10 - Being Treated
Cause i would die to make you mine
Bleed me dry each and every time
I don't mind, no i don't mind
I would come back a thousand time
****
"Kamu sudah sadar?" Suara bariton itu mengalun ketika aku mengerjapkan mata mencoba mengingat apa yang terjadi. Dan ketika mataku telah sepenuhnya terbuka, sosok Bintang sudah berada di depanku. Mengernyit, aku mencoba mengingat apa yang terjadi.
Aaah, kemarin sore aku mengalami sesak napas karena ucapan Bintang.
"Kamu baik-baik aja? Masih sakit? masih sesak?"
Aku tersenyum sebelum kemudian berkata, "Aku baik-baik aja Bi. Kamu nggak perlu khawatir berlebihan gitu."
"Sorry." ucap Bintang lirih. Kenapa Bintang meminta maaf? Aku masih mengernyit bingung ketika suaranya kembali terdengar, "aku tahu ucapanku yang mememicu depresimu muncul kembali. Dan aku minta maaf untuk itu." Aku tersenyum mendengarnya. Meski sangat dingin namun ternyata dia cukup detail dan perhatian.
"Aku hanya belum terbiasa. Melupakan seseorang dan rasa sakit yang ia torehkan di hati bukan perkara mudah kan."
"Bagian mana dari ucapanku yang membuatmu seperti ini, Nau?" tanya Bintang ragu-ragu. Ia sepertinya takut pertanyaannya justru akan kembali memicu kejadian yang sama. Dan tentu saja pertanyaannya mengembalikanku pada saat kemarin sore, membuatku menegang sesaat. Namun aku segera menguasai diri sebelum Bintang menyadari perubahanku.
"Kamu nggak perlu merasa bersalah gitu, Bi. Kamu memang tahu aku punya luka hati yang membuatku nyaris gila dan nyaris mati. Tapi kamu belum tahu cerita lengkapnya, jadi wajar kalau kamu sampai mengucapkan hal yang mungkin bisa memicu sakit hatiku kembali. Kamu nggak perlu merasa bersalah," Aku menghirup udara di sekitarnya dalam-dalam sebelum kemudian melanjutkan kembali, "aku belum berani menceritakan apapun. Karena aku yakin, hatiku belum kuat untuk mengingat apalagi menceritakannya. Aku takut akan kembali kesakitan hanya karena mengingat dan menceritakan ini kembali. Jadi, bisakah kamu menerima begini saja?"
Bintang yang paham betul apa yang kuinginkan pun langsung tersenyum dan menganggukkan kepalanya mantap,
"Aku paham kok. Nggak semudah itu membuka luka masa lalu kepada orang lain." ucap Bintang sambil menatap lekat ke arah Naura, "ya udah, kamu istirahat dulu ya. Kamu perlu dirawat beberapa hari sekalian memastikan penyakit kamu."
Aku sontak terbelalak mendengar ucapan Bintang. Aku tidak bisa berlama-lama di rumah sakit! Tidak dalam kondisi keuanganku saat ini, tidak pula dengan resiko kedua orang tuaku akan tahu dan membuat keributan. Aku segera bangun dan meraih tangan Bintang. Mengajakmya keluar kamar. Namun dengan mudahnya Bintang menahanku.
"Kenapa, Nau?"
"Bisakah aku rawat jalan saja. Uumm.. aku..."
"Kamu sudah pernah melarikan diri sebelumnya. Dan sekarang aku pastikan kamu mendapatkan perawatan dan penanganan yang seharusnya. Toh ini bukan RS Harapan Kita." potong Bintang dengan tatapan tajam sebelum aku selesai dengan ucapanku. Aura itu, arua menyeramkan itu ia tampilkan lagi.
"Bukan gitu, Bi. Aku... Aku kan baru aja dipecat, aku nggak akan bisa bayar biaya pengobatan di sini. Bisakah kita lakukan pengobatan lain kali? Ketika aku sudah mendapat pekerjaan lain." ucapku mencoba mengubah keinginan Bintang.
"Kamu nggak usah pusing masalah biaya. Aku bisa minjemin kamu duit tanpa bunga, kamu bisa bayar itu kapan aja." ucap Bintang tegas. Sepertinya sulit untuk mengelak kali ini. Aku harus mengatakan yang sebenarnya.
"Aku...." ucapku tertahan, ragu jika harus menyuarakannya. Tapi tak ada jalan lain, aku harus menyuarakan hal ini, "aku takut orang tuaku akan mengetahui keberadaanku. Dan aku lebih takut kalau sampai mereka tahu kondisi kejiwaanku. Aku menyembunyikan ini dari mereka. Bisakan kita lakukan pemeriksaan ini secara informal, bukan melalui rumah sakit seperti ini? Aku yakin, kalau sampai orang tuaku tahu, mereka akan melakukan hal yang di luar batas padaku." ucapku lirih sambil menahan tangis. Bayangan kembali terbelenggu oleh kedua orang tuaku benar-benar membuatku sesak.
"Aku pernah mengkonsultasikan ini dengan seorang psikolog. Dan ia bilang aku mengalami depresi berat, entah apa namanya aku lupa. Depresi ini teramat menyakiti jiwaku hingga tubuhku merasakannya dan menimbulkan gejala upnormal seperti tadi. Bisakah kita bertemu dengan dokter di luar rumah sakit, tanpa harus terlacak oleh orang tuaku. Mereka punya segala akses ke rumah sakit dan perusahaan besar di seluruh Jakarta bahkan mungkin Indonesia. Sekali saja ada jejak ku di satu rumah sakit, dengan mudahnya mereka akan menemukanku." Aku menghembuskan napas panjang setelah berucap panjang lebar. Seolah seluruh napasku tertahan saat menceritakan semua itu. Raut wajah Bintang sendiri berubah setelah mendengar ceritaku. Ia terlihat iba padaku.
"Sebegitu takutnya kamu dengan orang tuamu? Sejelek apapun orang tua, mereka tidak akan menyakiti anaknya sendiri. Mereka hanya ingin yang terbaik untuk anak mereka." ucap Bintang mencoba meyakinkanku. Mudah baginya berucap hal tersebut ketika mungkin keluarganya adalah keluarga yang normal. Aku menghembuskan napasku pelan.
"Mungkin kamu punya keluarga yang utuh dan normal. Jadi pemahaman ini yang tertanam di benakmu. Tapi ...," Aku memejamkan mata sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan, "tapi keluargaku berbeda. Mamaku terlalu sibuk dengan perusahaan keluargaku hingga ia pun melewatkan perkembanganku. Sedang papaku terlalu berambisi menjadi seorang yang terbaik di bidangnya, sehingga tidak pernah memikirkan perasaan anaknya. Mereka hanya mengaturku tanpa memperdulikan apa yang aku sesungguhnya aku inginkan. Papaku bahkan selalu berusaha menjodohkanku dengan seseorang dengan profesi yang sama dengannya agar calon suamiku nantinya bisa meneruskan dan semakin memperbesar usahanya. Dan aku tidak suka hal itu. Aku muak dengan hal itu." Aku yang sejak tadi terduduk sambil memegangi kedua lututnya yang ia tekuk kini pun tidak kuasa menahan rasa sakit yang begejolak di hati. Aku menyembunyikan wajahku di antara kedua tangan dan lututku. Tubuhku bergetar mencoba menahan tangis yang sedari tadi mendesak keluar. Aku merasakan usapan lembut ke puncak kepalaku. Bintang.
Aku menolehkan kepalaku ke arah Bintang. Ia terlihat memikirkan sesuatu sebelum akhirnya bersuara.
"Yaudah. Kamu akan stay di rumah sakit ini tanpa record apapun. Aku akan coba usahakan itu. Dan kalau memang aku nggak berhasil, kita segera keluar dari sini." Bintang semakin mendekat ke arahku dan kini tubuh kami hanya berjarak beberapa senti, "aku rasa apa yang terjadi padamu, bukan hanya karena sakit oleh cintamu yang tak terbalaskan. Tapi juga akibat dari perlakuan kedua orang tuamu. Dan kalau memang itu benar, maka kamu harus menghadapi keduanya. Bukan hanya lari dari kenyataan." Bintang mengelus rambutku lembut. Dan entah mengapa aku merasa sangat nyaman dengan perlakuan Bintang tesebut sehingga tanpa aku sadari aku menyandarkan kepala pada tubuh Bintang, tepat di perut Bintang. Dan Bintang sendiri reflek melingkarkan satu tangannya yang bebas ke tubuhku. Aku tak pernah sedekat ini dengan laki-laki apalagi dia masihlah orang asing bagiku. Namun aku mengabaikannya mengingat rasa nyaman yang diberikan oleh lelaki ini.
****
Author POV
"Lo gila!" Ucap Dion ketika Bintang mengemukakan permintaannya. Dia meminta Dion memasukkan Naura di RS tanpa ada data. Dan itu jelas hal yang sulit. Mengingat semua sudah komputerisasi. Bintang terlihat frustasi karena tak kunjung mendapatkan titik terang.
"Gini aja deh. Kita masukin dia dengan data orang lain. Cuma itu yang mungkin. Kita rubah form aplikasinya, kita pakai nama orang lain. Dan lo tau bener ini beresiko buat lo. Karena lo penanggung jawabnya." gagas Dion yang merasa kasihan melihat rekannya frustasi, "Gila! Kenapa juga gue ikutan kasih ide gila ke lo!" lanjut Dion dengan nada sedikit frustasi. Ini pertama kalinya melihat Bintang frustasi karena wanita. Dan tentu saja, Dion tidak ingin melewatkan begitu saja kisah ini. Bintang sendiri seperti mendapat angin segar begitu mendengar ide Dion. Ia segera menuju meja pendaftaran, meminta form pada bagian pendaftaran yang tentunya bukan hal yang sulit bagi Bintang. Setelah memastikan form belum dientri oleh pihak pendaftaran, Bintang pun merubah form aplikasi menjadi nama orang lain yang sangat ia kenal.
"Thanks ya bro. Lo emang temen gue paling top deh." ucap Bintang setelah selesai dengan urusan menyamarkan identitas Naura.
"Anytime, bro." balas Dion sambil menepuk bahu Bintang, "Tapi lo nggak penasaran gitu sama latar belakang cewek itu? Kali aja asal usulnya nggak jelas. Jangan sampe lo deket sama cewek yang ga jelas. Yang ngantri buat jadi istri lo banyak Bi. Jangan sampe lo jadi bego dan milih cewek nggak jelas." Bintang memutar bola matanya jengah mendengar ucapan Dion.
"Gue sama dia cuma teman, Yon. Nggak akan ada hubungan seperti yang lo maksud."
"Tserah lo deh. Kita liat aja nanti, omongan lo apa omongan gue yang bener." Pungkas Dion yang memang sedang tidak ingin berdebat dengan Bintang. Tubuhnya sudah cukup lelah karena jaga IGD seharian ini. Bintang pun hendak pergi meninggalkan ruang IGD setelahnya namun langkahnya terhenti ketika mengingat sesuatu.
"Ah ya! Bisakah kalian rahasiakan dari Naura kalau aku dokter dan bekerja di sini? Tolong bilang ke Dr. Jihan dan juga perawat yang jaga." pinta Bintang yang membuat Dion mengernyitkan dahinya.
"Wooo... what was this? Kenapa pake rahasia-rahasiaan sih?"
"Gue punya firasat dia nggak suka dengan seseorang yang berkecimpung di dunia kesehatan." jawab Bintang cepat yang tanpa menunggu respon dari temannya langsung meninggalkan ruangan itu. Dion hanya bisa geleng kepala melihat tingkah Bintang.
"Lo masih bilang dia cuma teman? Lo bahkan menyembunyikan identitas lo demi supaya tetap bisa ada di dekat dia, Bi." Ucap Dion yang bermonolog sendiri.
****
Tiga hari sudah Naura tinggal di Rumah Sakit untuk pemeriksaan fisik dan juga jiwanya. Dan secara fisik tidak ada penyakit yang diidapnya. Sehingga besar kemungkinan semua memang berasal dari depresinya. Dr. Jihan sendiri belum berani menyimpulkan, namun dari dua kali pertemuannya, memang yang membuatnya seperti ini adalah tekanan batinnya.
"Dia belum mau terlalu terbuka kepada saya, dok. Jadi sulit untuk saya menemukan inti permasalahannya. Tapi memang terlihat helas kalau batinnya tertekan dan itu yang menyebabkannya sering sesak napas." jelas Dr. Jihan kepada Bintang ketika Bintang mendatanginya ke ruangan untuk menanyakan perihal sakit Naura.
"Akan saya coba untuk mengajaknya bicara lagi dok. Semoga dia mau membuka diri di pertemun selanjutnya dengan dokter. Kapan akan dijadwalkan pertemuan selanjutnya?"
"Kami sepakat untuk konsultasi lagi minggu depan. Dan sepertinya kondisinya sekarang cukup stabil, sehingga ia bisa rawat jalan, Dok. Akan saya beri resep obat yang harus pasien minum." jawab Dr. Jihan mencoba menjelaskan kondisi Naura.
"Baiklah. Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dokter. Untuk konsultasi selanjutnya kami akan ke tempat praktek pribadi dokter saja ya. Jangan di rumah sakit. Dia.. sedikit membenci rumah sakit." jelas Bintang kepada juniornya tersebut yang kemudian dijawab dengan senyum dan anggukan.
Selanjutnya Bintang pamit dan pergi meninggalkan ruangan Dr. Jihan. Ia berjalan menuju ruangan Naura. Sebelumnya ia sudah meninggalkan jas dokternya di ruangannya karena memang tugasnya hari ini sudah selesai sebelum dia menemui Dr. Jihan.
"Akhirnya lo mau juga periksa." Suara bariton tersebut terdengar di telinga Bintang ketika membuka pintu kamar Naura. Mereka yang berada di dalam sepertinya tidak sadar Bintang sudah membuka sedikit pintu kamar Naura.
"Awalnya gue terpaksa. Tapi gue pikir gue emang butuh ini. Gue capek juga, Al. Setengah tahun bukan waktu yang singkat untuk merasakan kesakitan bagai di neraka ini." jelas Naura kepada Aldric. Hanya kepada Aldric dia bisa mengatakan semua isi pikirannya. Karena hanya Aldric yang mengerti semua tentang dia.
"Gue harap lo serius sama omongan lo. Lo bener-bener harus lepasin dia, Ra. Cuma itu kuncinya. Lo sendiri yang bilang capek kan kesiksa gini terus? Gimana bisa lo sembuh kalo lo nggak pernah bisa lepas perasaan lo dan membuka hati untuk orang lain." ucap Aldric sambil menatap lekat sahabatnya tersebut, "terbuka sama dokter yang ngerawat lo. Gue yakin lo belom terbuka. Kalau emang lo belom bisa terbuka ke dokter lo. Coba lo terbuka sama temen baru lo itu, siapa namanya...." Aldric mencoba mengingat, namun sudah lebih dulu dipotong oleh Naura.
"Bintang maksudnya?"
"Ah ya! Bintang. I think he's a good men, lo bisa berteman sama dia atau mungkin jatuh cinta sama dia. Maybe that would solve your problem."
"Dan menjadikan dia pelarian gue? Nggak, Al. Lagian dia sendiri punya masalah yang nyaris sama dengan gue. Dia stuck dengan satu orang yang sepertinya sangat berarti buat dia. Rasanya gue bakal masuk ke lubang yang sama kalau sampai jatuh hati sama dia." jawab Naura dengan memberikan penjelasan yang makin membuat Aldric justru yakin akan satu hal. Bintang sendiri menyandarkan tubuhnya disamping pintung kamar sambil mendengarkan pembicaraan ini dengan seksama.
"Justru itu Ra!" ucap Aldric sambil menjentikkan jarinya, "kalian sama-sama terluka dan stuck pada satu orang yang mungkin sama-sama tidak membalas perasaan kalian. Kalian bisa bersama dan saling menyembuhkan satu sama lain. Gue rasa itu justru cara paling ampuh. No one can understand your heart except someone who's already experience the same like yours."
"No! Nggak ada jaminan kami akan sama-sama jatuh hati dan justru hal itu akan semakin menyakiti kami kalau seandainya keadaan tidak berjalan seperti yang loe bilang....."
Tok tok tok
Dan ucapan Naura terhenti karena bunyi ketukan pintu kamarnya. Bintang sengaja ingin mengakhiri pembicaraan mereka berdua. Dia tidak ingin mendengar dan masuk terlalu jauh pada pembicaraan dua sahabat itu.
******TBC
hai hai...
enjoy Naura-Bintang ya..
Happy reading..
15.01.2018 revised on 21.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro