Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pt - 13 •Di Tempat Ini•

"Zilian, mari kita akhiri di sini."

Kali ini aku mengambil tindakan terlalu jauh. Pun aku tidak tahu apakah teknik tarik ulur ini akan berhasil atau tidak. Namun, hanya ada dua kemungkinan yang akan diterima. Antara laki-laki itu kembali merangkulku atau memilih meninggalkan perempuan bernama Alea dalam hidupnya.

"Aku tau aku salah karena sudah libatin kamu. Aku tau, di mata kamu aku adalah orang yang enggak tau diri, egois, dan ... enggak punya hati." Aku menarik dua sudut bibir hingga membentuk senyuman samar. Lantas kembali berujar, "Jadi, Zilian ... kalo kamu enggak mau sakit hati lagi, enggak mau merasa kecewa lagi, lebih baik kita akhiri aja. Semuanya. Anggap semua yang terjadi enggak pernah terjadi. Kamu bisa benci aku sepuasnya. Kamu boleh mencaci, memakiku setiap hari. Aku nggak akan ngelawan. Aku bakal biarin aja sampai kamu puas."

Zilian hanya diam dengan mulut yang tertutup rapat. Sepertinya aku sudah bisa memprediksi hasil dari tindakanku ini. Dari reaksi Zilian yang hanya melempar tatapan datar, aku tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Aku mengembuskan napas panjang, lalu membungkukkan badan untuk mengambil belanjaan papa yang terletak di dekat kaki. Namun, pergerakanku langsung terhenti kala tangan seseorang yang lebih dulu mengambilnya.

Kepalaku terangkat hingga pandangan kami bertemu. Sejenak aku bergeming, mencari amarah yang tersimpan dalam mata kelamnya. Namun, sampai laki-laki itu mengalihkan pandangan pun, yang kutemukan hanya tatapan teduh.

Kalau boleh jujur aku tidak pernah bisa mengenali Zilian sepenuhnya. Kilat di mata laki-laki itu selalu berubah-ubah. Kadang penuh amarah, bicara dengan nada tinggi. Kadang datar tanpa ekspresi. Kadang juga tatapannya teduh, membuat nyaman ketika beradu tatap seperti yang dia tunjukkan tadi.

"Gue bawain ke dalam. Lo mandi, gantu baju, terus ikut gue." Zilian berbicara sambil terus mengayunkan kaki masuk ke dalam pagar yang sudah terbuka. Sesaat aku terdiam, merasa sedikit kebingungan sebelum akhirnya membuang napas panjang dan mengikuti langkah Zilian.

"Bi Dila! Tolong ambil belanjaan papa!" Aku berteriak begitu masuk ke dalam rumah. "Kamu duduk aja di sana. Nanti aku minta Bi Dila buatin kamu kopi."

Zilian mengangguk menanggapi ucapanku tadi. Aku menarik senyum tipis sebelum berlalu meninggalkan laki-laki itu pergi ke kamarku.

Meski dari ekspresi yang ditampilkan Zilian tadi membuatku berpikir kalau laki-laki itu tidak ingin semuanya berakhir, aku tetap tidak boleh berekspetasi tinggi. Takut jatuh karena sifat Zilian sukar untuk ditebak. Jadi aku hanya bisa mengikuti alurnya saja jika berhubungan dengan laki-laki itu.

"Sekarang yang harus kulakukan adalah fokus. Fokus untuk membuat Mas Juan menyerah-tunggu dulu. Bukankah Mas Juan hanya ingin mencari seorang istri untuk mendapatkan haknya sebagai pewaris?" Itu artinya, jika aku mencari 'pengganti' maka kemungkinan besar takdirku bisa diubah.

"Benar! Kenapa aku enggak kepikiran soal ini? Aku tinggal cari seseorang yang cocok buat Mas Juan. Tapi ... siapa?"

Aku mengembuskan napas panjang, kepalaku terasa nyut-nyutan. Lagi pula ... orang gila mana yang mau menjadi pengganti takdir menyeramkan milikku? Siapa yang mau menikah dengan laki-laki tidak berperasaan macam Mas Juan?

"Udahlah." Pening lama-lama kepalaku jika memikirkan segalanya dalam satu waktu. Belum lagi aku harus cepat-cepat mandi dan mendatangi Zilian yang sudah menunggu.

***

Celana jeans yang dipadukan dengan tanktop hitam, lalu dilapisi kardigan rajut merah sneakers putih menjadi outfit pilihanku. Hari ini tidak aada jadwal kuliah, entah ke mana Zilian akan membawaku pergi. Sebab sejak laki-laki itu melajukan motornya dia tidak mengeluarkan barang sepatah kata pun. Hanya suara bising kendaraan serta angin yang menyentuh indra pendengaran.

"Kita mau ke mana?" Aku melempar tanya setelah motor Zilian cukup lama berjalan. Namun, belum ada tanda-tanda menepi ke suatu tempat.

"Nanti lo juga bakal tau," jawabnya dengan suara yang sedikit keras. Aku hanya bisa mendesah panjang. Jawaban Zilian justru membuatku semakin penasaran. Otakku mulai menerka-nerka, tempat mana juga yang akan menjadi tujuannya.

Hingga tiga puluh menit kemudian, Zilian memasuki wilayah yang cukup banyak ditumbuhi dengan pohon pinus. Jalanannya cukup bagus, tidak rusak. Hanya saja terasa tidak berujung sebab hanya pepohonan yang nampak, tidak ada rumah warga setempat.

Aku ingat jalan ini. Ini adalah jalan di mana vila keluarga berada. Setiap sebulan sekali, keluarga Abraham ini memiliki jadwal berkumpul di vila. Tidak ada yang sepesial, hanya perkumpulan keluarga besar serta acara masak-masak yang diselingi dengan ajang membangga-banggakan diri. Ya, seperti pencapaian mereka, bagaimana perkembangan usaha yang dikelola, dan masih banyak lagi pembicaraan yang membuatku muak jika berlama-lama mendengarkan.

Sekitar lima kilo meter dari jalan utama, barulah motor Zilian memasuki pekarangan vila yang luas serta selalu indah dan sedap dipandang mata. Sebab tempat ini dijaga dan dirawat dengan baik oleh orang kepercayaan kakek Zilian. Namun ....

"Ngapain kamu bawa aku ke sini?" Aku melontarkan tanya usai Zilian memarkirkan motornya.

Zilian tidak menjawab. Laki-laki itu sibuk melepaskan helmet yang terlasang di kepalanya. Lantas dia turun lalu mengulurkan tangannya ke hadapanku sembari berujar, "Turun dulu."

Aku menyambut uluran tangan Zilian, turun dari motor dengan bantuan laki-laki itu. Sebelum tanganku terangkat untuk melepaskan kaitan pengaman kepala, tangan Zilian sudah lebih dulu terulur melepaskan pengait serta helmet di kepalaku.

"Ini tempat favorit gue. Vila ini sebenarnya punya kakek gue, tapi karena gue sering ke sini, tidur di sini, kakek bikin satu ruangan khusus buat gue." Zilian membawa langkah memasuki vila. Dia pergi ke lantai dua, lalu masuk ke kamar yang memiliki balkon.

Sejenak kakiku berhenti melangkah. Dalam benak seolah terputar reka ulang kejadian di masa depan. Tentang hal gila yang dilakukan Mas Juan di tempat ini. Setiap ruangan menjadi sasksi bisu betapa gilanya Mas Juan hanya karena harta warisan.

"Alea, lo nangis?" Suara Zilian yang menyentuh indra pendengaran membuatku tersadar dari lamunan. Tanganku lantas terangkat menyentuh pipi yang basah terkena air mata.

Astaga, kapan aku menangis?

"Enggak, kok. Aku tadi cuma ngantuk aja. Terus mataku berair." Hanya ini yang bisa dijadikan alasan. Sebab sangat tidak mungkin aku membeberkan fakta perihal Mas Juan yang pernah membunuhku di vila ini.

Zilian tidak menanggapi alasan yang kuberikan. Laki-laki itu kembali keluar kamar, lalu mengamit tanganku dan membawanya ke arah balkon. Jari telunjuknya teracung ke arah rumah yang letaknya tidak jauh dari area kolam berenang.

"Di rumah itu ... gue bisa liat semuanya. Tanpa terkecuali." Zilian menjelaskan. Sementara aku membeku di tempat. Selama ini aku tidak tahu mengenai hal itu meski sudah lama menjadi bagian dari keluarga Abraham. Pun aku tidak pernah pergi ke bangunan yang berada tepat di samping kolam renang. "Alea ... kalo gue bilang gue berasal dari masa depan, apa lo bakal percaya?"

***

Selesai ditulis tanggal 01 Juni 2024.

Nyarissssssssssss aja.

Eh kenapa tu zilian nanya begitu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro