Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Take 09 - The Rajata's

Menjadi anak ketiga di keluarga Ganang Rajata bukan sesuatu yang mudah. Apalagi dengan status adopsi. Bukan karena mereka tak menerima Agni, malah sebaliknya. Mereka mencurahkan banyak sekali perhatian, kasih sayang, dan kehangatan pada perempuan itu sejak awal pertemuan. Namun, meski begitu ia jadi merasa memiliki tanggung jawab dan beban sekaligus untuk sesukses kakak-kakaknya.

Raki Rajata, penerus bisnis keluarga Rajata.

Reva Rajata, desainer ternama yang sudah mengibarkan kiprahnya ke kancah internasional.

Sedangkan, Agni? Hanya staf kantoran biasa. Itu pun, di kantor papinya sendiri.

Agni tidak memiliki orang tua sejak kelas 2 SD. Ayah ibunya meninggal karena kecelakaan bus. Sebagai anak tunggal, Agni kemudian diasuh oleh kakek-nenek dari pihak ibu. Sedangkan keluarga ayahnya, jujur saja Agni tidak pernah bertemu. Ayahnya seorang perantauan berasal dari Makassar. Keterbatasan ekonomi membuat sang ayah, tak pernah kembali pulang.

Kakek nenek Agni merawat Agni dengan penuh kasih sayang. Tentu saja, ia cucu satu-satunya karena ibu Agni juga merupakan anak tunggal. Pada saat gadis itu menduduki bangku kelas 1 SMP, sang kakek meninggal. Hal itu membuat nenek dan Agni sangat terpukul. Tulang punggung keluarga hilang. Entah datang dari mana, tiba-tiba suatu malam, Agni dikejutkan oleh kedatangan tamu dengan mobil mewah ke rumah kecil neneknya.

Ganang dan Emma Rajata.

Agni ingat sekali, Emma menangis tersedu-sedu sambil berpelukan dengan nenek. Ternyata wanita cantik dengan mata biru cerah itu sahabat sang ibu, sebelum pindah ke Jakarta, ikut sang suami. Ia baru mendengar kabar ibunya meninggal dari seorang teman. Dari malam itulah, gagasan mengadopsi Agni muncul. Namun, sang nenek tidak mengizinkan.

"Kalau Agni ikut Teh Emma, saya gimana? Nenek pengin sekali ngebesarin Agni. Dia mirip sama Riani," ujar sang nenek.

"Nenek ikut sama kami ke Jakarta. Tinggal bareng sama kita," balas Emma.

"Aduh Teh, nanti ngerepotin. Nenek nggak biasa tinggal di kota. Sukanya di desa begini."

Setelah pembicaraan yang lama dan cukup alot, serta berkali-kali kunjungan, akhirnya diputuskan bahwa keluarga Rajata tetap akan mengadopsi Agni sebelum usianya menginjak 17 tahun. Sampai SMA, Agni akan tinggal bersama neneknya di desa. Selanjutnya, mereka akan pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga Rajata.

***

"Hari ini, kita akan kedatangan tamu istimewa. Tolong disambut dengan baik ya, Mas Raki, Reva," tutur Emma tersenyum saat semua anggota keluarganya telah duduk manis melingkari meja makan untuk sarapan. "Masih inget, Mami pernah cerita kalau we will have new family member? Dia akan datang berkunjung ke sini sama neneknya."

"Oh, yang anaknya temen Mami itu?" sahut Reva yang duduk di seberang sang ibu.

"Betul. Dia akan jadi adik kamu. Jangan galak-galak ya, Rev, sama adiknya."

"Kenapa kita harus adopsi dia sih, Mi?" Gadis berusia 18 tahun itu sebenarnya kurang setuju dengan keputusan orang tuanya. Ia tidak nyaman tiba-tiba memiliki anggota keluarga baru. "Kita masih bisa bantu dia tanpa adopt her kan, Mi?"

Suara dentingan sendok ke piring terhenti sesaat setelah pertanyaan Reva meluncur. Emma menatap Reva dengan penuh sayang. Ia tidak menyalahkan sang putri berpikiran seperti itu.

"Dia nggak punya siapa-siapa selain neneknya, Reva. Neneknya pun sudah tidak bekerja. Kalau neneknya pergi, dia bakal kesepian. Mami nggak mau itu terjadi. Apalagi wajahnya mirip sekali sama Riani, temen Mami," jelas Emma, "I am sure you guys will getting along pretty well."

Reva menghela napas, melirik kakaknya yang sibuk melahap nasi goreng di piring.

Pukul sebelas, Agni dan Marni---sang nenek---tiba di kediaman Ganang Rajata. Keduanya tampak canggung memasuki rumah mewah berpilar besar itu. Mata gadis 13 tahun itu terus bergerak, memandangi setiap detail di rumah yang baginya lebih cocok jadi istana. Ganang dan Emma menyambut baik mereka. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan kedua anak atau saudara angkat Agni.

Reva dan Raki.

Agni menelan ludah melihat kecantikan dan ketampanan yang terpahat sempurna di wajah mereka. Rambut Reva tampak berkilau dan lembut. Aroma wangi menggelitik hidung gadis itu saat keduanya memasuki ruang tamu. Jelas keluarga Rajata jauh di atas levelnya.

"Jangan tegang gitu," goda Ganang, "mereka berdua bakal jadi kakak-kakakmu. Mas Raki sengaja pulang dari London, pengin ketemu kamu. Adik barunya."

Agni menyengir lalu menganggukkan kepala pada Raki yang tak menunjukkan ekspresi apa pun, selain wajah bosan.

"Agni besok mau kuliah di mana? Udah ada bayangan?" tanya Emma.

Gadis itu menggeleng, "belum tahu, Tante."

"Jangan panggil Tante, dong. Panggilnya Mami. Kamu kan sudah jadi anak kami," sahut Emma.

"Pelan-pelan aja, jangan buru-buru," tukas Ganang tertawa kecil saat menangkap kegugupan berkilat di mata Agni.

***

Itu tahun pertama dan terakhir Agni berkunjung karena setelahnya ia resmi tinggal di sana sebagai anak bungsu keluarga Rajata. Neneknya meninggal saat ia kelas 2 SMP. Awalnya sulit sekali beradaptasi di lingkungan yang jauh berbeda dengannya. Makan malam dengan minimal tiga macam lauk-pauk, berangkat sekolah diantar supir pribadi. Mendapat baju baru, sepatu baru bahkan perhiasaan meskipun tidak ada acara spesial. Semuanya terasa sulit bagi Agni.

Untungnya Emma dan Ganang benar-benar baik padanya. Reva pun yang awalnya dingin, perlahan mencair. Dua tahun kemudian, saat masuk SMA, ia dan Reva sudah seperti perangko dan surat. Meskipun memiliki selisih usia 5 tahun, Reva senang sekali mengajak Agni untuk keluar, jalan-jalan atau sekedar mewarnai rambut ke salon.

"Lo beneran nggak mau diwarnai rambutnya? Warna ungu, bagus banget."

"Bagusan item kayak gini juga." Agni memilin rambutnya yang baru dipotong.

"Mumpung libur sekolah, Ni. Kita kan bakal nyusulin Mas Raki ke London. Lo nggak mau tampil beda?"

"Lo aja deh, Mbak. Gue nggak pede kalau rambutnya warna-warni," tolak Agni.

"Kaku banget lo, kayak Mas Raki." Reva mencebik.

"Lo mah enak rambut gonta-ganti warna juga tetep cantik. Gue? Nggak ada jaminan wajah gue mendukung warna rambut gue."

Reva menggeleng, ia menghampiri Agni dan menangkup bahunya. "Lo itu cantik, Ni. Please, jangan buta-buta banget, lah."

Berbeda dengan Reva yang modis dan selalu mengganti model rambutnya tiga bulan sekali, Agni tetap terjebak dengan rambut panjang lurus hitamnya.

"Gue nggak usah ikut ke London, ya?" tanya Agni setelah keduanya di dalam mobil, bersiap pulang.

"Jangan, dong. Masa gue sendirian?" dengkus Reva. "Emang lo nggak pengin lihat London?"

"Pengin sih, Mbak. Tapi, Mas Raki nggak suka gue."

Tawa perempuan berambut sebahu dengan warna cokelat terang itu tersembur. "Jangan takut sama Raki. Sok keras aja dia. Soalnya belum kenal lo, Ni. Ketemu lo juga baru dua kali, kan?"

"Iya, sih."

Hubungannya dengan Raki masih sama seperti pertama kali bertemu. Mungkin benar perkataan Reva, karena mereka baru dua kali bertemu. Namun, menurut Agni lelaki itu seperti menolaknya terang-terangan. Dia tidak pernah tersenyum atau menyapanya lebih dulu. Bahkan, mengobrol pun tak pernah. Padahal, sang kakak sulung sangat ramah dan suka bercanda bersama Reva atau mami papinya. Sikap keras Raki, membuat Agni sempat berpikiran jika lelaki itu tak menyukainya. Ia berharap, suatu hari Raki akan melunak padanya.

***

Kebaikan mami papinya, bukan hal baru. Raki sadar betapa dermawannya mereka. Sampai harus mengadopsi gadis cilik entah dari mana, hanya untuk membiayai hidupnya. Ia tidak nyaman dengan kehadiran orang baru di rumah. Bukan pelit, tapi bukankah ada banyak cara untuk membantu Agni?

Kata sang ibu, Agni sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal saat SD. Lalu, neneknya juga ikut menyusul ketika SMP. Malang memang, ia juga kasihan. Eits, dia juga masih memiliki hati nurani. Entah kenapa, prasangka buruk terus menggelayuti pikirannya. Bagaimana kalau gadis itu punya niat buruk pada keluarganya? Ya, walaupun sepertinya tidak mungkin mengingat usianya yang belum menginjak 17 tahun. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kan, saat ia beranjak dewasa nanti Agni bisa melakukan hal itu?

Kecanggungan hubungan Agni dan Raki bukan lagi rahasia. Ia yang hidup di luar negeri selama kuliah, juga sulit untuk mengenal gadis itu. Itu sebabnya, setiap pulang ke rumah, Raki selalu melihat Agni sebagai orang asing, karena memang tak punya kesempatan untuk mengenal gadis itu.

Berbeda dengan Reva yang lambat laun akrab dengan gadis itu. Omong-omong, usianya beda tujuh tahun dengan Agni. Jadi, cukup sulit juga mengakrabkan diri padanya karena terlalu muda.

"Aku mau tinggal di apartemen sendiri aja. Hadiah dari Papi tahun lalu."

"Kenapa?" Emma tak setuju anaknya harus keluar rumah, setelah bertahun-tahun merantau di negara orang. "Mami kan kangen, Mas."

Raki terkekeh pelan. "Mi, aku masih di Jakarta. Kerja juga di kantor Papi. Tiap minggu, aku pasti pulang ke sini."

"Kamarmu nanti siapa yang nempatin?" Emma menghela napas. "Di rumah aja, ya?"

"Biar Raki tinggal di apartemen. Mami juga bisa sidak tiap hari," tukas Ganang mendukung sang sulung.

"Awas loh, kalau macem-macem."

Raki menggeleng sembari tersenyum. "Mau macem-macem gimana, sih, Mi?"

Emma menghela napas. "Pi, pokoknya dua anak cewek itu nggak boleh keluar rumah kalau belum nikah. Nggak mau ya, Mami di rumah sendirian. Sepi."

Ganang mengelus punggung sang istri. "Tinggal Mami gimana nego sama mereka."

***

Mau double update engga?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro