Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pt - 11 •Si Paling Pemaksa•

Aku tidak ada waktu untuk menjelaskan apa pun pada Zilian saat ponselku kembali berdering, menampilkan nama papa di layar persegi. Aku tidak mengangkatnya, hanya mengembuskan napas panjang, lalu berkata pada Zilian, "Aku pulang dulu."

Tanpa repot menunggu jawaban laki-laki itu aku gegas kembali membuka pintu dan pergi dari unitnya tanpa berkata apa-apa lagi. Saat ini mendatangi papa lebih penting agar beliau tidak marah dan membuat telingaku panas karena harus mendengar omelannya. Untuk urusan dengan Zilian, biarlah kupikirkan itu nanti.

Karena jujur, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Zilian dan segala pikirannya yang rumit terkadang membuat kepalaku sakit. Seperti tadi, karena ditinggalkan tanpa penjelasan, dia langsung mengambil spekulasi sendiri. Mengatakan hal yang tidak perlu dan membuat hatiku sedikit tersentil.

Aku mungkin memang manusia yang lebih suka mencari keuntungan untuk diri sendiri. Dari awal tujuanku mendekati Zilian hanya agar aku terhindar dari kematian yang disebabkan oleh Mas Juan. Aku tidak mungkin merengek pada papa atau mama, padahal tahu mereka butuh bantuan dari Mas Juan agar perusahaan tidak gulung tikar. Satu-satunya jalan yang kupunya adalah mencari seseorang yang lebih besar, lebih tinggi kedudukannya Dari Mas Juan untuk mencapai tujuanku.

Namun, aku juga manusia biasa. Hatiku tidak terbuat dari besi apalagi baja. Hanya seonggok daging yang tersimpan di balik dada. Bisa merasakan sakit yang begitu dalam ketika dikecewakan meski hanya dengan kata-kata 'kesalahan'. Zilian mungkin merasa itu adalah kesalahan yang dibuat oleh orang mabuk. Akan tetapi ... aku tidak begitu. Aku melakukannya secara sadar dan dengan keinginanku sendiri. Karena sejak laki-laki mengungkap perasaanya yang begitu dalam padaku, sejak itu pula aku bertekad untuk belajar mencintai Zilian.

Aku akan sepenuhnya menatap ke arah laki-laki itu, memperhatikan setiap sikapnya yang cukup menggemaskan di mataku. Aku akan membuka hati yang sudah lama terasa mati hanya untuknya. Tidak peduli bagaimana endingnya. Tidak peduli serumit apa jalannya. Namun, satu yang harus kuyakini, aku tidak akan mati jika bersama orang yang mencintaiku.

Aku tiba di pasar dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Gegas kakiku berayun ke sana ke mari mencari keberadaan papa. Namun, langkahku langsung terhenti kala melihat Mas Juan ada di sana, di samping papa dengan beberapa kantong kresek di tangannya. Pakaian Mas Juan juga terlihat santai, kaos oblong yang dilapisi dengan jaket juga celana training hitam.

Masalah dengan Zilian baru dimulai sebelum aku sempat mencari solusinya. Sekarang masalah baru kembali muncul ke permukaan, membuat kepalaku berdenyut nyeri.

Aku ingin pergi, pulang atau ke mana pun asal tidak bertemu dengan laki-laki itu. Namun, setelah memutar tubuh, bersiap melangkah menjauh, suara papa yang menyerukan namaku menyentuh indra pendengaran, hingga mau tidak mau aku harus berbalik badan lagi dan menampilkan senyum tipis.

"Kamu mau ke mana lagi? Enggak liat papa di sini?" Papa berjalan sedikit tergesa, di sampingnya ada Mas Juan yang memasang senyum manis. Sejenak aku terpesona oleh ketampanan laki-laki itu. Namun, aku segera menggeleng sambil menyadarkan diri dalam hati. Dia itu pembunuh, Alea! Sadar! Jangan sampai ketipu lagi.

"Kamu ke mana aja?" Kening papa yang mulai keriput itu mengernyit, lantas beliau berkata, "ini kamu beneran habis jogging atau baru bangun, Alea? Jogging, kok, pakai piama." Papa menggeleng. Mungkin beliau tidak habis pikir dengan kelakuan anaknya yang hanya mengenakan piama tidur yang dipadukan dengan jaket.

"Iya, jogging." Aku berjalan ke arah Mas Juan, berniat untuk mengambil alih kantong belanjaan papa yang ada di tangannya. Namun, laki-laki itu tidak berniat memberikannya padaku. Dia justru menjauhkan tangannya, mengangkat kantong belanja agar aku tidak bisa menjangkau.

"Biar saya aja yang bawa, Alea." Mas Juan menyematkan senyum tipis usai berujar. Aku mendengkus kasar tanpa menjawab apa pun lagi. Lantas pandanganku beralih pada papa yang sibuk dengan teleponnya.

"Iya, papa berangkat sekarang." Papa berbicara dengan nada lembut. Aku yakin, orang yang beliau ajak bicara di seberang sana pasti mama. Selanjutnya pria yang usianya sudah menginjak lima puluh delapan tahun itu mematikan sambungan telepon, lalu menyimpan kembali ponselnya di saku celana.

"Maaf, ya, Nak Juan. Kayaknya saya bakal repotin kamu. Mamanya Alea telepon sudah sampai bandara. Jadi, saya langsung mau jemput dia. Saya mau titip Alea. Bisa Nak Juan antarkan Alea pulang?" Ucapan papa membuat mataku terbelalak. Hei! Bisa-bisa papa mempercayakan anak semata wayangnya pada laki-laki yang kelak menjadi pembunuh anaknya di masa depan.

Aku langsung menyela sebelum Mas Juan sempat berbicara. "Aku bisa pulang naik taksi." Jangan sampai aku hanya ditinggal berdua saja dengan Mas Juan.

"Iya, Om. Saya bisa antar Alea pulang dengan selamat. Lagi pula ... ada yang ingin saya bicarakan dengan dia." Mas Juan benyahuti ucapan papa, dia berkata seolah aku tidak berbicara sama sekali. Laki-laki ini ... kenapa menyebalkan sekali?

"Ya udah. Saya titip Alea, ya. Alea, kalo sampai rumah minta Bi Dila masakin semua masakan kesukaan mama." Papa berkata sedikit terdesak. Beliau membetulkan kaos lengan panjang yang digulung sebatas siku. Lantas berlalu sebelum aku bisa membantah lagi.

"Mau ngomong apa?" Aku langsung berujar setelah Mas Juan berjalan membawaku ke parkiran hingga tiba di samping mobilnya.

"Masuk dulu, Alea." Laki-laki itu meletakkan kantong belanja di bagasi mobil. Lantas dia membukakan pintu penumpang sebab aku tidak kunjung masuk. "Masuk, Alea." Kali ini Mas Juan berbicara dengan penuh penekanan.

Sembari mendengkus, aku masuk dan duduk dengan wajah yang ditekuk kesal. Sumpah, ya, tidak di masa depan, tidak di masa lalu, Mas Juan tetap saja menyebalkan. Sifatnya yang suka memerintah selalu berhasil membuatku godok setengah mampus. Mas Juan memang paling juara membuat mood menjadi ambruk.

"Kamu enggak suka sama saya?" tanyanya tanpa ba bi bu lagi. Aku bahkan langsung menoleh dengan wajah cengo.

"Mas kan tau saya punya pacar." Aku kembali melempar pandang ke arah jalan yang mulai padat.

"Saya bisa bikin bisnis orang tua kamu jaya lagi seperti dulu. Saya bisa bantu kamu masuk perusahaan tanpa melewati prosedur tertentu. Saya-"

"Maaf, Mas. Saya enggak tertarik." Aku lebih sayang nyawaku sendiri dari pada tawaran dari laki-laki itu. Aku yakin, tanpa bantuan dari Mas Juan pun, perusahaan papa bisa berkembang lagi jika aku bisa membuat Zilian menjadi suamiku di masa depan. Laki-laki itu tentu tidak akan membiarkan perusahaan mertuanya gulung tikar.

"Kamu enggak mau mempertimbangkan saya lagi? Saya lebih mapan dari Zilian. Dia itu cuma bisa main. Enggak pernah mau belajar betul-betul. Dan enggak bisa diatur. Dia sama sekali enggak kompeten. Kamu yakin masih mau sama laki-laki seperti dia?" Mas Juan kembali bertanya saat mobilnya sudah menepi tepat di depan pagar rumahku.

Aku menggeleng tegas. Sudah kubilang, 'kan, aku lebih sayang nyawa dari pada harta. Meski Zilian tidak bekerja, dia tetap punya segalanya. Cucu kesayangan kakeknya tidak mungkin dibiarkan hidup susah.

"Saya cinta sama Zilian." Aku menjawab sebelum melepas sabuk pengaman. "Saya enggak peduli tentang kamu. Mau kamu lebih hebat dari Zilian sekalipun, saya tetap akan milih Zilian."

Aku ingin keluar, malas terlalu lama berduaan dengan laki-laki gila macam Mas Juan. Namun, saat ingin membuka pintu. Aku dikejutkan dengan gerakan tiba-tiba laki-laki itu yang bergerak menahan tanganku.

"Tinggalkan Zilian atau kamu akan saya buat sengsara, Alea."

***

Selesai ditulis tanggal 31 Mei 2024. Mari menutup bulan dengan bayar utang. Wkwkwwkwkkw. Mas Juan oh Mas Juannnn😩😩😩


See aja deh.

Luv, Zea❤🔥🔥🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro