Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pt - 01 •Portal Masa Lalu•

Jakarta, 12 Desember 2022

"Aku mau cerai." Amplop cokelat yang berisi surat gugatan cerai kuletakkan dengan kasar ke meja kerja Mas Juan. Tidak peduli apa tanggapan laki-laki itu nantinya, yang penting aku sudah berhasil mengatakan apa yang paling ingin kukatakan sejak lama.

Awal menikah hubungan kami memang baik-baik saja. Namun, setelah aku mengalami keguguran sebanyak dua kali, sikap Mas Juan mulai berubah. Jarang pulang, selalu alasan dinas keluar kota, hingga akhirnya, tahun lalu aku mengetahui dia memiliki wanita lain. Aku bukan orang yang gegabah dalam mengambil keputusan. Setelah mempertimbangkan banyak hal, meminta pendapat dengan Tante Fira, adik dari ayah mertuaku, barulah aku nekat mengambil keputusan ini.

Sekilas Mas Juan melirik tanpa minat ke arah amplop cokelat itu sebelum kembali lagi memusatkan atensi pada layar laptop di hadapannya. Tanpa mengalihkan pandangan ke arahku, Mas Juan berkata, "Kamu tau apa konsekuensinya bercerai sama saya?"

Soal itu? Jelas aku tahu. Di perjanjian pra nikah tertulis dengan jelas kalau pasangan dari keluarga Abraham tidak boleh bercerai atau menikah lagi kecuali pasangannya meninggal dunia. Jika melanggar, maka tidak akan mendapatkan harta barang satu persen pun. Namun, aku tidak peduli. Lebih baik hidup miskin daripada menderita batin. Sudah cukup aku menahan rasa sakit selama ini.

"Hm. Aku enggak peduli sama harta kamu dan keluarga kamu. Aku cuma mau cerai. Titik." Lagi pula kami tidak punya anak setelah aku mengalami keguguran dua kali.

"Kamu sudah yakin dengan pilihan kamu?" Tatapan Mas Juan beralih ke arahku. Setelah mendapati anggukan yakin yang kutunjukkan, Mas Juan kembali berkata, "Besok pagi, ikut saya ke vila keluarga. Setelah itu saya akan tanda tangan surat cerai."

Sejenak aku menimang antara menyetujui atau menolaknya saja. Namun, perkataan Mas Juan selanjutnya membuatku mau tidak mau mengiyakan ajakan laki-laki itu.

"Enggak masalah kalau kamu enggak mau ikut saya ke vila. Artinya kamu juga enggak masalah kalau saya ngerobek surat gugatan ini, 'kan?"

Aku menggeram tertahan. Mas Juan dengan segala sikapnya membuatku benar-benar muak. Selama ini aku selalu berusaha sabar, namun laki-laki itu selalu saja bertindak seenaknya tanpa memikirkan perasaan.

"Baik. Aku setuju."

Hanya ikut Mas Juan ke vila, 'kan? Setelah itu aku akan bebas dari sangkar emas ini. Menghirup udara dengan bebas tanpa takut merasa sesak, melakukan hal apa pun dengan bebas tanpa takut mencoreng nama keluarga Mas Juan.

***

"KAMU GILA?!"

Aku salah! SALAH BESAR! Seharusnya dari awal aku tidak perlu menyetujui persyaratan apa pun yang laki-laki itu ajukan. Harusnya aku tidak melupakan tentang aturan keluarga Mas Juan tentang perceraian. Keluarga mereka bukan hanya tidak memberikanku harta, tapi Mas Juan juga tidak akan diberikan harta dan harus terusir dari rumah!

Orang gila mana yang mau merelakan hasil jerih payahnya hanya karena perceraian? Jawabannya tidak ada! Apalagi Mas Juan. Dia tentu akan menghalalkan segala cara agar aku dan dia tidak bercerai. Salah satunya dengan membunuhku. Sialan!

"Kamu yang enggak memberi saya pilihan, Alea. Harusnya kamu ingat dua hal setelah masuk ke keluarga saya. Bertahan dalam pernikahan apa pun yang terjadi atau mati." Mas Juan berkata tanpa ekspresi. Tidak marah tidak juga senang. Datar.

"Bertahan di sisi kamu? Aku masih waras, Mas! Orang gila mana yang rela diselingkuhi sana sini oleh suaminya?!" Selain itu keluarga Mas Juan juga tidak pernah menganggap keberadaanku. Aku selalu dikucilkan sebab tidak berada di kelas yang sama dengan mereka.

"Seharusnnya kamu ingat bagaimana kita bisa menikah." Mas Juan berjalan mendekat ke arahku dengan nampan di tangannya. Aku tahu pada minuman yang dibawa Mas Juan itu sudah dia campuri dengan obat penenang. Mas Juan sendiri yang bilang. Dia ingin aku mati keracunan. Dia ingin membuat skenario seolah-olah aku bunuh diri dengan meminum obat penenang yang melebihi dosis.

Kakiku terus melangkah mundur sebelum akhirnya berlari ke lantai dua, menuju kamar atas yang memiliki balkon. Aku ingat di vila ini ada kolam berenang. Jika aku melompat ke air dan kabur, hidupku mungkin akan terselamatkan meski kemungkinannya kecil. Namun, itu lebih baik daripada mati begitu saja di tangan Mas Juan.

Dengan tergesa aku berlari ke arah pintu balkon dan membukanya usai mengunci kamar. Senyumku langsung mengambang kala melihat kolam renang di bawah sana. Jika aku salah mengambil langkah, besar kemungkinan nyawa akan melayang. Namun, jika lompatanku tepat, air di kolam pasti akan menyambut tubuhku. Setidaknya air dengan kedalaman tiga meter itu bisa menyelamatkan nyawaku dari rencana gila Mas Juan.

"Mau loncat? Sepertinya itu bukan ide yang buruk." Mas Juan berhasil masuk ke kamar yang sudah kukunci. Kali ini dia menampilkan senyum tipis di bibir sambil meletakkan cangkir di meja, lalu berjalan ke arah balkon dengan langkah ringan.

"Setelah kamu mati, saya akan menikah lagi dengan perempuan yang saya cintai, Alea."

Persetan dengan rencana Mas Juan! Aku hanya perlu mengambil langkah yang benar sebelum melompat ke kolam renang. Sembari memejamkan mata, aku langsung terjun bebas ke dalam kolam. Seketika air dingin menyentuh kulitku.

Aku berusaha berenang naik ke permukaan. Namun, entah kenapa kakiku tiba-tiba terasa keram hingga sulit sekali rasanya untuk berenang.

Ketika aku merasa sesak karena kehabisan napas, aku melihat sekelabat bayangan hitam berenang ke arahku. Di ambang batas kesadaran, aku tidak bisa mengenali siapa orang itu. Bersamaan dengan tubuhku yang berhasil diraih dalam dekapnya, kesadaranku pun hilang sepenuhnya.

*

**

"Dia enggak apa-apa, 'kan?"

"Aman, Yan. Dia pingsan karena lihat darah."

Samar-samar aku mendengar dua orang yang sedang berbicara. Apa aku selamat? Apa aku berhasil bertahan hidup? Pertanyaan-pertanyaan yang singgah di benak perlahan terjawab seiring mataku terbuka. Iris kecokelatanku menyapu pandang ke sekitar. Tempat ini di dominasi dengan warna putih. Bau obat-obatan juga begitu kentara di sini.

"Aku selamat." Ada perasaan lega saat mengetahui kemungkinan besar ada seseorang yang menyelamatku dari kematian dan melarikanku ke rumah sakit. Entah siapa dia, tapi semoga saja bukan suami gila yang berniat membunuh istrinya.

"Nah, sadar juga akhirnya. Gimana? Hidung lo masih sakit?" tanyanya.

"Rona? Kenapa kamu ada di sini?" Aku terbelalak kaget saat melihat Rona-teman kuliahku dulu-ada di sini, karena seingatku dia pindah ke luar negeri mengikuti suami. Lantas aku beranjak bangun dan kembali meneliti ruangan ini. Ada meja di dekat pintu masuk, lemari obat di sudut ruangan dan dua brankar, yang kutempati dan brankar yang kosong yang berada di sebelahku.

Jika diteliti, tempat ini bukan seperti rumah sakit melainkan ruang kesehatan yang biasa ada di sekolah juga kampus. Tunggu dulu, sepertinya aku mengenali tempat ini. Jika tidak salah tebak, aku sedang berada di ruang kesehatan kampusku dulu, Universitas Nusa Pelita.

"Kayaknya otak dia bermasalah, deh, Yan." Rona berujar sambil menatap bingung ke arahku yang terus celingak celinguk sana sini.

"Ini di mana?" tanyaku yang ingin memastikan.

"UKK. Lo kenapa, sih? Kok kayak orang linglung gitu. Perasaan cuma hidung lo yang kena bola basket bukan otak lo."

"UKK? Aku ... di kampus?" Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku tiba-tiba ada di UKK bukannya dilarikan ke rumah sakit? Dan apa tadi kata Rona? Hidungku terkena bola basket?

Mataki menyapu pandang. Sekali lagi aku meneliti tempat ini. Satu per satu sudut ruangan kuperhatikan hingga menemukan kalender yang terletak di atas meja. Aku ingin turun dari brankar mengambil kalender. Namun, kepalaku masih berdenyut nyeri saat aku beranjak dari posisi.

"Lo mau ngapain?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rona membuatku mengangkat tangan, menujuk ke arah meja, tepatnya ke arah di mana kalender berada.

"Bisa tolong ambilkan kalender?"

Tanpa bertanya, Rona segera mengamini permintaanku. Dia melangkah mengambil kalender kecil yang berdiri di meja, lalu menyerahkannya padaku.

Aku menutup mulutku ketika melihat tahun yang ada di kalender. Lantas terbesit pikiran yang mustahil terjadi di dunia nyata. Tidak mungkin kan aku diberi kesempatan hidup lagi dan dilempar ke masa lalu seperti cerita-cerita fiksi yang kubaca atau drama-drama yang pernah kutonton? Rasanya ... terlalu tidak masuk akal.

"Rona, sekarang tahun berapa?" Aku bertanya untuk memastikan kalau kalender ini tidak salah.

Meski kernyitan di keningnya muncul, Rona tetap menjawab pertanyaanku lengkap dengan hari, tanggal, bulan, dan tahun.

"Senin, tanggal delapan Februari, tahun dua ribu sepuluh."

***

Selesai ditulis tanggal 18 Mei 2024.

Halo, kawans! Sesuai dengan jadwal, mulai hari ini sampai tiga puluh hari ke depan, Alea bakal nemenin kalian.

Jangan lupa kasih apresiasi buat Alea yang sudah selamat dari maut🔥

Bonus foto Alea.

Jangan lupa vote, komen, dan share ke teman-teman kamu kalau ada cerita kece di sini. 🌟💬🔄


See u gessss! Jangan lupa bernapas dan sampai ketemu besok.

Luv, Zea❤🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro