dyandra. Ya, aku tahu pasti, sosok itu adalah Dyandra.
"Apa hubungan Bintang sama Dyandra? Apa mungkin...." gumamku lirih tanpa sadar. Aku reflek menggeleng-gelengkan kepalanya tidak setuju dengan kemungkinan yang kusimpulkan. "Kenapa waktu aku mencari tahu tentang Dyandra, tidak ada nama Bintang? Sepertinya bukan seperti itu hubungan mereka. Lalu apa?" Seketika aku merasakan sesak. Luka itu seolah terbuka kembali. Meski sebulan ini luka itu tak pernah terasa sakit lagi, namun melihat pemandangan tersebut luka itu semakin terasa perih.
Aku kembali teringat sesi konsultasi bersama Dr. Jihan beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa untuk menghilangkan rasa sakit itu bukanlah dengan menghindari namun dengan menghadapinya.
"Mungkin di awal akan terasa begitu sakit dan menyesakkan, tapi ketika kamu bisa ikhlas dan merelakan saat menghadapinya maka hatimu kan jauh lebih lega dan sakit itu tidak akan kembali lagi meski kamu harus berhadapan dengan penyebab luka hatimu. Karena kamu sudah belajar menghadapinya bukan menghindarinya." Kira-kira seperti itulah yang disampaikan Dr. Jihan padaku.
Dan berbekal ucapan tersebut, aku pun memberanikan diri untuk masuk dan menghadapinya. Menghadapi hal yang menimbulkan luka hati dan mencoba menghapuskan luka tersebut. Aku menghirup udara dalam-dalam mencoba mencari kekuatan dan menghembuskannya.
Everything will be fine, Nau.
****TBC
Yang kepengen liat Naura/Chyntia ketemu Dyandra sabar dulu yah...
Happy reading...
05.02.2018 revised on 24.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro