Chapter 9
Ok, pertama TaufanxYaya dulu ya. Setiap orang yang baca fanfic-ku (Dark Calamity of Princess) yang ada Taufan-nya hampir semuanya nggak ada yang ngeh, kalau di balik sifat jahilnya, Taufan itu ada sesuatu. He is a deep character. Karakternya tuh dalem banget sebenernya
Maka, selamat dinikmati
---------------
Setiap manusia memiliki sisi yang berbeda-beda. Sisi saat berhadapan dengan orang tua, dengan teman, dengan orang asing hingga dengan suami.
Kadang, butuh seumur hidup untuk melihat sisi seseorang.
Apalagi sisi lima orang?
Karena itu, mungkin Yaya tahu ia salah, tapi ia tidak bisa menahan diri, refleks!
"Aduh, Yaya... kamu kok selalu aja mukul aku?"
Yaya sebenarnya ingin menyalahkan Taufan. Siapa suruh ia duduk di samping tempat tidurnya ketika Yaya bangun? Entah kenapa, kalau sadar Taufan yang sedang mengambil alih, tubuh Yaya jadi jauh lebih waspada dari biasanya.
"Habis kamunya juga sih...," Yaya tidak ingin disalahkan, tapi Taufan hanya mendengkus. Setidaknya, Yaya lega karena suaminya itu tidak tampak marah.
Sang suami mengelus-elus pipinya, yang agak memerah karena kena pukul Yaya.
"Sebagai gantinya, aku minta peluk dong, sebelum berangkat kerja."
Yaya mengerjapkan mata, sementara dengan senyuman lebar, Taufan sudah merentangkan kedua tangannya.
Tumben ...
"Ya udah...," kata Yaya dengan pipi sedikit merah. Taufan memeluknya, menyandarkan kepalanya di bahu Yaya. Sementara sang istri sedikit bertanya-tanya. Taufan biasanya selalu minta cium, bukan peluk. Ada apa sebenarnya?
"Kamu kenapa? Baik-baik aja?" tanya Yaya jadi khawatir. Taufan memundurkan dirinya dan tersenyum pada Yaya.
"Nggak ada apa-apa kok," jawabnya. Sang istri agak ragu, namun Taufan merundukkan wajahnya dan mengecup lembut bibir Yaya.
Hanya sekejap sebelum ia mundur kembali.
"Hari ini ... kamu bisa tunggu aku sampai pulang?" tanya Taufan, jemarinya menyingkirkan poni rambut Yaya yang menghalangi matanya.
Yaya mengangguk dengan alis mengernyit namun Taufan segera memajang senyuman lebar.
"Nah, aku berangkat dulu ya," katanya segera bangkit dari tempat tidur Yaya.
"Eh, kamu udah sarapan?" tanya Yaya cepat, ia baru sadar kalau ia bangun kesiangan dan Taufan sudah rapi dengan jasnya.
"Udah kok," jawab Taufan, berjalan keluar dari kamar Yaya sementara sang istri membuntuti dari belakang.
"Kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Yaya lagi. Sikap Taufan terlalu aneh pagi ini. Ia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres, tapi sayangnya suaminya ini tidak mau jujur padanya.
"Iya...," jawab Taufan dengan lirih.
"Aku berangkat ya, asssalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Yaya hanya memandang pintu yang tertutup dengan perasaan bingung. Ia tidak tahu ada apa dengan Taufan, tapi ia berharap suaminya baik-baik saja.
IoI
Yaya memandang kamar suaminya dengan lurus. Ia sudah menetapkan hati, mulai dari hari ini ia akan membersihkan kamar ini. Ia sudah bertanya pada Gempa dan yang lainnya, mereka sama sekali tidak keberatan. Hanya saja, sampai kemarin Yaya masih merasa sungkan.
Mungkin, karena kamar ini simbol dari suaminya sendiri. Di dalamnya banyak barang-barang pribadi yang masih belum Yaya ketahui.
Ah, sudahlah, toh hanya mengepel, menyapu dan mengelap perabotan saja.
Yaya masuk ke dalam kamar. Kamar yang luas dengan desain interior minimalis yang modern. Kebanyakan perabotan berwarna hitam, perak dan warna kayu. Tempat tidur Boboiboy yang besar dihiasi dengan seprai warna putih dan bedcover yang tebal. Meja kerjanya simpel, terdiri dari stainless steel dengan kayu. Ada sebuah laptop yang terbuka namun dalam keadaan mati di sana.
Di pojokan ada rak buku dari kayu berukuran besar. Isi bukunya macam-macam, bagian paling atas tentang bisnis. Tengahnya penuh dengan berkas yang Yaya tak mengerti artinya. Bagian tengah dipenuhi buku cerita dan fiksi. Bagian terakhir ada buku ensiklopedia dan buku lawak.
Lemari baju Boboiboy juga sangat besar, terisi dengan berbagai macam setelan jas, jaket, kemeja dan celana bahan yang terkesan mahal. Di bagian bawah lemari tersimpan banyak dus yang Yaya kira berisi sepatu-sepatu.
Lalu, di salah satu sudut ada sebuah lemari pajangan kecil. Berisi action figure beberapa tokoh super hero, miniatur mobil, pesawat dan kereta yang Yaya bisa menebak, siapa pemiliknya.
Di lemari pajangan kecil itu, Yaya baru sadar kalau ada pigura foto dalam keadaan terbalik. Ia mengambilnya dan melihat siapa yang ada di dalam foto tersebut.
Seorang bocah laki-laki dengan topi dinosaurus berwarna oranye sedang tersenyum sambil dirangkul seorang kakek dengan senyuman lembut.
Tak perlu waktu lama untuk mengenali kalau bocah di foto ini pasti suaminya sendiri. Lalu, kakek ini ...
"Tok Aba?" tanya Yaya pada dirinya sendiri.
Ini adalah satu-satunya foto yang Yaya temukan di dalam apartemen ini. Boboiboy tidak memajang foto lain, ada beberapa lukisan modern art tapi tak ada foto yang terpajang. Hanya pigura foto kecil ini, itu pun tidak terpajang dengan rapi.
Yaya mengelap pigura foto itu dengan bersih sambil memandang lekat-lekat foto tersebut.
Masa kecil macam apa yang dialami suaminya? Selama ini ia tidak pernah menceritakannya secara jelas. Ia hanya bilang, kalau tidak ada orang yang percaya kondisi dirinya kecuali Tok Aba. Hubungan dengan orang tuanya pun tidak bisa dibilang baik, meski juga tidak bisa dibilang buruk.
Yaya tahu itu semua masa lalu, tapi kadang ia ingin mengetahui semua itu. Dan berharap semua itu bisa membantunya memahami suaminya lebih jauh.
Yaya mendesah dan memajang foto itu di lemari pajangan dengan benar agar fotonya terlihat, kemudian berlanjut membersihkan bagian lain.
Ia kembali menyapu sambil sesekali mengelap perabotan, namun berhenti saat melihat ada satu map yang menyelip di meja.
Ia mengambilnya dan sesuatu jatuh.
Sebuah foto lainnya, tapi yang mengejutkan siapa yang ada di dalam foto tersebut.
Yaya.
Dari posisi Yaya di foto ini, Yaya bertaruh foto ini diambil diam-diam. Sang istri jadi penasaran dan membuka map yang ia pegang. Isinya berkas-berkas berisi data dirinya sendiri. Mulai dari nama, alamat, umur, pendidikan terakhir, hingga anggota keluarga dan data-data soal restorannya.
Melihat semua itu, perasaan Yaya jadi sedikit kompleks.
Dari statusnya yang tertulis 'lajang' di berkas ini, semua ini pasti dibuat sebelum mereka berdua menikah.
Sebenarnya, tak aneh meyelidiki calon pengantin yang tiba-tiba harus dinikahi. Tapi, Yaya sendiri waktu itu hanya diberikan foto dan nama. Sementara, Boboiboy sudah mencari detail keseluruhan dirinya sampai seperti ini.
Tak heran, Gempa bisa tahu bagaimana pendapatan restorannya, atau bagaimana Yaya bekerja di sana sampai jam berapa.
Yaya tidak merasa marah, hanya merasa agak aneh. Melihat dari map ini masih di atas meja, berarti suaminya masih menggunakan berkas ini untuk mempelajari Yaya sendiri. Kenapa malah lewat berkas? Lebih baik kan bertanya langsung agar mereka berdua bisa mengenali satu sama lain dengan lebih baik.
Yaya mendengkus dan memutuskan untuk menyita berkas ini dan menaruhnya di kamarnya sendiri.
IoI
Pertengahan hari, setelah Yaya mencoba masak makan siang untuk diri sendiri (nasi goreng, tapi agak gosong), handphone-nya berbunyi.
Ia melihat nama suaminya tertera di layar dan segera mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, ada apa?" tanya Yaya, sedikit heran. Sekarang jam satu siang, seharusnya suaminya masih sibuk bekerja, apalagi kemarin ia baru saja bolos kerja untuk menemaninya seharian.
"Kamu bsia turun ke bawah dari apartemen sekarang?" tanya suaminya. Yaya kurang bisa mengenali siapa yang sedang bicara padanya. Taufan? Gempa? Halilintar? Meski tampaknya bukan Api ataupun Air.
"Iya, bisa...," jawab Yaya ragu, ia memandang ke luar jendela dimana langit begitu mendung, tampaknya akan hujan.
"Ya udah, kamu cepet turun ya, aku tunggu."
Dan telepon di putus. Yaya sedikit bertanya-tanya, itu artinya suaminya ada di lantai satu apartemennya sekarang?
Sang istri segera merapikan diri, tidak yakin harus memakai baju seperti apa karena tak tahu apa yang suaminya akan lakukan, namun Yaya bergegas turun ke lantai satu menggunakan lift.
Sampai di bawah, ia melihat mobil yang sangat familier terparkir tak jauh dari pintu depan.
"Boboiboy?" tanya Yaya menghampiri mobil itu.
Kaca mobil di turunkan dan suaminya tersenyum padanya. "Ayo naik."
"Kita mau kemana?" tanya Yaya sambil membuka pintu mobil. Ia tidak mengenakan pakaian yang pantas untuk berpergian, tapi tampaknya suaminya tidak memusingkan hal itu.
"Hm ... nanti kamu juga tahu," jawabnya sedikit ambigu. Yaya mendesah dan menurut.
Untuk kali ini, ia memandang suaminya lekat-lekat, kesulitan menebak siapa yang sedang mengambil alih sekarang.
Wajah suaminya yang lurus menatap jalan dan mengemudi dengan serius, entah kenapa mengingatkan Yaya saat pertama kali mereka baru menikah dan mengendarai mobil ke apartemen mereka.
"Gempa?"
Suaminya tercekat dan tertawa kecil. "Ampun, masa' nggak bisa ngenalin aku?"
"Oh, Taufan. Jarang aku lihat kamu serius gitu," kilah Yaya merasa agak malu karena salah tebak.
Ya, sejak pagi Taufan terlihat agak aneh. Dan siang ini pun masih sama. Wajahnya yang serius agak ganjil dan entah kenapa ia terlihat muram.
"Yah, aku juga bisa serius kali. Gini-gini aku juga ikut kerja, nggak Gempa doang yang bisa serius," jelas Taufan dengan senyum tipis.
"Iya maaf," tandas Yaya, Taufan tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya.
Hujan mulai turun membasahi kaca mobil. Semakin lama semakin besar membuat Yaya agak khawatir. Untung jemuran sudah diangkat.
"Tenang aja, di mobil ada payung," celetuk Taufan membuat Yaya sedikit tenang.
"Kukira kamu lagi kerja," kata Yaya, menatap jalan dengan bingung, mencoba menebak kemana Taufan akan membawanya pergi.
"Iya, aku ada urusan tadi, sekalian jemput kamu...," jelas Taufan yang sama sekali tidak menjelaskan apapun.
Yaya melihat sebuah daerah pemakaman luas. Ia mengenali pemakaman ini, pemakaman yang bagus, rapi dan terkenal karena biasanya artis-artis biasanya dimakamkan ke sini. Mobil akhirnya berhenti, Yaya menatap Taufan yang mematikan mesin mobil kemudian mencari payung di bangku belakang.
"Cuma ada satu," kata Taufan, menarik sebuah payung besar berwarna hitam. Yaya juga baru sadar, hari ini, Taufan mengenakan setelan jas serba hitam mulai dari jas, celana, dasi hingga sepatu, hanya kemejanya saja berwarna putih.
Entah kenapa, seperti mata-mata, atau ... seperti orang yang akan ziarah. Atau karena mereka sedang akan ziarah sekarang.
Taufan turun dari mobil, kemudian mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Yaya sambil memayunginya.
"Harusnya kamu bilang kita mau ke sini, bajuku...," Yaya mengeluh, ia hanya menggunakan setelan one piece berwarna putih dan pink. Sedikit terlalu ceria untuk ziarah.
"Nggak apa-apa, lagian lagi hujan badai gini juga, nggak bakal ada yang ngeh," kata Taufan menyugingkan senyuman kecil. Yaya baru sadar kalau suaminya memegang sebuah keranjang berisi kelopak bunga. Kapan ia mengambilnya, Yaya tidak sadar.
Mereka berdua berjalan memasuki area pemakaman, tangan Yaya bergelayut di salah satu lengan Taufan, sebagian karena payung mereka tidak terlalu besar jadi ia harus merapatkan diri, dan sebagian lagi suasana pemakaman yang muram ditambah hujan badai sama sekali bukan pemandangan yang indah.
Mereka melewati nisan demi nisan. Sebenarnya, pemakaman ini sangat apik terawat. Setiap kuburan tertutup rumput yang rapi dan tampaknya rutin dipotong. Area pemakaman pun bersih. Hanya saja, tetap terasa sepi dan suram.
Yaya merasakan Taufan berhenti berjalan dan melihat sebuah nisan yang dipandang oleh suaminya.
"Ini ..," gumam Yaya.
"Ya, Tok Aba. Sebenarnya sejak lama, aku mau membawamu ke sini. Tapi, banyak hal terjadi ... yah ..," Taufan mengangkat bahunya, kemudian mengambil satu tangan Yaya untuk menggenggam payung mereka.
"Maaf ya Tok, aku baru datang sekarang," kata Taufan pada nisan di depan mereka. Ia berjongkok dan menebar bunga di kuburan. Yaya sebenarnya ingin ikut menebar, tapi salah satu dari mereka harus memegangi payung.
Ia melihat Taufan berdoa sebentar, Yaya pun ikut berdoa. Ia sedih tidak mengenal Atok Boboiboy ini, seseorang yang berperan besar menjadikan Boboiboy seperti sekarang.
"Nah, Atok. Ini, Yaya, yang Atok jodohkan denganku," kata Taufan lagi, bicara pada Atoknya seperti Atoknya bisa mendengarnya. Yaya merasa canggung, namun ia tahu ia kadang melakukan hal yang sama saat ayahnya baru meninggal dulu. Tapi, kebiasaan itu sudah berhenti saat akhirnya sang gadis bisa menerima kematian ayahnya.
Yaya memutuskan untuk mengikuti permainan Taufan. "Salam kenal, Atok."
Taufan terlihat sangat berbeda, sangat lain dari biasanya. Seluruh tubuhnya tampak tegang, wajahnya tampak begitu serius dan berusaha menahan emosi yang meluap. Yaya merasa sedih, namun tidak tahu harus bagaimana untuk menenangkan suaminya.
Tapi, Taufan tersenyum padanya, meski senyumannya sendu. "Terima kasih sudah menjodohkannya padaku Tok, dia ... luar biasa."
Wajah Yaya memerah sedikit. Tidak terbiasa dipuji terang-terangan di depan wajahnya. Namun, wajah Taufan yang terlihat muram dengan cepat menghapus rasa malunya. Yaya membelai pundak Taufan, ingin menenangkan suaminya yang masih tampak kalut.
Taufan bangkit dan mendesah pelan. Ia kemudian tersenyum pada Yaya dan mengambil payungnya lagi.
"Lain kali, aku akan cerita lebih banyak, Tok. Sampai nanti," katanya.
Yaya menoleh pada nisan dengan nama Atok Boboiboy tersebut, kemudian merasakan bagaimana satu lengan Taufan melingkar di pinggangnya, kemudian mereka berjalan bersama keluar area pemakaman.
Mereka kembali ke dalam mobil, untuk kali ini, Yaya bisa melihat Taufan tampak begitu serius dan juga muram. Yaya menggenggam salah satu lengannya dan suaminya itu tersenyum.
"Biasanya aku bisa bicara berjam-jam di depan nisan, tapi susah karena lagi hujan gini," candanya getir. Yaya menggelengkan kepalanya, ia meraih dan memeluk Taufan, meski agak susah karena mereka sudah ada di dalam mobil.
Taufan memeluk Yaya balik.
"Ini peringatan hari kematian Tok Aba?" tanya Yaya, merasa mengerti kenapa hari ini Taufan tampak aneh.
"Oh, nggak kok."
"Eh?"
Yaya mengerapkan mata dengan bingung. Taufan tertawa kecil melihat wajah bingung istrinya.
"Kita semua rutin ziarah ke makam Tok Aba, yah kecuali Air soalnya baru akhir-akhir ini dia mau keluar, juga Api yang ... yah ... dia sama sekali nggak mau ke sini. Cuma, karena ada kamu, akhir-akhir ini kita jarang ke sini."
Yaya mengangguk mengerti. Meski sudah lama Tok Aba meninggal, tampaknya bagi suaminya masih sulit melepas kepergian Atoknya itu. Mungkin, karena sebelum menikah dengan Yaya, ia selalu sendirian.
Taufan menyalakan mesin mobil, namun hanya membiarkan wiper menyala membasuh air hujan dari kaca mobil sementara matanya memandang lirih ke depan, entah memandang apa.
"Aku baru ke psikiater lagi tadi."
Yaya terkejut dan menoleh pada Taufan dengan cepat.
"Lalu kupikir, aku harus memperbaiki mood gitu. Kalau dulu, aku pasti selalu ke sini habis dari psikiater. Jadi, kenapa nggak sekalian ajak kamu, gitu."
"Kenapa tadi kamu nggak bilang?" tanya Yaya, ternyata itu alasannya Taufan terlihat aneh pagi ini.
"Aku nggak mau bikin kamu khawatir. Lagian, seperti yang kubilang, itu sebenarnya udah biasa ...," jawab Taufan lirih.
Yaya menggenggam tangan Taufan kemudian menatap mata suaminya lekat-lekat. Kembaran yang Yaya kenal jahil dan mesum ini, menolak tatapannya setelah beberapa detik.
"Aku terpaksa Yaya, Bunda yang minta. Apalagi kemarin aku bolos kerja," jelas Taufan, menggenggam balik tangan Yaya.
Yaya terkejut dan menatap Taufan lekat-lekat sementara tampaknya suaminya begitu tertarik dengan setir mobil dan menghindari tatapan matanya.
"Kalau gitu kenapa kamu bolos?" tanya Yaya, ia bingung bagaimana orang tua suaminya menggunakan psikiater jadi semacam hukuman untuk Boboiboy.
"Yah ... aku nggak takut dengan psikiater, cuma agak nggak suka aja sih," jawab Taufan. Namun, wajahnya yang muram dan tidak ceria seperti biasanya adalah bukti bahwa psikiater adalah sesuatu.
"Memang ... psikiater itu ngapain aja?" tanya Yaya, sebenarnya ia sudah penasaran dengan hal itu sejak pertama Gempa pulang dari psikiater dan terkena sakit kepala.
Taufan tersenyum dan tertawa getir. "Nggak ngapa-ngapain, biasa. Kamu suka liat di film gitu kan? Cuma ditanya-tanya aja."
Yaya menggeleng, pasti lebih dari itu, ia membelai pundak Taufan dan akhirnya suaminya itu mau menatap matanya.
"Cuma aku atau Gempa yang bisa menghadapi psikiater. Halilintar ... cuma tahan beberapa menit sebelum meledak, Api dan Air sih jangan ditanya," dengus Taufan.
Yaya terus membelai pundak hingga lengan Taufan, ia ingin tahu, ingin untuk kali ini, suaminya mau membuka hatinya dan mengatakan apa yang ia rasakan dengan terus terang.
"Kau tahu? Air udah pernah bilang ... kadang kita nggak yakin, sebenarnya mana yang benar dan mana yang salah. Apa sebenarnya ini semua cuma halusinasi atau kenyataan? Sebenarnya aku itu nyata atau cuma pecahan kepribadian aja? Kalau ke psikiater, kita semua jadi ragu dengan diri sendiri. Nggak tahu harus percaya pada apa ...."
Yaya tertegun mendengarnya. Taufan mendengus dan menatap ke atas, Yaya mengenali itu sebagai usaha agar air mata tidak menetes.
"Katanya, tahap pertama itu, kita harus menerima kalau kita sakit jiwa. Hek, ada penerima nobel yang ternyata menderita skizofrenia. Jadi ... yah..."
Tangan Taufan yang lain menggenggam setir mobil dengan kencang hingga sendinya terlihat memutih.
"Tapi, kamu nggak sakit, aku yakin," sela Yaya. Ia tidak merasakan ada keanehan dengan suaminya, kecuali bagian mereka suka bertukar kendali.
"Nggak, nggak ada yang bisa menjamin itu Yaya. Aku- kita semua aneh. Kita semua juga sebenarnya pengen hidup normal. Tapi itu artinya hanya satu dari kita yang bertahan dan yang lain menghilang. Dan, selama ini semua pengobatan nggak ada yang berhasil. Toh, tetap saja kami semua hidup berlima tapi ...,"
Nada bicara Taufan terdengar sangat kalut, naik turun, kadang keras kadang pelan, kadang ia terlihat kesal namun kadang terlihat sedih. Yaya mendengarkannya dengan sabar.
"Aku sebenarnya pengen berhenti. Kita semua pengen berhenti. Efek samping obatnya, terapi dengan psikiater, pengobatan tradisional yang bikin sakit, kita semua sebenarnya pengen berhenti."
Yaya menggangguk mengerti. Ada kalanya pengobatan itu menjenuhkan, apalagi untuk orang yang tidak merasa dirinya sakit.
"Kalau nggak ada kamu ... aku ... aku ...," Yaya memandang Taufan dengan lurus, matanya yang berkaca-kaca dan tampak putus asa. Membuat Yaya merasa pilu, apa dirinya selama ini yang tak bisa melihat kesedihan dan keputusasaan yang terpendam dalam diri suaminya selama ini?
Taufan menarik dagu Yaya dan mencium bibirnya, Yaya bisa merasakan salah satu tangan suaminya yang memegang wajahnya bergetar. Yaya berusaha mencium Taufan dengan lembut, seakan berusaha mengatakan 'aku ada di sini' tanpa kata-kata.
Saat akhirnya Taufan mundur dan tersenyum padanya, ia melihat salah satu matanya sudah meneteskan air mata.
"Hek, aku dulu waktu kecil selalu bermimpi bakal jadi pangeran yang menyelamatkan seorang putri, tapi daripada jadi pangeran yang keren ... justru aku jadi si buruk rupa yang diselamatkan oleh si cantik," candanya dengan senyum pahit.
Yaya menggelengkan kepalanya dan mencium pipi Taufan.
"Aku nggak peduli, keadaanmu seperti apa. Apakah kamu sakit, apakah kamu aneh, apakah kamu si buruk rupa? Aku ada di sini," kata Yaya, membelai pipi Taufan dengan lembut.
Taufan tersenyum padanya, kini lebih lembut dan tulus.
"Kamu bikin kita semua berubah ... sampai agak bikin frustasi," gumam Taufan pelan.
"Eh? Apa?"
"Yosh, sudah cukup melodramanya. Kita cari makan yuk," Taufan dengan cepat mengganti mood dan pembicaraan. Yaya agak terkejut namun hanya menggelengkan kepalanya dengan maklum. Ia sudah cukup puas melihat Taufan mau membuka dirinya meski belum sepenuhnya, masih berusaha menyembunyikan sebagian rasa sedihnya dari Yaya. Sang istri tidak akan menuntut lebih, apa boleh buat? Suaminya sudah terlalu lama seorang diri dan pastinya masih kesulitan berhadapan dengan orang lain.
Mereka akan mengenali satu sama lain perlahan-lahan. Masih banyak waktu, sebulan menikah juga belum ... Yaya akan menjalani ini setahap demi setahap.
Sang istri baru sadar kalau cuaca sudah cerah, hujan sudah berhenti, awan kelabu sudah bergeser menampakkan mentari yang bersinar cerah.
"Ah, aku tahu sebuah cafe yang punya cupcake enak banget. Kamu pasti suka di sana."
Yaya mendesah pelan dan tersenyum mendengarkan celotehan Taufan, yang mungkin salah satu usaha untuk mengusir rasa muramnya.
"Kamu tahu?"
Taufan menoleh pada Yaya dengan bingung. "Ya?"
"Kita nggak pernah foto bareng."
Taufan memandang ke jalan kemudian mengangguk saat sadar itu benar. "Iya sih."
"Dan foto pernikahan kita..."
"Jelek ya?" Taufan tertawa kecil dengan getir.
"Kalau gitu? Apa kita ke studio foto sekarang? Bikin foto- post-wedding?" tanya Taufan. Yaya berusaha menahan tawa.
"Lain kali aja, aku cuma pengen ngingetin ...," kata Yaya. Taufan mengangguk sambil tersenyum.
"Kita juga belum gelar resepsi pernikahan lho ... asal kamu tahu."
Wajah Yaya memerah. Masih banyak orang yang belum tahu kalau mereka sudah menikah. Bukan rahasia sebenarnya, tapi Yaya masih agak malu mengaku sudah menikah mendadak dengan seorang pengusaha kaya generasi ketiga dari Aba Corporation.
"Dan kita juga harus konsultasi rencana kehamilan ke dokter kandungan, jadi kamu mau punya anak berapa? Aku mau lima."
Wajah Yaya berubah menjadi seperti kepiting rebus.
"TAUFAAAAN!"
"Eh! Yaya! Aku lagi nyetir nih! Aduh! Aduh! Iya, maaf!"
Dan saat seorang polisi menghentikan mobil mereka, karena mobil mereka tampak oleng selama beberapa saat. Polisi tersebut hanya bisa mendelik, awalnya curiga kalau penngendaranya sedang mabuk, tapi begitu melihat pemuda memberikan seringai lebar sambil menyerahkan berkas-berkas kendaraan, sementara gadis di sampingnya tampak sangat malu dan menolak bicara.
"Makanya Mas, lain kali kalau bertengkar suami-istri jangan sambil nyetir," tegur sang polisi. Untuk kali ini tidak memberi tilang, hanya peringatan.
Taufan hanya tertawa dan Yaya menutupi wajahnya seakan ia malu sudah menjadi tersangka utama dalam sebuah kasus kriminal.
TBC
---------------
Taufan kubuat agak sendu. Hehehe... entah jadinya gimana, aku buat fanfic-nya ini rada buru-buru semoga masih bisa dinikmati.
Ada yang nanya, inti fanfic ini apa sih sebenernya? Eh buset, bukannya dari judul juga jelas ya? *nunjuk judul
Love The Way You Are. Mencintaimu apa adanya. Tujuanku nulis fanfic ini adalah memperlihatkan bagaimana seorang istri berusaha mencintai suaminya yang punya kebutuhan khusus apa adanya. Yah, ngaku lah, orang tuh sering banget nuntut seseorang buat berubah. Padahal, nama cinta seharusnya nggak menuntut. Seseorang itu pasti ada bagus dan jeleknya, sebelum menuntut dia buat berubah, coba ngaca dulu diri sendiri kayak apa. Jangan menuntut seseorang berubah sementara kitanya sendiri nggak merubah kebiasaan jelek kita.
Intinya, kalau mau mencintai seseorang, jangan cuma ngeliat dari sisi bagusnya aja. Terima juga sisi jeleknya, sambil berjalan waktu mungkin bisa diubah pelan-pelan, kalau nggak ya, kekurangan itu bisa ditutup dengan kelebihan kita. Gitu 'kan?
Dan iya sih, berasa baca cerita anak remaja yang lagi pacaran? Bukannya apa-apa, aku bukannya nggak bisa nulis cerita suami-istri dengan kesan dewasa gitu, cuma nggak bakalan cocok dengan mayoritas pembaca. Lagipula, namanya pernikahan itu nggak selalu terkesan dewasa, pas awal, kesannya masih kayak pacaran. Beda kalau udah punya anak
Terus, nantinya fanfic ini gimana ending-nya? Yah ikutin aja terus, kalau memang situ berkenan. Nanti bakalan ada konflik lagi, tenang aja.
Ya, silakan me-review bagi yang berkenan.
REVIEW!
PS. Chapter depan soal Air.
Adios~
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Bagaimana kisah masa lalu para kembaran? Dalam bayanganmu akan seperti apa?
2. Bisakah kamu seperti Taufan yang menutupi kesedihannya?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 9 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro