Take 10 - Beautiful Sins
Kegelapan menyapa, saat Agni membuka pintu apartemen. Ia langsung menuju ke pantri untuk menyimpan makanan dari rumah di lemari pendingin, sebelum ke kamar. Perempuan itu mengembuskan napas panjang saat melihat jam digital di nakas yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Dirinya pasti lembur lagi malam ini.
Raki sialan. Apa kurangnya proposal timnya, sih? Selama ini, Agni meyakini sikap lelaki itu yang sering menolak proposalnya, didasari keusilan belaka. Itu sebabnya, Agni tak pernah santai saat menerima berita penolakan proposal dari Raki. Ia terus mengatai Raki sembari menghapus make up dari wajahnya. Perempuan itu memutuskan mengguyur tubuhnya menggunakan air dingin, untuk mengusir kantuk yang mulai menghampiri.
"Ninik sihir, ninik sihir. Ya, menurut lo, siapa yang bikin gue punya nama panggilan kayak gitu?" Agni mencebik. "Kalau aja mereka tahu Raki itu kayak apa—"
"Emang aku kayak apa?"
Agni terlonjak kaget dan menoleh ke belakang. Terlihat, Raki dengan tangan terlipat di depan dada bersandar di ambang pintu.
"Ngagetin!" seru Agni memelototi lelaki itu. "Keluar, aku belum kelar mandi."
Bukannya menuruti permintaan perempuan itu, satu alis Raki malah menukik naik. "Siapa suruh, kalau mandi pintunya nggak pernah di kunci. I'll take that as invitation."
Agni cuma mendengkus, malas meladeni tamunya dan mengambil sebotol sabun, menuangkan di spons lalu menggosokkan ke permukaan kulitnya. "I am not in the mood." Ia kembali memunggungi lelaki itu. Suasana hatinya semakin memburuk.
"Really?" Suara Raki terdengar semakin dekat, sampai akhirnya ia merasakan kedua lengan kekar melingkari perut. Kulit hangat lelaki itu menempel sempurna di punggungnya. "Udah seminggu kamu nggak pulang, Yaya. Emang harusnya dijemput paksa begini."
Agni pun berbalik, lalu menatap lelaki itu sinis. "Bisa bilang lewat chat."
Raki tergelak, "like you will reply to my texts." Terlalu gemas dengan tingkah sok polos dan sok tidak bersalah gadisnya, lelaki itu mendaratkan tepukan pelan di bokong Agni, membuat dia memekik. Ia lalu mengganti setelan air menjadi hangat yang langsung menuai protes dari perempuan delapan tahun lebih muda ini.
"We'll take a long bath. I promise I'll help you with the proposal after this," kata Raki sebelum menundukkan kepala dan memagut bibir merah muda yang sudah seminggu ini ia rindukan.
Ketika tangan Raki mulai menjelajahi setiap jengkal tubuh Agni, perempuan itu tahu malamnya akan semakin panjang. Meskipun ia ingin mendorong lelaki itu menjauh, tapi tak bisa dipungkiri, dirinya juga merindukan sentuhan Raki. Tubuh Agni langsung meleleh di pelukan pria yang selama ini menjadi pengisi hidupnya, saat bibir Raki dengan rakus mulai turun ke leher jenjangnya.
"I hate this apartment," desis Raki di tengah aktivitasnya mencumbu dada sang kekasih.
Agni tertawa pelan. "I love this place. Ini hadiah dari Papi. Di sini aku bisa sendirian tanpa gangguan dari ka—" lenguhan meluncur dari bibir, saat Raki dengan sengaja menggigit puncak payudaranya.
"You should move in with me, since three years ago," desah Raki tersenyum puas melihat ekspresi wanita di dekapannya yang menutup mata. "I want to burn this place."
Nobody knows about them. About their deeds. Their sins. Their loves. Their hearts. And the three years relationship they have.
Jika ditanya bagaimana hubungan mereka bermula, akan membutuhkan waktu yang panjang. Namun, ada satu kata tepat untuk menggambarkan hubungan mereka. Complicated. Agni dan Raki memainkan peran dengan sangat baik. Menyembunyikan perasaan mereka rapat-rapat dari dunia. Tiga tahun, bukan waktu yang singkat untuk bersandiwara.
Agni harus pura-pura bahagia saat maminya menyodorkan deretan nama wanita untuk dijodohkan pada sang kekasih. Sedangkan Raki, sebesar apa pun keinginan lelaki itu memamerkan betapa cantiknya, luar biasanya sang pemilik hati pada dunia, ia tidak bisa. Mengenalkan Agni ke hadapan orang tuanya pun, belum berani.
Keraguan untuk melanjutkan hubungan ini acap kali muncul di benak wanita itu. Perasaan takut, rasa bersalah, tak pantas silih berganti menggerogoti hatinya. Takut akan penilaian, tatapan tajam, bisikan pedas orang-orang pada cinta yang mereka miliki. Takut mengecewakan mami papinya dan Reva. Merasa bersalah telah mengkhianati keluarga yang mau menerima dan memberikan banyak hal padanya. Malu, bukannya memberi kebahagiaan, malah menghancurkan kepercayaan mereka.
Coba, apa yang akan mami papinya pikirkan jika tahu, gadis cilik yang mereka angkat jadi anak, malah menodai nama baik keluarga?
Namun, di sisi lain, hatinya terlalu berat untuk melepaskan Raki. Agni memang beruntung menemukan keluarga baru. Akan tetapi, hanya lelaki itu yang benar-benar mengerti, memahami dan melengkapi dirinya. Lelaki yang berusia delapan tahun lebih tua ini, selalu berhasil membuatnya merasa berharga, berarti dan layak dicintai.
It feels so right, yet so wrong? It is complicated.
"Shit." Umpatan bercampur desahan kembali terdengar saat badan mungil Agni mendarat di tempat tidur.
Sepasang insan itu kini melanjutkan pergulatan panas di tempat tidur. Raki berada di atas Agni, menopang tubuhnya dengan siku, sedang tangannya semakin sibuk bergerak di bawah sana. Di pusat ternikmat milik sang kekasih. Lelaki itu menjilati cuping telinga dan rahangnya, membuat ia terus bergeliat. Saat wanita itu merasakan kejantanan Raki menyentuh pahanya, mata Agni yang awalnya tertutup seketika terbuka.
"Kondom!" pekiknya membuat Raki membeku. "I am fertile."
Erangan frustrasi lolos dari bibir Raki. Lelaki itu terpaksa menyeret tubuhnya menuju nakas dan mengambil stok pengaman yang selalu disiapkan di sana. Keduanya adalah pasangan dewasa yang memahami resiko akan kegiatan seksual mereka. Agni, dengan senang hati menggunakan IUD. Namun, untuk mencegah kecelakaan yang tak diinginkan, mereka sepakat untuk menggunakan double protection di saat wanita itu sedang dalam masa subur tinggi. Well, tentu ia dan Raki pernah lupa beberapa kali. Akan tetapi, jika bisa dicegah lebih baik, mengapa tidak? Mereka belum siap mendengar amukan mami dan papi.
Malam itu, berjalan panjang persis seperti tebakan Agni. Jelas, seminggu sudah mereka melewati perang dingin, karena ia jengkel dengan tragedi penolakan Raki di kantor. Wanita itu memilih kabur dari rumah sang pacar dan tinggal di apartemennya sampai program acaranya diterima. Itu rencana awal Agni. Namun, sepertinya Raki tak bisa menunggu lebih lama lagi.
"I hate you," desah Agni dalam pelukan sang kekasih setelah pergumulan penuh gairah mereka yang hampir memakan waktu dua jam. Matanya berat setengah mati. Agni terbiasa begadang, tapi pertahanannya akan runtuh begitu saja setelah beberapa kenikmatan yang Raki berikan menyerang. "Aku ngantuk banget, Mas. Proposalnya kudu aku kerjain."
"Tidur aja. Waktumu masih banyak." Raki mengeratkan pelukan dan membubuhkan kecupan hangat di puncak kepalanya.
Di sisa tenaganya, Agni memicingkan mata. "Katamu janji mau bantu."
"Kapan, sih, aku ingkar janji? Never. I always keep my promises, Yaya," tukas Raki. "Kita bahas itu besok waktu sarapan. Sekarang tidur dulu."
***
"Buruan mandi, habis itu sarapan." Agni menepuk pipi Raki beberapa kali, untuk membangunkannya. Lelaki itu mengerjapkan mata dan menguap lebar. "Kita ada urgent meeting, loh. Janjimu semalam."
Sudut bibir Raki perlahan tertarik ke atas membentuk senyum. "Yap, dengan satu syarat hari ini kamu pulang. Mbok Sugi sama Arum udah kangen kamu."
Kekehan kecil meluncur dari wanita itu saat mendengar Raki menyebut nama dua asisten rumah tangga mereka. "Bukan kangen aku, tapi udah males ngadepin kamu yang rewel," katanya sembari melangkah keluar kamar.
Sudah berulang kali, Raki memintanya untuk menjual atau menyewakan apartemen ini, sejak mereka resmi berpacaran tiga tahun lalu, karena ia memang lebih sering tinggal di apartemen Raki. Semua perlengkapan yang dia butuhkan sudah tersedia di rumah lelaki itu. Namun, ia tetap perlu tempat ini untuk mendinginkan kepala saat bertengkar dengan Raki. She needs place for herself, without anyone.
Dua gelas kopi, dua french toast, sepiring apel, melon dan anggur yang telah dipotong-potong, tertata rapi di meja pantri. Agni tidak terlalu suka sarapan berat. Segelas kopi dan satu buah apel lebih dari cukup baginya untuk memulai hari. Namun, Raki pasti melayangkan protes. Sembari menunggu lelaki itu, ia menyiapkan bekal buah segar untuk sang kekasih. Salah satu hal yang tak ia sukai dari lelaki itu adalah, Raki sulit memakan buah, jika tidak ada yang menyiapkan. Ia selalu menyiapkan potongan buah segar untuk sang pacar jika sempat. Juga, Raki terlalu doyan sweet dessert, seperti cheese cake, es krim, soft cookies, olahan cokelat, dan masih banyak lainnya. Jujur, Agni cukup mengkhawatirkan kesehatan lelaki itu.
"Morning, Sayang." Agni memekik pelan saat merasakan tangan dingin Raki mengusap tengkuk lehernya, lalu mendaratkan kecupan di kening.
"Morning, Mas." Agni mendorong sepiring toast dan kopi ke hadapan Raki. "Sarapan dulu."
Lelaki itu mengulas senyum, setelah duduk manis di hadapan sang kekasih. "Tumben, baik banget." Lalu mencomot toast di piring dan melahapnya.
Decihan lolos dari bibir Agni. "Apa yang kurang dari programku kemarin?" tanya wanita itu setelah menyeruput kopi panasnya.
Raki tergelak melihat wajah tertekuk sang kekasih. Tangannya bergerak ke atas puncak kepala Agni, mengelusnya. "I love your idea."
"Tapi, kurang drama. Iya, kan?" sambung Agni memutar mata, jengah. "Terus, kamu maunya ditambah apa, biar ada dramanya?"
Raki menggenggam kaki stool bar yang diduduki Agni dan menariknya mendekat. "Jangan jauh-jauh."
"Mas ... "
"Listen to me, Sugar," tutur lelaki itu dengan senyum bergelantungan di bibir merah mudanya, "aku juga barusan dapat ide setelah kamu ngajuin proposal tadi. Kompetisi musik, pakai lagu original sounds new and fresh. Biar acaranya semakin spicy we need some dramas. So, I was thinking if we can hired some famous musician to join the show, not for the judges spot but to became participants."
"Berarti kita butuh banyak musicians, dong?" Kerutan muncul di kening Agni, tangannya masih menggenggam mug berisi kopi yang tinggal setengah.
"Nggak usah banyak-banyak. Maybe, six? Or eight? Konsep acaranya nanti dilihatin proses pembuatan musiknya pas di studio, sebelum penampilan di stage. Terus, every week, mereka bakal bikin lagu sesuai tema yang ditentuin."
Mata Agni melebar. "Terus, penonton bisa votes lewat aplikasi King Media, mana peserta atau lagu yang mereka suka?" She loves it.
"Nice idea, atau kalau mau result cepet, bisa pakai penonton yang di studio aja. Jadi, kita cari winner per week, dan juara umumnya ditentukan dari poin yang mereka kumpulkan selama acara," pungkasnya sebelum meneguk kopi.
Binar kebahagiaan menari-nari di mata perempuan itu. Ia langsung mengalungkan tangannya pada leher Raki. "I love it."
"And I love you," balas Raki menunduk untuk mencuri kecupan pada bibir Agni. Berbagi rasa kopi yang pahit dan toast yang gurih. "Aku tahu kamu dan tim kamu sangat kreatif. Jadi, I believe kalian nggak bakal kesusahan buat kembangin ide barusan."
***
Sesuai janjii karena telat update Sabtu kemarin, aku double update hari ini.
Nggak tau sih pada kaget engga sama part ini 👀
Tapi pokoknya surpriseee (lagi) hihi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro