1
"Masih bingung dan galau aja kamu?"
Sita melihat wajah Didit yang terus-menerus kalut.
"Gimana nggak galau kalau wanita yang aku cinta sakit dan sakitnya pasti karena suaminya yang kayak kulkas, dingin nggak ketulungan, manusia apa bukan dia, coba pak Lik dan Bu lik sabar nunggu aku sampai selesai lah malah dinikahkan sama laki-laki tak tahu diuntung kayak gitu."
Sita menatap laki-laki yang ada di depannya, laki-laki yang sejak awal hadir di rumah sakit swasta ini mampu menggetarkan relung hatinya yang paling dalam, matanya yang indah, selalu membuat Dita gugup jika dipandang terlalu lama.
Sita tak bisa mengelak jika ia mencintai Didit, cinta yang ia tahu bertepuk sebelah tangan, tapi tak apa Sita yakin lambat-laun Didit akan mampu merasakan apa yang ia rasa. Hanya sampai saat ini perasaan yang sama tak kunjung Didit rasakan.
"Heh malah lihat aku terus kamu, ada apa di wajahku Sita."
"Nggak papa hanya nggak habis pikir aja, kok bisa kamu masih cinta sama wanita yang jelas-jelas sudah punya suami, apa pun itu kamu nggak boleh ikut campur urusan mereka kamu akan jadi salah, mereka sah secara agama dan negara, kalo mereka ada masalah ya urusan mereka sendiri to?"
Didit terlihat murung.
"Kamu nggak tahu rasanya orang yang kita cintai, yang kita jaga sejak lama, menunggu saat-saat halal e malah diambil orang, kan namanya aku nungguin jodoh orang."
Sita tertawa mengejek.
"Kamu nungguin jodoh orang, aku loh nungguin jodoh sahabat, orang yang kita percaya sejak SMA sering ke luar bertiga sama aku dan tunangan aku ternyata main belakang dan saat aku tahu hubungan mereka ternyata telah terjalin sejak lama, alasan tunangan aku karena terlalu lama nunggu aku menyelesaikan kuliah, dan tanpa bersalah sahabat aku bilang, ini takdir tak ada rencana dia rebut Angga dariku, dan selesai, bukan cuman kamu yang sakit, aku lebih dari itu dan mereka telah menikah, aku harus bilang apa? Ya sudah ini bagian dari jalan hidup aku yang harus aku terima, sakit? Nangis? Pasti bohong kalo aku nggak sakit dan terpuruk karena mereka tapi hidup harus terus berjalan kan? Eh setahun kemudian Angga memuin aku sudah cerai dari Ferika karena ternyata yang dikandungan Ferika anak laki-laki lain, dan Angga minta balikan sama aku, ah nggaklah selesai sudah, nah lebih berat mana jalan hidup kamu sama aku?"
Didit hanya menghela napas berat, ia tak tahu lagi bagaimana cara melupakan Nisa.
.
.
.
Didit baru saja masuk ke ruangannya dan pandangannya terpaku pada bungkusan yang ada di mejanya, ia lihat ada roti dan minuman dalam hati ia yakin pasti dari Sita, wanita yang sejak awal ia bekerja telah menjadi teman baiknya, teman curhat yang asik tanpa harus ada ikatan rasa apapun. Ia ambil bungkusan itu dan ia letakkan di tempat yang agak tersembunyi karena ia sedang tak ingin makan apapun.
Lalu pikirannya kembali pada Nisa dan kegeramannya pada laki-laki yang mengaku sebagai suaminya tapi seolah tak peduli pada kondisi istrinya.
"Itu bukan urusanmu!"
Kembali terngiang ucapan Sita, harus ia akui itu benar tapi hatinya terasa masih sulit ia belokkan pada wanita lain. Dan tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya terbuka dan muncul Sita.
"Udah kamu makan roti yang aku letakkan di meja?"
Didit menggeleng, ia hanya menyandarkan badannya ke sandaran kursi dengan wajah kesal. Sita duduk tepat di depannya, di seberang meja.
"Ada apa lagi? Wanita itu lagi?"
"Yah aku nggak tahu caranya agar bisa melupakan dia."
Terdengar desah pelan Sita.
"Semua tergantung kamu, ada niat untuk melupakan dia apa nggak, jangan siksa hidup kamu dengan terus mengingat istri orang, ingat loh di sudah terikat pernikahan sah, apa nggak malu kamu dianggap pebinor?"
"Aku nggak peduli, aku bahkan yakin dia dan suaminya sama-sama nggak punya perasaan apa-apa jadi aku punya kesempatan buat merebut dia lagi, masih ada cara untuk membuat mereka bercerai."
"Astaghfirullah Dit, sampe gitu pikiran kamu?"
"Nggak salah kan aku berharap?"
"Ya nggak salah kamu berharap, semua orang boleh berharap, yang salah karena kamu mengharap istri orang bercerai dari suaminya, lama-lama kamu beneran gak waras!"
.
.
.
Didit masih duduk sendiri di ruang kerjanya, meski sebenarnya semua tugasnya sudah selesai, dokter jaga malam ini juga sudah datang, tapi ia belum juga beranjak, masih termangu dan pikirannya masih saja tertuju pada Nisa, wanita yang ia cintai sejak lama, yang akan ia halalkan jika saatnya tiba, saat ia sudah menyelesaikan pendidikannya dan punya pekerjaan tetap, tapi niat sucinya kini terganjal sudah, saat wanita yang ia cintai telah menikah karena menggantikan posisi kakaknya yang telah meninggal. Turun ranjang begitu orang-orang menyebutnya. Dan kini ia tak tahu harus bagaimana, merebut dengan cara apa? Ia masih belum punya cara.
"Woi pulang, wooooi, ngelamun aja!"
Tiba-tiba Frans sudah berdiri di depan pintu ruang kerjanya.
"Iya bentar lagi." Didit meraih tas kecilnya, ia masukkan ponsel dan beberapa barang yang lain lalu ia selempangkan tasnya. Berdiri dan melangkah menuju pintu, lalu berjalan bersama Frans menuju area parkir.
"Kamu kok nggak bareng Sita pulangnya? Biasanya kalian bareng?"
Didit hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Frans.
"Sita tadi kayak suntuk aja waktu pulang, aku tanya gak nanggapi."
"Apa salah jika aku berharap jadian sama seseorang Frans."
"Ya nggak salah, wajar aja, sama Sita kan kamu berharap jadiannya?"
"Bukaaan."
Dan Frans menoleh menatap wajah Didit yang terus menatap ke depan, sambil terus melangkah.
"Laaaah ini masalah, aku pikir kamu berharap jadian sama Sita."
"Ck, nggaklah."
"Kalian kan Deket banget."
"Yah hanya sebagai teman, Frans."
"Oh, aku pikir ...."
"Nggaaaak, nggak ada apa-apa diantara kami, aku hanya fokus sama wanita yang aku cintai, nggak ke yang lain."
"Tapi Sita ..."
"Dia tahu kalo aku mencintai wanita lain, wanita yang sejak dulu aku inginkan."
"Dan wanita itu juga suka sama kamu?"
"Nggak tahu, dia sudah punya suami."
"Laaaah ...."
.
.
.
Sita menghapus air matanya, ia berusaha memejamkan mata, tapi lagi-lagi wajah Didit terus bermain di pelupuk matanya. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menyadarkan Didit agar mengerti jika wanita itu sudah punya keluarga, satu hal lagi ia ingin agar Didit sadar jika dirinya yang ada di dekatnya selama ini menaruh hati pada laki-laki yang tak juga sadar bahwa cinta pada wanita itu akan bertepuk sebelah tangan.
"Aku mencintaimu, Dit, kamu nggak juga sadar, dari semua perhatian aku selama ini, dari semua sinyal yang aku kirimkan, apa aku harus bilang duluan atau bagaimana? Entahlah."
Dan ponsel Sita berbunyi nyaring, sambil menghapus air matanya ia raih ponselnya yang berada di dekatnya, ia lihat ada nama Didit di sana.
"Ya, ada apa?"
"Kok pulang duluan?"
"Mau nunggu kamu yang terus melamun? Melamun ngga jelas lagi."
"Tunggu aku kan nggak akan bikin kamu sakit, mobil kamu di bengkel, pulang sama siapa tadi?"
"Beni."
"Heh! Bencong gitu mau deketin kamu dan kamunya mau?"
"Yang jelas dia normal dan nggak selalu galau gak jelas kayak kamu!"
🌸🌸🌸🌸
7 Mei 2022 (07.07)
Mohon maaf lahir dan batin untuk semua reader 🙏 semoga kita masih dipertemukan lagi dengan Ramadhan dan idul Fitri tahun depan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro