Take 20 - Sweet Temptation
Agni adalah siksaan yang sengaja Raki cari. Terdengar sedikit berlebihan, tapi tidak bagi lelaki itu. Masih segar di ingatannya bagaimana pertemuan pertama mereka. Gadis lugu yang tak ia kenal sama sekali, berada di rumahnya dan menyandang status sebagai adik. Setelah bertahun-tahun hanya berdua dengan Reva, ia punya adik baru.
Gadis pendiam, kaku, yang memiliki fitur wajah tegas dengan alis tebal dan rahang tajam yang sayangnya berparas ayu itu berhasil mencuri perhatiannya sejak hari pertama. Tidak banyak interaksi yang ia dan Agni lakukan. Raki secara tegas membangun dinding di antara keduanya, karena ia tahu sekecil apa pun celah yang ada, perasaannya jadi taruhan. Tidak, dia tidak langsung jatuh cinta. Namun, perasaan tertarik yang muncul di hatinya, tak bisa ia sangkal.
Sikap dingin dan tak acuhnya, membuat Agni tak nyaman. Sampai Reva mengomelinya di suatu malam. Rupanya, Agni menceritakan keluh kesahnya pada sang adik. Ia cukup lega, karena kedua gadis itu bisa akur dan menjadi dekat.
"Lo tuh udah gede. Kalau lo segitu nggak sukanya sama Agni, minimal jangan rese," tukas Reva di halaman belakang rumah.
"Gue rese gimana, sih?" Raki memasang tampang polos, pura-pura tidak merasa bersalah.
Reva mendecih. "Lo nggak pernah ajak dia ngobrol kalau kita makan berlima. Lo nggak pernah panggil nama dia. Sampai Agni takut kalau lewat depan lo dan ngomong sama lo." Gadis itu menumpahkan amarahnya dan kemudian melayangkan tatapan tajam pada sang kakak sambil mengacungkan telunjuk ke arah wajah Raki, "lo nggak save nomor Agni! Kurang ajar banget!"
Lelaki itu mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi geli. "Calm down, okay? First of all, gue nggak ada intention buat melakukan itu ke dia. Gue cuma nggak terbiasa aja." Omong kosong tentu saja. "Kedua, gue nggak save nomor Agni karena emang gue nggak merasa butuh. Gue nggak pernah ngehubungi dia dan nggak punya urusan sama dia."
"Nah itu, rese!" Reva bangkit dari kursi lalu mendekati Raki dan menoyor keningnya. "Mau nggak mau, suka nggak suka, Agni udah jadi bagian keluarga Rajata. Lagian, she is nice girl, cuma agak awkward aja."
Raki berusaha untuk tidak menumbuhkan empati dan rasa tertariknya pada gadis yang delapan tahun lebih muda itu. Untuk beberapa saat, ia berhasil. Apalagi ia memang tak lagi tinggal di rumah orang tuanya, yang membuat intensitas bertemu Agni semakin menipis. Kesibukannya bekerja juga cukup membantu. Oh, dan tentu saja teman-teman wanitanya yang tak kalah cantik juga berperan penting. Faktanya, dia memang menyukai wanita cantik.
Namun, untuk menjalin sebuah hubungan dengan komitmen, lain cerita. Sampai akhirnya, hari itu datang. Salah satu hari terburuknya yang membuat ia merinding dan mengepalkan tangan sampai buku-buku jarinya memutih. Masih segar di ingatannya bagaimana wajah Agni yang dipenuhi darah, suara jeritannya yang memekakkan telinga. It was hell.
Senja itu, ketika Raki dan Ghea—well, partner-nya saat itu—ingin menghabiskan malam bersama di apartemennya dengan janji Ghea akan memasakkan makan malam. Namun, karena ada beberapa bahan makanan yang harus dibeli, ia membelokkan mobilnya ke sebuah swalayan midi market, yang dekat dengan komplek hunian mewah milik Ghea.
"Mau dimasakkin apa?"
"Your infamous sup iga."
"Oke, aku udah punya iga sapi di rumah. Tapi, sayur-sayurnya belum." Ghea mengangguk dan membuka pintu mobil dengan Raki membuntuti di belakangnya.
Namun, saat baru menjejakkan kaki ke dalam, ia disambut dengan kerumunan di salah satu meja kasir. Tampak beberapa orang berlari menuju ke bagian rak-rak obat sambil meneriakkan kata "ambulan" "polisi" yang membuat Raki penasaran. Saat dirinya semakin dekat dengan meja kasir yang ramai, ia melongokkan kepalanya untuk coba mengintip, apa yang orang-orang itu kerubuti sambil berjongkok itu.
"J-jangan ke rumah sakit, j-jangan." Suara perempuan tersengal-sengal menelusup ke telinganya. "N-nanti dia ngikutin, a-aku takut."
Kerutan di kening Raki semakin dalam, ketika ia merasa tak asing dengan suara barusan. Ia mencoba menerobos masuk ke dalam kerumunan sambil menundukkan badan. Matanya sontak membelalak sempurna saat menangkap sosok dari celah-celah orang-orang yang berkumpul di sekitar gadis yang terdengar menyedihkan itu.
"Agni?"
Mendengar namanya dipanggil, gadis itu menjengit dan berteriak, membuat orang-orang di sana—para pegawai swalayan—yang mengamankan sang adik melayangkan tatapan tajam padanya.
"Jangan deket-deket lo!" seru seorang lelaki berbadan besar dengan setelan biru muda—seragam cleaning service swalayan ini—membalut tubuh.
Raki mengangkat tangannya penuh kebingungan. "Saya kakaknya. Agni, what happened to you?"
Agni menengadah, mengurai tangannya yang memeluk kedua lutut. Matanya membulat, sebelum isakan kembali mengudara dari bibirnya yang memar. Raki berjongkok, dengan hati-hati ia mengulurkan tangan untuk mengangkat dagu sang adik. Matanya menginspeksi dengan tajam setiap detail luka yang ada pada wajah gadis itu. Sudut bibirnya berdarah. Pipinya berwarna ungu. Rambutnya berantakan, seperti ada seseorang yang sengaja menjambak rambut hitam panjangnya. Pandangan Raki lalu turun ke leher, badan dan lengan Agni. Ia menggeram keras saat menemukan bercak-bercak darah pada blouse kuning yang adiknya kenakan.
"Who did this to you Agni?" Agni menggigit bibir bawahnya kencang, dan menahan isak tangis yang mengganjal di tenggorokan. "Ayo, kita ke rumah sakit. Kita visum, terus pulang. Mami will freak out seeing your condition."
"Mas, a-aku takut."
"I won't let that bastard touch you again, I promise." Raki meyakinkan sembari menggenggam jemari tangan Agni untuk pertama kalinya. Gadis itu menoleh ke arah luar, sebelum akhirnya mengangguk perlahan.
Raki membantu Agni berdiri, lalu merangkul tubuh gadis yang lebih kecil itu dengan protektif. Amarah sudah memenuhi dadanya. Tangannya gatal untuk membalaskan kekejian yang Agni terima. Meremukkan setiap tulang dan persendian yang si berengsek itu gunakan untuk melukai Agni, membuat setiap tarikan napas pelaku yang menyentuh perempuan dalam pelukannya terasa berat dan sesak.
"Ghea, I'am sorry, kamu bisa pulang sendiri dari sini? Aku harus ke rumah sakit," katanya pada perempuan dengan blazer abu-abu yang berdiri di sebelahnya.
"It's okay, I will come with you. Aku bakal nemenin Agni. She is shaking," ujar Ghea tersenyum, merasa prihatin.
Sesuai prediksi, Mami freaks out. Dia kaget setengah mati melihat anak bungsunya pulang ke rumah dengan kondisi babak belur. Emma memeluk Agni, mengusap-usap pipi gadis itu lalu menangis. Janji dan sumpah untuk memenjarakan pelaku yang berani melukai putrinya meluncur dari mulut.
"Mami pokoknya nggak rela anak Mami dijahatin begini!" tukasnya dengan suara bergetar. "Siapa, Ni? Siapa yang jahatin kamu? Cerita ke Mami."
Ketika nama lelaki yang tak pernah Raki dengar meluncur dari mulut Agni, ia bersumpah tidak akan pernah memaafkan iblis itu. Selamanya. Ia juga berjanji akan melakukan segala cara agar sang pelaku membalas kejahatan yang dilakukannya. Dan tanpa lelaki itu sadari, tragedi ini, menjadi titik di mana tembok penghalang yang ia bangun roboh tanpa sisa. Ia tak lagi bisa membohongi hatinya. Perasaan ingin melindungi Agni dari dunia yang tak kenal belas kasih mengakar kuat.
***
"Hari ini aku tidur di sini, jadi besok Agni bisa berangkat kuliah bareng aku aja."
"Baguslah." Mami memekik girang. "Kamu tiap hari tinggal di rumah aja, Mas. Kasihan kamarmu kosong."
Raki mengulas senyum. "Aku bakal sering main kok, Mi. Jangan khawatir."
Sikap keras Raki, terlihat kentara melunak pada Agni. Hal ini tentu jadi kebahagiaan tersendiri bagi kedua orang tuanya dan Reva. Namun, tanpa mereka tahu—bahkan lelaki itu sendiri—ini awal mula dari panjangnya perjalanan yang harus ia dan Agni lalui. Tidak mudah memang mengikis jarak yang sudah tercipta bertahun-tahun. Kecanggungan di antara kakak-adik tersebut pun tidak lenyap dalam satu malam. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, seiring bergantinya hari, keakraban kedua insan itu bukan pemandangan asing lagi di kediaman Rajata.
"Pulang sore kamu hari ini?"
"Iya, ada kerja kelompok di apartemen temen."
Kernyitan langsung memenuhi kening Raki. "Di mana alamatnya?"
"Aku belum tahu sih, Mas. Nanti aku kabarin aja."
"Janji?" Raki memicingkan mata. Setelah kejadian mengerikan yang menimpa Agni, mereka semua—terutama Raki—menjadi super protektif pada anggota termuda Rajata ini. Seorang supir pribadi diperintah khusus untuk mengantar jemput Agni dan harus berada di kampus setengah jam sebelum kelasnya selesai. Agni juga diwajibkan untuk mengabari orang rumah keberadaannya setiap dua jam sekali. Namun, ada beberapa kesempatan Raki akan mengantar atau menjemput sendiri adik kecilnya kuliah.
Agni memutar bola mata. "Iya, janji. Nanti aku kirim alamatnya ke Mas Raki."
"Jangan keluar apartemen, sebelum aku sampai, oke? Dan jangan sampai hapemu kehabisan baterai!"
"Iya. Bawel banget, sih." Agni mencebik, bosan mendengar nasihat yang sama berulang kali.
"Gimana nggak bawel? Kemarin nomormu mati nggak bisa dihubungi!" Lelaki itu berdecak kesal, ingin sekali menggetok kepala sang adik. "Power bank yang kubeliin kemarin, dibawa, kan?"
"Ada di atas. Udah lah, aku ke kelas dulu. Mas Raki nanti telat loh meeting-nya. Katanya ada rapat penting." Agni melepaskan seatbelt-nya, bersiap membuka pintu mobil.
Raki mengulurkan tangan untuk mengacak rambut hitam legam Agni yang terurai indah. "Bisa darah tinggi aku ngadepin kamu." Gadis itu tergelak sebelum meninggalkan mobil dan melambaikan tangan.
Kegiatan mengantar jemput Agni, menjadi rutinitas yang lelaki itu nantikan. Ia senang ketika gadis itu bercerita soal harinya. Ia juga menikmati saat mendebatkan hal kecil yang tak terlalu penting dengannya. Semua hal yang bersangkutan dengan Agni, mendadak menjadi hal menyenangkan, sesederhana apa pun itu. Termasuk, menonton film bersama, meskipun ia sudah menonton lebih dulu karena mendapat undangan pada penayangan premier film itu seminggu lalu.
"Kenapa kamu pengin nonton film ini?"
"Penasaran."
"Cuma penasaran?" Agni mendongak untuk menatap sang kakak lalu mengangguk.
Kini keduanya jalan beriringan untuk mengantri membeli camilan. "Kamu mau apa? Cola? Pop corn?"
"Anything but sweet is okay." Soal camilan, Agni memiliki selera berkebalikan dengan Raki. Gadis itu tidak suka makanan manis. Asupan gula yang ia dapat hanya dari nasi dan buah-buahan.
Mereka berakhir membeli pop corn dua rasa—manis dan asin—serta dua botol air mineral. Mereka berdua tidak terlalu suka minuman bersoda dan di bioskop tidak menyediakan kopi enak, menurut Agni. Sepuluh menit sebelum film dimulai, Raki dan Agni sudah duduk manis di kursi mereka. Terima kasih pada sekretaris Raki—Mahda—yang sudah memesankan tiket jauh-jauh hari sehingga mereka mendapat posisi kursi yang nyaman, berada tengah, meskipun film ini sedang jadi primadona.
Pandangan Agni terarah pada layar di depannya. Sedangkan Raki, perhatian laki-laki itu, tersedot sepenuhnya pada perempuan di sebelahnya. Ironi memang. Terlalu fokus pada film yang ditonton, sampai membuat gadis itu tak sadar jika ada remahan pop corn yang menempel di sudut bibirnya. Raki terkekeh pelan sebelum menyeka sisa makanan dari bibir Agni dengan ujung ibu jarinya.
"Oh?" Agni berjengit di kursinya lalu menoleh ke arah sang kakak. Berkat pantulan cahaya dari layar raksasa di ruangan itu, Raki dapat melihat ekspresi kebingungan Agni.
Salah satu sudut bibir lelaki itu menukik naik, membentuk senyuman tipis. Ia tidak segera menyingkirkan tangannya dari pipi gadis itu. Ia tidak ingin. Ditatapnya lama bola mata yang nampak berbinar meski di tengah ruangan yang gelap ini. Semburat merah—meskipun samar—muncul di pipi Agni dibarengi dengan kedipan cepat.
Raki menarik napas panjang, mengelus pipi lembut gadis di sebelahnya, dan menurunkan tangannya. Agni cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali ke layar, lalu meneguk air mineralnya beberapa kali. Gadis itu gugup. Raki sedikit merasa bersalah, tapi dia sudah tak bisa lagi menutupi perasaannya.
***
"Gila kamu!" Matanya menyorot tajam dengan dada naik turun. Gadis itu mendengkus kencang, sebelum kembali melayangkan tatapan seolah baru saja melihat anjing berkepala dua.
Sedangkan lelaki di hadapannya duduk dengan nyaman, dengan kaki bersilang. "It is not as crazy as you think."
"You kidding, right?"
"No, Agni. Let's have a relationship."
Gadis itu kehilangan kata-katanya. Napasnya tersengal-sengal. "We are family. You are my brother! H-how can you said that?!" Ia menarik rambutnya, merasa gila.
"Not by blood," pungkas Raki enteng.
"Apa kata mami papi nanti, Mas? Aku, anak orang miskin, yang dapet kesempatan bagus, bisa sekolah mahal, bisa makan enak karena diadopsi sama mami papi. Selamanya aku bakal merasa berterima kasih sekaligus berhutang sama mami papi. I can not betray them like this. How dare you?"
Rahang Raki mengetat. "Don't talk like that about yourself ever again. You don't owe them anything, Agni." Lelaki itu memahami ketidak nyamanan dan keresahan Agni. Tentu, menjalin hubungan dengan saudara sendiri bukan suatu yang mudah terima. "Kita pelan-pelan. Mami papi nggak perlu tahu dulu."
Agni bangun dari sofa yang ia duduki, mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. "Aku mau pulang. Kalau kamu nggak mau anter, aku bisa pakai taksi."
Dengan langkah lebar, Raki berhasil mencekal lengan Agni. "Please, give us a chance. Nggak ada bedanya Agni setelah ini. Kita hampir tiap hari spent time together. Menurutmu itu bukan kencan? Makan? Nonton?"
Agni membuka mulut, tapi menutupnya kembali. "Aku mau pulang."
Mengalah, Raki pun melepaskan tangan sang adik, yang sayangnya membuat ia jatuh cinta. "I'll drive you home," ujarnya seraya mengembuskan napas panjang.
🎬🎬🎬
Yang dari kemarin tanya gimana sih Raki sama Agni bisa pacaran, ya ini awal mulanya secara singkat dari pov Raki hehehe
Berliku, diawali darah dan air mata. Memang dari awal, jalan mereka ga mudah. Huhu😌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro