Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Take 16 - Home is Where the Heart is Laying

"Udah pada lunch?"

"Udah, Pak."

"Serius?"

"Iya, Pak Raki. Kita baru dari kantin."

"Oh, ya udah. Kalau belum, mau saya ajak ke kantin atas," tukas lelaki dengan setelan jas abu-abu yang membungkus tubuh tinggi dan kekarnya itu. Ditambah senyum seribu mega watt yang jadi andalannya, sebelum masuk ke lift khusus untuk para petinggi.

Agni dan timnya kembali berjalan menuju lift pegawai—tentu saja—setelah mengisi perut di kantin. Mereka harus buru-buru, karena pukul tiga ada jadwal syuting di studio Kaivan dan Regan. Tim Agni terbagi dua tim hari ini. Agni, Amel, dan Valdo bertugas mengunjungi studio Kaivan. Sedangkan Audy, Nathan, dan There ke studio Berlin. "Rock the Stage" tidak hanya fokus pada penampilan di atas panggung, tapi juga bagaimana proses di belakang layar. Mereka ingin menunjukkan penonton bagaimana para musisi ini bekerja dan bermain.

"Kita jalan sekarang, Bang?"

Valdo mengangguk, "Takut telat. Agak macet jalanan."

"Kru yang lain udah siap?"

Valdo mengacungkan jempol. "Udah siap, tinggal berangkat. Kita pakai mobil gue aja. Biar kru yang pakai van kantor."

Prediksi Valdo benar terjadi. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam tiga puluh sampai empat puluh lima menit, menjadi satu jam lima belas menit. Para kru langsung memasang kamera dan mic di studio pribadi Kaivan yang terhubung dengan apartemennya, termasuk beberapa kamera kecil yang akan merekam gerak-gerik Kaivan seharian, tanpa harus ada kru yang mengganggunya menggarap lagu baru.

"You don't need to do this, Kai," ujar Agni tersenyum tipis ketika melihat sepuluh cup kopi dan satu kotak pizza di meja ruang tamu. "But, thank you so much."

"My pleasure, Agni. Kalian pasti nanti laper," tukas Kaivan santai lalu duduk di sebelah Agni yang sudah terlebih dulu menempati love seat berwarna broken white tersebut.

"Lo sehari-hari tinggal di sini?" Valdo ikut bergabung setelah membantu para kru di ruang studio. Lelaki itu mendaratkan bokongnya di ottoman dekat jendela dan mengambil segelas kopi dingin. "Maaf, kalau boleh tahu ini apa?"

"Ada americano setengah, ada caramel machiato setengah. Gue takutnya ada yang nggak kuat kopi kuat, so take what you want." Valdo mengangguk, memeriksa tulisan yang ada di sisi cup plastik---tertulis caramel machiato---dan menyedot minuman itu. "Gue sering tidur di sini kalau lagi sibuk nyelesaian lagu aja."

"Nice place." Agni mengedarkan pandangan ke sudut apartemen kecil milik Kaivan. "Kalau boleh tahu, kenapa studionya nggak dibarengin sama rumah aja?"

"Gue masih tinggal sama orang tua. Ada satu studio di sana, tapi gue pakai kalau kerja sendiri. Lebih bebas di sini, kalau banyak orang datang," terang Kaivan.

Dari penuturan Kaivan barusan, sepertinya lelaki itu menjaga kehidupan pribadinya dengan cukup baik. Jika menilik karier panjang milik solois tersebut, memang tidak banyak informasi pribadinya yang tersebar ke media. Bahkan, rumor kehidupan asmaranya pun sangat terbatas. Hanya ada dua, sejauh yang Agni ingat. Itu pun tidak ada yang benar-benar dikonfirmasi atau klarifikasi Kaivan sendiri. Jangan tanya bagaimana ia tahu soal ini. Sebagai produser yang baik, tentu saja wanita itu menggali informasi mengenai talent-talent yang terlibat dalam acaranya.

"Setelah kita pulang, lo bisa interaksi ngobrol sendiri sama kamera gitu. Anggap aja lagi nge-vlog. Tapi, kalau emang nggak nyaman, nggak usah banyak," tutur Agni sebelum mencondongkan tubuh untuk mengambil satu cup americano, tapi langsung ditahan Kaivan.

"Wait, ini kopi khusus buat lo," Kaivan menyerahkan satu cup kopi yang memang terpisah dari gelas-gelas kopi lainnya.

Kernyitan langsung muncul pada kening Agni. "Nggak pakai sianida, kan?"

Kaivan tergelak sambil menggeleng. "Espresso dingin, double shots. Gue inget waktu ngobrol sama lo sama Audy di backstage. Lo kalau minum selain itu, kurang nendang."

Agni menerima gelas kopi tersebut dengan tawa kecil. Cukup terkesan akan ingatan dan perhatian Kaivan. Dia saja tidak ingat pernah mengobrol soal kopi dengan lelaki itu. "Thanks by the way. Benar, tapi bukan berarti gue nggak bisa minum yang lain. Kebetulan pagi ini juga baru minum hazelnut latte."

Kedua alis Valdo bertaut. "Tumben, biasanya minimal americano."

"Dalam rangka mengurangi kadar kafein harian."

"Oh! Gue salah, dong!" Mata Kaivan membelalak lebar, hendak mengambil kembali gelas kopi di tangan Agni. Sejenak, ia merasa bersalah.

"Nggak salah, gue emang butuh ini," tegasnya lalu menyesap cairan hitam pekat tersebut. "Thanks kopinya, kapan-kapan gue traktir balik."

"Jangan kapan-kapan, dong. Minggu depan lo ulang tahun," Valdo menyahuti dengan seringai di bibir.

Wanita itu tertawa kecil. "Boleh. Sekalian habis syuting, yak. Bilangin temen yang lain. Dinner on me."

Kedua pria itu bertepuk tangan bersama. Kaivan lalu menghadap Valdo dan menepuk pundaknya. "Makasih infonya, Bro."

Valdo mengangguk, meskipun sedikit bingung, penyanyi itu berterima kasih untuk apa. "Nggak masalah," gumamnya.

***

Kehadiran tiga orang lelaki ini, tidak Raki harapkan sama sekali. Tiga orang lelaki yang sering lupa membawa rasa malu dan harga diri ini adalah bencana. Istilah anggap rumah sendiri diterapkan mereka dengan level yang berbeda. Kadang saking nyamannya, Raki harus menendang mereka pulang, setelah berhari-hari.

"Rum, siapa yang nyuruh kamu bukain pintu?" Raki berdiri di ruang tamu dengan berkacak pinggang. Tatapannya memicing ke arah perempuan berusia 22 tahun itu. "Saya lagi nggak mau terima tamu."

Arum, sang asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan Raki selama empat tahun, melewati majikannya tanpa rasa bersalah, dan langsung ke dapur. "Bapak telat ngomongnya. Harusnya kasih warning ke kita, kalau nggak mau terima tamu."

"Tamu adalah pintu rezeki! Inget, woy!" tukas Elang menjentikkan jari di depan wajah Raki lalu melenggang ke ruang tamu diikuti Galen dan Novan. Ia sudah terlalu hafal dengan setiap sudut rumah ini. Bahkan, lelaki itu tahu, tempat mana saja yang sudah dinodai Raki dengan sang kekasih.

"Gue belum mempersilakan kalian masuk, ya!" Raki menggerutu menyusul ketiga tamu kurang ajarnya itu. Galen dan Novan duduk manis di sofa, ruang tamu, sedangkan Elang duduk di bar stool, mengobrol dengan Arum yang memasak.

Living room dan pantry atau dapur bersih menyatu menjadi satu ruangan dengan jendela floor to ceiling di sisi kanan. Ruang tamu ini tempat bersantai Raki, Agni bersama kedua asisten rumah tangga mereka.

"Arum, masak apa, nih? Baunya enak banget." Elang mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.

"Gulai ayam, Mas Elang, sama pepes ikan. Mbok Sugi yang masak." Arum menunjuk wanita sepuh yang sudah Raki anggap sebagai ibu sendiri, mengaduk panci di atas kompor. "Mas Elang mau minum apa? Buruan."

"Kasih air putih aja, Rum. Jangan baik-baik kamu sama mereka," protes Raki berdiri di sebelah Elang.

Arum berdecih, "Bapak, kita itu harus menghormati tamu. Kalau emang Bapak nggak mau kasih suguhan ke mereka, usir aja temen-temen Bapak itu. Kalau saya yang usir kan, dosanya ke saya."

"Rum, jangan judes-judes begitu. Nanti aku tambah cinta." Elang mengedipkan sebelah matanya pada Arum. "Es jeruk tiga ya, Arum. Mbok Sugi, masaknya jangan lama-lama, anakmu udah laper ini," imbuhnya sebelum mendaratkan pantat di sebelah Galen yang terkekeh kecil.

Meskipun sudah sangat sering main ke apartemen calon kakak iparnya, Galen masih juga terhibur melihat interaksi bos dan anak buah itu. Arum dan Mbok Sugi tidak diperlakukan seperti asisten rumah tangga di sini. Mereka terlalu akrab. Saking akrabnya, Raki dan Agni rela menemani Mbok Sugi menonton sinetron kesayangannya di ruang tamu. Padahal, kedua orang itu sangat anti dengan tontonan tidak jelas, tidak mendidik, apalagi dari channel televisi saingan.

"Ibu kok belum sampai rumah, Pak?" Arum menyerukan tanya sembari membawa semangkuk penuh gulai ayam ke meja makan yang berada di belakang dapur bersih itu.

"Bentar lagi sampai. Udah di jalan," jawab Raki yang bersantai di sofa dengan ponsel di tangan.

Well, salah satu alasan mengapa ia kesal akan kedatangan tiga tamunya karena malam ini akhirnya Agni bisa pulang awal, tidak lembur sampai jam dua atau tiga pagi. Ia ingin menghabiskan waktu dengan sang kekasih, makan gulai ayam, nonton film dan bercumbu sampai pagi. Sialan! Gara-gara tiga oknum tak tahu diri itu, rencananya gagal.

"Rame banget, ya?" Celetukan Agni membuat keempat lelaki yang sedang asyik mengobrol itu menoleh.

Raki segera bangkit, menyambut sang pacar. Ia mengambil alih tas yang dibawa Agni dan kembali menggerutu soal kedatangan dadakan tiga temannya. "Kamu mandi, terus turun. Kita makan, oke? Nggak usah peduliin mereka."

Wanita itu terkekeh. "Gimana kabarnya Bang Novan? Udah lama banget ya, nggak ketemu."

Lelaki berkemeja hitam dengan celana warna senada itu berdiri, menyalami perempuan yang ia kenal sejak berteman dengan Raki. "Gue di sini, sini aja, mah. Emang ke mana lagi?"

"Ngurusin selebriti kawin-cerai, ya?" gurau Agni setengah menyindir.

Lelaki itu memutar mata. "Kepepet banget kemarin. Bokapnya temen bokap gue soalnya. Padahal gue males banget ngurusin kawin cerai begitu." Dua bulan lalu, dia menyelesaikan sidang perceraian yang cukup kontroversial, antara seorang selebriti dengan politisi. Selebriti muda, cantik, dan sedang naik daun, bercerai dengan suaminya yang seorang politisi berkuasa, karena sang politisi ketahuan memiliki beberapa istri siri.

"Yang penting udah kelar, Bang." Agni menatap Elang dan Galen bergantian, lalu pamit naik. "Gue mandi dulu, deh."

Galen memandangi kepergian calon adik iparnya itu dengan kening mengernyit. "Tambah kurus si Agni."

"Lembur terus dia," jawab Raki menghela napas. "Her shows is doing great."

Ada penjelasan mengapa tiga sahabat Raki ini mengetahui hubungan rahasianya dengan Agni. Untungnya, mereka bersedia tutup mulut. Terutama Galen, tunangan Reva, yang sampai sekarang setia mendukung sandiwaranya di depan mami papi. Ia masih mengingat bagaimana hari itu datang. Saat Elang tiba-tiba meneleponnya dan minta untuk bertemu, tanpa penjelasan.

Setengah jam kemudian, Agni kembali dengan kaus oblong merah dan celana pendek di atas lutut. Rambut hitamnya dicepol asal. Wangi beri langsung menguar memenuhi ruangan, beradu dengan aroma gulai yang lezat.

"Mbok Sugi, aku laper. Ayo, makan."

"Ya udah, Mbak. Buruan makan, biar nggak sakit. Itu Mas Raki sama temen-temennya udah rewel dari tadi. Kalau nggak dihalangin Arum, udah ludes itu pesenan Mbak Agni," jawab wanita berusia enam puluh tahun itu lalu langsung menarik Agni ke meja makan.

Para lelaki ikut membuntuti ke meja makan dengan senyum lebar dan sorakan senang.

"Mbok Sugi sama Arum, kita makan sekalian. Nggak usah nanti-nanti," tukas Agni melirik pada dua wanita yang melipir hampir keluar dari dining room.

"Eh, Ibu! Acaranya Ibu bagus banget! Aku naksir berat sama Om Regan." Arum memekik, dengan mata berpijar penuh semangat setelah menempati salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Para lelaki duduk bersebelahan di sisi kanan meja dan para perempuan berada di seberang mereka.

Satu alis Agni terangkat. "Om Regan?"

"Vokalis 'Berlin' itu, loh, Bu." Arum bercerita dengan menggebu-gebu, sambil menyendokkan ayam ke piringnya.

"Om banget?" Galen menimpali dan terkikik geli.

"Umurnya udah om-om, to? Aku ini masih muda loh, Mas Galen." Gadis itu berdecih sembari menghadiahi Galen lirikan tajam.

"Seumuran sama gue itu," celetuk Elang.

"Ya, emang kalian bertiga tuh, udah om-om. Udah cocok juga jadi bapak-bapak yang gendong anak."

Ketiga lelaki yang memasuki usia pertengahan 30 tahun tersedak bersamaan dan langsung menghujani Arum dengan lirikan tajam. Namun, gadis itu cuek dan melahap sesendok penuh nasi ke mulut dan lanjut bercerita tentang Regan pada Agni dengan semangat membara.

"Besok aku mintain tanda tangannya, deh, Rum," kata Agni tertawa geli.

"Siap, Ibu. Emang Ibu yang paling ngerti aku."

"Aku nggak dianggap?" Raki menegakkan punggung, menunjuk dirinya sendiri dengan garpu, memprotes. "Siapa yang kasih bonus tiket nonton konser boyband itu? Sama apa lampu gantung mati listrik yang harganya hampir sejuta itu?"

"Itu lightstick, Bapak! Bukan lampu gantung mati listrik." Arum mendengkus tapi kemudian memaksakan senyum, sambil mengedip-ngedipkan mata pada Raki. "Kalau Bapak kasih bonus buat nonton konser lagi bulan depan, Bapak jadi yang terbaik, deh."

"Agak manipulasi ya dirimu, Rum!"

***

Dua lembar foto polaroid sepasang kekasih menyedot seluruh perhatian lelaki itu. Foto tersebut terlihat manis. Dari sana terlihat kedua orang dalam foto itu menghabiskan liburan menyenangkan. Namun, foto tersebut sangat mengganggunya, membuat lelaki 33 tahun itu tak berhenti mengernyitkan kening dan menelengkan kepala.

"Mata gue masih normal. Gue juga nggak ngobat, jadi gue yakin nggak lagi halusinasi," gumamnya memandangi foto itu. "Tapi, kenapa bisa Raki sama Agni foto ciuman begini? Bukannya mereka kakak-adik?"

Elang, sudah bersahabat dengan Raki sejak SMA. Dia sangat percaya diri, mengenal temannya itu luar dalam. Namun, foto yang ditemukannya di villa pribadi Raki---karena memang ia sewa untuk berlibur bersama para cast satu proyek filmnya---membuat keraguan merebak di dada. Elant menemukan dua lembar polaroid itu di kamar yang memang tidak disewakan. Harusnya kamar itu terkunci, tapi saat ia iseng memeriksa kondisi villa, malah menemukan ruang khusus tersebut tak terkunci.

"Kamar ini nggak bisa diakses kan harusnya?" tanya Elang pada Pak Harun, penjaga villa.

Lelaki berusia 50 tahunan dengan setelan sarung Bali, kemeja putih dan udeng itu mengangguk. "Betul, Pak. Ini khusus kamarnya Bapak."

"Tapi, ini nggak kekunci."

Mata Pak Harun membulat. "Kok bisa? Kalau gitu, saya mau ke ruang informasi untuk cek kunci."

"Tapi, sejak saya dan rombongan dateng, nggak ada orang lain yang datang, kan? Nggak ada yang naik ke lantai dua, kan?" Elang ingin memastikan jika belum ada orang lain yang menemukan foto polaroid di tangannya.

"Nggak ada, Pak."

Elang manggut-manggut. "Oh ya, saya mau tanya. Terakhir Raki ke sini kapan? Dan kalau boleh tahu, apa dia datang berdua?"

"Sekitar sebulan yang lalu. Bapak datang sama pasangannya, Pak. Beliau memang sering ke sini dengan pasangannya."

"Pasangannya selalu sama?"

Pak Harun tersenyum tipis. "Sama, Pak. Pak Raki orangnya setia."

Elang mengirim sumpah serapah pada sahabatnya dalam hati. Sialan! Rahasia sebesar ini, si berengsek itu tidak membagi dengannya. Jelas, ia dan Raki harus bicara empat mata. Gila! Elang masih terkesan bagaimana rapinya sang sahabat menyembunyikan hubungannya dengan sang adik. Yap, walaupun adik angkat, tapi tetap saja. Astaga, ya Tuhan! Memangnya tidak ada wanita lain apa? Otaknya masih belum bisa menerima ternyata perempuan yang mengunci hati Raki adalah adiknya sendiri? Dunia memang sudah gila.

***

Sahabat Raki aja kaget banget liat Raki sama Agni pacaran, apalagi *beep* *beep* hehehe

Udah sampe part 16 tapi belum keliatan konfliknya apa. Mohon bersabar ya teman-teman.

Dan doain aku biar bisa nulis lanjutin part2 terbaru. Soalnya stok part Love Sicktuation udah hampir habis ini😭😭😭

Jangan sampai ceritanya macettt.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro