Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Take 04 - Another Dissapointment

Proposal program baru sudah di tangan. Agni dan Audy siap menghadap Raki dan mendengarkan pendapat lelaki 35 tahun itu. Kalau sampai ditolak, sepertinya akan ada stiletto melayang. Agni dan timnya sudah lembur seminggu penuh, pulang pagi, riset sana sini, enak saja kalau dihempaskan begitu saja. Perempuan itu mendongakkan dagu, membusungkan dada, memupuk rasa percaya diri sebelum menghadap sang atasan.

"Siap, Dy?" Agni melirik rekan kerjanya. Kedua perempuan itu bertukar pandang lalu mengangguk bersama.

"Harus siap," balas Audy menipiskan bibir.

Agni melenggang dengan percaya diri menuju ruangan sang atasan. Blouse merah marun dan celana jeans biru pudar melekat sempurna di tubuh dan kaki jenjangnya. Seperti biasa, rambut hitam legam sepunggungnya diikat rendah. Ketika Agni dan Audy melewati meja Mahda, sekretaris Raki, wanita itu langsung berdiri dari kursinya.

"Eh, tunggu---"

"Udah bikin janji," potong Agni dengan tatapan tajam ke arah perempuan berkemeja abu-abu dengan rok span hitam, yang berada di balik meja itu.

"Kok nggak ada di catatan gue?" tanya Mahda dengan alis bertaut.

"Tapi, Pak Raki ada kan di dalem?" timpal Audy sembari mengulas senyum tipis. Setelah memahami bagaimana watak rekan kerjanya, selain membantu Agni menjalankan program acara, ia juga bertugas untuk mencairkan suasana. Ia harus pandai beramah-tamah pada siapa pun lawan bicara Agni, agar mereka tak tersinggung dengan kejudesan atau sikap dingin perempuan itu.

"Ada, sih."

"Ya, udah. Nggak usah dipermasalahin," tukas Agni lalu kembali melangkah menuju pintu ruangan lelaki 35 tahun itu. Dia ingat betul, Rabu minggu lalu Raki memberinya titah untuk membuat proposal dalam waktu seminggu. Tujuh hari kemudian, di hari Selasa, ia kembali datang membawa yang lelaki itu tunggu. Jadi, tidak ada masalah. Mahda saja yang suka ambil pusing.

"Duluan ya, Mbak," pamit Audy menyusul Agni yang sudah masuk lebih dulu.

Suara nyaring high heels beradu dengan lantai membuat Raki menoleh ke arah Agni, bahkan sebelum perempuan itu mengucap salam. "Pagi Pak, saya bawa proposal program yang Bapak minta," tuturnya dengan suara rendah.

Lelaki yang memakai kaus slim fit yang mencetak jelas otot-otot di baliknya dan celana training hitam, menghampiri Agni dan Audy. "Silakan duduk. Berkenan menunggu saya bersih-bersih sebentar?" Dilihat dari rambutnya yang basah dan wajah dipenuhi keringat, sepertinya Raki baru saja kembali dari gym yang ada di lantai delapan.

"Silakan, Pak," Audy menyahut.

Sedangkan Agni mendecakkan lidah, meskipun lalu mengangguk dengan enggan.

Kedua perempuan itu pun menuju sofa dan mendaratkan pantat di sana. Sudah tidak terhitung berapa kali Agni memasuki ruangan ini. Ruangan Raki adalah ruangan paling keren, stylish, nyaman yang pernah ia masuki selama bekerja di KBC TV. Jika saja, perempuan itu tidak perlu adu mulut atau menahan emosi setiap datang kemari, mungkin saja ia akan betah berlama-lama di sini.

Jendela lebar yang menampilkan pemandangan gedung pencakar langit dan padatnya jalanan ibukota. Satu set sofa abu tua super empuk dan nyaman berbahan beludru. Pewangi ruangan perpaduan bunga-bunga segar dan aroma hutan yang selalu menenangkan. Belum lagi jajanan yang selalu tersedia di toples-toples kecil di meja. Kali ini ada nastar, macaron dan sagu keju. Agni menggeleng pelan melihat menu snack hari ini, terlalu banyak gula.

"Aduh, gue ngiler sama makaronnya," celetuk Audy menatap kue warna warni menggemaskan itu.

"Ya, udah, ambil."

"Malu gue."

"Ditaruh di meja itu buat tamu, Dy." Agni mencondongkan tubuh untuk mengambil setoples makaron dan memasukkan ke tas cangklong Audy.

Asistennya tentu saja memelototi Agni sembari berusaha menarik keluar toples yang baru temannya selundupkan. "Gila, lo! Gue nggak mau nyolong kue Pak Raki, ya!" desisnya mencengkeram tangan Agni.

"Nggak usah panik. Dia nggak bakal ngeh kuenya ilang. Kalau dia sampai nuntut lo, malah aneh. Perkara kue aja sampai dikasusin," terang Agni santai.

"Sumpah, lo sinti—" Audy merogoh tasnya untuk mengambil setoples makaron.

Agni dengan cekatan menahan tangannya, "Pak Raki dateng." Ia langsung meluruskan arah duduknya, menahan tawa saat mendengar napas Audy yang kembang kempis menahan emosi.

Mau tak mau, Audy pun kembali fokus, menyetel senyum profesional, saat bosnya berjalan menghampiri mereka dan duduk di single sofa di hadapan mereka. Raki kini mengenakan celana kain dan kemeja putih, tanpa dasi. Aroma segar maskulin langsung menusuk indra penciuman.

"Proposal udah beres, ya?"

"Sudah, Pak." Agni menyerahkan proposal tersebut pada sang bos.

"Udah yakin?" Raki melayangkan tatapan pada Agni dan Audy bergantian, sambil menyeringai.

"Yakin, Pak. Bapak bisa cek sendiri." Agni melirik Audy sekilas lalu kembali menatap lelaki di depannya.

"Oke." Raki duduk dengan bersilang kaki, separuh punggungnya bersandar pada sandaran sofa, matanya fokus membaca kalimat demi kalimat yang tertera pada lembaran kertas di tangan. Alis tebalnya sesekali terlihat bertaut, dari sisi samping dapat dilihat rahangnya yang seperti pahatan. Tajam dan seksi. Rambut-rambut halus yang tumbuh rapi di sana menambah kesan dewasa

Oh ya, Raki Akbar Rajata—putra pertama dari Ganang Rajata, pemilik King Media Group—dikenal oleh semua penghuni gedung King Media, dan selalu jadi hot topic pembicaraan. Sebagai eksekutif produser, tampangnya dinilai terlalu sempurna. Tubuh tinggi tegap, mata hijau jernih—berkat gen sang ibu, Emma Hughes yang berasal dari Wales—rahang tegas dan sepasang alis tebal membuat rupa lelaki 35 tahun ini terlalu mencolok. Banyak wanita yang menggilainya, karena Raki memang sangat tampan.

Namun, tentu saja, dengan status karyawan yang bekerja di perusahaan keluarga lelaki itu, mereka sangat tahu diri untuk tidak berharap. Apalagi jika melihat para wanita yang diberitakan dekat dengannya, sungguh membuat nyali menciut. Ada sutradara ternama, pengusaha muda, putri pengacara kondang, super model, sampai mantan Putri Indonesia tahun lalu juga memenuhi deretan wanita yang dikabarkan dekat dengan Raki.

Sama seperti lainnya, Agni pun mengakui ketampanan Raki. Dia tidak buta. Namun baginya, Raki hanyalah atasan yang sering kali membuat darahnya mendidih di kantor ini.

"Saya nggak bisa terima ini." Raki meletakkan proposal dari Agni ke meja yang berada di antara mereka.

"A-apa, Pak?" Itu suara Audy yang terbata mendengar penolakan Raki.

Sedangkan Agni memejamkan mata sekejap, menarik napas perlahan, mengatur emosi agar tidak meledak. "Saya butuh penjelasan kenapa Bapak menolak proposal kami," tutur Agni tenang, yang bahkan membuat Audy terheran.

"Ini terlalu idealis."

Agni mendengkus. "Kami udah menyusun program kerja sesuai permintaan Bapak. Yang nggak melulu soal edukasi, yang mainstream, yang banyak orang suka. Kenapa masih ditolak?"

Audy meringis, sambil meremas lengan rekannya pelan. Tidak mungkin perempuan itu tenang menangani penolakan. Agni dan ketenangan diri tidak bisa disatukan dalam satu situasi.

"Ya, memang betul. Saya juga senang kamu nggak banyak tingkah," jawab Raki masih dengan tersenyum. Satu hal yang tidak disukai Agni dari bosnya adalah, selalu tersenyum. Ia sangat muak dengan senyuman yang punya kesan mencemooh itu. "Kompetisi menyanyi emang banyak yang suka. Kayak acara KBC TV, 'Superstar', ratingnya tinggi. Ada satu dua peserta yang bawain lagu mereka sendiri, emang keren. Tapi beda kasus, kalau kompetisi nyanyi wajib pakai lagu sendiri."

"Ya memang beda, Pak. Acara ini lebih high level dan emang bertujuan buat mencari talent baru," pungkas Agni tak terima.

"Acara ini bertujuan untuk mencari musisi baru atau pun musisi yang memang sudah lama berkecimpung di dunia musik, tapi belum seberuntung para penyanyi besar. Kami berharap dengan acara ini, banyak jalan terbuka untuk musisi-musisi yang sedang berjuang," jelas Audy.

"Saya tahu maksud kalian," tandas Raki. "Tapi, untuk cari penikmat, kita butuh sesuatu yang familier dengan mereka. Kalau lagu-lagu mereka asing, gimana mereka menikmati? Yang akan tertarik sama acara ini, kurang."

"Kita bisa akalin itu dengan judges-nya, Pak. Kita pilih para musisi ternama yang memang berkompeten," terang Audy lagi dengan suara tenang dan senyum tipis.

"Jawabannya tetap tidak. Ingat, konsumen kita itu suka drama, suka gimik, suka sensasi. Coba kalian padukan itu," tukas Raki.

Agni mendengkus. "Sejak awal, emang Bapak nggak mau ada program acara berkualitas di saluran ini, kan? Maunya drama aja, yang bikin rame. Panggil orang-orang yang lagi kena kasus, yang viral. Sampah semua ngerti nggak sih, Pak, acara begituan."

Audy menoleh ke arah temannya dan memelotot. "Ni, sabar. Jangan ngomong gitu." Ia mengusap-usap bahu Agni dan sesekali melirik dengan rasa takut ke arah Raki, mengantisipasi reaksi sang atasan.

Raki tidak merasa tersinggung sedikit pun. "Kalau itu memang yang bisa kasih kita makan, kenapa nggak?" Dia sangat terhibur dengan ekspresi dua pegawainya yang sangat bertolak belakang. Agni, menatapnya dengan nyalang. Mungkin jika tidak ada CCTV, perempuan itu pasti sudah menamparnya dengan proposal yang tadi ia bawa. Sedangkan Audy, terlihat pucat setelah temannya lepas kontrol.

Agni mendecakkan lidah. "Fine. So, what do you want, Sir? Bikin acara goyang-goyang yang viral dari aplikasi Tik-Tok? Is it what you want?" Ia mengambil proposal yang sudah susah payah disusun bersama timnya dan berdiri, bersiap untuk melenggang pergi dari sana sebelum suara Raki terdengar memanggil.

"Don't you want second chance? Slot itu masih jadi milik kalian kalau kalian bisa kasih saya program yang cocok."

Agni memutar mata, lalu menyeringai. "Loh, memangnya bawahan kayak kita bisa nolak perintah atasan? As you wish, besok proposal program acara baru yang super murahan bakal mendarat di meja Bapak," cetusnya lalu memutar tumit dan melangkah pergi meninggalkan Audy.

"Terima kasih, Pak, atas waktunya. Kita pasti bakal perbaiki program acaranya," kata Audy lalu membungkukkan badan, dan buru-buru menyusul sang rekan.

"Audy, tunggu—" panggilan Raki menahan perempuan itu menyusul rekannya yang sudah pergi membanting pintu. Jantungnya berdebar tak karuan. Apa Pak Raki tahu dia mengambil makaronnya?

"—kamu betah sama Agni?" Kelegaan langsung membanjiri perempuan itu.

"Eh, anu ... " dia salah tingkah karena dapat pertanyaan tidak terduga, "Betah, Pak. Dia baik kok, sebenarnya. Tapi, ya memang agak idealis."

Raki tergelak. "Kamu nggak usah nutup-nutupin jeleknya Agni di depan saya. Udah paham. Nggak pernah berubah dari dulu."

Audy meringis sambil menggaruk-garuk tengkuk kepala. Benar sih, kata Raki, watak buruk Agni sudah tersebar ke seluruh lantai. Namun, bagi Audy, dia teman yang menyenangkan dan sejujurnya keren juga. Bisa bertahan dengan value dan prinsip yang dia anut.

"Coba bujuk Agni pelan-pelan, biar mau mikir bikin program baru lagi. Saya serius, slot prime time 'Love Call' kalau udah tamat, punya kalian."

"Siap, Pak ... akan saya bujuk. Terima kasih banyak, Pak Raki. Saya pamit dulu," ujar Audy lalu bergegas mengejar Agni, yang ia yakin akan mengomel-omel sepanjang hari.

Sebelum benar-benar keluar, Audy masih sempat mendengar ponsel atasannya berdering, dan suara lembut lelaki itu memanggil sang lawan bicara sayang membuat hatinya cenat-cenut. Astaga, laki orang.

"Halo, Sayang. No, no, Ya, listen to me, aku kangen sama kamu, sesuai janjimu cukup seminggu kamu nggak pulang."

Audy menutup pintu sepelan mungkin setelah keluar dari ruangan bosnya, meskipun masih ingin menguping lebih lama. Akan tetapi, dia kembali teringat Agni, dan mendesah pelan. Tugasnya belum selesai. Membujuk perempuan itu untuk membuat program baru untuk diajukan pada Raki.

***

Kira-kira udah bisa menebak ke mana arah konflik cerita ini? Apa benang merah Agni dan Raki?

Sorry for the late update 😅☺️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro