Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9


"Tumben makan di sini, biasanya makan di dalem sana, kadang sesekali aku lihat Pak Bos masuk ke ruanganmu sambil bawa makanan kayaknya."

Ayu duduk di sebelah Sita yang baru saja selesai makan siang di kantin rumah sakit.

"Cuman dua kali, itupun karena ada perlu, nanya teman lama, aku sudah bilang ke dia agar jangan sering-sering menemui aku, nanti ada omongan yang nggak bener lagi."

"Beneran?"

"Apa aku harus merekam pembicaraan kami lalu ngasih ke kamu biar percaya?" Suara Sita masih terdengar datar tapi oleh Ayu ditanggapi dengan kesal.

"Ih kok sewot? Kayak bawaan bayi aja jadi sensi."

Sita menoleh, menatap wajah Ayu yang memang ayu, sayang mulut dan tutur katanya tidak secantik wajahnya.

"Aku nggak mau musuhan atau jadi nggak suka sama kamu, tapi tolong, cara ngomong kamu yang perlu kamu betulkan, perlu belajar bicara lebih sopan dan santun."

Sita bangkit meninggalkan Ayu yang terlihat merah padam menahan marah.

"Heh sok, mentang-mentang disayang Pak Bos."

Dan Sita bergegas menuju ruangannya, kembali ke poli saraf, berusaha meredakan emosinya dan seketika dadanya berdetak keras ingat ucapan Ayu yang mengatakan bawaan bayi, ia ingat jika bulan ini ia belum juga datang bulan, tapi Sita berusaha menghilangkan rasa khawatirnya karena memang biasa ia tidak teratur mentruasi tiap bulan, jadi tidak ada yang perlu ia khawatirkan, dan dengan segera ia tersenyum saat perawat yang membantunya di poli saraf mengatakan masih ada dua pasien lagi.

.
.
.

Seminggu berlalu ...

"Kamu sakit Sita?"

Sita menggeleng pelan saat Raka melihatnya makan malam dengan enggan.

"Sudah dua hari ini kayaknya sakit Sita Mas, pucat dan ..." Belum selesai Hana berbicara Raka segera menyambung ucapan istrinya.

"Kamu ini dokter harusnya tahu dan bisa ngukur kekuatan tubuh kamu, beberapa hari ini aku lihat kamu ada di tim operasi korban kecelakaan dengan durasi jam panjang kayak gitu, lihat aja wajah kamu jadi pucat, tapi kamu kayaknya pucatnya beda deh, coba besok cek lab saja biar jelas."

Wajah Sita terlihat gugup.

"Nggak Kak, nggak usah sampek ke lab Kak, nanti juga sembuh."

Raka menggeleng dengan keras.

"Mama Minggu depan akan berkumpul dengan kita jadi jangan sakitlah biar mama bahagia lihat kita baik-baik saja, dan tahu nggak, itu si Beni nelepon aku, dia sudah proses cerai katanya, ya aku bilang tetap jangan ke sini, berabe nanti dikira kamu lagi biang keroknya dia nyeraikan istrinya, terus terang kalo Beni aku masih respec tapi kalo Didit, nggak lah, dia orang yang nggak akan bisa hidup di mana saja, kurang tata Krama dia, amit-amit deh punya ipar kayak dia, mending Pak Herdi, sabar, baik, iya kan Sita? Ok juga kalo dia jadi suami kamu."

Dan Sita tersedak seketika.

"Assalamualaikum ..."

"Wa Alaikum salam."

Ketinganya menoleh ke arah pintu meski sedikit terhalang sketsel dari anyaman rotan, Raka bangkit lalu melangkah ke arah pintu, ia tersenyum lebar saat tahu siapa yang datang.

"Wah Pak Herdi, sebuah penghormatan datang ke gubuk kami, mari Pak, ada perlu sama ...?"

"Sita, Pak, dia ada?"

.
.
.

Herdi hanya bisa menggeleng pelan saat Sita mau tak mau menceritakan kegundahannya, ia tak tahu harus pada siapa lagi, ia tak mau memberi beban pada kakaknya yang akan dianggap tak becus menjaga dirinya.

"Kau harus jujur pada kakakmu, Sita."

"Tidak, aku tak mau dia jadi sedih, gundah dan marah, ia akan membunuh laki-laki itu, karena sejak awal ..."

"Tidak akan sampai sejauh itu."

"Lagu pula, aku sudah tidak ada minat pada laki-laki itu, aku masih mencintainya, tapi tidak untuk berumah tangga dengannya, lagi pula dia sudah punya pengganti."

Herdi yang masih menggenggam tangan Sita merasakan tangan itu bergetar menahan emosi.

"Kau tahu dari siapa?"

"Status teman tempat kerja aku dulu, dia sudah ... bertunangan, nggak mungkin kan tiba-tiba aku ke sana dan ..."

"Yah aku ngerti."

"Aku yakin kamu punya pikiran aku wanita yang tak bisa menjaga diri, rusak dan lain-lain, aku terima semua penilaian kamu Her."

"Aku cukup mengenal kamu Sita, dengan Dika yang pacaran hingga bertunangan cukup lama, kamu tak tersentuh kata Dika, mungkin kamu benar-benar jatuh cinta sama laki-laki itu hingga yah semua bisa saja terjadi, aku tidak mau menghujat kamu, aku tidak bisa menilai kamu dengan pandanganku karena aku tidak ada diposisi kamu."

Sita menarik tangannya dari genggaman Herdi.

"Kita pulang Her, ini cafe sudah sepi tinggal kita aja, sudah malam ini."

"Ayo, aku antar kamu pulang."

Keduanya melangkah bersama menuju mobil Herdi yang terparkir di samping cafe. Saat keduanya telah duduk di dalam mobil tiba-tiba saja Sita menangis. Herdi lagi-lagi berusaha menenangkan Sita, ia raih lagi tangan Sita yang basah karena keringat dingin.

"Tenangkan diri kamu Sita, jangan berpikir yang nggak-nggak, jangan sampai merugikan kamu dan jiwa yang sedang kamu peluk."

Sita hanya mengangguk lalu mengusap air matanya, Herdi meraih tisu yang ada di dashboard dan ia berikan pada Sita.

"Nggak Her, aku terima semua resiko, aku akan pergi jauh, aku nggak mau kakakku menanggung malu, apalagi mama akan datang besok, kasihan."

"Lalu kamu akan pergi ke mana?"

"Aku nggak tahu, tapi aku punya sahabat di Surabaya, mungkin aku akan ke sana, aku punya uang cukup in shaa Allah sampai semua masalahku selesai baru aku akan muncul lagi."

Herdi menggeleng dengan keras.

"Jangan pergi Sita, aku terlalu lama nunggu kamu dan berharap bertemu kamu lagi, dan saat bertemu kamu mau ngilang lagi, nggak, aku nggak mau kamu pergi."

"Terpaksa Her, aku nggak mau semuanya jadi malu karena aku, aku yang berbuat dan aku yang harus bertanggung jawab."

"Nggak, kamu nggak boleh pergi."

"Kamu mau aku dicaci maki banyak orang?"

"Aku akan bertanggung jawab pada apa yang sedang kamu alami Sita, nggak usah kamu hubungi laki-laki itu!"

"Her, kamu sadar nggak?"

"Sadar, sangat sadar."

Sita menatap tak mengerti laki-laki yang duduk di sampingnya dan masih menggenggam tangannya.

"Kamu bisa dapat wanita baik-baik, jangan aku yang sudah ..."

"Kamu wanita baik yang terjebak di situasi yang tidak tepat."

"Nggak Her, nggak! Aku akan merasa bersalah sama kamu sepanjang hidup aku."

"Aku ikhlas menerima kamu apa adanya, nggak akan ngungkit apapun sepanjang hidup kita, aku berjanji Sita."

"Aku belum ada rasa apapun sama kamu."

"Aku akan membuat kamu jatuh cinta padaku."

"Her, kamu laki-laki baik, terlalu baik untuk aku, aku akan terus merasa bersalah sepanjang hidup aku."

"Aku akan membuat kamu lupa pada rasa sakit kamu."

"Her, nggak Her, jangan."

Herdi meraih kepala Sita dan menciumi keningnya sekilas.

"Meski cara bersatu kita dengan jalan seperti ini, aku yakin ini sudah takdirNya."

Dan kepala Sita menjadi berat lalu gelap melingkupinya, teriakan panik Herdi pun tidak sempat Sita dengar.

💞💞💞

22 Mei 2022 (05.50)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro