11 - Crazy Decision
Berhenti berpikir rumit,
Hanya akan memperumit keadaan,
Let it flow!
~Bintang Permana Putra~
***
"Ooh ada tamu rupanya." ucap Bintang begitu masuk ke dalam kamar dan melihat Aldric. Bintang menyalami Aldric kemudian mengalihkan pandangannya kepadaku, "aku cuma mau kasih tahu kalau kamu sudah boleh pulang hari ini. Tapi kamu masih harus dalam pengawasan."
Jangan ditanya bagaimana senangnya aku mendengar berita ini. Aku sudah sangat bosan berada di rumah sakit ini. Belum lagi perasaan dag dig dug kalau-kalau Papa mengetahui keberadaanku di sini.
"Yey! Akhirnya..."
"Lebay lo ah!" ucap Aldric sambil menoyor kepalaku. Aku pun reflek menatapnya tajam.
"Gue begah dipanggil Mbak Ara, Mbak Ara mulu. Entah siapa itu Ara. Thanks to him, yang udah berusaha mengaburkan jejakku dengan cara memasukkan aku pakai nama orang lain." gerutuku sambil menatap Bintang tajam. Aku memang merasa sedikit jengkel dengan cara Bintang menyembunyikanku. Dan lihatlah kini Bintang dan Aldric justru kompak tersenyum mendengar gerutuanku!
"Ra, lo inget umur gih. Nggak usah sok keimutan pake acara monyong-monyongin bibir ala anak abg. Eneg gue liatnya. Kasian juga Bintang, bisa muntah dia ntar." ucap Aldric sambil terkikik. Bintang semakin tersenyum mendengar ucapan Aldric. Dua lelaki ini.... eerrrrr...
"Suka-suka gue deh. Lo eneg ya pergi aja. Bintang pengen muntah ya tinggal muntah aja, Weekk." ucapku sambil menjulurkan lidahnya di akhir kalimat. Aku menoleh ke arah Bintang, "Bi, aku pulang sekarang aja ya. Udah pengen santai di apartemen nih."
"Iya, kita udah bisa balik sekarang. Aku udah selesaikan semua biayanya tadi sebelum ke sini." jawab Bintang yang tentu membuatku dan Aldric membelalakkan mata. Tentu saja aku kaget karena ternyata omongan Bintang waktu itu serius. Aku melirik Aldric yang tampak mengulum senyum setelah sempat kaget. Aku yakin dia memikirkan yang tidak-tidak. "Kalian nggak usah lebay gitu liatnya. Kamu bisa bayar nanti kalau sudah kerja, dicicil pun boleh."
"Thanks ya Bi."
"Anytime."
"Gue balik dulu deh. Gue mesti jemput Dinda nih." ucap Aldric ketika hening menyelimuti kami, "Mas Bintang, gue titip Naura ya. Kalau nggak nurut, paksa aja Mas. Dia itu suka nggak sadar diri kalau jadi pasien." lanjut Aldric lagi mencoba memberi nasehat. Aku yang mendengar pun reflek melempar bantal ke arahnya. Sedang Aldric hanya terkekeh melihat reaksiku.
Aldric berjalan mendekatiku dengan seringaian yang entah mengapa tidak kusuka. Dia mengelus lembut puncak kepalaku dan berbisik, "Gue nggak nyangka perkembangan hubungan kalian udah sepesat itu. Happy for it, Ra!"
See? Mulut kurang ajarnya itu! Errgghh... Aku melotot ke arah Aldric yang dibalasnya dengan seringaian mengejek. Dasar jerapah cungkring! Kubalas kau nanti, Al.
Setelahnya Aldric pamit pulang. Senyuman jahil yang terkembang di wajah Aldric membuatku yakin dia berharap banyak pada hubunganku dengan Bintang. Yang benar saja! Kami bahkan tidak ada hubungan apapun.
Aku segera mempersiapkan diri untuk keluar dari rumah sakit. Tidak banyak yang kubawa. Bintang menawarkan untuk mengantarku yang tentu aku setujui. Lumayan kan? Penghematan biaya transport.
***
"Kamu masih belum nyaman dengan dokter Jihan?" Pertanyaan Bintang mengalihkan fokusku yang sedang menatap kemacetan lalu lintas siang ini. Hal yang tidak pernah dirindukan dari kota Jakarta.
"Hmm."
"Kamu nggak benar-benar ingin sembuh dari depresi dan psikosomatismu?" Aku menghela napas mendengar pertanyaan yang bernada tuduhan tersebut.
"Aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah mengungkapkan kekelaman hatiku kepada orang lain, Bi. Butuh waktu setidaknya tiga bulan untuk aku bisa terbuka dengan psikolog trakhirku."
"Kenapa nggak lanjut dengan psikologmu itu?"
"Nggak ada perkembangan berarti selama tiga bulan terakhir. Aku memutuskan untuk berhenti konsul." lirihku pasrah. Mengingat bagaimana perjuanganku selama enam bulan terakhir membuat dadaku kembali sesak.
"Atau....," ucap Bintang yang menoleh sesaat ke arahku sebelum akhirnya melanjutkan, "kita bisa coba usul Aldric." Manik mataku membola sempurna mendengar usulnya. Usul Aldric? Yang mana? Tunggu..., dia mendengar pembicaraanku dan Al?
"Kamu denger pembicaraan kami?" Bintang mengangguk.
"Sorry, aku nggak ada maksud buat nguping. Aku nggak sengaja mendengar waktu akan masuk ke kamar tadi."
"Jangan terlalu dianggap ucapan Aldric, Bi. Dia emang suka ngaco."
"Justru aku merasa ide itu cukup brilian. Meski memang kita berdua akan berpegang pada hal yang tidak pasti dan mungkin akan berbalik menyakiti perasaan salah satu di antara kita, tapi apa salahnya mencoba." Jawaban Bintang membuatku terdiam. Apa yang dikemukakannya masuk akal, tapi sekali lagi aku tidak ingin mengambil resiko yang lebih besar mengingat..., "aku bahkan melupakan dia selama beberapa hari ini berkat kamu yang keluar masuk rumah sakit." lanjut Bintang santai. Dia yang dimaksud Bintang pastilah wanita yang ia cintai itu.
Aku menghela napas pelan. Apa yang ditawarkan Bintang cukup menggiurkan namun resiko yang mungkin ku tanggung adalah patah hati yang jauh lebih menyiksa dari sekarang ini. Dan aku belum sanggup mengambil resiko itu.
"Jangan terlalu berpikir rumit, Nau. Terkadang karena kerumitan pemikiran kita itu lah yang akhirnya membuat semua menjadi benar-benar rumit. Think simply and just let it flow. Biarkan kita tetap berteman dan mengenal satu sama lain lebih dekat, mencoba menyembuhkan luka masing-masing. Bukan dengan menggantikan perasaan cinta kita selama ini dengan mencintai orang lain. Tapi mencoba berdamai dengan keadaan." ucap Bintang panjang lebar. Aku sendiri masih terdiam dan memejamkan mata sambil memikirkan semuanya.
Apa aku bisa mempercayai laki-laki ini?
"Bisakah aku mempercayakan hatiku kepada kamu?" tanyaku lirih seolah pertanyaan itu hanya untuk diriku sendiri. Namun sepertinya Bintang mendengarnya.
"Jangan mempercayakan hatimu kepadaku, Nau. Kita mempercayakan hati ini untuk kita obati bersama. Dengan begitu, kemungkinan hati kamu akan semakin hancur jika seandainya semua tidak berjalan seperti yang direncanakan akan semakin kecil."
Semua yang diucapkan Bintang terdengar mudah, meski aku yakin semua tidak akan semudah itu. Aku menghela napas kasar.
"Konsepnya terdengar simpel. Tapi aku yakin kenyataannya akan rumit."
"Akan menjadi rumit atau tidaknya tergantung bagaimana kita menjalaninya, Nau." Aku mencoba meresapi kembali semua ucapan Bintang. Menimbang dan memikirkan segala resiko dari keputusan impulsif ini. Namun aku kembali pada satu kesimpulan, aku hanya perlu menjalaninya, toh hatiku sudah nyaris mati. Jika hati ini harus matipun rasanya tidak akan memperburuk apapun.
"Then, let's try Bi." ucapku singkat yang diikuti oleh senyuman Bintang. Senyuman hangat sekaligus dingin yang mampu menarik perhatianku sejak awal melihatnya.
***
"Morning." Aku terkejut melihat Bintang yang sudah berada di depan apartemenku sepagi ini.
"Nggak kurang pagi Bi kamu ngabsen aku?".
"Aku kerja Nau, jadi mesti manage waktu sebaik mungkin." jawab Bintang sambil mengerlingkan matanya, "Aku nggak dipersilahkan masuk nih?" Tanyanya melihat begitu melihat gesture-ku yang seolah tak mau bergeser dari posisi yang menutupi jalan masuk.
"Katanya mau kerja? Yaudah langsung aja gih. Sarapannya bisa aku terima di sini." ucapku sambil menunjuk daguku ke arah bungkusan yang dibawa Bintang.
"Tega. Aku dateng pagi-pagi gini supaya bisa sarapan bareng Nau. Aku udah beliin kamu sarapan lho, paling nggak bikinin aku teh kek sebagai ucapan terima kasih." Aku memutar bola mata malas mendengar ucapan Bintang.
"Siapa juga yang minta dibeliin sarapan?" gerutuku sambil meraih kantong plastik tersebut dan berjalan masuk ke dalam diikuti oleh Bintang. Selanjutnya Bintang duduk di meja bar sedang diriku sibuk memindahkan bungkusan ke piring.
"Hari ini mau ngapain aja?"
Aku duduk di samping Bintang di meja mini bar. Mengendikkan bahu sebagai jawaban atas pertanyaan Bintang, "Nggak ngapa-ngapain. Menikmati hidup jadi pengangguran, mungkin?"
"Andai aku juga pengangguran, kita bisa jalan bareng. Itung-itung nge-date. Auw! Sakit Nau." ucap Bintang yang mengaduh kesakitan di akhir kalimatnya akibat pukulanku. Yang benar saja! Bagaimana bisa Bintang mengucapkan itu dengan setenang itu.
"Nge-date apaan? Nggak usah ngaco deh."
"Kita sudah sepakat untuk mencoba kan? Menurutku ini salah satu cara mencoba apa yang kita sepakati beberapa hari yang lalu." Aku makin salah tingkah mendengar ucapan Bintang. Meski aku tahu dengan pasti bahwa Bintang melakukan ini juga untuk dirinya sendiri, tapi tetap saja rasanya sangat malu.
"Tserah kamu deh Bi." pungkasku berusaha terdengar seacuh mungkin. Akan sangat memalukan jika Bintang memergokiku yang tengah malu akibat ucapannya.
Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan mengenai diri kami masing-masing. Dan Bintang pun pamit ketika di rasa sudah saatnya ia berangkat kerja.
***
Author POV
"Mas Bi." Suara merdu wanita yang amat Bintang cintai selain sang Mama dan Kirana mengalun begitu Bintang mengangkat teleponnya.
"Assalamualaikum dulu dong dek. Kenapa?" Jawab Bintang setelah mendengar suara Dyandra.
"Walaikumsalam. Mas Bi tu yang kenapa! Bisa-bisanya ngilang beberapa bulan ini. Nggak ngasih kabar apapun ke aku ataupun Mama. Mau jadi anak durhaka kamu Mas?"
"Aku sibuk dek. Lagian lagi males kalau telfon Mama. Selalu yang dibahas nikah dan jodoh. Bahkan sekarang Mama mulai mau jodoh-jodohin aku sama anak temannya."
"Sibuk apaan? Mas abis cuti 2 minggu. Mas masih cari Rana? Please Mas, stop it. Biarkan Rana memilih jalannya sendiri. Move on dong Mas." Bintang menghela napasnya mendengar ucapan adik semata wayangnya tersebut. Dyandra selalu bisa menebak apa yang dilakukan Bintang.
"Masalah Rana, biarkan juga aku memilih jalanku sendiri untuk mencoba melepas dan merelakannya, dek. Kamu tahu sendiri kan move on itu nggak semudah membalikkan telapak tangan."
"Dan membiarkan Mas Bi dengan segala ide konyol Mas? Membiarkan Mas Bi menyia-menyiakan hidup Mas? Nggak! Nggak!"
"Aku nggak akan menyia-nyiakan hidupku, dek. Setelah semua urusan Rana selesai, aku janji aku akan membuka hati untuk wanita lain."
"Apa dengan sering cuti dan lebih banyak menghabiskan waktu di coffe shop yang Mas Bi bikin secara diam-diam bukan merupakan sebuah upaya menyia-nyiakan pekerjaan bahkan hidup Mas? Kasih tau aku dimana bagian terbaik dari itu semua? Mas bahkan lebih sering berada di coffe shop itu." Omel Dyandra yang memang geram ketika mengetahui fakta tentang kakak semata wayangnya tersebut. Bintang sendiri menghembuskan napas kasar, lelah jika harus menjelaskan semuanya kepada adiknya tersebut. Tetapi, ia tau persis, adiknya tidak akan berhenti sampai ia mengakui semuanya.
"Akan lebih menyia-nyiakan hidup kalau Aku hanya terus menjalani aktivitas di rumah sakit, mengabaikan hatiku yang terluka dan menjeritkan pertolongan. Coffe shop itu adalah sebagai bentuk pertolonganku terhadap hatiku sendiri, dek. Aku butuh itu untuk mengalihkan dan menyembuhkan luka hatiku." jelas Bintang dengan sedikit emosi. Ia terdiam sejenak, mengambil nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya, "jadi aku mohon sama kamu, biarkan aku melakukan ini. Biarkan aku mencoba menyelesaikan segala permasalah hatiku dengan caraku sendiri. Aku janji, nggak akan menghancurkan pekerjaan ataupun hidupki." Terdengar helaan napas kasar dari seberang menandakan Dyandra pun sepertinya lelah dengan pembicaraan ini. Sama seperti Bintang.
"Aku percaya sama Mas. Makanya aku belum bilang apapun ke papa mama. Tapi aku minta sama Mas Bi, telepon mama, Mas. Mama itu sedih Mas Bi semakin menjauh dari Mama. Aku juga bakal coba bilang ke Mama masalah jodoh-jodohan itu. Aku pun nggak setuju sama ide Mama itu." pungkas Dyandra pada akhirnya. Dyandra memilih mempercayakan keputusan tentang hidup sang kakak pada kakaknya sendiri. "Oh ya Mas, kapan-kapan aku mau main ke cafe Mas Bi. Aku sekarang tinggal di Jakarta, Mas Rava sekarang pindah ke hotel di Jakarta. Jadi, jangan kabur kalau aku mau ke sana. Aku nggak akan bahas ini lagi. Aku cuma pengen ketemu Mas Bi. Aku kangen sama Mas Bi." Senyum terbit di wajah Bintang mendengar kalimat terakhir Dyandra.
"Sama dek, Aku juga kangen sama papa, mama, kamu, Kayla dan calon ponakanku. Oke aku tunggu ya. Ntar aku bikinin pancake kesukaanmu."
"Yaudah, see you later ya Mas. Love you. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Setelahnya sambungan telepon diputus oleh Dyandra. Bintang sendiri reflek menghela napasnya begitu sambungan telepon terputus.
Meski ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menyembunyikan tentang Cafe ini selamanya namun ia tidak menyangka secepat ini akan diketahui. Mengingat pembicaraannya dengan Dyandra pun membuatnya sadar bahwa beberapa hari belakangan tidak ada Kirana dalam pikirannya tergantikan oleh Naura. Entah bagaimana Naura bisa mempengaruhi Bintang sebegitu besarnya. Namun akhirnya ia kembali ingat hal yang sempat tertunda beberapa hari ini. Segera ia menghubungi seseorang untuk menanyakan perihal progres pencariannya.
******TBC
Happy reading...
30.01.2018 revised on 23.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro