Pt - 22 •Dia Kembali•
Aku tidak tahu menahu tentang rencana Zilian, hanya diminta menunggu di tempat ini sampai fajar datang. Tidak sendiri, melainkan ditemani oleh beberapa petugas kepolisian yang diminta untuk menjaga keamananku. Karena mungkin saja sewaktu lengah, Mas Juan akan mengambil kesempatan untuk membawaku.
Dari info yang kudapat dari Pak Randy, pria yang usianya kuperkiraan nyaris mencapai setengah abad itu, mengatakan kalau Zilian memberi bukti kuat atas tuduhan penculikan dan pembunuhan berencana. Katanya laki-laki itu juga sudah menghubungi kakeknya dan memberikan dokumen yang berisi catatan aset perusahaan yang sudah lama dikorupsi oleh Mas Juan. Entah kapan Zilian mempersiapkan serangan baliknya. Namun, aki cukup terkesan. Dia berhasil membuat Mas Juan masuk DPO.
"Mbak Alea ini masih kuliah, ya, sama kayak pacarnya?" Pak Randy datang segelas cup di tangannya. Beliau menyerahkan cup itu lalu mengambil tempat duduk di samping, kursi tua yang ada di ruang tamu rumah ini.
"Iya, Pak. Semester akhir," jawabku apa adanya. Tidak mungkin juga aku membeberkan segalanya pada orang baru kuketahui namanya. Toh, aku yang berada di sini memang sedang berkuliah. Ya, meski jiwaku sudah berumur tiga puluh ke atas.
"Saya salut, loh, sama pacar kamu. Dia masih kuliah sudah paham tentang bisnis. Bisa tau juga kalau tersangka, selain menculik dan merencanakan pembunuhan, juga menggelapkan dana perusahaan." Pak Randy nampak terkesan dengan Zilian.
Aku mengangguk menyetujui. Zilian memang paling bisa diandalkan. Dia bahkan sudah membuat rencana agar bisa menyeret Mas Juan ke balik jeruji besi dalam waktu singkat. Namun, tetap saja aku masih memiliki kekhawatiran. Meski nanti orang tuaku bisa diselamatkan dan Mas Juan berhasil di amankan, lantas bagaimana dengan nasib Zilian? Apakah ... laki-laki itu akan pergi tanpa sempat mengabari?
"Lapor, Bang! Tersangka sudah berhasil di ringkus. Sekarang dia diamankan ke kantor. Sedangkan korban yang mengalami luka ringan langsung dilarikan ke rumah sakit." Petugas lain yang menemaniku di sini melaporkan pada Pak Randy.
Punggungku yang semula bersandar lemah di sofa, langsung duduk tegak. Mulutku terbuka hendak menanyakan perihal keberadaan Zilian. Namun, Pak Randy lebih dulu menanyakan hingga membuat niatku urung.
"Lalu, Zilian dan yang lainnya ke mana? Soalnya Mbak Alea masih di sini."
"Menurut info dari yang saya dapatkan, pelapor juga dibawa ke rumah sakit." Ucapan petugas itu membuatku spontan berdiri, dengan tergesa aku mengambil sling bag yang kuletakkan di meja. Namun, langkahku seketika terhenti kala aku merasakan sesak di dada. Rasanya seperti ada batu besar yang menghimpit dada hingga aku kesulitan untuk bernapas. Pun pandanganku yang mulai mengabur disertai denyut nyeri di kepala.
Aku menggeleng, berusaha menstabilkan langkah. Namun, tungkaiku baru berayun dua kali, tubuhku sudah limbung. Samar aku melihat Pak Randy berjalan tergesa menghampiri, diiringi dengan suara yang memanggil namaku sebelum semuanya gelap.
*
**
Hal yang pertama kuingat saat membuka mata adalah Zilian. Tidak peduli bagaimana kondisiku saat ini, aku tetap memaksakan diri untuk bangun dari posisi yang terbaring di atas ranjang ruangan yang didominasi dengan bau obat-obatan.
"Alea? Ya Tuhan, akhirnya lo sadar juga." Suara yang begitu familer menyentuh indra pendengaranku. Aku lantas menoleh ke samping, keningku berkerut mendapati Rona yang berjalan ke arahku.
"Rona? Lo ... kenapa bisa di sini?" Aku ingat aku pingsan di rumah tua itu. Aku ingat juga aku sedang bersama petugas kepolisian yang seharusnya mereka ada di sini menjagaku atau setidaknya aku bisa melihat orang yang ada di rumah tua itu, bukan malah melihat Rona yang berdiri sambil bersedekap dada di samping ranjangku.
"Orang tua lo telepon gue, Alea. Mereka minta tolong sama gue buat jagain lo. Astaga! Kok, lo bisa dibawa sama polisi? Maksud gue, kenapa lo bisa sama polisi?"
Aku tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Rona. Aku justru kembali bertanya-bertanya, sebenarnya apa yang terjadi setelah aku pingsan? Dan ... Zilian? Di mana laki-laki itu?
"Zilian di mana?" Pertanyaanku membentuk kerutan samar di kening Rona.
"Zilian? Kalo gue nggak salah denger, dia dibawa ke luar negeri."
Jawaban yang diberikan Rona berhasil membuatku tercengang. Mulutku menganga dengan mata yang terbelalak, lalu berkata, "Ke luar negeri? Maksudnya gimana?"
Rona menggeleng. "Gue nggak terlalu ngerti. Lo bisa tanya nanti sama orang tua lo. Btw, orang tua lo lagi pergi ke kantor polisi. Bareng polisi yang ngaterin lo juga. Sebenarnya apa yang terjadi, sih?"
Aku bungkam, tidak dapat menjawab pertanyaan Rona barusan. Otakku seolah beku hingga tidak bisa berpikir lagi. Semua kejadian yang menimpaku terlalu tiba-tiba dan terjadi begitu cepat. Aku bahkan belum sempat bertemu dengan Zilian, tapi laki-laki itu sudah pergi saja.
"Oh, iya, gue diminta kasihin ini ke lo kalo lo udah sadar." Rona mengangsurkan amplop cokelat yang baru dia keluarkan dari sling bag yang dikenakannya.
"Dari siapa?" Aku mengambil amplop itu sambil melempar tanya. Ketika tanganku merobek ujung amplop, bersiap membukanya, suara Rona membuat kegiatanku langsung terhenti.
"Mamanya Zilian. Kalo nggak salah namanya Tante Fara, Fira? Nggak tau, deh, lupa gue." Bahu Rona bergidik lalu kembali duduk. Namun, kali ini perempuan itu memilih menarik kursi yang berada di samping ranjangku lalu duduk di sana sambil memangku kaki.
"Tante Fira?" gumamku. Lantas aku kembali membuka amplop itu hingga menemukan sepucuk surat yang terlipat di dalamnya. Bukan hanya itu saja, di dalam amplop itu juga terdapat cincin yang terlihat berkilau saat tidak sengaja tersorot cahaya.
Penasaran, aku lantas mengeluarkan dua benda yang berada dalam satu amplop itu, membuka kertas yang terlipat hingga aku bisa membaca goresan tinta itu dengan jelas.
Untuk Alea, calon menantu.
Hai, Dear, kalau kamu baca surat ini, berati kamu sudah sadar. Bagaimana keadaan kamu? Sudah lebih baik atau masih pusing? Saya harap kamu baik-baik aja, ya, Sayang.
Oh, iya, sebenarnya saya mau ngomong langsung sama kamu. Tapi keadaan yang membuat saya harus kasih tau lewat surat ini. Mungkin kamu akan bingung, tapi saya tetap berharap semoga kamu bisa memahaminya pelan-pelan.
Banyak hal yang terjadi di dunia ini. Bahkan hal yang paling mustahil pun bisa saja terjadi jika Tuhan menghendaki. Entah kamu sudah tau atau belum, saya tetap akan memberi tau kamu kalau sebenarnya Zilian sudah pulang. Dia kembali ke tempat seharusnya dia berada setelah misi yang dia emban berhasil dilakukan.
Jika kamu bertemu dengan Zilian yang saat ini ada di luar negeri, abaikan saja keberadaannya. Lupakan dia dan tunggu orang yang kamu cintai menepati janji.
Alea, saya juga sudah menuntaskan janji saya sama kamu dulu. Ingat apa perkataan mama sebelum kamu mengalami kemalangan ini?
Sampai ketemu di tahun 2022. Mama akan dengan senang hati menerima kamu jadi bagian keluarga ini. Oh, iya, jangan lupa pakai terus cincinnya. Sampai kita bertemu lagi, mama akan membantu kalian bersatu.
Dari yang jauh,
Mama Fira❤
A
ku melipat surat yang dituliskan Tante Fara. Kepalaku terasa sangat berisik, banyak pertanyaan yang muncul di benak. Pun otakku terus berusaha mengingat-ingat perkataan Tante Fira di kehidupanku yang sebelumnya. Aku bahkan menggigiti kuku-kuku sampai ucapan Tante Fira yang berupa janji itu berhasil kuingat dengan sempurna.
"Jangan sedih lagi, Alea. Tante janji, tante akan membantu kamu untuk terlepas dari Juan. Tante akan buat kamu bahagia dengan orang yang tepat. Dan tante juga janji, tante akan membuat Juan mendapatkan karma bagaimanapun caranya."
***
Selesai ditulis tanggal 10 Juni 2024.
Satu bab lagi ending kawans. Sudahkah kalian paham? 😭😭😭 aku tu ... mbuhlah ya. Kdang bingung juga, takut kalo cara berceritaku bikin kepala kalian nyut-nyutan. Tapi semoga enggak ya. Kalo pun iya, aku bakal revisi kok. Tapi butuh komenan dari kelen soal cerita ini.
See aja deh ya!
Luv, Zea❤🔥🔥🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro